BAB 06 - Not Dreame

2442 Words
Clary menerima pesan jika pria itu menemukan tempat persembunyiannya. Ia menghela nafas kesal, nampak frustasi. Bukankah ini kelewatan. Apa pria itu tidak punya hal lain untuk dilakukan selain mengganggunya. Keterlaluan.           'Pergi dari hidupku! Jangan ganggu aku! Berapa kali aku harus mengatakannya! Idiot.' Clary tahu ini kasar, tapi jika mungkin kekasaran dapat menghentikan ketertarikan Gideon untuk mempermainkan nya, maka Clary akan menjadi orang yang kasar. "Apa ini sudah kasar! Seharusnya aku memakinya dengan huruf kapital." Gerutu Clary menatap isi pesan yang dikirim nya sendiri. Bahkan dengan pesan pun Clary tak bisa memakinya, bagaimana jika berhadapan dengannya. Clary tak terlahir dengan kata-kata kasar. Hidup dengan neneknya bertahun-tahun dan diajarkan tentang tata krama. Clary tahu apa yang boleh dan tidak dikatakan kepada seseorang. Jika kata kasar berhasil diucapkannya, maka berterima kasihlah dia pada Dion yang suka mengajarkannya mengumpat selama dia menjadi seorang arsitek. Tubuhnya tersentak ketika Yura muncul dengan sebuah piring berisi waffel yang tercium harum di indra penciuman nya. Wanita itu menaruhnya di atas meja dan menoleh pada Clary terkejut. "Yak. Duduklah, kakimu belum sembuh dan masih sakit." Clary memutar kedua bola matanya malas, Yura terlalu berlebihan. "Hanya berdiri seperti ini tidak apa-apa. Ketika aku kabur tadi, aku masih baik-baik saja. Sepertinya banyak bergerak malah membuat ku terbiasa dengan rasa sakitnya." "Jika semakin bengkak maka itu harus di amputasi." "Kau pikir aku percaya dengan bualanmu itu." Ucap Clary dengan kedua mata menyipit menatap Yura yang tertawa di hadapan nya. Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol, hingga jam 6 sore Clary tertidur karena ia terlalu mengantuk karena obat yang baru saja di minumnya. Clary memutuskan untuk tetap di rumah Yura, sahabatnya itu melarangnya untuk kembali ke rumah dan pergi keluar sebentar untuk membeli makan malam. Sementara Clary tertidur di dalam kamar Yura sendirian. Entah kenapa Clary merasakan seseorang menyentuh kakinya yang masih terbalut perban, lalu Clary merasakan seseorang menyentuh bibirnya. Mencium bibirnya, mengulumnya hingga membuatnya tertidur dalam kegelisahan. Clary tak bisa membuka matanya, kepalanya terasa pusing entah karena obat yang di minumnya atau ciuman ini. Ini mungkin hanya halusinasinya saja, mungkin saja karena obatnya? Clary tidak tahu, tapi rasanya seperti nyata. Dalam kesadaran yang mulai kabur Clary membuka sedikit matanya, samar-samar ia menemukan seseorang berada di atasnya. Mencium bibirnya, rasanya seperti nyata tapi Clary sadar ia berada dalam pengaruh obat. Halusinasi mungkin saja terjadi ketika kantuk berat menyerangnya seperti ini. *** Clary menyeruput kuah sup yang Yura belikan. Sup daging yang sangat lezat. Clary juga suka membelinya untuk nya dan nenek nya. Makan bersama untuk makan malam jika sang nenek tidak memasak. Beberapa kali Clary menangkap basah Yura yang diam-diam melirik nya, wanita itu tak biasanya seperti ini. Ia selalu mengatakan apapun secara blak-blakan di hadapannya, ada sesuatu yang sedang ia rahasiakan. Hal itu membuat Clary penasaran. Clary menaruh sendok nya di atas meja lalu beralih menatap Yura sepenuhnya. Yura nampak gugup, ia menyeruput kuah sopnya dan bersikap seolah tak ada apapun yang harus di curigai, diam-diam melirik Clary dari balik bulu matanya. Clary seolah berhadapan dengan seorang anak yang takut pada orang tuanya ketika mereka makan dalam meja yang sama. "Apa ada yang ingin kau katakan?." "Uhukk.. Uhukk.. Uhukk."Yura memukul dadanya pelan lalu meraih segelas air yang berada tak jauh dari tangannya lalu meneguk nya cepat. "Katakanlah. Jangan diam-diam melirik ku seperti itu. Kau seperti melihat hantu saja. Apa ada yang salah?." Yura menaruh gelasnya di atas meja dan menatap Clary dengan wajah memberenggut. Hal itu semakin membuat Clary keheranan. Pasti ada sesuatu, bukannya langsung bicara Yura malah bersikap menyebalkan di mata Clary. "Jangan membuatku bingung."ucap Clary lagi. "Sepertinya kau harus benar-benar di bawa ke dukun." Clary menghela nafas kasar, bolehkah Clary berkata menyesal mengetahui apa yang Yura katakan. Lebih baik dia tidak mengatakan apapun, lalu ia mendengus remeh. Lagi-lagi dukun, apa dia terlihat seperti wanita kesurupan, di buntuti hantu atau apapun itu. Apa ada yang salah dengannya? Clary mengambil kembali sendoknya dan mengangkatnya ke arah wajah untuk melihat ke arah sendok yang ia pegang. Pantulan dirinya ada di dalam sana dan ia sendrian. Tidak ada apapun di belakangnya, ataupun bayangan hitam yang mencurigakan. Ada apa dengan Yura, kenapa dia membicarakan dukun tiba-tiba, padahal Clary sudah menolaknya mentah-mentah. "Sebenarnya aku...,"Clary beralih menatap Yura, wanita itu nampak ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. "Aku... Aku....." "Yak. Katakan yang jelas. Aku apa?." Ucap Clary semakin tak sabar untuk mengetahuinya. Clary hampir saja membentaknya, tapi sikap Yura memang sedikit menyebalkan. "Aku melihat bayangan hitam berbaring di atas tubuhmu. Aku benar-benar takut sesuatu yang buruk mengikutimu, aku tidak berani masuk. Hanya melihatnya dari jauh dan itu sudah sangat menakutkan." "Kau melihat bentuknya? Wajahnya? Dia benar-benar ada di atas tubuhku?."ucap Clary tanpa sadar sedikit menuntut. Yura mengangguk kan kepalanya perlahan, wajahnya terlihat begitu takut. Clary menghela nafas kesal lalu menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi dengan kedua tangan yang terlipat di depan d**a. Jadi.. Apakah sentuhan itu, ciuman itu. Apakah itu nyata? Clary selalu bermimpi jika Gideon yang melakukannya. Apa benar pria itu? Atau itu hanya ilusi. Clary tidak bisa mempercayai hal-hal tidak masuk akal ini. Hantu, arwah, atau apapun itu yang berhubungan dengan alam gaib Clary tidak bisa mempercayainya. Selera makannya hilang, makhluk sialan. Clary memutuskan untuk pulang dan tidak jadi menginap di rumah Yura. Rasa kantuknya hilang sudah, kenapa jadi cerita menyeramkan menyangkut dengan dirinya. Kini Clary berada di dalam kamarnya seraya memeluk sapu dan bersandar pada heard board ranjang tempat tidur. Lampu kamarnya ia padamkan, jendela kamarnya terbuka. Clary akan menunggu kedatangan yang Yura katakan sebagai makhluk hitam jahat. Waktu sudah menunjukan pukul 1 malam, matanya nampak sayu karena terlalu mengantuk. Clary mencoba untuk tetap bertahan menunggu kedatangan mahluk itu di kamarnya. Ketika akhirnya ia memejamkan mata dan tersentak ketika sapu di tangannya seolah-olah ditarik seseorang. Clary membuka matanya dan melihat seseorang dalam kegelapan duduk di sampingnya. Itu mungkin neneknya yang datang untuk melihatnya. Tapi tidak malam ini. Clary langsung membuka matanya, pintu kamarnya ia kunci dan neneknya tidak mungkin bisa membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk nya terlebih dahulu. Ketika Clary ingin bangun kedua tangannya di tahan di samping kepalanya. Clary dapat merasakan betapa gugupnya dia saat ini. Ini bukan tak kasat mata, ini jelas seseorang yang bisa ia rasakan sentuhannya. Clary mencoba berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri jika ini bukanlah sebuah mimpi. Benar-benar bukan mimpi. "Aku ingin melihatmu. Apa kau baik-baik saja?." Clary terkejut ketika mendengarnya. Hingga akhirnya ia memberontak dan membenturkan kepalanya ke arah kepala sosok itu. Ketika kedua tangannya terlepas Clary meninju rahangnya sebelum berguling ke arah berlawanan hingga membuatnya jatuh ke lantai. "Sakit."gerutunya ketika merasakan sakit di pergelangan kakinya. Tangannya sendiri sakit karena memukul sosok itu. Clary bangkit berdiri, cukup kesulitan karena kakinya yang masih sakit. Ia mencoba untuk meraih saklar lampu kamarnya yang berada di samping pintu untuk melihat siapa dia. Ketika lampu menyala Clary berbalik untuk melihat sosok itu. Kosong. Dia sudah pergi. Atau menghilang? Clary nampak bingung, apa benar dia sudah gila. Anehnya itu terlalu nyata dan sekarang kamarnya kosong seolah tidak ada apapun di sana. Tubuh Clary merosot hingga menjadi terduduk di belakang pintu dengan wajah frustasi. Clary tak mengerti ada apa sebenarnya dengan hidupnya. Apakah yang Yura katakan benar, tapi kejadian barusan bisa menjawab apa yang ia pikirkan, tapi bisa saja itu hanya ilusi. Tapi Clary bisa mendengar suaranya, hal ini membuatnya kebingungan. *** Clary hanya bisa tersenyum dengan cengiran di wajahnya, sesekali ia membuang arah pandangnya ke arah lain dengan takut-takut menatap seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Fredy hanya bisa menggelengkan kepalanya terheran, tidak dengan Andrian yang menatapnya sengit seolah mengatakan mati kau di tangan Fredy. "aku sudah mengatakan apa kemarin?." "humm.."sahut Clary mendongak menatap Fredy sepenuhnya. Andrian mengulum senyum, sementara Dion berpura-pura sibuk di depan komputernya. "ahh.. apa.. kau mengatakan apa! oh.. kau bilang aku harus menyeret arwahku ke sini." "hah! astaga.. Aku memintamu untuk tidur, beristirahat. Lihat kakimu, kau pikir bisa ke  dengan kaki seperti itu?." Clary merasa Fredy begitu berlebihan karena kakinya tidak terlalu parah, walaupun Clary masih memakai sendal tapi sungguh kakinya bisa berjalan walau tak begitu luwes seperti sebelumnya, dimana ketika kakinya baik-baik saja. Bahkan Clary pergi ke kantor pagi ini menggunakan kereta bawah tanah seperti biasa. Andrian menguap dengan suara yang membuat Fredy dan Clary menoleh padanya. Pria itu malah bersikap seolah tak terjadi apapun barusan,  Clary membuang arah pandangnya jengkel sebelum kembali melemparkan tatapan membunuh ke arah Andrian. "aku dan Dion yang akan pergi hari ini, kau dan Andrian tetap di kantor."Hal ini cukup mengejutkan, apa kakinya sangat menghawatirkan untuk pergi ke Chicago. Clary rasa kakinya baru akan dibawa berjalan ketika sampai di sana karena mereka akan terus berada di dalam mobil sepanjang perjalanan. Fredy pergi dari hadapannya untuk kembali menuju ruangannya. Baru beberapa langkah ia menghentikan langkahnya dan kembali menoleh ke arah Clary. "pergilah menuju kantor tuan Giderson untuk menerima penjelasan revisian terakhir darinya. lalu stay di perusahaan." Clary rasa ia baru saja di lempari bom atom. BOOM, mendengar nama itu seolah-olah membuat getaran hebat di sekujur tubuhnya. Siapapun akan terkejut ketika kau berhadapan dengan mimpi burukmu. Gideon adalah mimpi buruknya. Ketika akhirnya mereka sampai di perusahaan Gideon Giderson. Perusahaan itu berlantai 45 dan dan ruangan Gideon berada di lantai paling atas. Warna gedung ini di d******i dengan warna biru dan silver. Perabotan nya serba putih dan hitam. Jujur saja kantornya begitu bagus. Dan beberapa majalah yang menampilkan Gideon Giderson sebagai sampulnya. Clary bisa menduganya jika pria itu sangat kaya, tapi tidak tahu jika info tentang nya sering berada di dalam majalah. Mereka bertemu dengan menager perusahaan Gideon Giderson yang memberikan setiap detail tentang revisian nya. Sementara ia sedang ada rapat penting. Diam-diam Clary bersyukur karena tidak jadi bertemu dengan Gideon. Cukup bertemu dengan pria itu di dalam mimpi buruknya, jika dalam kenyataan ia masih bertemu dengannya, makan hidupnya adalah neraka. Hanya butuh 30 menit bagi mereka berdiskusi tentang revisian terakhir hingga akhirnya Andrian dan Clary pamit untuk pergi. Clary begitu antusias, ia tak sabar untuk segera keluar dalam gedung tersebut. Andrian dan Clary masuk ke dalam lift untuk pergi menuju tempat parkir. Namun Andrian menekan tombol lainnya yang membuat Clary menoleh padanya dengan ekspresi bingung. "Ponselku tertinggal." "Yang benar saja Andrian, bisa-bisanya kau meninggalkan ponselmu. Aku tidak mau ke atas lagi."Tolak Clary. "Dan bisa saja bertemu pria itu. Tidakkkk."batin Clary berkonfrontasi. "Baiklah. Tunggu aku di lobby. jangan ke tempat parkir dulu kau mengerti, tunggu aku." "Eoh." Sahut Clary. Andrian menekan tombol 38. Ketika pintu lift terbuka Andrian kembali mengingat kan Clary untuk menunggunya dan wanita itu menganggukan kepalanya mengerti. Pintu lift kembali tertutup, Clary mengeluarkan ponselnya dan melihat agendanya sendiri. Besok ada jadwal bertemu klien untuk melihat interior rumahnya. Clary juga menjual jasanya untuk interior rumah, tambahan penghasilan yang ia terima cukup besar untuk di tabung dan membeli rumah bagus yang memiliki halaman luas untuk neneknya. Neneknya sangat suka berkebun, dan Clary berniat untuk membelikan nya rumah baru yang memiliki halaman luas agar neneknya bisa menyalurkan hobby berkebun nya. Clary mendongak menatap lampu yang menunjukan nomor lantai yang ia tuju. Clary terkejut ketika nomor lantai lift menunjukan nomor 45.Baru saja mengalami keterkejutan, ia dikejutkan lagi ketika pintu lift terbuka dan Gideon berdiri di depan pintu lift dengan setelan hitam dengan kemeja berwarna senada. Bagaimana bisa lift turun tiba-tiba berganti menjadi naik. Gideon masuk ke dalam lift dan berdiri hanya beberapa cm di hadapannya. *** Clary merasa atmosfer di sekelilingnya berubah total. Jantungnya bergemuruh, Gideon memiliki hal yang membuat Clary merasa tak nyaman berada di dekatnya. Mungkin saja mimpi itu menjadi kannya tak bisa berada begitu dekat dengan pria itu. Gideon cukup menakutkan, ketika Clary berkata dengan serbuat kegugupan yang menggila, Clary bersumpah itu bukanlah jatuh cinta melainkan perasaan tak nyaman yang menggelisahkan. "Kau.." Salivanya nampak keluh, dan Clary merasa kerongkongan nya tercekat. "Hai juga."kata Gideon dengan suara beratnya yang Clary baru sadar saat ini. Mereka selalu bertemu dan berjarak sedekat ini ketika berada dalam kegelapan, di stasiun bawah tanah, klub malam dan di dalam mimpi buruknya. Dan kini begitu terang ketika mereka berada dalam satu lift. Lift ini tidak terlalu sempit, tapi Clary merasa tidak ada ruang baginya untuk begerak. Kenapa Gideon bisa membuat tubuhnya seolah membeku. Clary bahkan dapat mendengar isi kepalanya berteriak untuk menyuruhnya kabur dari sana, tapi Gideon seolah membius nya. Menggutuknya menjadi patung. Mata Clary memincing menangkap sesuatu di sana, lebam biru yang berada di bawah dagunya, kau tidak akan bisa melihatnya jika memiliki jarak darinya. Tapi kini Clary begitu dekat dengan Gideon, ia dapat melihat jelas lebam itu di sana. Kilas balik tentang peristiwa semalam kembali berputar di dalam kepalanya. Clary ingat ia memukul seseorang yang ia anggap ilusi tepat di rahangnya. Tanpa sadar sebelah tangannya terangkat menyentuh wajah Gideon, ia tersentak ketika Gideon menangkap sebelah tangan kanannya yang terangkat. Tiba-tiba Gideon mendorong tubuh Clary ke dinding lift, mengurungnya dan meraup bibirnya. Memberikan ciuman menggebu-gebu yang begitu serakah. Tas berisi dokumen yang Clary pegang di tangan lainnya terjatuh ke lantai lift, Clary mencoba mendorong bahu Gideon tapi pria itu malah mencengkram pergelangan tangannya ke sisi kepalanya. Clary mengerang, ciuman Gideon keterlaluan, Clary rasa ia butuh bernafas. Clary tidak membalas ciumannya, tidak, ia tidak akan melakukan nya walaupun jujur saja itu cukup membuatnya kelimpungan menahan hasratnya sendiri. Ketika bibirnya di hisap, di kulum dengan gerakan lembut namun begitu menuntut. Gigitan kecil di permukaan kulitnya, dan hisapan yang membuat kepalanya terasa pening. Clary dapat merasakan setiap sentuhan bibir Gideon yang menyapu keras bibirnya. Kenapa ciuman bisa terasa manis, Clary tak pernah merasakan dan melakukan ciuman sepanas ini selama hidupnya. Clary tak pernah melakukan nya, ia hanya melihatnya sekilas di TV dan akan ia ganti ketika adegan itu berlangsung. Menurutnya itu memuakan dan terlalu berlebihan, tapi kini ia mengalaminya sendiri. Jantungnya berdentum keras, Clary merasa lift kembali bergerak, ia tak sadar beberapa menit lalu lift itu tak bergerak sama sekali. Gideon menjauhkan wajahnya secara perlahan, tatapan mereka bertemu dan Gideon kembali memberikan ciuman singkat di bibirnya sebelum menjauhkan tubuhnya beberapa cm dari Clary.Lift berhenti di lantai 1 lobby, Gideon membungkuk untuk meraih tas berkas Clary dan menaruhnya di tangan Clary untuk kembali di genggamnya. Clary hanya diam, ia masih terkejut dengan apa yang terjadi. Ciuman Gideon membuatnya linglung. Gideon menaik Clary dari sandaran dinding lalu nemposisikannya di depan pintu lift. Bunyi dentingan pintu membuat Clary terkejut. "Malam-malam itu bukanlah mimpi." Ucap Gideon tepat di telinganya. Pintu lift terbuka, hal itu membuat Clary bergegas keluar karena tak nyaman dengan apa yang Gideon lakukan padanya. Baru beberapa langkah keluar dari dalam lift Clary tersentak. Ia terkejut ketika sadar apa maksud yang Gideon katakan barusan. Clary berbalik untuk kembali menatap Gideon, pintu lift bergerak tertutup dan dia bersumpah melihat Gideon menyeringai seraya mengusap sudut bibirnya dengan gerakan seduktif. Bukan roh, arwah ataupun mimpi buruk, tapi Gideon yang benar-benar nyata masuk ke dalam kamarnya setiap malam. Lebam di rahang itu, itu karena pukulan tangannya. Pria itu benar-benar mendapatkannya. Clary... Kau dalam masalah besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD