"Malam hening bergeming. Ku bisikkan namamu pada tanah sujudku bermula. Lantas doa-doa bertebaran di langit sang pencipta. Berharap Tuhan mengabulkan apa yang ku pinta."
----
Alinna memerhatikan sekali lagi penampilannya dari balik cermin. Menelisik dengan cermat apakah make up yang baru saja ia poles sudah sempurna atau masih perlu ditambah beberapa sentuhan.
Sore ini, sesuai jadwal, Rayhan akan menjemput Alinna lalu mengajaknya untuk makan malam bersama. Ada rasa gugup menyergap. Alinna sedikit takut, kalau pria itu benar-benar melamarnya malam ini juga seperti apa yang dikatakan dalam sambungan telpon beberapa hari yang lalu.
"Emangnya makan malam dalam rangka apa, Kak?" tanya Alinna kala itu.
"Makan malam dalam rangka mengenal lebih jauh calon menantu." Pria itu kemudian tertawa dengan renyah.
"Dasar Jayus! Bisa nggak, sehari aja kakak serius?" ejek Alinna.
"Alinna ... Lau jama'tu ayyaama umri min farohin maa tusaawie lahdzota min wakti ma'aki. Aku nggak pernah main-main soal perasaan." Suasana mendadak jadi serius.
(*translate : Kalau aku kumpulkan seluruh perasaan bahagia dalam hidupku, semuanya nggak bisa menyamai gimana indahnya waktu yang udah aku habiskan denganmu)
"Aku sungguh-sungguh pengen nikahin kamu."
Karena kalimat inilah, Alinna sampai susah tidur. Sudah dua malam terakhir ini ia menjalani sholat istikharah demi memohon petunjuk. Sungguh, Alinna masih merasa takut. Bekas luka yang dulu sempat menganga di hati belum sepenuhnya sembuh. Ia memang masih merasa takut kalau sampai di khianati kembali. Jangan! Jangan sampai terulang lagi. Bukan perkara mudah untuk menyembuhkannya. Bahkan, sampai detik ini pengkhianatan yang dilakukan Riza masih saja membekas.
Lama Alinna termangu di depan cermin. Pikirannya melalang buana tak tentu arah. Bayangan masa lalu, ucapan Rayhan malam itu, serta pikiran-pikiran lain semua bersatu padu memenuhi ruang dalam kepalanya. Hingga tak berapa lama, panggilan seseorang membuat Alinna seketika tersadar. Ia hapal suara siapa yang telah menegurnya.
"Alinna! Malah melamun di sini," tegur wanita di belakanganya. "Pacarmu udah nungguin di luar."
Alinna sontak menoleh. Berdecak kecil menanggapi ucapan saudari kembarnya. Alanna memang begitu. Suka sekali mengolok atau menggodanya.
"Iya ... iya ... ini juga udah beres," sahutnya. "Eh, kak. Menurutmu penampilanku gimana?" Alinna lantas berdiri. Memutar badannya demi memamerkan pakaian yang ia kenakan.
"Udah bagus, kok. Tenang aja. Kamu selalu cantik seperti biasa," jawab Alanna jujur.
"Dasar Perez. Pasti kamu muji karena ada maunya, kan?"
Alanna langsung tertawa. Kenapa Adik kembarnya itu susah sekali percaya. Sukur-sukur ia sudah memberi pujian ketimbang kritikan. Biasanya Alanna paling malas kalau dimintai argumen soal penampilan.
"Ihh nggak percayaan. Di bilangin cantik malah nuduh macam-macam. Aku seriusan. Penampilan kamu emang pas sore ini."
"Makasih. Kalau gitu aku pergi dulu."
Alanna mengangguk. Senyum manis ia sunggingkan seraya berjalan mengekori adik kembarnya.
"Aku doain Rayhan lamar kamu malam ini. Dan kalau itu terjadi, aku harap apa yang kamu putuskan adalah pilih yang terbaik untumu."
Alinna menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah Alanna lalu tiba-tiha menghambur pelukan pada saudari kembarnya itu.
"Aku juga berharap apa pun yang ku pilih adalah yang terbaik, Kak."
Sempat dihinggapi perasaan haru sejenak, keduanya kembali melanjutkan langkah menuju ruang ramu. Di sana, seorang pria berpakaian casual sudah menunggu sembari bersenandung kecil di tempat duduknya.
Tampan.
Kesan itu yang selalu Alinna tangkap dari sosok Rayhan. Ya, walaupun ia juga tau semua keturunan Elhaq memang bibit unggul. Harusnya, menjadi pasangan salah satu dari mereka merupakan kebanggaan. Belum lagi Rayhan itu pengacara terkenal. Sudah banyak kasus besar yang berhasil ia tangani dengan baik.
"Kak Rayhan," tegur Alinna. Rayhan sontak saja langsung berdiri.
"Udah siap?"
Alinna mengangguk dan langsung mengikuti langkah Rayhan menuju mobil. Mereka berdua gegas berangkat agar bisa sampai sebelum mahgrib.
Sampai di tempat tujuan, sudah ada Raima yang menyambut kedatangan mereka berdua. Sulung yang merupakan kakak satu-satunya Rayhan itu langsung memboyong Alinna untuk segera masuk menemui Abi dan Uminya yang sudah menunggu.
"Umi, coba lihat. Calon menantu sudah datang," goda Raima membuat Alinna jadi salah tingkah.
Semua keluarga besar Elhaq selama ini memang tau bagaimana dekatnya Alinna dengan Rayhan. Di setiap pertemuan, acara penting atau sekedar makan bersama, mereka selalu datang berdua. Tapi anehnya sampai detik ini tak kunjung juga meresmikan hubungan. Raima bahkan sudah berapa kali melempar kode kepada keduanya. Tapi tetap saja tidak digubris.
"Kalian berdua itu TTM apa gimana, sih?" tanya Raima satu waktu saat Alinna dan Rayhan menghadiri salah satu acara yang diselenggarakan keluarga Elhaq.
"Apaan itu TTM?" Rayhan kebingungan.
"Teman tapi mesra." Alinna yang berdiri di sebelah pria itu ikut menyahut.
"Oh, aku pikir TTM itu singkatan tau tau meninggal."
"Sembarangan!" Raima melotot. "Lagian, kalian tuh udah nggak pantes pacaran-pacaran segala macam. Mending langsung nikah aja. Keliatan banget padahal saling suka."
Menyadari kalau Rayhan dan Alinna memiliki ketertarikan satu sama lain, Eliza dengan serta merta meminta putra bungsunya untuk mengajak Alinna makan malam bersama di kediaman merrka. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin wanita paruh baya itu sampaikan. Syukur-syukur kalau niat baik yang ia rencanakan bisa tercapai.
Menyelesaikan sholat magrib berjamaah terlebih dahulu, semua anggota keluarga langsung menuju ruang makan. Berkumpul bersama. Saling bercengkrama satu sama lain sampai tiba waktu Eliza memulai pembicaraan inti.
"Alinna, Umi ucapkan banyak terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk menghadiri acara kecil-kecilan malam ini."
Alinna mengangguk hormat. Menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyuman tipis. Sebenarnya ini bukan kali pertama ia makan malam di rumah Rayhan. Tapi entah kenapa, malam ini hawanya terasa berbeda. Jujur ada rasa gugup menelusup di hatinya.
"Sama-sama, Umi. Harusnya Alinna yang terima kasih udah diundang makan malam."
"Umi ... " Rayhan menyela. "Macam makan malam bareng presiden aja, kaku banget ngomongnya." Pria itu langsung melirik sang ibunda. "Langsung to the point aja. Ini kalau lagi sidang, bakal di interupsi pak hakim kalau ngomongnya bertele-tele."
"Hushh!" Eliza mendelik tidak terima. Rayhan emang begitu. Suka ceplas ceplos berbicara pada siapa pun apalagi dengan ibunya. "Alinna kan tamu. Masa nggak pake basa-basi dulu," protes wanita paruh baya itu.
"Kelamaan basa-basinya, Umi. Nanti keburu malam. Rayhan nggak boleh bawa anak perawan pulang sampai larut malam. Pamali."
"Ehem!"
Rumi yang dari tadi hanya diam memperhatikan istri dan putra bungsunya berdebat, terdengar berdeham. Tatapan matanya kini beralih pada Alinna yang duduk tepat bersisian dengan Rayhan. Ia pikir, sudah saatnya memperjelas maksud dan tujuan mengundang putri bungsu keluarga Alqardrie tersebut.
"Alinna ... " sapa Rumi. "Abi langsung pada pokok pembicaraan saja. Tujuan diundangnya Alinna kemari tak lain dan tak bukan karena ingin menanyakan kesediaan Alinna, apakah mau menjadi calon istri Rayhan?"
Benar dugaan Alinna. Pertanyaan ini sudah ia antisipasi sedari tadi. Dan sekarang, giliran dirinya yang terdiam bingung. Jawaban seperti apa yang akan diberikan kepada kedua orang tua Rayhan yang tampak menunggu.
"Alinna ... " Rayhan yang sekarang berbicara. Pria itu memutar sedikit arah tubuhnya. Memandang lekat wajah Alinna sembari tersenyum. "Maaf, kalau pertanyaan Abi dan Umi buat kamu terkejut. Tapi seperti yang pernah ku katakan sebelumnya, aku benar-benar ingin membawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Menjadikanmu istri dan calon ibu untuk anak-anakku kelak. Lagi pula, kita berdua juga sudah saling mengenal satu sama lain."
Rayhan menarik napas sekali. Memaku tatapan mata Alinna lalu berbicara lagi.
"Hal tatazawajani, Alinna?" (*Maukah kau menikah denganku?)
Alinna tercenung. Padahal saat di rumah ia sudah mempersiapkan jawaban ketika di tanya seperti ini. Jangan salah. Ia memang sudah mengantisipasi segala kemungkinan. Tapi kenapa sekarang malah kehabisan kata-kata untuk sekedar memberikan tanggapan.
"A-aku ... "
"Iya, aku apa?" Rayhan mengejar. "Aku benar-benar serius Alinna. Tapi kalau kamu memang masih butuh waktu untuk memberikan keputusan, aku nggak masalah. Kamu boleh memikirkannya terlebih dahulu."
Alinna balas menatap dalam ke arah Rayhan. Berusaha menyelami manik cokelat milik pria itu demi memantapkan hatinya sebelum memberikan jawaban final.
"Aku putuskan untuk menerima lamaran Kak Rayhan."
"Alhamdulilah."
Semua orang yang ada di meja makan serempak langsung mengucap syukur setelah mendengar jawaban Alinna. Lega sekali, akhirnya wanita cantik yang mengenakan hijab berwarna mocca itu menerima permintaan Rayhan. Lebih-lebih Nyonya Eliza. Binar bahagia terpancar jelas di wajah cantiknya.
"Kalau begitu, akhir pekan nanti Umi dan Abi akan berkunjung untuk melamar Alinna secara langsung. Semoga saja niatan kami diterima dengan baik oleh keluarga besar Alqadrie."
Alinna mengangguk. Menyetujui rencana Eliza. Dan sekarang, tugasnya adalah menyampaikan berita ini kepada sanak saudaranya di rumah.
****
"Kamu sendiri aja, Ray?" tanya Azzam yang baru saja tiba di restoran.
Siang ini, tiba-tiba saja Rayhan menghubungi kedua sepupunya. Ia sengaja mengajak mereka untuk menghabiskan waktu makan siang di sebuah restoran ternama. Alih-alih menelpon, Rayhan pikir ada informasi yang lebih baik ia sampaikan secara langsung.
"Nggak, aku bertiga," sahutnya santai.
"Sama siapa? Kok aku nggak liat siapa-siapa di sini?" Azzam dan Ashraf sontak menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari siapa yang di maksud oleh sepupunya.
"Aku bertiga bareng malaikat raqib sama atid."
"Sialan!" Azzam langsung mengumpat. Baru saja sampai, sepupunya itu sudah berulah seperti biasa.
"Ya udah ... Ya udah." Ashraf langsung mengambil alih pembicaraan. Karena kalau tidak begini, yang ada Azzam dan Rayhan pasti adu mulut seperti biasanya. "Sebenarnya dalam rangka apa kamu ajak kami berdua makan siang di sini?"
"Akhir pekan ini, insya Allah aku lamaran," kata Rayhan santai. "Aku minta kalian datang buat mendampingi."
Azzam dan Ashraf lantas terkesiap. Mereka berdua tentu saja merasa bersyukur akhirnya apa yang Rayhan inginkan selama ini bisa terwujud. Keduanya tau bagaimana susah payahnya bungsu Elhaq itu merayu serta meyakinkan Alinna kalau ia pantas untuk mempersunting wanita cantik tersebut.
"Ini nggak bohongan, kan?" Azzam memastikan. Tapi raut wajahnya kentara sekali seperti orang mengejek.
"Beneran dong. Mana mungkin aku main-main untuk hal serius, Zam."
"Alhamdulilah ... " Ashraf yang duduk di sebelah Azzam ikut bersuara. Memberikan tanggapan atas berita yang baru saja sepupunya sampaikan. "Akhirnya penantian panjang mendapatkan jawaban juga."
Rayhan mengangguk. Yang di katakan Ashraf memang benar. Bukan perkara sebentar Rayhan meyakinkan Alinna. Bahkan ia harus berhadapan dengan Chava. Meyakinkan istri sepupunya tersebut kalau dirinya benar-benar serius ingin menjadikan Alinna pendamping hidup.
"Ya, Alhamdulilah, Ash. Jodoh itu udah kayak sekumpulan tempe. Nggak ada yang tahu."
Azzam yang duduk di sebelah Ashraf tentu saja langsung mendengkus setelah mendengar sahutan Rayhan. Kenapa sepupunya itu susah sekali serius setiap di ajak berbicara. Hal ini juga yang menyebabkan mereka sangsi kenapa pria seperti Rayhan bisa-bisanya jadi pengacara handal padahal kesehariannya selalu saja jayus seperti sekarang.
"Terus kira-kira kalian nikahnya kapan?" Azzam kembali bertanya.
"Untuk pastinya kapan, aku dan Alinna masih berunding. Kalau aku pribadi pengen secepatnya. Tapi, kalau dia dan keluarga besar Alqadrie punya perhitungan tanggal sendiri juga nggak apa-apa."
Ashraf mengangguk paham. Ia juga setuju dengan keputusan Rayhan memberikan kebebasan pada Alinna dan keluarganya untuk menentukan tanggal pernikahan. Yang penting sudah ada kesepakatan dari dua belah pihak.
"Kalau butuh apa-apa, kabarin aja. Aku siap bantu kamu apa pun itu."
"Yang Ashraf omongin itu benar, Ray," sambung Azzam. "Kalau butuh apa-apa, info aja ke kita berdua."
"Thanks." Rayhan mengangguk. "Kalau begitu, sekalian modalin pernikahan aku ya, Zam."
Azzam tentu saja langsung melotot. Kenapa sepupunya itu sudah di kasih hati malah minta jantung.
.
.
(Bersambung)