Part 1 (Manajer Baru)
“Kalau kau masih mencintaiku, tetaplah seperti ini.”
Devian, lelaki yang sudah enam tahun ini menjalin hubungan denganku, akan menikah dengan wanita lain yang dijodohkan oleh orang tuanya. Namun, ia masih berharap aku menjadi kekasihnya.
Egois!
“Menjadi simpananmu?”
Devian hanya mengangguk seraya mengambil sehelai daun kecil yang gugur dan jatuh di rambutku.
“Sampai kapan?” tanyaku sambil menepis tangannya, menunjukkan rasa tidak senangku atas sikapnya.
Selama ini, aku sangat mengharapkan lelaki yang duduk di sampingku ini mengucapkan satu janji. Pernikahan. Namun, hingga detik ini, tak pernah kalimat itu terucap dari bibirnya. Lantas, ia datang kepadaku hanya untuk mengabarkan pernikahannya dengan wanita lain?
Bodoh! Aku merasa sangat bodoh telah bertahan dengannya, dalam hubungan yang tak pernah bisa memberiku kepastian.
“Kalau kau bertanya sampai kapan, artinya cintamu padaku terbatas,” jawabnya tanpa memandangku. Pandangannya tertuju pada burung-burung yang terbang di taman ini.
“Kau meragukanku, Dev?” tanyaku dengan hati yang bergetar menahan nyeri. Tak kusangka lelaki yang telah menjalin cinta denganku selama bertahun-tahun ini, seperti meragukan cintaku padanya.
“Penantian dan kesetiaanku selama enam tahun ini kau anggap apa?” tukasku.
“Kalau begitu jalani saja. Tak perlu kau tanyakan sampai kapan, jika kau benar-benar mencintaiku.”
Hatiku semakin sakit mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibirnya. Mengapa justru ia yang mempertanyakan cintaku? Bukankah seharusnya aku yang meragukan cintanya?
Ia menatapku dengan tatapan yang selalu membuatku tak mampu berkutik. Tatapan seseorang yang mendominasi dan tak ingin disalahkan. Aku selalu kalah dibuatnya.
“Aku sangat mencintaimu, seperti yang kau tahu. Dan aku ingin menjadi istrimu, Dev ….” Air mataku tak mampu lagi kubendung. Benar-benar sakit melihat sikapnya dan mengingat bagaimana cintaku padanya selama ini.
Tangan hangat itu menggenggam lembut tanganku. Seperti biasa, ia selalu mampu membuatku merasa lebih tenang dengan sentuhannya.
“Cinta tak harus menikah,” ujarnya.
Aku memandang tak percaya. Itukah alasan ia tak pernah mau mengatakan akan menikahiku? Oh, tidak! Kenapa seperti itu, Dev? Kenapa?
Aku ingin berteriak di hadapannya. Namun, lagi-lagi aku tak pernah berani melakukan hal itu pada lelaki yang selama ini mengisi kekosongan di hatiku.
“Kau milikku. Dan tetaplah menjadi milikku,” ucapnya lembut seraya mendekatkan wajahnya ke wajahku dan menyatukan dua muara di atas dagu kami.
Devian … kau benar-benar egois. Kau nikahi wanita lain, tetapi kau tidak bersedia melepaskanku.
Bodoh! Ya, aku wanita bodoh yang mau saja menuruti keinginannya. Meski, entah sampai kapan aku harus menjadi kekasih yang selalu disembunyikan dari semua orang.
Cinta! Satu kata yang selalu membuatku bertekuk lutut padanya.
***
Matahari sudah menunjukkan sinarnya. Aku terburu-buru ke kantor karena sudah hampir telat. Pengakuan Devian atas perjodohan dan pernikahannya yang akan berlangsung tak lama lagi, membuatku sulit memejamkan mata.
Sesampainya di lobi, aku segera berlari menuju Finger Print sebelum absensiku berwarna merah. Aku tidak ingin menjadi karyawan dengan banyak catatan buruk.
Setelah mesin absensi itu berbunyi, aku bergegas menuju lift untuk segera sampai ke lantai tiga. Pintu lift akan tertutup, aku harus berlari sebelum terlambat.
“Terima kasih,” ucapku pada seseorang yang menekan tombol agar pintu lift tidak tertutup. Ia seperti tahu aku sedang terburu-buru menuju ke sini.
“Sama-sama,” jawabnya singkat. Namun, matanya terus menatapku.
Dia menuju lantai yang sama denganku. Aku belum pernah melihat pria ini sebelumnya di kantor kami. Gelagatnya membuatku takut dan ingin segera keluar dari lift.
Pintu lift terbuka dan aku segera keluar dari sana menuju ruangan staf keuangan. Kupikir lelaki itu akan berjalan ke arah lain, tetapi aku bisa mendengar suara sepatunya di belakangku.
Dia mengikutiku? Tunggu! Siapa dia? Apa yang dia inginkan?
Aku mempercepat langkah untuk segera sampai di ruangan. Pria ini menuju ruangan yang sama!
Dia … duduk di kursi manajer?
Suara ketukan meja membuat para karyawan bagian keuangan menoleh ke sumbernya. Devian! Siapa lagi orang yang suka mengetuk meja untuk mendapatkan perhatian karyawannya selain dia.
Aku duduk di kursi kerjaku sebagai staf keuangan, menatap Devian yang bersikap seperti biasa tanpa memandangku. Ia berjalan melewatiku menuju meja manajer keuangan. Pintar sekali Devian menyembunyikan hubungan kami dari seluruh karyawan di perusahaan ini.
“Kalian semua sudah tahu kalau Pak Handi tidak lagi menjadi manajer keuangan di VG. Ini Pak Rendra, Ruri Narendra, yang akan menggantikan Pak Handi mulai hari ini.” Devian menepuk pundak lelaki yang baru beberapa menit lalu berdiri bersamaku di lift dan menciptakan suasana canggung.
“Selamat pagi, Pak.” Semua staf berdiri dan memberi hormat. Aku juga tak ketinggalan melakukan hal yang sama, meski merasa sedikit bersalah telah mengira ia mengikutiku.
Sepertinya, usia Pak Rendra tak jauh berbeda denganku. Namun, tatapan matanya itu tajam sekali. Sangat dingin. Seolah-olah ia ingin menerkam mangsa hidup-hidup.
Setelah mengenalkan manajer keuangan yang baru kepada para staf di sini, Devian kembali ke ruangannya sebagai direktur keuangan, yang membawahi kami semua di ruangan ini. Aku berharap ia melihatku meski sedetik. Namun, lagi-lagi harapan itu hanya tinggal harapan. Ia tak pernah memandangku di kantor. Meski di luar kantor, ia memperlakukanku seperti wanita yang sangat ia puja.
Tak ada seorang pun di perusahaan ini yang tahu hubungan kami. Devian beralasan tak boleh ada hubungan asmara dalam divisi yang sama. Alasan yang sesuai dengan perjanjian perusahaan. Namun, aku lebih yakin kalau ia malu memiliki kekasih yang hanya berstatus seorang staf sepertiku.
Meski begitu, hatiku selalu menyangkal bahwa aku hanya seorang ‘simpanan’. Aku tak ingin merusak kebahagiaan yang kudapatkan dari cintanya.
Suara notifikasi grup w******p staf keuangan membuatku penasaran dan segera membukanya setelah menyalakan komputer.
[Ay, lo tadi barengan sama manajer baru. Udah kenalan belom?]
[Ya ampuun, ganteng banget itu manajer baru, mana masih muda!]
[Kira-kira dia udah kawin belom, ya?]
Dan beberapa pesan lainnya dari para staf membuatku tersenyum geli.
Ya! Manajer baru itu memang masih muda dan sangat tampan. Namun, andaikan mereka juga melihat tatapannya saat di lift tadi, aku yakin mereka tak akan se-histeris ini.
Meja manajer yang berada dalam ruangan yang sama dengan para staf membuat kami bisa leluasa memperhatikannya, atau dia yang memperhatikan bawahannya. Pak Handi, manajer yang lama memang sengaja meminta agar ruangannya disatukan dengan para staf. Agar para staf bisa lebih disiplin dan bekerja dengan baik di bawah pengawasannya, katanya waktu itu.
Namun, Pak Handi ternyata atasan yang sangat ramah dan berjiwa muda, membuat suasana kerja kami jadi lebih nyaman. Berbeda sekali dengan manajer yang baru ini. Melihat tatapannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri.
“Manfaatkan waktu bekerja dengan efektif. Gunakan gadget seperlunya!”
Oh, tidak! Dia memperhatikan kami!
Suara berat penuh penekanan serta tatapan tajam itu membuat ruangan ini menjadi sangat hening. Sesaat teman-temanku saling pandang, lalu berkutat dengan komputer dan berkas di mejanya masing-masing. Hanya suara keybord para staf yang kini terdengar nyaring.
Aku pun segera memulai aktivitas seperti biasa. Sepertinya, hari-hari kami-para staf di sini-akan mulai sedikit mencekam. Sesuram hatiku yang mengetahui kalau sang kekasih akan segera menikahi wanita lain.
***