Tidak Ingin Egois

1074 Words
Kirana tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam lemari, Kirana melakukan semuanya sendiri, ia membersihkan rumah ini sendiri, memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan melipat sendiri. Semua di lakukan Kirana sendirian tanpa ada bantuan siapa pun, bahkan ia masih sering ke rumah ibu mertuanya untuk membantu, walaupun ada ART di sana. “Kenapa kamu tidak menikah saja dengan Siska?” Pertanyaan itu muncul ketika Anka masuk ke kamar. “Aku baru masuk ke kamar dan kamu sudah melempar pertanyaan itu?” “Aku mendengar kamu berbincang dengan Ibu dan Mbak Dania, kenapa tidak ikuti saja permintaan mereka?” “Aku mau ikuti permintaan mereka atau tidak, itu bukan urusan kamu.” “Aku akan melahirkan anakmu dengan sehat, aku akan menjaganya sampai aku melahirkan, jadi tak masalah jika kamu mau mencari kebahagiaanmu,” lanjut Kirana. “Kamu tidak berhak atas apa pun itu, aku mau bahagia atau tidak, aku mau menikahi Siska atau tidak, itu semua bukan urusanmu. Urus urusanmu sendiri,” kata Anka melanjutkan lalu duduk di tepi ranjang. “Sudah selesai? Kalau sudah selesai, kamu keluar saja dan tidur lah di kamar sebelah. Malam ini, kamu tidak perlu tidur di sini, bikin pusing saja.” Kirana sudah terbiasa dengan kata-kata suaminya, ia terbiasa sekali sehingga mulai tak perduli dan mulai menjadi keras, sekeras batu. Kirana lalu melangkah keluar dari kamar suaminya, lalu melangkah ke kamar tamu. Kirana duduk di tepi ranjang dan mengelus dadanya. *** Anka keluar dari kamar dan melihat istrinya itu tengah menyiapkan sarapan, menata makanan di atas meja, sesekali Kirana memegang meja dapur untuk beristirahat sejenak lalu melanjutkan pekerjaannya. Anka menggeleng kuat, ia tidak harus perduli. “Mas, kamu sudah bangun? Ayo sarapan,” ajak Anka. “Kamu sarapan saja sendiri, aku mau pergi bekerja,” jawab Anka membuat Kirana kembali menelan pahitnya jawaban suaminya. “Mas, apa ada yang salah? Kenapa kamu tidak mau memakan masakanku?” tanya Kirana memandang suaminya yang saat ini tengah memasang sepatunya. “Aku tidak memasukkan racun ke dalam makanan itu, jadi kamu tidak perlu khawatir.” “Aku memang tidak akan menyukai makananmu, cepat lahirkan anak yang kamu kandung lalu kita akhiri sampai di sini,” kata Anka membuat hati Kirana menjadi lebih sakit dari sebelumnya. Kirana selalu berusaha meraih hati Anka, namun Anka enggan melihat perjuangan Kirana. Anka lalu melangkah keluar dari rumah, lalu masuk ke mobilnya dan meninggalkan rumah, Kirana lalu melangkah untuk melihat keluar pagar, ia mau melihat suaminya apakah mampir ke rumah Wahida atau tidak. Dan, ternyata dugaan Kirana benar, Anka mampir ke rumah ibunya dan di sambut oleh Siska yang mengenakan daster. Artinya Siska menginap di rumah Wahida. Kirana berusaha menyuruh hatinya untuk menerima, ia tidak boleh egois, ia yang salah karena tiba-tiba saja masuk ke hidup Anka yang baik-baik saja awalnya, lalu membuat Siska patah hati. Jika Siska berusaha merebut Anka, itu artinya Siska sadar siapa pemilik Anka sejak awal. Melihat Anka dan Siska masuk ke rumah, Kirana pun segera masuk ke rumah, ia duduk di depan meja makan dengan airmata menggenang. Kirana terus menyuruh hatinya untuk bersabar, Kirana juga selalu menyuruh dirinya untuk tidak egois dan tahu posisinya. Kirana melihat makanan yang ia masak masih utuh. Kasihan sekali makanan ini, mubazir. Kirana bangkit dari duduknya dan melangkah menuju lemari, lalu mengambil wadah bening yang ada di dalam lemari, lalu membawanya ke meja makan. Ia segera mengisi di setiap tempat bening yang ada, tak lupa juga menaruh telur dan selada di atas nasi goreng buatannya itu. Kirana tidak boleh membuang makanan hari ini dan seterusnya, hari ini adalah hari terakhir ia akan memasak, ia tak akan lagi masak besok, percuma saja karena suaminya tidak pernah mau menyentuhnya. *** “Aduh, wajah Siska langsung bahagia ya pas lihat Anka datang,” goda Dania. “Hehe. Iya, Mbak, soalnya dari tadi udah aku tungguin,” jawab Siska duduk di sebelah Anka. ART lalu membawa lauk terakhir ke atas meja makan. “Ayo sarapan,” ajak Dania. “Ibu kenapa? Ibu tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Siska menyentuh lengan Wahida. “Ibu tidak apa-apa,” jawab Wahida menggeleng. “Ibu ini memikirkan apa sih? Dari kemarin aku lihat, Ibu gak semangat sekali Siska di sini,” tanya Siska lagi menatap Wahida. “Ibu hanya gak enak badan, Siska. Ibu lagi panas dingin,” jawab Wahida. “Jangan perdulikan Ibu, kalau kamu mau tetap di sini, silahkan saja. Ibu ga akan melarangmu.” “Kamu dengar sendiri kan? Kalau Ibu itu suka kamu di sini,” kata Dania. “Iya, Mbak,” angguk Siska. “Sekarang ayo kita sarapan,” ajak Dania. Siska mengangguk dan menoleh sesaat melihat Anka, ia meraih piring Anka dan memuat sarapan ke piringnya, setelah itu mengembalikannya pada Anka. “Makan yang banyak ya, Mas.” Anka menganggukkan kepala, lalu mencicipi sarapan yang sudah di siapkan ART di rumah ini. Anka memperkerjakan ART di rumah ibunya, sementara pada istrinya, ia menyerahkan semuanya. Tidak ada siapa pun yang membantu Kirana. “Kiran masak lagi, Anka?” tanya Wahida menatap putranya itu. “Iya, Bu,” jawab Anka. “Kamu gak memakannya lagi?” Anka menggeleng. “Apaan sih, Bu, kok pertanyaannya begitu?” geleng Dania mulai kesal pada ibunya, karena mulai merusak suasana. “Anka, Ibu beritahu ya, Nak, selagi Ibu masih hidup, membuang makanan itu dosa, istrimu sudah susah payah memasak untuk kamu, kenapa kamu gak memakannya walaupun sedikit? Walaupun kamu gak ingin, tapi setidaknya hargai saja, itu lebih baik,” kata Wahida membuat Dania menyikut lengan ibunya. “Kamu sudah berbulan-bulan begini loh, coba pikirkan sudah berapa banyak makanan yang terbuang karena kamu gak memakannya?” “Bu, udahlah, kalau Anka suka makan di sini ya udah, memangnya salah kalau Anka makan di sini?” tanya Dania menatap ibunya, sementara ekspresi wajah Siska berubah. Tadinya ia senang dan bahagia, tapi mendengar Wahida mengatakan itu, moodnya langsung berubah. “Siapa juga suruh dia buat masak, aku sudah katakan kepadanya kalau dia tidak perlu masak, tapi selalu saja,” geleng Anka. “Karena dia ingin kamu mencicipi makanannya,” jawab Wahida. “Sudahlah, Bu, jangan urus urusan Anka, biarkan saja dia mengurusnya sendiri.” Dania menatap ibunya. Dania merasa ibunya itu merusak suasana. Ibunya itu diam saja dan tidak perduli dengan larangan Dania untuk tidak merusak suasana, Wahida mulai sadar bahwa yang ia lakukan selama ini salah, entah mengapa ia mulai sayang kepada Kirana. Ia merasa ibah pada menantunya itu. "Coba saja kamu cicipi makanan yang dimasak Kiran, enak sekali, Ibu aja suka," kata Wahida melanjutkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD