"Kini hujan begitu menyesakkan. Memaksa pikiran mengingat kenangan. Genangan terasa berserakan, menahan rindu tak terungkapkan."
-----
Alinna melirik sekilas jam yang melingkar cantik di pergelangan tangannya. Ia ingat benar kalau hari ini ada jadwal rapat penting yang harus segera dihadiri.
Setelah Ahmed terbukti bersalah dan menjalani hukuman beberapa tahun di penjara, mau tidak mau kepemimpinan Aslan Group berpindah di tangan pada Alinna. Padahal, menurut hukum, Chava yang berhak memegang kendali penuh atas perusahaan tersebut mengingat seluruh harta yang dimiliki keluarga besar Alqadrie berasal dari Maryam Alattas, ibunda Chava yang sudah lama meninggal dunia.
Namun, karena ingin fokus dengan usaha butik yang tengah dikembangkannya, Chava memilih Alinna untuk meneruskan Aslan Group agar tetap berjalan sebagaimana mestinya. Hitung-hitung agar adiknya itu belajar mandiri meneruskan perusahaan keluarga yang sudah berjalan sejak lama. Lagi pula, pendidikan Alinna juga mendukung posisi yang akan ia tempati.
"Selamat pagi, Bu Alinna. Peserta rapat hari ini sudah berkumpul semua di ruang pertemuan," sapa Tiara saat melihat Alinna yang baru saja memasuki gedung Aslan Group. Tiara sendiri merupakan asisten pribadi Alinna yang dipilih langsung oleh Ashraf.
"Oke, saya langsung ke ruang pertemuan aja." Alinna menghentikan langkahnya sejenak lalu menoleh. "Tolong diingat juga, jangan panggil saya Ibu. Cukup panggil Nona, Miss, atau apalah biar kesannya nggak tua-tua banget. Saya nggak enak dengaenya."
Tiara tertawa kecil. Sebenarnya memang lucu memanggil Alinna yang notabene sangat muda dengan sebutan Ibu. Tapi mau bagaimana lagi. Memang sudah peraturan di kantor seperti itu adanya.
"Tapi, nanti saya dianggap nggak sopan, Bu. Ntar yang ada saya malah dilaporin ke Pak Ashraf karena melanggar aturan."
Alinna balas tertawa. Membawa tangan kanannya menepuk pelan pundak Tiara.
"Udah, nggak apa-apa. Kak Ashraf nggak mungkin marah. Nanti saya yang tanggung jawab."
Tiara mengangguk paham. Tidak membantah lagi perintah yang Alinna berikan.
"Kalau begitu, mari Miss Alinna, kita langsung ke ruang pertemuan."
Alinna kembali melanjutkan langkahnya dengan begitu percaya diri menuju ruang pertemuan. Bersiap untuk bertemu dengan 2 rekan bisnis yang akan melakukan kerja sama dengan perusahaannya.
Namun, ketika Alinna masuk ruangan, untuk sesaat ia dibuat terkejut. Netranya menangkap sesosok pria yang begitu ia kenal. Bahkan, tanpa canggung melayangkan senyuman seolah memang menunggu pertemuan hari ini.
"Miss Alinna, ini dua rekanan yang akan melakukan presentasi kerja sama dengan perusahaan kita," kata Tiara. Asisten Alinna itu mencoba untuk memperkenalkan satu per satu perwakilan dari perusahaan yang akan bekerja sama dengan Aslan Group. "Di sebelah kanan ada bapak Andrew Prakasa, perwakilan dari Kimia Medika. Beliau yang mengurusi soal pendistribusian obat-obatan premium di rumah sakit Internasional."
Alinna mengangguk dengan sopan.
"Selamat datang. Senang bertemu dengan Anda, Pak Andrew."
"Sedang yang ini ... " lanjut Tiara. " ... Pak Riza Oemar Alhabsyi. Beliau perwakilan dari Dexa Pasific. Perusahaan yang mendistribusikan seluruh produk farmasi khusus untuk di eksport ke luar negeri."
Alinna bergeming. Untuk beberapa saat ia terdiam. Bahkan ketika Riza mengulurkan tangan bermaksud untuk mengajak bersalaman, wanita itu seolah enggan menanggapi
"Senang berjumpa kembali, Miss Alinna. Sudah lama kita nggak saling bertemu," sapa Riza. Entah pria itu mengucapnya secara tulus atau sekedar berbasa basi. "Saya harap Miss Alinna selama ini dalam keadaan sehat selalu."
Alinna tersenyum kecut. Ingin sekali mengumpat atau kalau perlu berteriak di depan wajah Riza. Memberitahu mantan tunangannya tersebut kalau dirinya begitu menderita atas pengkhianatan yang dulu pernah dilakukan kepadanya. Tapi, alih-alih menjawab, Alinna hanya tersenyum seraya mengangguk. Wanita itu kemudian berlalu begitu saja membawa kakinya menuju kursi yang biasa ia tempati.
Selama rapat berlangsung, Alinna akui ia tidak bisa sepenuhnya fokus mendengarkan presentasi yang dijabarkan masing-masing perwakilan. Lebih-lebih ketika giliran Riza yang menjelaskan model kerja sama yang perusahaannya tawarkan. Entah ke mana pikiran Alinna sedang menerawang kala itu. Ingin rasanya segera mengakhiri pertemuan ini.
"Miss Alinna," tegur Riza. Pria itu seolah sadar dengan apa yang tengah terjadi pada lawan bicaranya tersebut. "Apa Anda baik-baik saja?"
"Ya, saya baik-baik, saja." Refleks Alinna mengangguk seraya menyahut. Susah payah ia menjaga air mukanya agar terlihat tetap tenang. Padahal, kehadiran Riza hari ini di kantornya berhasil membuat luka lama yang susah payah ia sembuhkan kembali menganga dengan lebar.
"Ehemm ... " terdengar Tiara berdeham. Seolah sengaja mengalihkan perhatian seluruh perserta rapat agar tidak terfokus pada Alinna. "Karena seluruh materi presentasi sudah dijabarkan dengan baik, kini tiba saatnya pihak Aslan Group melakukan penilaian dan pengambilan keputusan." Setelah keadaan sedikit tenang, pandangan wanita itu kemudian beralih kembali pada Alinna. "Bagaimana, Miss Alinna? Apakah mau di umumkan saat ini juga keputusannya. Atau, kita butuh waktu beberapa hari untuk melakukan evaluasi dan perundingan?"
Alinna menggeleng pelan. Pikirnya, ia tidak butuh waktu banyak untuk mengambil keputusan hari ini. "Setelah mendengar kedua presentasi yang rekan-rekan sampaikan barusan, saya memutuskan untuk menerima permohonan kerja sama hari ini. Untuk penandatanganan MOU dan keperluan penting lainnya, akan kita lakukan dipertemuan berikutnya."
Alinna lantas berdiri. Dengan sopan mengangguk lalu melempar senyum ke satu persatu peserta rapat yang ada di ruangan. Setelas selesai, tanpa ragu dan banyak berbasa-basi memilih untuk meninggalkan ruang rapat lalu pergi ke coffeshop yang letaknya tepat di sebelah gedung Aslan Group. Ia pikir, ada baiknya menenangkan diri sejenak sebelum kembali melanjutkan pekerjaan.
"Alinna itu ribet trus naif banget. Nggak bisa di ajak tidur bareng kayak kamu. Ya dosa lah kata dia, ya belum waktunya lah. Alah munafik banget jadi perempuan. Di ajak senang-senang malah nggak mau. Lagian, hari gini masih punya pikiran kolot macam itu."
"Aku, sengaja terima dijodohin sama dia, karena mau uangnya aja. Lagian, siapa yang nggak suka sama cewek loyal macam dia."
Alinna menarik napas berulang kali. Beberapa saat duduk merenung, bukannya hilang, kilasan masa lalu malah semakin berputar-putar di otaknya. Apa yang pernah Riza ungkapkan dulu, kini satu per satu muncul kembali tanpa diminta.
"Aku yakin kamu nggak lagi baik-baik aja, Na," teguran seseorang membuat Alinna langsung tersadar. Ketika mendongak, ia mendapati Riza yang sudah duduk tepat di seberangnya.
"Urusan pekerjaan udah selesai. Jadi tolong jangan ganggu aku," tegas Alinna.
Riza tersenyum. Senyuman khas yang dulu sering ia tunjukkan pada Alinna.
"Kamu nggak kangen sama aku?" tanya Riza tiba-tiba. "Sampai detik ini, aku bahkan nggak bisa lupain kamu, Na."
Alinna meringis. Setelah terang-terangan di khianati, seenaknya saja Riza bersikap seolah tidak pernah terjadi sesuatu di masa lalu. Apa pria itu amnesia kalau ucapan bahkan perbuatannya membuat Alinna sampai trauma.
"Kenapa aku harus kangen sama kamu? Lagi pula bukan urusanku kamu mau gimana sekarang."
Riza menggeleng. Berusaha menampik apa yang Alinna sampaikan.
"Nggak. Aku yakin kalau sampai detik ini pun kamu juga nggak bisa lupa atau bahkan masih cinta sama aku."
"Jangan gila, Riza! Kita udah nggak ada urusan apa-apa. Jadi tolong jangan ganggu aku lagi."
"Tapi, Na, Aku masih cinta sama kamu. Aku mau memperbaiki hubungan kita. Atau kalau perlu mengulang kembali pertunangan kita yang sempat batal. Maafin, aku," pinta Riza. "Aku tau udah banyak salah sama kamu selama ini."
Dengan serta merta Riza berusaha meraih pergelangan tangan Alinna yang tergeletak bebas di atas meja. Tapi, belum lagi sempat menggenggamnya, ada tangan lain yang berusaha menampik bahkan kemudian ikut menarik Alinna untuk menjauh.
****
Pesawat yang Rayhan tumpangi baru saja mendarat di bandara Soekarno Hatta. Bukannya memilih untuk segera pulang agar bisa beristirahat, pria itu malah meminta supir untuk segera mengantar dirinya pergi menuju gedung Aslan Group. Entah kenapa, ia ingin sekali bertemu Alinna siang ini.
Sengaja tidak memberikan kabar terlebih dahulu, dengan penuh percaya diri, Rayhan melangkah masuk. Mencari Tiara lalu menanyakan keberadaan calon istrinya tersebut.
"Alinna ada di ruangan?" tanya Rayhan saat berpapasan dengan Tiara di lobby gedung.
"Siang, Pak Rayhan. Miss Alinna sedang istirahat makan siang. Biasanya beliau menghabiskan waktu di coffeshop sebelah gedung."
"Coffe shop yang ada di sebelah kanan gedung?" Rayhan memastikan kembali.
"Benar." Tiara mengangguk. "Coba langsung disusul aja ke sana."
"Oke. Terima kasih informasinya, Tiara. Biar saya langsung ke sana aja."
Tak perlu waktu lama bagi Rayhan untuk menemukan coffe shop yang Tiara maksud. Mengambil langkah besar, pria bertubuh semampai itu langsung masuk. Mengedarkan pandangan demi mencari keberadaan calon istrinya. Hingga tak berapa lama, netranya menangkap keberadaan Alinna yang tengah duduk di sudut cafe dengan seorang pria yang tidak ia kenal.
Pelan tapi pasti Rayhan mendekat. Samar terdengar olehnya kalau Alinna seperti terlibat adu mulut dengan pria yang duduk di hadapannya. Maka, ketika matanya menangkap maksud si pria yang ingin meraih pergelangan tangan Alinna, buru-buru Rayhan mendekat dan langsung menampik. Sejurus kemudian menarik wanita cantik itu untuk segera berdiri dari posisi duduknya.
"Kak Rayhan," tegur Alinna. Tentu saja ia terkejut mendapati Rayhan yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. "Kenapa bisa ada di sini?"
"Aku sengaja mau jemput kamu," jawab Rayhan singkat. Lalu pandangan pria itu beralih pada sosok Riza yang masih duduk diam di posisinya. "Kamu teman Alinna?" tanyanya kemudian.
Riza bangkit. Dengan penuh percaya diri menyodorkan tangannya ke arah Rayhan.
"Aku Riza, mantan pacar Alinna."
Rayhan mengangguk paham. Melempar senyum lalu balas meraih sodoran tangan dari Riza. "Rayhan. Calon suaminya Alinna."
Tak pelak Riza sampai terbatuk setelah mendengar apa yang Rayhan sampaikan. Mungkin tidak menyangka kalau Alinna yang dulu ia sia-siakan kini sudah 'move on' bahkan sudah bersiap untuk menikah.
"Oh, iya ... " Rayhan kembali menlanjutkan. "Aku cuma mau peringatin, jangan pernah coba-coba buat temuin Alinna lagi. Apalagi sampai berani maksa-maksa dia buat balikan seperti tadi. Ingat, itu nggak akan pernah terjadi selama aku masih hidup."
Tanpa menunggu jawaban, Rayhan langsung menuntun Alinna untuk segera pergi. Bahkan berinisiatif untuk mengantarkan pulang karena ia yakin, calon istrinya itu pasti pikirannya sedang kacau sekarang.
Terbukti, sepanjang jalan pulang, Alinna hanya diam. Tidak satu patah kata pun keluar dari bibir wanita itu. Entah pikiran apa yang tengah mengganggunya. Yang pasti, Rayhan memilih untuk membiarkan. Berusaha memahami dengan tidak banyak bertanya sampai akhirnya mereka tiba di kediaman Alinna.
"Kita udah sampai," ucap Rayhan saat mobil yang ia kendarai berhenti tepat di depan rumah Alinna.
Alinna menoleh sekilas. Wanita itu lantas mengarahkan tangannya untuk melepas sabuk pengaman yang membelit tubuh rampingnya. Kemudian kembali mendongak lalu melempar senyum ke arah Rayhan.
"Kak Rayhan mau singgah? Kita ngobrol di dalam aja," tawarnya.
"Nggak. Aku langsung pulang aja. Biar kamu istirahat terus tenangin pikiran dulu."
"Aku minta maaf ---"
"Nggak ada yang perlu dimaafin, Alinna," potong Rayhan. "Kamu nggak perlu jelasin apa-apa. Aku paham perasaan kamu gimana sekarang. Toh, dia cuma mantanmu, kan?"
Alinna mengangguk pelan. Ada perasaan bersalah menelusup di relung hatinya. Takut-takut kalau Rayhan salah paham, cemburu, marah, atau mungkin kesal karena sebelumnya melihat ia dan Riza tengah duduk bersama bahkan terlibat perbincangan.
Selama ini, Alinna memang tidak pernah mengungkit masalah Riza atau soal masa lalu apapun pada Rayhan. Bukan tidak ingin jujur, hanya saja merasa hal menyakitkan ini tidak perlu dibahas kembali.
"Iya, Riza mantanku, Kak. Mantan yang buat aku trauma. Bertahun-tahun menjalin hubungan, ternyata dia cuma manfaatin aku."
Rayhan menghela napas pelan. Padahal ia sengaja tidak ingin membahas karena yakin pasti akan membuat Alinna sedih seperti sekarang.
"Udah, nggak usah dibahas. Kamu nggak perlu jelasin apa-apa sama aku. Lebih baik sekarang kamu cepet masuk, mandi, solat trus istirahat. Kalau perasaanmu udah mendingan, jangan lupa hubungin aku."
Alinna tersenyum. Mungkin yang dikatakan Rayhan memang benar. Sebaiknya ia beristirahat sejenak agar bisa kembali memperbaiki mood-nya yang rusak akibat perbuatan Riza.
"Kakak yakin nggak mau singgah?"
Sekali lagi Rayhan menggeleng.
"Nggak, besok aja aku singgah sini lagi. Sekalian mau ajak kamu untuk pergi ke pesta perayaan yang diadakan salah satu klien."
"Pesta?" ulang Alinna.
"Iya, semacam acara makan malam gitu. Kamu bisa, kan?"
Alinna mengangguk yakin. Menyetujui ajakan Rayhan. Memang sudah biasa baginya menemani pria itu untuk menghadiri berbagai macam pesta perayaan atau undangan acara penting lainnya.
"Ya udah, nanti kabarin aja jam berapa jemputnya. Kalau gitu, Alinna turun dulu."
Wanita itu melenggang keluar dari mobil. Setelah memastikan bayangan Rayhan hilang dari pandangan, barulah ia memutuskan untuk segera masuk ke rumah.
.
.
(Bersambung)