Irish berjalan tergesa-gesa di lorong kantor tempat Al bekerja, ia sudah beberapa kali menghubungi pria tersebut, tapi tetap saja tidak di angkat. Ia hanya ingin meminta penjelasan mengenai apa yang sebenarnya terjadi, acara pertunangan mereka akan di adakan malam ini. Sang ibu dan kakak iparnya sudah heboh di rumah, memamerkannya pada para tetangga dan bersiap untuk acara besar malam ini. Irish sudah menjelaskan semuanya, mengenai hubungannya dengan Al yang tak lebih dari seorang sahabat. Tapi mereka tetap saja ngeyel kalau mereka akan segera menikah. Ini semua berawal dari Santi yang pagi buta sudah memberitahu sang Mama mengenai rencana mereka datang ke rumah untuk meminangnya. Tadinya, ia berniat ke rumah Al untuk menemui Santi, tapi ia ragu. Takut jikalau emosinya tak bisa di kontrol, ia tidak mau bersikap tidak sopan pada orang tua. Jadi, ia memutuskan untuk datang ke kantor tempat Al bekerja, di depan Al ia bisa mengamuk dan mengomel sesuka hati.
"Permisi Mbak!" Sapa seorang resepsionis saat melihat Irish tergesa-gesa hendak masuk ke dalam ruangan Al. Irish menghentikan langkahnya, ia berjalan mendekat ke arah meja resepsionis yang tengah ramah tersenyum ke arahnya.
"Ada yang bisa saya bantu, mbak?" Tanya mbak-mbak resepsionis tersebut.
"Saya mau bertemu dengan Al." Jawab Irish dengan cepat.
"Maaf mbak, bapak Al nya tengah berada di ruang rapat. Apa anda sudah membuat janji sebelumnya?" Tanya resepsionis tersebut dengan baik lembut. Irish mengangguk pelan, sebenarnya ia belum membuat janji, tapi biarkan sajalah ia berbohong, demi kebaikan semuanya.
"Sudah,"
"Baiklah, saya akan segera menghubungi sekertaris bapak Al, Mbaknya bisa tunggu di kursi itu." Terang resepsionis dengan sopan, beberapa detik kemudian ia nampak menelpon seseorang dan mengadu bahwa ada seorang gadis yang ingin bertemu dengan atasannya tersebut. Irish menarik nafasnya dengan berat, ia lantas berjalan dengan lesu ke arah kursi tunggu dan duduk di sana dengan cemas.
Satu jam sudah berlalu, rasa sabar Irish sudah menipis, beberapa kali ia melirik ke arah jam tangan yang ia kenakan, sangat lama sekali, ia sangat membenci menunggu. Apa lagi menunggu sesuatu yang belum pasti, ia sudah trauma dengan kata menunggu. Mengingat masa lalu, ia pernah menunggu seseorang yang teramat ia sukai hampir tiga jam lamanya, dan apa yang ia dapatkan? Sebuah penolakan. Saat ia masih SMA, ia pernah jatuh cinta pada kakak kelasnya, ia berpikir kakak kelasnya tersebut berbalik menyukainya, tapi nyatanya ia salah. Kakak kelasnya tersebut bersifat ramah padanya bukan karena ia menyukainya, melainkan hanya kasihan padanya yang selalu di ledek soal fisik oleh temannya yang lain. Saat ia ingin menyatakan perasaannya, ia meminta kakak kelasnya tersebut menemuinya di belakang sekolah, ia harus menunggu tiga jam di bawah sinar matahari. Tapi ia tetap sabar menunggu, dan saat mereka akhirnya bertemu. Penolakan mentah-mentah ia dapatkan, bukannya menolak secara lembut, kakak kelas laknat nya tersebut justru menyinggung soal berat badannya. Ia di tolak mentah-mentah, cinta pertama yang sangat menyakitkan. Sejak hari itu, ia tidak mau menunggu lagi. Paling lama ia menunggu adalah lima belas menit, lebih dari itu, ia akan pergi.
"Irish," panggil seseorang yang berada tak jauh dari jaraknya, Irish mengenal betul suara tersebut. Suara yang kadang bisa membantunya menenangkan diri dan suara yang saat ini tengah ia tunggu. Dengan cepat ia mendongak, menatap Al yang memakai jas hitam tapi layaknya bos kebanyakan. Al adalah seorang CEO muda di perusahaan milik keluarga ayahnya. Jadi tak heran jika di usia yang ke 25 ini pria itu sangat kaya raya dan banyak gadis yang memanfaatkannya.
Irish bangkit dari duduknya, berjalan ke mendekat ke arah Al dengan tampang yang dingin.
"Lo kenapa? Ada masalah? Gak biasanya Lo cari gue di kantor?" Tanya Al dengan cemas.
"Kita perlu ngomong." Tutur Irish dengan serius.
Al mengangguk patuh, ia lantas membawa Irish ke dalam ruang kerjanya, di sana hanya mereka berdua, pintu ruangan tertutup dengan rapat supaya tidak ada satu orang pun yang bisa masuk dan mengganggu pembicaraan ke duanya yang mungkin saja privasi.
"Duduk Ris," ujar Al dengan ramah usai mereka berdua sampai di dalam ruangan. Irish tak langsung duduk, ia justru membuang tas jinjingnya ke sofa lalu melipat ke dua tangannya di d**a. Hal itu, tentu saja membuat Al terbengong dan bertanya dalam hati, kenapa sahabatnya ini?
"Lo kenapa sih? Ada masalah apa? Coba cerita." Ucap Al dengan santai lalu duduk manis di sofa santai.
"Lo itu emang gak tahu atau pura-pura gak tahu, sih?" Sinis Irish dengan tajam. Al memasang ekspresi polos, memang dia tidak tahu apa-apa.
"Emang ada apa?" Tanya Al dengan heran.
"Kata Mama, keluarga Lo bakal Dateng ke rumah malam ini." Terang Irish memberi jeda pada penjelasannya dengan helaan nafasnya yang berat
"Keluarga gue mau ke rumah siapa?" Tanya Al dengan polos.
"Ke rumah gue lah!" Sahut Irish dengan keras. Al saja sampai terjingkat kaget, kenapa tiba-tiba Irish berteriak padanya?
"Santai dong, Lo emosi kenapa? Gara-gara keluarga gue mau ke rumah Lo?" Tanya Al mencoba untuk tetap tenang.
"Kalo niatnya ke rumah gue itu buat silaturahmi kayak biasanya sih gak masalah,"
"Terus, yang jadi masalah apa?"
"Katanya Lo mau Minang gue," ungkap Irish dengan jujur. Al terbeo sejenak, apa ia tidak salah dengar? Apa yang di katakan Irish barusan? Minang?
"Minang apaan?" Tanya Al tak paham.
"Kata nyokap gue nanti malem kita bakalan tunangan," terang Irish lebih jelas.
"What?! Demi apa Lo?" Tanya Al terkejut.
"Kok Lo kaget?" Tanya Irish lalu ikut duduk di sebelah Al dan menatapnya dengan intens.
"Ya gue kaget lah, kenapa tiba-tiba mendadak tunangan sama Lo?" Tanya Al balik.
"Iya maka dari itu, gue ke sini. Kenapa tiba-tiba Tante Santi nelpon mama, terus bilang mereka bakal Dateng ke rumah malem ini buat Minang aku dan kita tunangan." Terang Irish memperjelas lagi.
"Kok bisa gitu?" Tanya Al dengan bingung.
"Ih gak tau ah! Mending lo telpon Tante Santi." Desah Irish sudah mulai putus asa, bingung harus menjawab apa lagi pertanyaan sahabatnya ini.
Al dengan cepat bergerak mencari ponselnya dan langsung menghubungi sang Mama.
"Halo, Mah!" Sapa Al di telpon, ia langsung menyalakan spiker hp nya agar Irish juga bisa mendengar suara sang Mama.
"Hai sayang! Tumben siang bolong telpon, ada apa?" Sahut Santi dari seberang.
"Katanya, Mama nanti malem mau ke rumah Irish?"
"Iyah,"
"Mau ngapain?"
"Mau ngelamar Irish sekalian kalian tunangan, terus bulan depan kalian nikah."
"Mama! Kok gitu?" Protes Al dengan cepat.
"Kamu lupa, semalem kamu ngomong apa sama Mama?"
Al mengingat kembali ucapannya semalam yang sukses membuat sang Mama bertindak sejauh ini. Hingga akhirnya, ia mengingat sesuatu.
"Kamu mau nikah sama Irish?"
"Kok nanya nya gitu?"
"Mau atau enggak? Jawab cepet!"
"Mau! Mau!"
"Deal! Kamu bakalan nikah sama Irish!"
"Terserah Mama."
"Dalam waktu satu bulan."
"Ngikut Mama aja."
"Satu Minggu aja Mama bisa atur kok."
"Gak bisa nikah dalam waktu satu Minggu, Mah. Kecepetan."
"Mampus gue!"
"Lo ngomong apa sama nyokap Lo semalem?" Tanya Irish dengan nada suara berbisik. Dan Al hanya diam tak merespon, ia langsung menekan tombol merah di layar ponselnya sebagai tanda ia mematikan sambungan telponnya.
"Al!" Rengek Irish. Tapi tetap saja Al diam.
"Gue salah ngomong." Sahut Al usai beberapa saat.
"Ngomong apaan, Lo?"
"AKH!"