BAB 5 - Paranoid

1953 Words
Seorang dokter duduk di hadapan Clary sedang membalut pergelangan kakinya menggunkan perban agar aktifitas kakinya tidak banyak dan membuat kakinya banyak bergerak. Gideon berdiri di samping dokter dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Clary hanya bisa menundukan kepalanya, melihat pergelangan kakinya yang balut dengan perban. Clary menghindari tatapan Gideon yang sejak tadi terus saja mengarah padanya. "Terima kasih dokter." Ucap Clary pada pria paruh baya itu. Pria itu berdiri lalu memasukan perban dan plester ke dalam kotak. "Jangan banyak di gerakan. Tidak fatal, tapi mungkin akan menganggumu selama beberapa hari ke depan. Paling cepat 3 hari sudah sembuh, paling lama seminggu. Aku akan menuliskan salepnya. Jangan banyak bergerak hari ini. Istirahat lah besok mungkin lebih baik." "Terima kasih dokter." Ucap Clary lagi sebelum pria paruh bayar berkacamata itu pergi meninggalkan Clary dan Gideon berdua saja. Atmosfer diantara mereka malah terasa semakin mencekam. Clary seperti berdiri di samping sesuatu yang berbahaya. Keberadaan Gideon di sebelahnya malah terasa tidak menyenangkan. "Hah.. Terima kasih sekali lagi."Clary mengatakannya seraya menundukan wajahnya. Ketika ia melirik Gideon pria itu masih menatapnya. Hal itu membuat Clary mengalihkan wajahnya ke arah sekitar ruangan tersebut. Mereka dipisahkan dengan tirai berwarna oranye. Clary berada di pojok bersama Gideon yang bersandar pada dinding ruang. Tiba-tiba suara ponsel berbunyi. Clary menoleh pada Gideon, pria itu mengangkat ponselnya dan tetap di sana. "Batalkan jadwal hari ini dan atur jadwalnya mulai lusa. Kirim laporannya padaku lewat email. Aku akan membacanya dan beritahu jika sudah dikirim."Gideon memasukan ponselnya ke dalam saku celana bahannya. Hari ini dia memakai kemeja merah dan celana bahan hitam. Pakaian itu cocok dengannya. Ketika Gideon kembali melihat ke arahnya spontan Clary langsung memalingkan wajahnya. Clary tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, tapi ada satu yang ia inginkan yaitu pulang. Clary tak mengerti kenapa Gideon terus saja berada di sini, kenapa pria itu tidak pergi saja setelah membawanya kemari. Clary ingin pergi tapi entah harus mulai basa-basi darimana. Mulutnya terasa keluh dan keberadaan Gideon, juga tatapannya yang seolah mengintimidasi nya dan membuatnya tak bisa bergerak walau sekedar untuk berbasa-basi. Bahkan ketika pria itu sedang memalingkan wajahnya dan ia bergerak sedikit saja, Gideon langsung melihat ke arahnya. Sulit sekali rasanya, tidak bisakah pria itu segera pergi. "Kau tidak bekerja? Kau bisa pergi kalau kau mau." Ucapan Clary tidak mendapatkan respon yang cukup baik. Pria itu menatapnya seolah tak suka dengan apa yang baru saja Clary katakan. Padahal ia hanya bersikap sopan, walau ia berharap Gideon pergi dari hadapannya. "Kau butuh tidur. Aku akan mengantarmu." Apa Gideon sadar wajahnya terlihat buruk rupa karena menahan kantuk. Clary terkejut ketika Gideon kembali ingin menggendongnya. Ia langsung menahan d**a Gideon, hingga membuat pria itu menghentikan gerakannya. "Ada apa!." "Aku bisa jalan sendiri. Bahkan pulang menggunakan taksi, kau tidak perlu mengantarku bahkan menggendong ku keluar. Aku hanya keseleo bukan lumpuh." Gideon hanya menatap Clary beberapa saat sebelum ia kembali bergerak, menggendong Clary kembali untuk pergi menuju mobilnya. "Hei." Protes Clary yang tak digubris Gideon. Pria itu tetap berjalan pergi menuju pintu keluar rumah sakit dengan Clary yang berada dalam dekapannya. "Tidak ada yang memerintahku. Aku melakukan apa yang aku mau." Ucap Gideon lirih. Clary merasa ada kegelapan yang menyelimuti pria itu. Seolah-olah bukan perlakuan baik secara cuma-cuma, tapi ada sesuatu yang akan Clary bayar untuk menebus perlakuan baiknya. Clary merasa Gideon bukanlah tipe pria baik yang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Pria itu pasti memiliki niat tersendiri yang Clary rasa bukanlah sesuatu yang baik untuk dirinya. Clary menutupi sebagian wajahnya menggunakan telapak tangannya. Semua orang memperhatikan mereka, tersenyum seolah melihat adegan romantis dalam film yang sedang tayang di hadapan mereka. Clary rasanya ingin mengatakan jika apa yang mereka lihat, tidak seperti apa yang mereka bayangkan. Tetapi Gideon pasti tidak akan membiarkannya melakukan hal itu. Clary hanya pasrah, ketika Gideon menaruhnya di dalam mobil dan tatapan mereka bertemu, Clary langsung membuang arah pandangnya dan bergegser agar Gideon bisa masuk ke dalam dan duduk di sampingnya. Di sepanjang perjalanan Clary hanya diam, sementara Gideon memperhatikan ponselnya. Clary terkejut ketika seharusnya jakan yang diambil adalah berbelok ke arah kiri kenapa supir Gideon malah mengambil jalur sebelah kanan. "Maaf tuan, rumahku berbelok ke sebelah kiri bukan sebelah kanan, kau bisa putar balik di sebelah sana."Tapi pria itu tetap menjalankan mobilnya pergi. Clary berubah panik, ketika ia bergerak kakinya tak sengaja terbentur bawah kursi depan. "Apa kau tidak bisa diam, kau masih terluka!." "Mau kau bawa kemana aku! Ini bukan mengarah ke rumahku." Gerutu Clary. Hal itu membuat Gideon terkekeh pelan. Clary menjadi curiga, ia mengedarkan pandangannya sebelum kembali menatap Gideon. "Aku tidak pernah bilang akan mengantarmu ke rumahmu. Kau harus istirahat di tempat dimana aku bisa melihatmu." "Hentikan mobilnya. Apa kau sudah gila! Aku tidak akan segan-segan melaporkan mu ke polisi." Mendengar hal itu hanya membuat Gideon semakin tersenyum lebar, ia menatap lurus ke arah jalanan namun bibirnya tak henati-hentinya tertawa mendengar ancaman yang Clary berikan. "Aku senang mendengarnya, kita lihat saja nanti. Apa mereka akan percaya padamu." *** Clary sudah tahu, ia berhadapan dengan orang biasa. Gideon adalah pria berbahaya. Alarm peringatan dalam dirinya sudah menjerit-jerit memberiahunya. Clary tahu dirinya dalam keadaan berbahaya. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan dengan hanya satu kaki yang berfungsi. Bodohnya dia, kenapa niat mengajar Gideon datang dalam keadaan seperti ini. Kenapa Clary menuruti Gideon yang ingin membawanya pergi. Jika berteriak adalah hal bagus dalam menyelamatkan diri, di rumah sakit tadi adalah momen yang tepat. Mobil Gideon masuk ke sebuah Apartemen di Luxury Clary tahu Apartemen ini. Apartemen yang banyak di tinggali oleh artis papan atas dan konglomerat untuk menjaga privasi mereka. Ketika mobil Gideon berhenti di depan lobby Apartemen tubuh Clary menegang takut. Jika dia mati di tempat seperti ini, maka sudah pasti seluruh dunia, bahkan cicak pun tidak akan tahu. Gideon membuka pintu mobil di samping Clary dan merunduk untuk meraihnya. Lagi. Di gendong. Hal itu membuat Clary memundurkan tubuhnya ke sisi pintu lainnya. Clary terkejut ketika pintu di belakangnya terbuka dan mendapati supir Gideon di sana. Wajahnya lebih kejam, Gideon lebih tampan namun tetap saja berbahaya. Supirnya lengkap dalam kegelapan dari segi sikap dan ekspresi dingin yang ia tunjukan. "Kemarilah jika kau tidak mau supirku menyeretmu keluar."ucap Gideon nyaris dingin, wajahnya penuh dengan peringatan. Clary menghela nafas kesal, ia terjebak di antara dewa kematian dan makhluk tanpa jiwa. Kenapa harinya begitu buruk. Clary mendekati Gideon, baru saja satu kaki ia turunkan, Gideon sudah meraih tubuhnya dan menggendongnya ala bridal style lalu mendudukan dirinya di kursi roda. Gideon mendorong kursi itu menuju lift untuk sampai ke kamarnya sementara supirnya membawa mobilnya pergi menuju tempat parkir. Untung Clary berdebar takut, ketika Gideon membawanya masuk ke dalam Apartemennya. Tempat ini begitu mewah, tapi khawatiran Clary tentang dirinya masihlah begitu kuat. Katakan saja Clary adalah orang yang paranoid, ya. Itu memang benar, banyak hal, peristiwa lalu yang membuatnya terlalu berlebihan akan rasa takut. Gideon membawa Clary ke salah satu kamar, di hadapannya kaca dengan pemandangan yang begitu indah. Ketika Gideon menaruh tubuhnya di atas kasur dan duduk di sebelahnya. "Kau mau makan sesuatu?." Spontan Clary menggelengkan kepalanya. Tidak ada yang bisa ia makan dalam keadaan seperti ini. Gideon melepaskan sendal yang Clary kenakan dan melemparkan nya di lantai. "Tidurlah." Clary mengangguk, wajahnya beralih menatap ke arah keramik untuk menghindari tatapan Gideon. Gideon berdiri dan meninggalkan Clary sendirian di dalam kamar tersebut. Clary menghela nafasnya. Ia merasa takut tapi sedikit ragu dengan ketakutannya sendiri. Ia juga bertanya-tanya kenapa Gideon mengajaknya ke Apartemennya. Clary tak sempat bertanya, Clary menyandarkan tubuhnya pada headboard ranjang tempat tidur. Nampak gelisah, ini menakutkan. Clary tidak bisa menghentikan rasa paranoid berlebihan nya. *** Gideon baru saja selesai memeriksa email tentang pekerjaan yang dikirimkan oleh pegawainya. Ketika ia kembali ke dalam kamar dimana Clary berada. Tiba-tiba ia berlari keluar dan memeriksa di berbagai penjuru rumahnya sebelum pergi keluar Apartemennya dengan wajah emosi. "Sialan."Umpat nya marah. Clary menghilang. Wanita itu kabur dari Apartemennya. Sementara di tempat lain, beruntungnya Clary tahu, ia pernah masuk ke sini untuk mendesain interior dari salah satu kerabat teman kerjanya. Clary hanya bisa berjalan dengan satu kakinya, beberapa kali ia loncat dan menyeret kakinya. Rintihan lolos dari bibirnya ketika tak sengaja membuat gerakan kecil pada pergelangan kakinya dan itu terasa perih. Beruntungnya ada sebuah taksi yang baru saja mengantar seorang penumpang ke apartemen ini, yang membuatnya mendapatkan taksi untuk membawanya pulang. Clary tidak pulang ke rumahnya melainkan menginap di Apartemen Yura. Ia merasa tidak aman dan takut-takut Gideon mencarinya. Jika di film-film hal ini biasa terjadi bukan. *** "Kau pasti sudah gila."ucap Yura ketika mendengar apa yang Clary katakan tentang Gideon yang membawanya pergi ke Apartemennya. Wanita itu sampai ijin keluar kantor karena sakit, bukan sakit beneran melainkan untuk mendengar cerita Clary dan menemaninya. Yura heboh ketika melihat kaki Clary yang dibalut dengan perban. Wanita itu kembali heboh ketika mendengar pria yang membantunya dan bagaimana Clary kabur darinya. "Jika aku, aku akan tetap di sana dan bercinta dengannya." "Apa kau sudah gila! Aku tidak mau melakukan nya dengan orang asing."Clary menyeruput coffee yang Yura buatkan untuknya. Wanita itu duduk di hadapannya, kasur Yura nampak nyaman. Sudah biasa baginya berada di dalam kamar ini bertahun-tahun. Clary bahkan dapat melihat kamarnya dari sini, karena balkon kamar mereka yang saling berhadapan. "Kau mau melakukannya dengan orang yang kau cintai. Kau bahkan tidak mau berkencan, kapan kau akan melakukan hal itu. Kau harus menikah. Ingat apa yang nenekmu selalu katakan, cari seseorang yang bisa melindungimu."Clary menghela nafas malas, ia malah lebih sering mendengar hal itu dari bibir Yura dibandingkan dari bibir neneknya langsung. "Aku tidak mau menikah, tidak ada cinta yang membuatku bisa memahaminya. Itu konyol." "Percinta orang lain tidak bisa kau jadikan kiblat dalam kisah percintaan mu. Kau harus menemukan arti cinta dari hubungan percintaan mu sendiri," Seru Yura mematahkan ucapan Clary. "Juga masalah percintaan orang lain jangan jadikan masalahmu dalam memercayai hal itu. Aku yakin percintaan mu akan hebat, sepertinya Gideon tidak buruk. Kau hanya terlalu paranoid, mungkin dia bisa memberikan arti cinta sesungguhnya padamu." Clary memutar kedua bola matanya malas, Yura sudah seperti konsultan cinta jika sedang menasehati nya. Padahal dia tidak jauh berbeda dalam urusan berkencan. "Apa kau dan Steven baik-baik saja?." "Jangan jatuhkan aku saat aku sedang menasehatimu. Kau ini." Clary terkekeh mendengarnya. Ternyata Yura tahu apa yang ia pikirkan. Clary melihat ke arah kakinya yang di di balut perban, hal itu membuatnya teringat dengan Gideon. Pria itu membantunya dan dia malah kabur begitu saja. Tunggu, apa Clary merasa bersalah. Tapi Clary takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Clary sudah bilang Terima kasih, kenapa hal ini malah semakin menganggunya seolah ia tak pernah mengucapkan betapa berterima kasihnya dia. "Hei.kau lapar? Mau makan sesuatu? Sepertinya aku ada kue. Aku akan mengambilnya sebentar."Yura bangkit berdiri dari kasurnya dan turun ke lantai bawah menuju dapur, sementara Clary bangkit berdiri dan pergi menuju jendela dimana ia bisa melihat kamarnya dari sini. Namun, ketika ia akan pergi menuju balkon sesuatu di luar sana membuatnya mengurungkan niat itu. Ada sebuah mobil audi berwarna hitam terparkir tepat di depan rumahnya. Clary tak bisa melihat siapa dia karena jaraknya terlalu jauh. Tapi Clary yakin itu bukan sesuatu yang baik untuk di kunjungi dan bertanya apa yang kau mau. Clary terus memperhatikannya, apa itu orang suruhan Gideon. Clary merasa was-was. Tiba-tiba pintu mobilnya terbuka da  seorang pria berjas lengkap keluar dari sana, berdiri di depan pagar rumahnya. Clary menyingkirkan hordeng kamar Yura agar bisa melihat lebih jelas apa yang ingin pria itu lakukan di depan rumahnya. Tiba-tiba pria itu berbalik ke arahnya, menatapnya. Hal itu membuat Clary terkejut bukan main. Apa dia ketahuan..Pria itu kembali mauk ke dalam mobil dan tak lama mobil itu melaju pergi dari depan rumahnya. Ponsel nya berbunyi, yang membuat Clary kembali ke atas tempat tidur Yura untuk mengambil ponselnya. Ada sebuah pesan chat masuk. Dan nama pengirimnya membuat tubuh Clary bergetar. 'Aku menemukanmu' - Gideon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD