8. Penghuni Masa Lalu

2261 Words
"Ditemani kenangan, aku tertatih. Lirih sendu, hati merasakan. Otakku terjerat akan bayangan. Namamu kian lekat dalam angan. Membius harapan. Menyirnakan impian." ----- "Assalamualaikum, Nahaaruka sa’iid, Ash, Zam." (*Assalamualaikum, selamat siang, Ash, Zam) "Walaikumsalam, Sa’iidun mubaarak, Ray. Masuk aja." (*Walaikumsalam, Selamat siang juga, Ray) Siang itu, selepas menjalani pre marital check up di ruangan Alissa, Rayhan tidak langsung pulang. Pria itu memutuskan untuk menemui Ashraf yang tengah berada di ruangan kerjanya terlebih dahulu. Kebetulan, Azzam pun juga berada di sana. Tidak ada hal penting sebenarnya. Hanya ingin sekedar bertemu kemudian berbincang-bincang, seperti apa yang sering ia lakukan seperti biasa. Walaupun sering terlibat adu mulut atau selisih paham, entah kenapa, Rayhan lebih suka bertukar pikiran atau meminta pendapat dengan kedua sepupunya tersebut ketimbang pada teman atau para sahabat di luar sana. "Kaifa haaluka?" tanya Rayhan. (*apa kabar?) "Bikhair walhamdu lillah." Ashraf lantas bangkit lalu menyusuli Rayhan dan Azzam yang sudah lebih dulu mendudukkan diri di sofa tamu. "Min aina anta qaadim?" (*Baik-baik aja, Alhamdulilah. Kamu dari mana?) "Anaa qaadimun min Alissa ghurfat altamrin." (*Aku dari ruang praktiknya Alissa) Ashraf menarik wajahnya. Kedua belah alis pria itu tampak saling bertaut. "Alissa ghurfat altamrin?" "Na'am. Tadi habis pre marital check. Kan kemarin Alinna udah periksa duluan. Jadi, hari ini giliran aku yang cek." Ashraf mengangguk. Ia baru ingat kalau sepupunya itu memang memutuskan untuk mengikuti saran Alissa melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum melaksanakan prosesi pernikahan. Hal ini nyatanya banyak dianggap sepele oleh pasangan-pasangan baru yang ingin membina rumah tangga. Padahal, dari pada memilih pakaian, gedung, serta undangan, memeriksakan kesehatan jauh lebih penting. Bila kedua pasangan bisa mendeteksi lebih dini kelainan atau penyakit yang hinggap di tubuh mereka, pengobatan bisa segera dilakukan untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan di kemudian hari. "Terus, kapan hasil tesnya keluar?" tanya Ashraf kemudian. "Insya Allah lusa. Nanti aku bareng Alinna aja ke sini buat denger pembacaan hasilnya." "Jadi, udah siap nikah sama Alinna?" Giliran Azzam yang bertanya. Pria itu menyandarkan bahunya di sofa. Mengambil posisi duduk yang menurutnya paling nyaman. "Kenapa harus nggak siap?" Alis mata Rayhan tampak sekali terangkat tinggi. "Ibaratnya, kalau udah berani ngelamar tentu aja aku udah siap lahir batin untuk ajak dia berumah tangga, Zam." Azzam mengangguk setuju dengan jawaban sang sepupu. Sebenarnya, ia sengaja bertanya karena ada sedikit perasaan ragu dalam hatinya. "Aku cuma takut Alinna jadi bahan pelampiasanmu aja, Ray. Kasian, kalau itu benar kejadian." "Maksudnya?" Rayhan refleks menarik wajahnya dalam-dalam. Tampak jelas kalau ia seperti orang yang tidak paham dengan apa yang baru saja Azzam tuduhkan. "Kita semua sama-sama tau kalau selama ini kamu selalu ngasih alasan yang sama," lanjut Azzam. "Selama ini, kamu nggak mau buru-buru nikah karena masih sibuk cari keberadaan Sovia yang nggak jelas rimbanya di mana. Aku pribadi tentu takut kalau sampai Alinna dijadikan pelarian atau penambal hati atas kegagalanmu mendapatkan wanita yang selama ini dicari." "Ya emang," sahut Rayhan dengan cepat. "Aku nggak memungkiri hal itu. Kemarin-kemarin, aku memang sibuk cari keberadaan Sovia sampai nggak sadar kalau didekatku ada sosok lain yang jauh lebih baik. Tapi aku nggak ada niatan untuk jadiin Alinna pelarian." "Kalau tiba-tiba aja Sovia datang di saat kamu dan Alinna sudah resmi menjadi suami istri, apa yang bakal kamu lakuin?" Ashraf turut bertanya. Wajah pria itu terlihat penasaran. Ia juga ingin tahu tindakan apa yang akan sepupunya itu ambil di kemudian hari kalau hal tersebut benar terjadi. "Aku nggak bakal ngapa-ngapain," jawab Rayhan dengan santai. "Nggak ngapa-ngapain? Kamu yakin?" ulang Ashraf. "Ya aku emang mesti ngapain, Ash? Kembali ngejar Sovia, terus mengorbankan Alinna gitu aja?" Rayhan langsung menggelengkan kepala berkali-kali. "Aku nggak sejahat itu. Lagian, yang ada bisa di bunuh Chava kalau berani mainin perasaan Alinna. Kamu tau sendiri gimana susahnya aku dapatin Alinna selama ini. Terus sekarang, giliran udah dapat, mau aku lepasin gitu aja? Rugi banget rasanya." Mendengar jawaban yang satu ini, Ashraf dan Azzam kompak mengembuskan napas lega. Mereka merasa cukup senang dengan apa yang menjadi keputusan sepupunya itu. Sebagai saudara, tentu saja keduanya ingin yang terbaik untuk Rayhan. "Aku doain aja kamu konsisten dengan jawabanmu kali ini. Karena kalau sampai kamu berani sakitin Alinna, aku sendiri yang bakal pisahin kalian," ancam Ashraf. "Perlu diingat juga, Ray," sambung Azzam. "Membina rumah tangga itu nggak gampang. Kamu harus benar-benar mau belajar dan sebisa mungkin untuk bersikap dewasa dalam menghadapi segala rintangan yang muncul nantinya." Rayhan mengangguk. Menyetujui ucapan Azzam yang satu ini. "Aku tau, Zam. Rumah tangga itu memang rumit dan pasti banyak rintangannya. Kalau mau banyak rantangan, buka usaha catering aja." "Sialan! Tapi aku serius. Rumah tangga itu nggak se-sederhana yang kamu bayangin." "Iya, Zam. Iya." Sekali lagi Rayhan menganggukkan kepala. "Aku juga paham untuk hal yang satu itu. Membangun rumah tangga juga rumit. Yang sederhana itu rumah makan padang." Tak pelak jawaban asal dari Rayhan ini membuat Azzam hanya bisa mengelus dadaa. Seumur hidup mengajak sepupunya itu berbicara serius, pasti ada saja celotehannya yang buat geleng-geleng kepala. "Tapi, Ash ... " Pandangan mata Rayhan langsung beralih pada Ashraf. Terlihat jelas bagaimana raut wajah pria itu tiba-tiba berubah serius. "Tapi apalagi, Ray?" "Aku 'kan bakal nikahin Alinna. Apa aku tetap harus minta izin dan restu ke Abi Ahmed yang sekarang lagi di penjara?" Suasana mendadak hening. Mendengar nama Ahmed disebut, tentu saja mengembalikan memori Ashraf bagaimana mertuanya itu begitu jahat memperlakukan dirinya dan sang istri. Bahkan pria paruh baya itu tidak segan-segan ingin menghabisi nyawa darah dagingnya sendiri. "Aku nggak mau komentar banyak soal ini. Ahmed Alqadrie memang nggak berprikemanusiaan. Tapi mau gimana lagi, beliau calon ayah mertuamu. Sebaiknya, kamu memang menemuinya untuk meminta restu." Rayhan menarik napas panjang. Tidak mudah juga pastinya memutuskan untuk menemui calon ayah mertuanya tersebut. Ia yakin, pasti ada perasaan canggung atau mungkin saja Ahmed Alqadrie akan membencinya. Mengingat ia yang menuntut serta memasukkan pria paruh baya itu ke dalam penjara seperti sekarang. "Kalau begitu, biar lusa aku coba buat jenguk Abi Ahmed di penjara. Semoga aja kedatanganku nanti nggak memicu pertengkaran." "Ma’an Najaah. Aku doain semuanya lancar," balas Ashraf penuh yakin. (*Semoga sesuai harapan) **** Sebuah Range Rover berwarna hitam terparkir rapi di pelataran rumah keluarga besar Alqadrie. Seperti janjinya, malam ini Rayhan memang sengaja menjemput Alinna. Ia ingin mengajak wanita itu pergi ke pesta perayaan yang sedang diadakan salah satu klien yang selama ini menjalin kerja sama dengannya. Menunggu hampir 15 menit, wanita yang ditunggu akhirnya keluar. Sama-sama keduanya berpamitan lalu gegas pergi ke tempat acara yang terletak di pusat kota Jakarta. Beruntung, jalanan malam ini belum terlalu ramai. Rayhan bisa sampai di Fullman Central Park tepat pada pukul delapan malam. "Rame banget," cicit Alinna saat melangkah masuk ke ruang acara. Sementara Rayhan sibuk mengedarkan pandangan ke seluruh arah. Menelisik satu per satu tamu yang sudah lebih dulu datang dari pada mereka. "Namanya pesta pasti rame, Na. Kalau mau sepi kita pestanya di kuburan aja sambil tahlilan," goda Rayhan. "Bukan gitu. Maksud aku, acaranya rame banget padahal ini baru jam delapan." Rayhan mengangguk. Ia pun sebenarnya merasakan hal yang sama. Mungkin saja pesta ini begitu ramai karena banyaknya orang yang sengaja di undang. Selain itu, pihak penyelenggara adalah orang penting yang memiliki banyak relasi di mana-mana. Itu sebabnya, setelah menyalami dan memberikan selamat, Rayhan memilih untuk bergabung dengan para tamu undangan lain. Berkumpul sembari bercengkrama membahas berbagai macam persoalan bisnis yang mereka geluti. "Sepertinya kita memang benar-benar jodoh, Na," tegur salah seorang pria ketika Alinna tengah sibuk memilih minuman. Refleks Alinna menoleh. Lebih-lebih ia hapal suara siapa yang baru saja mengajaknya berbicara. "Riza ... " Pria itu mengangguk kemudian melempar senyum. "Iya, Sayang. Ini Riza. Lagi pula, ini bukan pertemuan pertama kita, kan? Kenapa kamu masih aja kaget kalo berpapasan denganku?" tanyanya dalam satu tarikan napas. "Jangan gila, Za!" Alinna menatap tajam ke arah Riza. "Mau berapa kali aku tegaskan sama kamu untuk nggak ganggu aku lagi." "Siapa yang ganggu kamu, Na," sanggah Riza. "Aku bahkan nggak nyangka kalau malam ini bisa ketemu kamu lagi. Kalau bukan takdir atau jodoh, lantas apa namanya?" Alinna menggelengkan kepala tidak habis pikir. Sejenak, ia merutuk takdir kenapa harus bertemu lagi dan lagi dengan pria yang begitu ia benci. "Jelas aja itu namanya nasib buruk." Dari arah berlawanan, ada Rayhan yang tiba-tiba muncul dan langsung menghampiri Alinna. "Harus berapa kali aku peringatkan kamu untuk nggak deketin Alinna lagi?" ketus Rayhan. Aura permusuhan kentara terlihat di wajah pria berdarah Arab tersebut. "Kamu baru tunangan. Belum resmi jadi suami Alinna. Aku dulu bahkan juga sempat tunangan dengan Alinna tapi akhirnya pisah juga. Jadi, nggak usah terlalu percaya diri." Rayhan lantas maju selangkah. Menyipitkan matanya seraya berbisik. "Sorry, kita beda kelas. Lagian, tolong sadar diri. Kamu itu terlalu 'halah' buat Alinna yang kelewat Wah." "Kamu ---" "Udah ya," potong Rayhan dengan cepat. "Nggak usah diperpanjang. Jangan mempermalukan diri sendiri." Rayhan kembali menarik sudut bibirnya membentuk senyuman yang mengejek. Kalimat yang baru saja ia lontarkan tentu saja membuat wajah Riza merah padam. Karena tak ingin membuang-buang waktu, Rayhan kembali berpaling pada Alinna. Gegas membawa wanita itu untuk segera pergi menjauh. Ia tidak akan membiarkan Alinna kembali bersedih seperti yang sudah-sudah. "Udah nggak perlu dipikirin. Kaum-kaum 'PDKT' macam mantanmu tadi lebih baik diabaikan aja," pinta Rayhan. "PDKT?" tanya Alinna bingung. Rayhan langsung saja mengangguk. "Iya. PDKT itu singkatan dari pernah dekat kemudian tereliminasi." "Astagfirullah." Lagi-lagi Alinna cuma bisa geleng kepala. Pria itu kemudian menyodorkan minuman yang sedari tadi memang ia bawa. "Minum dulu. Kalau udah tenang, kita pulang aja." Alinna menerima sodoran minuman dari Rayhan. Meneguknya sampai habis barulah menanggapi ucapan calon suaminya. "Tapi acaranya belum selesai, kan?" Rayhan mengangguk. Lagi pula, mana ada acara pesta perayaan seperti ini selesai di bawah jam 10 malam. Lebih-lebih tamu yang diundang begitu banyak. "Kalau kita di sini sampai selesai, yang ada kamu bakal sampai rumah larut malam." "Jadi kita pulang sekarang?" Alinna sekali lagi memastikan. "Iya, Humaira. Aku juga udah janji sama Chava untuk kembaliin kamu sebelum jam 11 malam." "Ya udah, kita pulang sekarang." Alinna lantas mengekori langkah Rayhan yang pelan-pelan keluar dari tempat acara. Sesekali pria tampan yang berstatus calon suaminya itu terlihat menegur seraya berpamitan pada tamu undangan yang ia temui di sepanjang jalan. "Ray, udah mau pulang? Ini masih sore," tegur salah seorang tamu paruh baya yang berpapasan dengan Rayhan. "Iya, nggak enak kalau pulang malam-malam. Saya bawa calon istri, Pak." "Ajak aja sekalian nginap. Kan di lantai lima ada hotelnya. Biasa anak muda juga begitu." Rayhan tertawa maklum. Memang bukan rahasia umum kalau banyak muda-mudi zaman sekarang yang belum memiliki ikatan resmi menghabiskan waktu mereka untuk bersenang-senang di hotel. "Nggak, Pak. Rumah kita berdua deket, jadi mending pulang aja. Kalau begitu, kami berdua permisi dulu." Selepas berpamitan dengan salah seorang tamu, Rayhan kembali menuntun Alinna untuk melewati kerumunan tamu agar bisa segera keluar dari ruang acara. Tapi, baru beberapa langkah maju, dari arah samping seorang tamu lain tanpa sengaja menabrak Alinna. Bahkan minuman yang ia bawa tertumpah hingga mengenai gaun yang dikenakan wanita berdarah Arab tersebut. "Astagfirullahhaladzim ... " Wanita itu berseru. Cepat-cepat membawa tissue di tangan kirinya untuk membersihkan noda basah yang timbul dari minuman yang ia tumpahkan. "Aku benar-benar minta maaf udah tumpahin minuman ini ke baju kamu," ucapnya penuh sesal. "Na, kamu nggak apa-apa?" Rayhan yang berdiri di samping Alinna ikut bertanya seraya menyodorkan sapu tangan miliknya. "Baju kamu basah gini." Alinna mendongak. Tidak sedikitpun kekesalan terlihat di wajah cantinya. "Nggak apa-apa, kok. Cuman basah dikit." Detik kemudian pandangan mata Alinna beralih pada wanita yang menabraknya. "It's Ok, Kak. Aku nggak apa-apa." "Sekali lagi aku minta maaf." Wanita itu lantas menyodorkan tangannya mengajak Alinna untuk bersalaman. "Namaku Maysa Sovia. Bisa dipanggil Sovia. Ini kartu namaku. Kalau di kemudian hari kamu mau minta ganti rugi atas gaunmu yang rusak karena ulahku, jangan ragu untuk segera hubungin aku." "Sebentar," sela Rayhan. "Namamu siapa barusan?" Ia yakin sekali kalau telinganya tidak salah mendengar barusan. Bahkan, Rayhan sekarang mulai sadar kalau sosok wanita di depannya begitu familiar. "Maysa Sovia," ulang wanita itu lagi. "Kamu nggak ingat siapa aku?" Wanita di hadapan Rayhan hanya menggeleng. "Kita pernah saling kenal?" "Aku, Rayhan Zayn Elhaq." Wanita bernama Maysa itu tampak diam sejenak. Mencoba untuk mengingat-ingat lantas tak berapa lama akhirnya mengangguk. "Oh, Ya ampun, Sekarang aku ingat. Apa kabar? Udah lama banget nggak ketemu." "Aku baik-baik aja. Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini," balas Rayhan. Senyum pria itu tampak sumringah. "Iya, nggak nyangka banget. Tapi maaf, aku lagi buru-buru. Nanti kalau ada waktu dan kesempatan kita ngobrol lagi." Sovia kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan Rayhan yang terpaku menatap kepergian wanita yang selama ini susah payah ia cari. Sementara Alinna tidak sadar dengan apa yang tengah terjadi pada calon suaminya tersebut. . . (Bersambung) . . === CARA MEMBELI KOIN UNTUK MEMBUKA BAB SELANJUTNYA === Cara membeli koin via aplikasi DANA. Kenapa saya pilih DANA? Karena aplikasi DANA jarang sekali mengalami eror/gangguan. (Tidak seperti melakukan pembelian lewat pulsa/ovo/gopay yang sering mengalami eror hingga koin tidak masuk ke dompet pembaca) . 1. Login Aplikasi (WAJIB) 2. Klik tanda TOKO 3. Pilih jumlah koin yang ingin di beli 4. Pilih motede pembayaran. (Karena ingin membeli pakai DANA , pilih 'DANA' - Jangan lupa, pastikan APLIKASI DANA ANDA SUDAH TERISI SALDO SEBELUMNYA (tidak kosong) 5. Tekan bayar 6. Tekan lanjut 7. Masukkan nomor handphone/nomor Dana anda 8. Klik lanjutkan 9. Masukkan kode pin DANA 10. Masukkan kode yang di kirim via SMS 11. Tunggu beberapa detik sampai tulisan layar di handphone berubah 'BERHASIL' 12. Cek dompet yang ada di aplikasi Dreame/Innovel. Jika koin sudah bertambah, bisa langsung di gunakan. . Selamat Mencoba. Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat. . INGATTTTT, KALAU PEMBELIAN KOIN GAGAL, BISA LAKUKAN PELAPORAN KE CS MERCHANT (APLIKASI DANA) BUKAN PROTES KE PENULIS YAHH. KARENA YANG JUALAN KOIN ITU PIHAK APLIKASI BUKAN PENULIS. . THANKISS PERHATIANNYA
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD