Pria Bernama Hanan

1237 Words
Siska menghampiri Anka dan duduk di sebelah Anka, malam menunjukkan pukul 10, tapi Anka masih di sini di rumah ibunya, sepulang kerja tadi Anka langsung kemari, ia tak punya tenaga untuk meladeni Kirana, apalagi jika Kirana sudah berbicara, rasa ibah di hatinya cukup menyesakkan. Jadi, lebih baik dia di sini, dan tak ia sangka Siska masih di sini. “Mas, aku temani ya,” kata Siska menyandarkan kepalanya di bahu pria yang ia sukai itu. Anka tidak mengatakan apa pun, dan kepala Siska langsung ada di bahunya, Anka tidak punya tenaga untuk meladeni Siska. Siska menyentuh paha Anka dengan telunjuknya dan menjalankan telunjuknya hingga ke bagian paling sensitif, namun Anka langsung menarik tangannya dan menoleh sesaat melihat Siska. “Jangan menggangguku,” kata Anka. “Mas, kamu tak mau?” tanya Siska. “Aku sedang tidak mood,” jawab Anka. “Kita belum pernah melakukannya. Kamu mau mencobanya?” tanya Siska menatap Anka dengan menggigit kecil bibirnya. “Aku bisa membuatmu lebih nyaman dan lebih tentram.” “Sudahlah, Siska. Kamu kenapa masih di sini?” tanya Anka. “Jangan terus ada di sini dan membuat Mbak Dania banyak berharap.” “Mas, kamu kenapa sih? Kan kamu sudah janji mau menikahiku.” “Siska, yang berjanji kepadamu itu adalah Mbak Dania, jadi kenapa kamu menuntut janji itu kepadaku?” “Kamu suka pada Kirana?” tanya Siska memandang Anka yang ekspresinya berubah, “Aku tidak menyukainya, namun selama dengannya, aku tidak mau menjalin hubungan dengan seseorang,” jawab Anka. “Jadi, jangan menggodaku, aku sedang tidak mood.” “Kamu tak mau menjalin hubungan dengan seseorang selama dengannya? Jadi, kamu mau setia hanya dengannya?” Siska menjadi kesal. “Dia sedang hamil anakku, dan aku tidak mau anakku kenapa-kenapa jika ayahnya berbuat seenaknya di luar sana, aku juga sedang menahan diri, jadi jangan menggodaku,” sambung Anka menatap Siska, tatapan yang penuh arti. Tatapan yang memaksa Siska untuk berhenti melakukan hal yang akan merugikan dirinya nanti. “Terus kenapa kamu masih di sini?” tanya Anka. “Aku di ajak Mbak Dania menginap di sini, jadi aku akan tetap di sini,” jawab Siska. “Ya sudah. Aku mau pulang,” kata Anka bangkit dari duduknya. “Anka, kamu tidak sadar apa yang Kirana lakukan kepada kita?” tanya Siska. “Bagaimanapun juga aku dan kamu hampir menikah jika bukan karena kehadiran Kirana. Kamu paham tidak?” “Kita di jodohkan, Siska. Selama ini, aku tidak pernah setuju menikah dengan siapa pun,” jawab Anka menggelengkan kepala. “Mau denganmu atau dengan orang lain.” *** Anka masuk ke kamarnya dan melihat Kirana berbaring dengan memunggungi pintu, Anka mendesah napas halus dan melangkah menuju kamar mandi, seharusnya Kirana tidur di kamar tamu, kenapa Kirana tidur di kamarnya? Anka tak perduli lagi dan langsung masuk ke kamar mandi, lalu mencuci mukanya dengan facial wash, setelah itu masuk ke kamar ganti untuk mengganti pakaiannya menjadi setelan piyama. Setelah berganti pakaian, Anka lalu melangkah menuju sofa, ia berbaring di sana dan melihat langit-langit kamar, di satu sisi ia masih punya hati nurani, namun di sisi lain ia membenci Kirana yang membuatnya seperti ini, tapi bonus yang ia dapatkan dari semua ini adalah Kirana hamil anaknya. Tak lama lagi dia menjadi seorang Ayah. *** Kirana tiba di rumah sakit tempatnya dulu bekerja, Kirana tersenyum melihat IGD yang ia lalui, dulu ia bertugas di sini dan setiap ada pasien yang datang, pasti Kirana yang akan langsung memeriksa kondisinya dan melaporkannya ke dokter senior. Ketika ia melangkah menuju ruangan dokter obgyn. Ia menjadi bahan tontonan semua orang yang ada di rumah sakit ini kecuali pasien. Semua perawat dan dokter jaga melihat ke arahnya dan berbisik. Namun, Kirana tidak perduli dengan semua itu. Kirana melangkahkan kakinya masuk ke ruang obgyn. Asisten dokter obgyn langsung mempersilahkannya masuk. “Dokter Kiran? Masya Allah. Apa kabar?” tanya Dokter Obgyn yang bertugas. “Selamat pagi, Dokter Yun,” jawab Kirana lalu duduk di hadapan Dayun—dokter spesialis kandungan. “Ayo berbaring di sini,” kata Dayun lalu mempersilahkan Kirana untuk berbaring. Setelah asisten Dayun menumpahkan gel ke perut Kirana, pemeriksaan pun di lakukan. Dayun terus melihat ke arah monitor yang menunjukkan perkembangan janin. “Usia kandungan sudah memasuki minggu ke 10, dan janin dokter Kirana tidak berkembang, dan jantungnya lemah,” kata Dayun menatap Kirana yang saat ini berbaring dan menatapnya. “Dok, tapi saya selama ini makan makanan bergizi, dan saya tepat waktu minum obat yang dokter resepkan.” “Semua itu tidak cukup, Dok. Seharusnya, janin akan berkembang jika kondisi ibunya baik-baik saja, tidak stress dan tak banyak pikiran. Walaupun makan makanan bergizi itu pun tidak akan menjamin, karena perasaan seorang Ibu itu lebih peka bagi janin dari apa pun.” Kirana terdiam, tatapannya sayu, kasihan sekali anaknya harus merasaan apa yang ia rasakan. “Dokter Kiran pasti tahu bahwa ini juga mempengaruhi,” sambung Dokter Dayun. Kirana menganggukkan kepala. “Ajak suami Dokter Kirana untuk berbicara santai dengan anak yang Dokter kandung, pasti akan membuat semuanya baik-baik saja, karena kehadiran Ayah dan Ibu, pasti akan membantu,” sambung Dokter Dayun membuat Kirana mengangguk. “Dan, berat janin dari pemeriksaan minggu lalu, tidak ada perkembangan sama sekali.” Setelah pemeriksaan, Kirana keluar dari ruang Obgyn, ia sudah memeriksa kondisinya dan kondisinya cukup menyedihkan. Ia memang terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, ia selalu memendam rasa sakit di dalam hati, mendongkol di dalam hati dan akhirnya terjadi lah hal seperti ini, anaknya tidak berkembang. Kirana menunduk seraya berjalan, namun langkahnya terhenti ketika menubruk d**a seseorang, Kirana mendongak dan melihat pria tampan yang saat ini tersenyum kepadanya, senyumannya cukup tampan. Kirana membalas senyuman pria itu. Senyuman tampan yang menenangkan. Kirana dan pria itu duduk berdampingan di taman, melihat banyak pasien dan keluarga mereka yang sedang berkunjung, Kirana tidak mengatakan apa pun dan masih diam saja, ia malu sekali bertemu pria tampan itu, yang tak lain tak bukan adalah seniornya di rumah sakit dan pria yang ia sukai, dan ia kagumi. Pria itu adalah Hanan, pria yang bekerja di rumah sakit ini sebagai dokter spesialis Bedah. "Apa kabar?" tanya Hanan menoleh menatap Kirana dan memberikan Kirana minuman hangat. "Aku baik-baik saja, Dokter bagaimana?" "Kamu ini, kenapa masih panggil dokter? Kita kan sudah sepakat untuk tak formal." Hanan melanjutkan membuat Kirana tersenyum mendengarkan. "Oh iya, aku baik-baik saja, tapi tidak baik-baik saja selama kamu tidak bekerja." "Maafkan aku," lirih Kirana. "Maaf untuk apa? Semua ini kesalahan, bukan?" tanya Hanan menatap Kirana yang masih menundukkan kepala. Kirana mengangguk. Dulu, kisahnya dan Hanan cukup terkenal di rumah sakit ini, setiap Kirana mendapatkan masalah di rumah sakit, yang siap membantunya dan memberikan dukungan besar adalah Hanan, hubungan tanpa status itu membuat Kirana dan Hanan semakin dekat perhatian Hanan dan dukungan Hanan membuat semua wanita di rumah sakit ini cemburu pada Kirana. Ketika Hanan mendengar bahwa masa coass Kirana yang tinggal sebentar lagi di tangguhkan, itu menjadi hal yang membuat Hanan langsung menemui presdir rumah sakit dan membela Kirana. Namun, keputusan rumah sakit yang bekerja sama dengan universitas tidak bisa lagi di ganggu gugat sehingga Hanan menyesal tak bisa membela Kirana dan menghentikan keputusan rumah sakit. Setiap hari yang Hanan inginkan adalah bertemu dengan Kirana, memberikan pelukan hangat kepada Kirana dan mengutarakan perasaannya, namun semua sudah terlambat, Kirana hamil dan sudah menikah, hatinya terluka dan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Kala itu, Hanan sudah janjian dengan Kirana akan bertemu di Bali, namun Hanan terlambat dan terjadi lah hal yang tidak di inginkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD