3. Mencuri Hati

2416 Words
"Ajari aku perkara apa pun. Asal jangan tentang bagaimana aku harus hidup tanpamu." ----- Sore ini, Rayhan memacu mobil Range Rover hitam miliknya membelah jalanan kota Jakarta. Mengarahkan kuda besi itu untuk melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah rumah di salah satu kompleks elit yang ada di kawasan Jakarta Selatan. Sesampainya di sana, Rayhan langsung memarkirkan mobilnya dengan rapi di pelataran rumah. Melenggang santai menuju pintu sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk. "Assalamualaikum ... " Pria itu mengucap salam penuh sopan kepada sosok wanita yang membukakan pintu. "Alinna, ada?" Wanita itu mengangguk. "Walaikumsalam, Kak Rayhan. Iya ini aku, Alinna," sahutnya. Rayhan langsung tertawa kecil. Raut wajahnya menyiratkan kalau ia tidak percaya dengan pengakuan wanita di depannya. "Ck, Alanna." Pria itu berdecak. "Bohong itu dosa, loh!" Wanita di depannya langsung menahan senyum. "Kok bohong, sih? Aku beneran Alinna." Cobanya terus meyakinkan. "Kalau Alinna, setiap ketemu aku biasanya langsung meluk." "Meluk?" ulang wanita itu. "Masa, sih?" "Bohong!" Terdengar suara lain mengiterupsi. Keduanya sama-sama menoleh ke sumber suara. "Yang bener bukan meluk, tapi nyubit kayak begini ... " Wanita yang baru saja datang menghampiri itu langsung mendaratkan cubitan gemas pada pinggang Rayhan sampai pria itu mengaduh keras. "Astagfirullah haladzim ... " ucapnya. "Sakit, Alinna!" Alinna balas menatap sinis. "Laginya, Kak Rayhan kalo ngomong sembarangan aja. Sejak kapan kalau kita ketemu, aku main peluk?" sangkalnya tidak terima. Rayhan tergelak mendengar protes yang Alinna layangkan. "Becanda kali, Na. Lagian, mau kalian kembar identik sekali pun, aku udah hapal mati ciri-ciri kamu itu gimana. Jadi nggak bakal ketukar sama Alanna." "Oh, ya?" giliran Alanna yang meragukan. "Emang gimana cara bedainnya?" tanya wanita itu penasaran. "Contoh kecil aja ya," tutur Rayhan. "Di ujung hidung Alinna itu ada tahi lalatnya sedangkan Alanna nggak ada. Terus, soal alis mata, sekilas sama padahal punya Alinna jauh lebih tipis dari pada Alanna. Masa kalian berdua nggak sadar sama perbedaan itu?" Alanna tersenyum takjub. Ia tidak menyangka kalau Rayhan sampai memperhatikan hal sekecil itu. Benar yang pria itu katakan, sekilas penampilan fisik Alinna dan Alanna memang tidak ada perbedaan. Kalau tidak benar-benar mengenal, pasti sulit untuk membedakan. "Gila, sih. Sampe segitunya merhatiin," gumam Alanna. Rayhan mengangguk. "Kerjaannya pengacara kan begitu. Harus menyelidiki hal-hal kecil sekali pun." Alinna dan Alanna kompak mengangguk. "Eh, ini aku nggak dipersilahkan masuk? Masa dari tadi di suruh berdiri di depan pintu? Kalau kata orang tua zaman dulu, bisa jauh dari jodoh, nih," protes pria itu. Memang sedari sampai, kedua wanita kembar itu belum mempersilakannya untuk masuk. "Maaf ... " kata Alanna. "Ya udah masuk, Kak. Di dalam udah ada Kak Ashraf sama Kak Chava juga." Rayhan melirik ke arah Alinna lalu mengangguk. Mengekori kedua wanita itu untuk masuk dan bergabung dengan anggota keluarga lainnya. Sudah lama tidak berkumpul, Chava berinisiatif mengadakan acara makan malam bersama di rumah orang tuanya. Sedang Alinna sendiri memang sengaja mengundang Rayhan agar acara tersebut semakin meriah. Semua orang tahu kalau pria yang terkenal dengan hobinya menggombal itu paling pintar mencairkan suasana. "Assalamualaikum, Umi Karin." Rayhan menyapa penuh sopan sambil bersalaman lalu mencium punggung tangan Nyonya Karin dengan takzim. Sapaan Rayhan yang sengaja memanggil 'Umi' pada Nyonya Karin tentu saja membuat siapa pun yang berada di sana keheranan. Tidak terkecuali Chava dan Ashraf. "Umi ... umi ... sejak kapan kamu jadi anak Umiku?" seloroh Chava penuh selidik. Rayhan langsung terkekeh pelan. "Santai aja. Ini tuh latihan, Chava. Kan bentar lagi aku bakalan jadi adik iparmu." Chava langsung mendengkus. Sudah bersiap untuk melayangkan sanggahan. Sejak kapan dirinya tidak berdebat kalau bertemu Rayhan. "Hihh, percaya diri banget. Emang yakin Alinna bakal terima kamu? Rayhan refleks melirik Alinna yang sudah duduk bersebelahan dengan ibunya. "Yakin lah. Udah aku doain tiap sepertiga malam supaya Allah luluhin hati Alinna buatku." Semua orang kompak tersenyum mendengar jawaban Rayhan yang terkesan bercanda. Berbeda dengan Alinna yang malah terdiam. Ucapan pria itu berhasil mengusik hatinya. "Ya udah ... " kata Ashraf yang sedari tadi sibuk menggendong baby Ciarra. "Udah magrib, mending kita sholat maghrib berjamaah dulu." Gegas semuanya menuju musholla yang letaknya bersebelahan dengan ruang keluarga. Ashraf sendiri selesai mengambil air wudhu langsung bersiap-siap untuk memimpin sholat. Namun, belum lagi Ashraf mengucap takbir, Rayhan yang berdiri tepat di belakangnya langsung menginterupsi. "Ash, biar aku aja yang jadi imam sholatnya." Ashraf mengangguk lalu mempersilahkan Rayhan untuk maju ke shaf depan khusus imam. Tanpa canggung keturunan Elhaq paling bungsu itu memimpin sholat. Dengan penuh khusyuk pria itu mengumandangkan Adzan. Alunan merdu ayat-ayat suci Al-quran yang ia lafadz-kan dari semenjak takbir hingga salam membuat siapa pun yang mendengar ikut terkesima termasuk Alinna. "Allahumma innii as-alukal ‘aafiyata fiddunyaa wal aakhirati. Allaahumma as-alukal ‘afwa wal ‘aafiyata fii diinii wa dunyaa wa ahlii wamaa lii. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu sehal wal ‘afiyat di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu maaf dan sehat wal ‘afiyat pada agamaku, dan duniaku dan keluargaku, dan harta bendaku.” Semua orang turut meng-Aminkan doa-doa yang Rayhan panjatkan. "Rabbaanna hab lanaa min azwaajinaa wa zurriyyatinaa qurrota a’yun. Rabbbi, inni lima anzalta ilayya min khairin faqir. wallazina yaquluna rabbana hab lana min azwajina wa zurriyyatina qurrata a'yuniw waj'alna lil-muttaqina imama. Robbi hablii milladunka zaujatan thoyyibah akhtubuhaa wa atazawwaju biha watakunu shoohibatan lii fiddiini waddunyaa wal aakhiroh." Artinya : Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan dari kalangan kami sebagai penenang hati. Ya Tuhan kami, sungguh aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku. Anugerahkan lah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Berikanlah kepadaku istri yang terbaik dari sisi-Mu, istri yang aku lamar dan nikahi dan istri yang menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia dan akhirat. Selesai sholat dan bersalaman, Chava langsung melirik tajam ke arah Rayhan. Menghampiri lalu menghujam banyak pertanyaan. "Panjang amat doa yang kamu baca. Emang minta apa aja sih sama Allah?" tanya wanita itu penasaran. Rayhan menggelengkan kepalanya penuh yakin. "Minta semuanya," sahut pria itu santai. Chava yang tidak puas dengan jawaban Rayhan langsung menoleh ke arah suaminya. "Ash, kamu tau doa yang terakhir dibaca Rayhan, apaan?" Ashraf mengangguk. "Tau lah. Doa minta di dekatkan jodoh. Minta dikasih istri yang sholeha." "Ya Allah ... " Chava refleks berseru. "Bisa-bisanya kamu berdoa gitu di depan Alinna." "Emangnya kenapa?" Rayhan mendelik lalu ikut melirik ke arah wanita yang sedang dibicarakan. "Kan biar dia sekalian dengar kalau aku itu serius alias nggak main-main. Lagian, sengaja dibacain di sini biar doanya di Amin-kan banyak orang. Biar cepat juga terkabulnya." "Dasar licik," tuduh Chava. "Bukan licik ... " Rayhan langsung menyanggah. "Ini tuh namanya kreatif." Ashraf dan Nyonya Karin yang cuma mendengarkan hanya geleng-geleng kepala. Sementara Alinna dan Alanna langsung bangkit. Kedua saudara kembar itu langsung bergegas menuju ruang makan. Mempersiapkan hidangan untuk disantap bersama. "Di makan nak Rayhan," tawar Karin ketika mereka semua sudah duduk bersama di ruang makan. "Ini semua Alinna yang masak." Rayhan langsung mengangguk dengan sopan. "Iya, Umi. Ini Rayhan coba satu-satu." Alinna langsung sigap membantu mengambilkan satu per satu lauk. Sementara Chava sedari tadi dengan sengaja memperhatikan gerak gerik adik dan iparnya itu semakin gemas sampai menegur. "Aji mumpung banget ini Rayhan dilayani sama Alinna." Pria itu langsung tertawa. "Anggap aja Alinna lagi magang jadi istri. Jadi, kalau nanti udah nikah nggak kaget lagi." Alinna langsung melirik. "Udah kayak yang aku bakal setuju aja nikah sama kak Rayhan." Rayhan langsung menyahut. "Percaya diri itu penting, Alinna. Lagi pula, Allah lebih suka umatnya yang selalu berprasangka baik pada nasib dan takdirnya." Pria itu kemudian melarikan pandangannya pada Nyonya Karin yang sedang menyuap makanan. "Umi, kalau Rayhan lamar Alinna, kira-kira diterima nggak?" Alinna langsung melotot. Ia memang belum menceritakan sama sekali perihal pria itu yang mengajaknya menikah pada sang Ibu. "Ya, kalau Alinna nya mau, kenapa nggak?" Karin menjawab dengan diplomatis. Lagi pula, ia memang bukan tipe orang tua yang mengharuskan anak-anaknya memiliki calon suami dengan syarat tertentu. "Itu artinya Umi setuju-setuju aja, kan?" Rayhan kembali memastikan. Karin mengangguk. "Yang penting calon suaminya Alinna seiman, bertanggung jawab dan yang pasti bisa memuliakan wanita. Seperti Ashraf, contohnya." Rayhan mengangguk angguk sambil tersenyum. "Alhamdulilah, artinya Umi udah kasih lampu hijau, ya?" Pria itu kembali melirik Alinna yang memang duduk bersebelahan dengan Ibunya. "Itu artinya, tinggal tunggu jawaban dari Alinna." Keluarga besar Al-qadrie kembali melanjutkan ritual makan malam bersama. Semuanya mereka bahas di atas meja makan. Dari candaan sampai hal serius sekali pun. Hingga tanpa terasa, hari semakin malam. Tiba waktunya Rayhan untuk berpamitan. "Aku pulang dulu, Ash. Kalo telat dikit, Umi suka galak telpon nggak berhenti-henti. Ashraf langsung tertawa. "Ya udah hati-hati di jalan." Setelah berpamitan juga pada Nyonya Karin, Chava dan Alanna, giliran Rayhan berpamitan pada Alinna. "Aku pulang dulu. Nanti aku kabarin kalau sampai rumah." Alinna mengangguk pelan. Belum sempat menyahut, Rayhan kembali berkata-kata. "Tapi kalau aku chat, tolong dibalas. Jangan di anggurin aja seperti biasanya. Masa iya, aku chat 'Assalamualaikum' dulu biar kamu dosa kalau nggak kasih balasan?" Chava yang berdiri tak jauh dari Rayhan refleks mencubit lengan pria itu. "Dasar gila!" "Loh, bener, kan? Berdosalah seorang muslim yang ketika diucapkan salam tidak menyahut," balas Rayhan dengan gaya jumawa. "Kalau dengan kirim tulisan Assalamualaikum bikin Alinna balas semua chatku, nggak apa-apa, aku rela ngucapin salam tiap waktu." Chava merotasi matanya jengah. Memang tidak mudah beradu argumen dengan Rayhan. Di samping cape, sudah dipastikan akan kalah. "Udah, pulang sana. Banyakan ngomong jadi nggak pulang-pulang." **** Ashraf dan Chava tampak masih duduk santai sembari menonton serial drama di ruang keluarga. Mereka berdua malam ini memang memutuskan untuk menginap di rumah keluarga Chava. Semenjak berbaikan dengan Nyonya Karin dan Alanna, Chava memang lebih sering berkunjung ke rumah masa kecilnya itu. Tak jarang ia menghabiskan waktu untuk sekedar mampir atau makan bersama. Alinna, yang baru saja selesai merapikan dapur ikut menyusul duduk di ruang keluarga. Sambil meregangkan otot-otot kakinya, wanita itu bersuara. "Kak, menurut kakak, aku harus gimana?" Ashraf dan Chava yang awalnya sedang menonton, refleks menoleh ke arah Alinna. "Gimana apanya?" "Soal lamaran Kak Rayhan. Dia nanya terus." Chava langsung tersenyum. "Ya kamunya gimana? Tanya dong hati kamu," saran Chava. "Tapi sebelumnya kakak mau tanya serius, sebenarnya kamu suka nggak sama Rayhan?" Alinna terdiam sejenak. Menimbang-nimbang apakah ia sebenarnya juga suka pada pria yang hobi menggombal itu. "Aku nggak tau, kak." Wanita itu menggeleng lemah. "Aku bingung sama perasaan aku sendiri." Bukannya Chava, tapi Ashraf yang menanggapi jawaban Alinna. "Memangnya apa yang buat kamu sampai detik ini bingung dan ragu dengan Rayhan?" "Kayak masih ada yang ngeganjal di hati aku, Kak." Ashraf mengulas senyum. Pernah mendengar dari cerita Chava soal Alinna yang memiliki trauma masa lalu, membuat pria itu berpikir maklum. Wanita adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sulit untuk urusan melupakan rasa sakit. Mereka pada dasarnya memang selalu berpegang teguh pada perasaan. Berbanding terbalik dengan pria yang selalu mengandalkan logika. "Kalau emang masih ragu, coba minta petunjuk sama Allah. Tapi sebagai Kakak, mungkin aku bisa kasih kamu sedikit saran," usul pria bermata cokelat itu. "Pilih pria itu berdasarkan tiga kriteria. Satu, lihat hubungan pria itu dengan Allah, terutama untuk urusan Sholat. Kalau sama peciptanya saja ia lalai, apalagi sama kamu. Kedua, lihat caranya memperlakukan wanita terutama Ibu dan Saudari perempuannya. Kalau ia memuliakan keduanya, insya Allah dia akan menjagamu sampai akhir hayat. Dan yang terakhir, lihat dari sikapnya apakah pria itu bertanggung jawab atau tidak." Alinna mengangguk paham. "Kalau gitu, Alinna harus memantapkan hati terlebih dahulu. Semoga apa yang dipilih nanti memang yang terbaik." Selepas meminta pendapat pada Chava dan Ashraf, wanita cantik itu langsung beranjak pergi ke kamar. Di sana, ia masih saja memikirkan kata-kata Ashraf yang memang terngiang-ngiang di kepala. Alinna kembali mengingat-ingat segala sesuatu yang berhubungan dengan Rayhan. Dari hal kecil sampai yang terbesar sekali pun. Mencoba untuk mencari celah cacat yang terdapat pada pria itu. "Kalo urusan sholat dan agama, Rayhan kayaknya nggak perlu di ragukan," wanita itu bergumam pelan. "Untuk urusan menghargai perempuan, semua keluarga Elhaq juga menghargai perempuan. Urusan tanggung jawab, Rayhan juga sepertinya tipikal orang yang bertanggung jawab. Lalu, apalagi yang harus aku ragukan?" Sibuk bergulat batin sendiri, Alinna tidak menyadari kalau handphone-nya sedari tadi berbunyi. Lama benda pintar itu bersuara sampai akhirnya mati sendiri barulah ia terdasar. Melirik pada layar hanphone, ada nama Rayhan yang muncul di sana. Pria itu berulang kali melakukan panggilan yang tidak satu pun Alinna angkat. Merasa bersalah, ia bermaksud untuk balik menghubungi. Tapi, belum sempat panggilan itu tersambung, masuk sebuah pesan singkat dari orang yang sama. Rayhan : Ada marmut makan kedondong, Alinna imut, balas chat-nya dong. Alinna tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Bisa-bisanya Tuhan mempertemukannya dengan pria selucu Rayhan. Ia akui, kehadiran pria itu belakangan ini memberikan begitu banyak warna. Tidak pernah sekali pun Alinna tidak tertawa bila berada di sampingnya. Berjauhan pun, pria itu tidak kehabisan akal untuk menggodanya. Alinna : Iya, apaan? Udah malam nggak usah telpon-telpon. Rayhan : Makan belalang, sejuta rasa. Ntar aku ngilang, baru kamu tau rasa. Alinna geleng-geleng kepala. Sambil mengetik balasan, wanita itu tidak hetinya tertawa. Alinna : Apaan, sih, kak! Jayus amat. Rayhan : Ya udah, aku mau tanya aja nggak jadi ngasih pantun. Alinna : Tanya apa? Rayhan : ABCD itu apa? Alinna : Huruf, kan? Rayhan : Kalau 1234 itu apa? Alinna : Angka. Rayhan : Kalau 1 tambah 1 hasilnya berapa? Alinna : Ihh nggak penting banget pertanyaannya. Rayhan : Ah, tinggal jawab aja kenapa, sih. Alinna : Oke, 1 tambah 1 ya hasilnya 2. Rayhan : Kalau aku tambah kamu, jadinya apa? Alinna : Astagfirullah. Menerima balasan seperti itu, Rayhan langsung menghubungi Alinna. Sambil tertawa pria itu berkata-kata dalam sambungan telponnya, "Kok astagfirullah? Kayak nggak rela gitu jadi pasangan aku." Alinna ikut terkikik geli. "Ya kakak, nggak penting banget tanyanya." "Ini penting Alinna. Kan aku memperjelas hubungan kita," sahutnya lemah lembut. "Iya .. iya," balas Alinna cuek. "Kenapa emang telpon-telpon? Tadi lagi beberes jadi nggak tau kalau kak Rayhan telpon." Pria di seberang sana menghela napas pelan sebelumnya akhirnya menjawab. "Nggak, mau ngasih tau, lusa Umi aku ngundang kamu makan malam bareng di rumahnya. Kamu bisa, kan?" Alinna berpikir sejenak. Bukan tidak ingin, hanya memastikan kembali apakah lusa ia memiliki jadwal kosong. "Insya Allah bisa, kak." "Oke, nanti aku jemput kamu setelah Ashar aja." "Emang makan malam dalam rangka apa?" wanita itu coba memastikan. "Makan malam dalam rangka mengenal lebih jauh calon menantu." Rayhan tertawa setelahnya. "Dasar Jayus. Ya udah, pokoknya sampai jumpa lusa. Nanti di kabarin kalau udah siap untuk dijemput." Selesai berbicara, Alinna kembali menaruh handphone-nya di atas nakas. Mulai saat ini ia bertekad untuk segera memantapkan diri keputusan apa yang harus ia ambil. Apakah menerima Rayhan atau mungkin malah sebaliknya. . . (Bersambung)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD