“Pak Rendra? Bapak baru sampai juga?”
Lesti tampak antusias bertemu dengan manajer baru itu di sini. Sementara, aku yang sudah lemas dan gemetar, semakin merasa tak bertenaga melihat lelaki itu.
“Iya,” jawab manajer keuangan kami itu. “Kamu sakit?” tanyanya padaku, seolah-olah peduli.
Aku hanya menggeleng, lalu mengajak Lesti masuk.
“Ay, lo gak kenapa-kenapa, kan? Muka lo kelihatan pucat,” tanya Lesti sambil memegang lenganku.
“Gue gak apa-apa,” jawabku lemah.
Kami langsung duduk di kursi yang disediakan untuk para tamu undangan. Aku tak melihat Pak Rendra. Ke mana lelaki itu? Syukurlah dia tidak mengikuti kami duduk di sini.
Aku mengedarkan pandangan, lalu melihat Pak Rendra sedang bersama manajer Vent Group lainnya. Mereka tampak sedang berbincang-bincang. Sesekali diiringi tawa.
Aku tidak melihat Devian dan Bella di pelaminan. Ke mana mereka? Apakah sedang berganti pakaian?
Sebuah foto berukuran besar terpajang di depan pelaminan yang megah ini. Devian tampak gagah dengan jas hitam yang dikenakannya. Di sampingnya, Bella tampak tersenyum sambil menggandeng mesra pinggang Devian.
Hatiku semakin sakit melihat foto itu. Sudah lama aku membayangkan bisa foto prewedding bersama Devian, lalu duduk berdua di pelaminan. Namun, kini aku hanya menjadi tamu di pernikahannya.
Rasanya aku ingin pergi saja dari tempat ini secepatnya.
“Ay, beruntung banget ya, si bos. Dapat istri model terkenal. Liat deh si Bella. Cantik bangeeet! Gue gak sabar ngeliat aslinya. Pengen minta tanda tangannya,” ujar Lesti.
Ucapannya itu membuatku semakin merasa minder dan sadar diri. Jika Devian bersanding denganku, mungkin kalimat yang terlontar dari bibir orang-orang adalah sebaliknya.
Orang akan menganggap Devian ketiban sial menikahi wanita sepertiku. Hanya seorang staf, asal usul keluarga tidak jelas, tak secantik model terkenal itu.
“Les, pulang, yuk!” ajakku.
“Hah? Pulang? Kita baru nyampe, Ai! Makan juga belum, ngeliat mantennya juga belum.”
“Yang penting, kan, kita udah dateng, udah setor muka.”
“Ya jangan gitu donk, Ay. Ayo lah kita ke sana, ambil makanan,” ajak Lesti.
“Lo aja, deh. Gue nunggu di sini,” tolakku.
Lesti menghela napas. “Lo kenapa, sih, Ay? Lo sakit?” Dia meletakkan telapak tangannya di keningku, lalu ke keningnya untuk membandingkan.
“Kayaknya lo demam,” ucapnya.
“Enggak. Gue gak kenapa-kenapa.”
“Beneran?”
Aku mengangguk.
“Ya udah, gue ke sana dulu, ya. Nanti gue bawain buat lo.”
“Oke.”
Lesti pun beranjak mengambil makanan. Tak lama, pandangan para tamu tertuju pada satu titik yang sama. Aku pun mengikuti arah pandang mereka.
Dua sejoli sedang berjalan beriringan. Gaun berwarna silver yang dipakai Bella membuatnya tampak begitu bersinar di tengah dekorasi bernuansa putih dan silver ini. Wajahnya benar-benar cantik. Jauh lebih cantik dari yang aku lihat di televisi.
Keduanya tampak tersenyum bahagia. Devian menggenggam tangan Bella dan membantunya naik ke atas panggung pelaminan yang megah bak istana negeri dongeng.
Di sini, di antara para tamu, aku memandangnya pilu. Hatiku serasa diiris sembilu. Tersayat-sayat, lalu disiram dengan air garam. Sakitnya sampai membuat dadaku terasa sesak.
Kedua mataku terasa panas. Rasanya aku tak mampu lagi membendung air mata ini. Aku ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.
Aku tak sanggup lagi berlama-lama di sini, melihat lelaki yang kucintai bertahun-tahun, bersanding dengan wanita lain di pelaminan. Kuputuskan untuk pulang saja.
Aku mencari Lesti untuk mengajaknya pulang. Namun, kulihat ia sedang mengobrol dengan staf lainnya. Mereka terlihat asyik dan sangat menikmati pesta ini.
Akhirnya kuputuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi online. Aku pun berjalan ke luar gedung tanpa memberi tahu Lesti. Biar nanti saja aku kirim pesan padanya kalau aku pulang lebih dulu.
Dengan lutut yang masih gemetar, aku berjalan sempoyongan. Pandanganku berkunang-kunang. Semua yang kulihat tampak berputar-putar. Pusing sekali, hingga aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelah semuanya menjadi gelap.
***
Perlahan aku membuka mata. Semua terlihat samar-samar pada awalnya, hingga aku bisa melihat dengan jelas langit-langit dan dinding ruangan yang terasa asing ini.
Aku mengucek-kucek mata untuk mempertajam penglihatan. Sebuah ruangan yang cukup luas, bernuansa monokrom, dan terlihat sangat bersih dan rapi.
Ini bukan kamarku, juga bukan kamar rumah sakit. Lantas, di mana aku sekarang?
“Sudah sadar?” Suara seseorang dari arah pintu mengagetkanku.
Aku jauh lebih terkejut lagi ketika menyadari siapa sosok yang baru saja masuk ke sini. Dia semakin dekat dan membuatku ketakutan.
Aku langsung menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan ini ruangan apa. Tidak! Jangan-jangan ini di rumahnya Pak Rendra?
Aku langsung bangkit duduk dan menutupi tubuhku dengan selimut.
“Apa yang Bapak lakukan pada saya?” tanyaku panik. Aku lalu melihat diriku sendiri. Pakaianku masih utuh melekat di badan.
Dia tampak tersenyum sinis.
“Melakukan apa? Kamu bukan seleraku!” jawabnya ketus, lalu menyodorkan segelas air putih padaku.
Aku mendelik mendengar jawabannya. Dia benar-benar merendahkanku! Tapi, syukurlah jika dia tak melakukan apa pun padaku.
“Minumlah, agar kamu sadar sepenuhnya,” ucapnya lagi.
Aku tak ingin memakan ataupun meminum sesuatu darinya. Aku harus tetap waspada terhadap lelaki ini. Aku pun gegas turun dari kasur dan berlari ke arah pintu.
“Kamu tidak akan bisa keluar!” ucapnya dengan suara keras, ketika aku sudah berada di depan ruangan, yang kuduga adalah kamar lelaki itu.
Aku langsung menghentikan langkah dan berbalik ke belakang, menatapnya penuh kebencian.
Ia menghampiriku dengan raut wajah datar. Tak seperti biasanya yang selalu menatapku tajam.
“A-apa yang Bapak inginkan?” tanyaku tergagap.
“Kamu tidak akan bisa keluar jika saya tidak memberikan kunci padamu.”
Lelaki itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci. Ia lalu berjalan menuju pintu depan dan membukanya.
Aku menatapnya heran dan masih dipenuhi rasa curiga.
“Istirahatlah,” ucapnya saat aku mendekat dan ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Dari sini aku bisa melihat pintu apartemenku yang berada tepat di depan apartemen miliknya ini.
Perlahan aku keluar dari rumahnya menuju pintu rumahku. Namun, sesampainya di depan, aku melupakan sesuatu. Tas! Aku melupakannya. Di mana tasku? Apakah di rumah Pak Rendra? Rasanya malas sekali aku kembali ke sana.
“Kamu melupakan ini,” ucapnya yang sudah berdiri di belakangku, membuatku tersentak kaget.
Aku pun berbalik badan dan melihat tasku ada di tangannya.
“Terima kasih,” ujarku singkat.
Segera kuambil tas itu dan mengeluarkan kunci dari dalam. Dengan cekatan aku membuka pintu dan langsung masuk, lalu menguncinya. Lelaki itu masih berdiri di depan saat aku menutup pintu.
Kenapa siang ini sikapnya sedikit aneh? Dia tak sedingin biasanya. Aku semakin curiga dia merencanakan sesuatu yang buruk padaku.