Tiba-tiba bel berbunyi. Aku yang masih bersandar di balik pintu sontak terkejut.
Apakah itu Pak Rendra? Ada apa lagi dia membunyikan bel rumahku?
Dengan takut-takut aku buka pintu perlahan. Hanya sejengkal, tidak lebih. Ternyata memang lelaki itu yang berdiri di depan pintu.
“A-ada apa lagi, Pak?”
“Ini.” Dia menyodorkan ponsel di tangannya. Ternyata itu ponselku.
“Lesti sudah saya beri tahu kalau kamu sakit dan saya mengantarmu pulang,” jelasnya lagi.
Aku menelan ludah mendengar penjelasannya. Lalu mengambil ponsel di tangannya dengan hati-hati.
“Terima kasih, Pak,” ucapku.
“Ini. Diminum setelah makan.” Kembali lelaki itu menyodorkan sesuatu ke hadapanku. Sebuah tas kain kecil berwarna hijau.
Aku mengambil dan melihat isinya. Ada beberapa jenis obat di dalam tas itu.
“Obat?” tanyaku bingung.
“Badanmu sangat panas sampai pingsan. Jadi aku memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa kondisimu.”
Aku tercengang mendengarnya. Namun, segera kusembunyikan ekspresi keterkejutanku itu.
“Terima kasih lagi, Pak.”
Dia tak menjawab ataupun sekadar mengangguk. Hanya diam dengan raut datar, lalu berbalik dan masuk ke rumahnya.
Aku pun kembali masuk ke rumah dan mengunci pintu. Sikap Pak Rendra hari ini benar-benar aneh. Membuatku bingung dan bertanya-tanya. Mengapa ia mau menolongku? Sampai memanggilkan dokter untuk memeriksaku.
Kuletakkan tas berisi obat itu di meja, lalu duduk di tepi ranjang. Aku masih merasa sangat lemas. Kupegang keningku sendiri, terasa panas. Aku harus meminum obat agar cepat pulih. Namun, perut yang kosong sejak pagi ini harus diisi lebih dulu.
Belum sempat aku membuka aplikasi untuk memesan makanan, bel tiba-tiba berbunyi kembali.
“Ada apa lagi Pak Rendra mencariku?” gumamku yang sedikit merasa kesal sekaligus penasaran.
“Ada ap—“ Kalimatku terhenti begitu melihat yang datang bukanlah Pak Rendra, melainkan seorang pengemudi ojek online dengan jaket berwarna hijau.
“Eh, ada apa, Mas?” tanyaku pada lelaki yang tampak berusia lebih muda dariku.
“Ini, Mbak. Ada titipan makanan dari Mas yang tinggal di situ,” jawabnya. Ia menunjuk pintu apartemen Pak Rendra.
“Oh, iya. Terima kasih,” jawabku, lalu mengambil plastik bungkusan itu.
Aku mengeluarkan isinya setelah menutup kembali pintu apartemen. Seporsi nasi dengan ayam bakar dari sebuah restoran, dan secangkir jus.
Mengapa ia sampai repot-repot membelikan makan untukku? Apa dia bisa baca pikiranku?
Ah, tidak mungkin. Aku bisa gila memikirkan sikapnya yang terkadang baik, tetapi terkadang sangat kejam padaku.
Aku pun hanya memakan beberapa suap saja karena tidak memiliki selera. Namun, jus jambu merah yang ia belikan segera kuhabiskan. Setelah itu aku minum obat yang diberikan.
Kubaringkan tubuh di kasur sambil membuka pesan dari Lesti. Ada beberapa pesan darinya beberapa jam yang lalu, yang menanyakan keberadaanku.
Segera kutekan simbol gagang telepon di layar.
“Ay, gimana kondisi lo?” tanyanya begitu telepon tersambung.
“Gue baik-baik aja, Les. Cuma demam.”
“Beneran gak apa-apa? Tadi Pak Rendra ngasih tahu gue, katanya lo pingsan. Ya ampun, Ay. Gue panik banget dengernya.”
“Sekarang gue udah gak kenapa-kenapa, kok. Gue pingsan karena dari pagi belum makan. Itu aja, jadi lemes.”
“Syukurlah. Gue tadi panik banget nyariin lo di mana-mana gak ada. Gue telepon gak diangkat-angkat. Akhirnya udah cukup lama baru ada yang angkat telepon gue. Gue kira elo, ternyata Pak Rendra,” cerocos Lesti.
“Sorry, ya, Les, udah bikin lo khawatir.”
“Enggak, enggak. Harusnya gue yang minta maaf sama lo, Ay. Elo udah ngajak gue pulang, dan gue juga tahu badan lo panas. Tapi gue masih aja maksa buat tetep di sana,” ujarnya panjang lebar.
“Maafin gue, ya, Ay,” sambungnya.
“Iya, Bestie. Santai aja. Sekarang lo di mana?” tanyaku.
“Di rumah. Tadi waktu Pak Rendra ngangkat telepon gue dan ngasih tahu kondisi lo, gue mau langsung ke rumah lo. Tapi kata Pak Rendra gak usah dulu, biar lo istirahat.”
Alasan saja Pak Rendra itu. Dia pasti cuma tidak ingin Lesti tahu ada sesuatu di antara kami.
“Ay, so sweet banget, sih, lo sama Pak Rendra. Apa kalian sekarang lagi deket?” tanya sahabatku itu.
Belum tahu saja si Lesti, bagaimana perlakuan buruk Pak Rendra padaku. Jika dia tahu, dia pasti tak akan tergila-gila lagi dengan si monster itu.
“Dia Cuma nolong gue sebagai tetangga dan bawahan di kantor,” jawabku dengan malas.
“Apartemen dia di lantai berapa, sih, Ay? Gue penasaran banget.”
“Depan gue!” jawabku yang sudah malas meladeni Lesti jika sudah membahas Pak Rendra.
“Hah? Serius?” Ia terdengar sangat terkejut.
“Iya. Gak percaya, datang aja lo ke sana. Tapi jangan bawa-bawa gue,” ujarku.
Ya, barangkali ini bisa jadi hal menjengkelkan bagi Pak Rendra. Orang seperti dia pasti tak suka diganggu dan didatangi oleh sembarang orang.
“Siap, Bos!” jawab Lesti yang terdengar senang.
“Ya udah, gue istirahat dulu, ya, Les.”
“Iya, Ay. Eh, besok lo ngantor?”
“Gak tahu. Kalau udah bener-bener sehat ngantor.”
“Oh, oke, deh. Ya udah, cepat sembuh, ya. Bye.”
“Bye.”
Aku memejamkan mata setelah selesai mengobrol dengan sahabatku di telepon. Seluruh tubuhku rasanya sakit dan pegal seperti orang yang baru saja berlari mengelilingi lapangan berkali-kali.
Namun, rasa sakit di tubuh tak sesakit dengan apa yang terasa di hati. Perasaanku benar-benar hancur hari ini. Sakitnya tak terperih.
Air mataku mengalir begitu saja membasahi bantal. Aku benar-benar sakit, hancur. Bayangan Devian yang menggandeng mesra wanita lain ke pelaminan kembali berkelebat di pikiran. Dadaku menjadi sesak membayangkannya.
Devian ... aku benar-benar tidak sanggup.
***
Alarm di jam kecil yang kuletakkan di meja samping tempat tidur, terus saja berbunyi. Geram, kuhempaskan dengan kasar jam itu hingga jatuh dengan keras ke lantai. Baterainya pun terpental dari jamnya.
Aku lantas menutup wajah dengan bantal. Hingga pagi ini, suasana hatiku masih saja buruk. Aku tak punya semangat untuk melakukan apa pun, meski tubuhku sudah mulai sehat.
Hati yang sakit membuat tubuh pun enggan untuk diajak beraktivitas. Aku memilih untuk tidak masuk kantor hari ini. Aku hanya ingin menghabiskan waktu sendirian di dalam kamar, meratapi nasib yang terasa tak pernah berpihak padaku.
Ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Lesti.
Aku tak ingin mengangkatnya. Aku sedang tak ingin berbicara dengan siapa pun.
Setelah nada dering tak terdengar lagi, segera kuaktifkan mode pesawat di ponselku.
Aku tak ingin mandi, makan, atau melakukan apa pun.
Hingga sore tiba, aku masih berada di dalam kamar dengan pakaian yang masih sama dengan pakaian semalam.
Aku benar-benar kacau!
Kutatap didiriku di depan cermin. Rambut berantakan, kedua mata bengkak. Maskara yang membuat wajahku semakin seram karena menghitam di bawah mata dan pipi.
Aah, rasanya aku ingin berteriak dan melampiaskan kesedihanku.
Lagi-lagi air mataku mengalir di kedua pipi. Hanya air mata yang berbicara tentang kesedihanku yang begitu mendalam.
Saat aku tengah menikmati tangis yang datang berkali-kali hari ini, bel rumahku berbunyi. Segera aku hapus air mata dengan punggung tangan.
Pasti Lesti yang datang setelah pulang kerja, pikirku. Aku butuh seseorang untuk sandaran dan mencurahkan isi hatiku yang berantakan.
Segera aku beranjak keluar kamar dan membuka pintu depan.
“Lesti ....” Aku langsung menangis dan menghambur ke arahnya.
Sesaat kemudian, tubuh Lesti kurasakan berbeda di pelukanku. Mengapa ia bisa segemuk ini dalam sehari dan terasa sangat nyaman?
“Tidak enak jika penghuni lain melihat.”
Suara itu membuatku bagaikan tersambar petir. Segera aku melepaskan pelukan dan menatap sosok di hadapanku.
Aku nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat meski sudah membuka kedua mata lebar-lebar. Dia menatapku dengan senyum tipis dan tetap dengan sorot matanya yang terlihat menghunjam.
Setelah kesadaranku benar-benar kembali 100 persen, aku langsung berbalik badan dan masuk ke rumah tanpa berkata apa pun. Pintu segera kudorong. Namun, sebuah tangan yang masih terbalut jas berwarna hitam, menahannya.
“Biarkan saya masuk,” ucapnya.
“Tidak! Keluar, Pak!” pintaku.
Dia tak menggubris dan langsung menerobos masuk ke apartemenku, lalu menutup pintu.
“Ke-kenapa Bapak ke sini?” tanyaku gugup.
“Hancur sekali,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Apanya?” tanyaku dengan suara tinggi. Aku langsung curiga dan takut dia akan mengulangi apa yang dia lakukan padaku beberapa malam lalu.
“Dirimu. Ditinggal nikah bisa seperti ini.”
“Bapak tahu apa?”
“Aku tahu rasanya ditinggal nikah,” jawabnya, yang membuatku melongo sesaat, lalu tertawa.
“Bapak pernah ditinggal nikah? Perempuan mana, sih, yang tega melakukan itu ke Pak Ruri Narendra ini?” ledekku sambil tertawa puas.
Kulihat dia hanya mendesah.
“Sudahlah. Bersihkan dirimu. Pakaian saja pun masih pakai pakaian kemarin.”
“Tidak mau! Kenapa Bapak mengurusi saya? Cepat keluar!” usirku, lalu berbalik badan hendak meninggalkannya.
Namun, tiba-tiba dia menarik tanganku.
“Bersihkan dirimu atau aku yang melakukannya,” ancamnya. Suaranya cukup pelan tapi sangat menakutkan.
Aku berpura-pura tidak takut dengan ancamannya.
“Bapak keluar sekarang atau saya berteriak?” Aku berbalik mengancamnya. Namun, apa yang kudapat? Tiba-tiba dia mengangkatku di pundaknya, bagai memikul sekarung beras.
“Pak Rendra! Turunkan saya!” teriakku sambil berusaha agar bisa. Namun, lengannya dengan kuat menahanku.
“Apa yang Bapak lakukan? Cepat turunkan saya!” teriakku sambil memukul-mukul punggungnya.
Dia sama sekali tak menggubrisku dan terus berjalan ke ruangan lain. Ketakutanku pun muncul seketika. Aku takut fia akan mengulangi perbuatannya waktu itu.
“Pak, cepat turunkan saya! Atau saya laporkan Anda ke polisi!”
Tiba-tiba dia menurunkanku, tepat di dalam kamar mandi di kamarku. Aku semakin tersentak kaget ketika ia arahkan shower ke wajahku.
“Ah, Pak! Hentikan!” Aku nyaris tak bisa bernapas karena air yang terus menampar wajahku.
“Cepat bersihkan dirimu!” ucapnya setelah menutup keran shower.
Kalimat itu terdengar seperti sebuah perintah sang raja yang tak bisa dibantah.
Aku berusaha mengatur napas yang masih terengah-engah.
“Saya tunggu di luar,” ucapnya lagi, lalu menutup pintu kamar mandi.
Aku gegas mengunci pintu kamar mandi. Takut ia tiba-tiba masuk dan melakukan hal yang tidak pantas.
Lelaki itu benar-benar semaunya sendiri. Benar-benar membuatku kesal!
Aku pun segera mandi. Rasanya begitu segar saat air mengalir ke sekujur tubuhku. Aku sampai melupakan kesedihanku atas cinta yang remuk terhadap Devian.
Selesai mandi, aku mengenakan kimono mandi dan handuk yang melilit di kepala. Aku membuka pintu kamar mandi dan kembali terkejut melihat Pak Rendra tengah duduk santai di tepi ranjang dengan pandangan mata ke arahku.
Sontak aku langsung masuk kembali ke kamar mandi dan mengunci pintu.
“Pak Rendra! Kenapa Bapak masih di situ?” teriakku kesal. Aku pikir dia menunggu di luar, di ruang tengah. Mengapa jadi di kamarku?
“Kan saya sudah bilang saya akan menunggu di luar.”
“Tapi tidak harus di kamar saya. Keluaaar!”
“Baik, saya akan keluar. Saya hanya memastikan kamu benar-benar mandi,” jawabnya. Suaranya terdengar jelas dari balik pintu. Setelah itu aku mendengar langkah kaki menjauh dan suara pintu kamar yang ditutup.
Aku semakin kesal mendengar jawaban terakhirnya. Untuk apa dia memastikan aku sudah mandi? Dasar lelaki m***m aneh!
Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan mengintip untuk memastikan lelaki itu sudah tidak ada lagi di kamarku. Setelah yakin semuanya aman, barulah aku keluar dari kamar mandi.
Lagi-lagi aku dikejutkan dengan sosoknya yang ternyata masih berada di rumahku. Aku pikir dia sudah kembali ke rumahnya.
“Kenapa Bapak masih di sini?”
“Saya yakin kamu juga pasti belum makan sejak semalam,” jawabnya yang masih duduk di sofa ruang tengah.
“Saya makan atau tidak, bukan urusan Bapak. Cepat keluar!”
Bel tiba-tiba berbunyi sebelum ia sempat membalas usiranku.
Lelaki itu langsung beranjak dari tempat duduknya menuju pintu. Sedangkan aku masih berdiri dengan kedua tangan terlipat di d**a.
Seorang pengemudi ojek online tampak tersenyum kepada Pak Rendra di depan pintu.
“Ini pesanannya, Pak.” Lelaki berjaket hijau itu menyerahkan dua buah plastik ke Pak Rendra.
“Terima kasih,” balas Pak Rendra sambil menyerahkan uang dan mengambil bungkusan itu.
“Ayo makan!” ucapnya padaku sambil berjalan menuju dapur.
Aku hanya bisa membisu memperhatikan sikapnya yang aneh dan seenaknya sendiri. Kuikuti lelaki itu ke dapur. Dengan cekatan dia memindahkan makanan yang di belinya ke piring. Dua piring nasi putih, dua porsi bistik daging lengkap dengan sayur-sayurnya, dua gelas jus jeruk, dan sebungkus emping melinjo.
“Kenapa hanya berdiri di situ? Mau makan berdiri?”
Ucapannya benar-benar tidak enak didengar. Apa manusia satu ini tidak bisa berkata manis sekali saja?
Aku pun duduk di hadapannya.
“Kenapa Bapak belikan ini semua untuk saya?”
“Biar kamu makan.”
Aku menghela napas. Jawaban yang aneh.
“Saya kan bisa beli sendiri. Bapak tidak perlu repot-repot.”
“Yakin kamu mau makan? Sedangkan dirimu saja tidak dibersihkan sejak kemarin.”
Astaga! Mulut lelaki ini benar-benar menyebalkan! Aku mendesah kesal dan tak ingin bertanya apa pun lagi padanya. Lebih baik kumakan saja, kebetulan aku juga sudah mulai merasakan lapar. Kuharap setelah makan, Pak Rendra langsung keluar dari rumahku.
“Oh, ya. Jangan lupa minum obat.”
“Ya,” jawabku singkat tanpa menoleh padanya.
“Kamu harus sehat. Banyak laporan yang harus kamu kerjakan. Saya butuh secepatnya.”
Seketika aku meletakkan sendok dan menatap tajam padanya. Kupikir dia benar-benar peduli padaku, ternyata hanya untuk kepentingannya sendiri.
“Kenapa? Ada yang salah dengan ucapan saya?” tanyanya dengan raut wajah tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Tidak! Bapak tidak pernah salah!” jawabku ketus, lalu menyendokkan nasi ke mulut dengan kasar.