Mau apa?

1362 Words
“Nggak mungkin lah Auris cemburu sama dia, Opa!” “Yakin?” goda Opa Reiga pada cucunya. “Kenapa kesal kalau tidak cemburu?” Auris melepaskan pelukan pada Opanya agar bisa duduk dengan benar. Dia akan menjelaskan alasannya sekesal itu dengan Rajata. “Raja itu suka marah nggak jelas sama Auris padahal tidak berbuat salah dengannya.” “Contohnya?” “Kayak waktu ada acara amal di panti milik Oma. Raja marah gara-gara Auris nggak pakai jaket. Dia bilang kalau udara sedang dingin malam itu.” “Memang benar ‘kan jika malam hari udara akan dingin. Apalagi acara yang dibuat Oma dan Eyang berada di luar ruangan. Jadi, wajar saja kalau Rajata menegur Kakak karena tidak memakai jaket.” “Ih ... Opa enggak tahu sih! Caranya menegur Auris kayak orang marah. Harusnya bisa secara baik-baik,” jawab Auris dengan wajah cemberut. “Terus apa lagi keanehan Rajata yang membuat Kakak kesal?” Opa Reiga ingin mengetahui semua kelakuan Laki-Laki yang berani meminta cucunya secara langsung padanya. “Banyak, Opa. Contohnya lagi, tadi sore saat kami ikut rapat bersama anggota Mapala. Raja ngomel karena aku berkenalan dengan menjabat tangan teman baru. Bukannya semua orang jika berkenalan akan berjabat tangan?” “Hmmm ...” Opa Reiga menjawab dengan terkekeh. “Terus?” “Raja tuh langsung tarik tangan Auris ketika ingin membalas ajakan kenalan dari sesama anggota baru. Dia justru yang menggantikan untuk berjabat tangan. Nyebelin banget kan, Opa?!” “Rajata tidak kasih ijin Kakak berjabat tangan dengan semua orang?” Auris menggelengkan kepalanya, bibirnya masih mencebik terlihat sangat menggemaskan. “Hanya teman Laki-Laki saja. Lagian anggota Perempuan jumlahnya sedikit dan aku sudah berkenalan sebelum rapat dimulai.” Opa Reiga membelai lembut kepala cucunya. “Raja sedang melindungi Kakak, makanya bersikap menyebalkan,” terangnya. “Memangnya kenapa Auris harus dilindungi? Memangnya aku ini spesies langka?” gadis itu memang seringkali merusak momen ketika sedang diberi nasehat. Bukannya membantah tapi dia akan bertanya hal-hal yang membuat lawan bicaranya tertawa. “Memang langka. Hanya ada satu di dunia karena pabriknya sudah tutup.” “Opa suka jahil!” serunya. “Masih ada Aurell yang satu pabrik sama Auris.” “Meskipun kalian satu pabrik perbedaannya sangat jauh sekali.” Opa Reiga sedang mengingat-ingat kelakuan bar-bar Auris dan keanggunan Aurell sangat bertolak belakang sekali. “Hah ... yang paling penting kami berdua kesayangan Opa. Iya ‘kan?” “Tentu saja, Sayang,” jawab Opa Reiga. “Kembali ke topik soal Rajata. Lalu, apa yang akan Kakak lakukan padanya?” “Auris nggak akan tinggal diam jika dia marah-marah lagi.” “Mau diapain itu si Raja? Jangan macam-macam, Kak. Kalau ketahuan sama Daddy bisa dapat hukuman.” “Opa tenang saja. Auris nggak akan melakukan kenakalan berat kok hanya ringan-ringan saja.” Saat keduanya masih asik membicarakan Rajata. Pintu kamar Auris terbuka, Oma Hani masuk untuk memberi kabar jika Laki-Laki yang dibicarakan sejak tadi datang berkunjung. Dia juga mengatakan, Rajata datang membawa banyak sekali makanan. Penampilannya juga rapi persis orang mau apel ke rumah pacar. “Tidak ganti baju dulu?” tanya Oma Hani pada cucunya. “Buat apa, Oma? Auris sedang pakai piyama panjang. Cukup sopan untuk menerima tamu yang nggak penting.” “Sayang ...” Oma Hani menegur cucunya. “Meskipun belum suka dengan Raja tetap saja tidak boleh berkata seperti itu.” “Bukannya belum, Oma. Tapi nggak akan suka!” “Nanti kalau tiba-tiba kalian berjodoh gimana?” goda Oma Hani. Auris memeluk lengannya dengan merengek manja. Keduanya sedang berada di lift menuju ke ruang tamu. Sementara, Opa Reiga mengangkat telepon lebih dulu karena Sekretarisnya tiba-tiba saja menelepon. “Oma, nggak ikut temuin Rajata?” “Nanti Oma nyusul setelah meminta Bibik menyiapkan minum dan camilan.” Auris tidak mau melepaskan pelukannya pada lengan Oma Hani. “Ngapain sih di kasih minum sama camilan? Makin betah dia nggak mau pulang nanti.” “Kamu ini ...” Oma Hani, mencium sebelah pipi Auris sebelum masuk ke dapur. Dia meminta cucunya agar menemui tamunya yang sudah menunggu sejak tadi. Hubungan keluarga Al-Fathan dengan keluarga Oma Rajata sangat dekat membuat Oma Hani tidak khawatir jika cucunya di dekati pemuda itu. “Mau apa ke sini? ganggu orang istirahat saja!” Auris benar-benar memanfaatkan kesempatan bicara ketus pada Raja ketika Oma dan Opanya sedang tidak bersamanya. “Mampir anterin oleh-oleh.” “Owh,” Ucap Auris. Gadis itu langsung duduk tepat di depan Rajata. “Oleh-oleh dari orang lain kamu bawa ke sini? Cckk, luar biasa sekali!” Kedua alis Raja terangkat ke atas. Dia tidak mengerti maksud dari perkataan Auris. “Oma dan Opa baru saja pulang dari Swiss. Beliau membelikan oleh-oleh untuk Oma Hani dan Opa Reiga. Dan ada untuk mu juga,” terangnya. Auris masih gengsi menerima oleh-oleh yang dibelikan oleh Oma Raja. Dia malu karena menuduh Raja memberikan oleh-oleh dari orang tua Ciara untuk keluarganya. “Terus kenapa masih di sini? bukannya oleh-oleh sudah sampai dengan selamat ke alamat tujuan.” “Oma Hani minta aku buat tunggu sebentar. Mana mungkin aku pergi begitu saja?” Auris memutar bola mata. Semua yang dikatakan oleh Rajata tidak ada yang dipercaya olehnya. “Oma tadi hanya basa-basi saja. Harusnya kamu sadar diri, ini sudah jam berapa malah datang bertamu?!” Rajata menatap ke arah Auris yang kini duduk di depannya dengan lekat. Hingga, Oma datang menyusul bersama Bibik dengan membawa minuman dan camilan. “Silahkan diminum, Nak Raja,” ucap Oma dengan ramahnya. “Terima kasih, Oma. Maaf malam-malam Raja datang bertamu.” “Tidak masalah, Nak. Kami kebetulan belum tidur baru saja selesai makan malam.” Oma Hani melihat ke arah cucunya yang sibuk bermain ponsel di saat sedang menerima tamu. “Sayang, tidak sopan bermain ponsel di saat ada tamu,” tegurnya. “Maaf, Oma. Tapi, Auris sedang membalas pesan dari Kak Bimo.” “Bimo?” Auris mengangguk. “Senior di Mapala. Barusan tanya apa Auris bersedia membawa 2 tenda? Soalnya ada salah satu teman Perempuan yang nggak punya.” Gadis itu meletakkan ponselnya pada meja setelah membalas pesan dari senior di Mapala. Tadi sore dia memang menawarkan diri akan membawa 2 tenda jika dibutuhkan dari pada menyewa. Opa Reiga sudah menyusul ke ruang keluarga. Kini dia sedang mengajak Rajata berbincang mengenai pembangunan gedung rumah sakit. Auris tidak mengerti hanya diam menyimak. Dia juga diam-diam memperhatikan cara Rajata menjawab semua pertanyaan dari Opanya. Meskipun, masih MABA di Fakultas Teknik. Dia tahu banyak soal tahapan pembangunan gedung sejak awal dimulai. “Kak, antar Raja sampai depan. Opa masih ada pekerjaan, sementara Oma sepertinya sudah istirahat di kamar,” Titah Opa Reiga. Tanpa menolak Auris mengangguk dengan patuh. Tidak mungkin dia berani membantah perintah yang diberikan oleh Tetua di keluarga Al-Fathan. Di Keluarganya sopan santun adalah hal yang paling wajib dijunjung tinggi. Maka dari itu, sejak kecil Ace dan Nala sudah mengajarkan etika dasar dan menjadi contoh yang baik pada kedua anaknya yaitu, Auris dan Aurell. “Masih belum dipakai gelangnya?” “Sudah malam lebih baik kamu cepetan pulang.” Auris melembutkan nada suaranya. Dia sudah lelah meladeni Rajata hari ini. “Mana gelangnya?” “Ada di rumah.” “Rumah siapa?” “Rumah Opa.” “Buruan ambil.” Auris menatap sebal pada Rajata namun tetap menuruti perintahnya untuk mengambil gelang. Entah dimana gadis itu menaruh gelang pemberian Rajata. Dia keluar dari rumah Opa Reiga hanya berselang dua menit setelah masuk. “Nih ...” ucapnya dengan memberikan gelang. “Kotaknya ketinggalan di rumah aku. Besok baru akan aku ambil.” Rajata mengangkat sebelah alisnya. “Kamu sudah memakai gelangnya?” Wajah Auris berubah panik namun hanya sesaat. Setelah itu, dia menatap Rajata dengan galak. “Memangnya kamu tadi nggak lihat aku pakai gelang apa tidak?!” “Bisa saja kamu pakai di tempat tersembunyi.” “Ccckkk, jangan terlalu berharap menjadi orang paling istimewa dalam hidupku.” Bukannya marah Rajata justru tersenyum pada Auris. Dia mengambil sebelah tangan kanan Auris untuk di pakaikan gelang pemberiannya. Gadis itu menolak dan ingin melepas gelang yang kini ada di pergelangan tangannya. Tiba-tiba Rajata melakukan hal yang membuat Auris kaget hingga tidak bisa berkata-kata. “Gelang ini tidak boleh lepas dari pergelangan tangan kamu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD