Pak Rendra? Kenapa dia bisa ada di sini? Ah, apa peduliku? Aku cukup membalas senyum anehnya itu dan berjalan menuju lift.
Aku merasakan seseorang mengikutiku. Langkah kakinya tepat tak jauh di belakangku. Apakah itu Pak Rendra? Mengapa ia mengikutiku? Monster satu ini benar-benar bikin panik!
Benar saja! Dia berdiri di depan lift yang sama denganku. Aku semakin merinding dibuatnya. Jangan-jangan ia ingin berbuat jahat padaku.
Bagaimana ini? Tidak ada orang pula yang akan menaiki lift. Aku semakin merasa takut. Dan dia, sama sekali tak menoleh padaku.
Pintu lift terbuka. Pak Rendra masuk lebih dulu ke dalamnya. Sedangkan aku? Kakiku terasa kaku di tempatnya.
“Pintunya akan saya tutup,” ucapnya tiba-tiba.
“Eh. Tunggu!”
Spontan aku berlari ke dalam lift sebelum pintunya benar-benar tertutup.
Kini aku berdiri tepat di sampingnya. Suasana di dalam lift ini benar-benar terasa horor buatku.
Pak Rendra menekan tombol lift lantai 4.
Tunggu! Bukankah apartemenku juga di lantai 4? Jangan-jangan ... dia memang ingin mengikutiku?
Perlahan aku menoleh ke samping. Ia masih berdiri kaku dengan pandangan lurus ke depan seperti tadi. Seperti patung!
“Lima detik!”
“Hah?”
“Sudah lima detik kamu menatap saya tanpa berkedip.”
Spontan aku menutup mulut. Astaga! Dia sampai menghitungnya?
Aku jadi salah tingkah dan mundur selangkah.
‘Ting!’
Kami sudah tiba di lantai 4. Aku buru-buru keluar dari lift dan berjalan cepat menuju pintu apartemenku. Aku tak ingin berlama-lama berada dekat dengan lelaki misterius itu.
Aku menoleh ke belakang untuk memastikan ia ke arah mana.
Oh My God! Kenapa dia berjalan ke arah yang sama denganku? Apakah dia benar-benar ingin berbuat jahat padaku?
Aku langsung berlari ke apartemenku dan buru-buru membuka pintu.
‘Bruk!’ Sebuah tangan yang tampak kekar meski masih terbalut jas berwarna hitam menarik kembali pintu apartemenku.
Jantungku serasa nyaris berhenti berdetak. Kakiku terasa gemetar. Mau apa manajer baru ini?
“Kunci mobilmu. Terjatuh di depan lift,” ucapnya sambil menyodorkan kunci mobil yang kuyakini memang milikku.
Aku memandang wajahnya dengan takut-takut dan segera mengambil kunciku dari tangannya. Namun, dari sorot matanya tidak terlihat kalau ia ingin berbuat jahat.
“Lima detik.”
“Hah?”
Aku segera memalingkan wajah. Sepertinya atasanku ini senang sekali menghitung seberapa lama orang memandangnya.
“Te-terima kasih,” ucapku gugup dan kembali membuka pintu.
Ia pun berjalan tanpa meresponsku. Aku penasaran ke mana ia pergi.
Kenapa ia berhenti di depan pintu apartemen depanku? Ia pun mengambil kunci dari saku celananya dan membuka pintu itu.
Jangan bilang kalau dia tinggal di situ!
Mataku langsung terbelalak saat ia menoleh ke belakang. Tersenyum dan berkata, “Semoga bisa bertetangga dengan baik.”
Ia lalu masuk dan menutup pintunya.
Aku masih terperangah dengan pintu apartemenku yang masih terbuka.
Ya ampun, yang benar saja! Pak Rendra jadi tetanggaku? Musibah apa lagi ini?
***
Alarm jam weker di meja dekat kasur memaksaku membuka mata dan menekan tombolnya agar benda itu berhenti membuat keributan di kamarku. Mataku benar-benar masih terasa berat untuk dibuka.
Ini semua gara-gara manajer baru nan m***m bin misterius itu. Aku tidak bisa tidur cepat semalam karena takut sekaligus penasaran. Kenapa ia bisa tinggal di sini? Di depan apartemenku?
Aku yakin ini semua bukan kebetulan. Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Pasti ada rencana tersembunyi yang hendak ia lakukan padaku.
Aargh! Pikiran-pikiran buruk itu yang membuatku sulit tidur semalam. Dan sekarang, mau tidak mau aku harus bangkit dari ranjang empuk ini jika tak ingin telat ke kantor.
Aku pun bergegas mandi dan mempersiapkan semuanya sebelum pergi bekerja seperti biasa. Aku mengintip ke arah pintu apartemen Pak Rendra sebelum keluar, untuk memastikan kami tidak keluar rumah secara bersamaan.
Suasanya tampaknya aman. Aku pun bergegas keluar dan mengunci pintu. Lalu berjalan terburu-buru menuju lift.
“Tunggu!” teriakku melihat pintu lift yang nyaris tertutup. Aku pun langsung masuk ke dalam begitu pintunya terbuka kembali.
Ada empat orang di dalam lift selain diriku. Salah satunya ... Pak Rendra? Astaga! Kenapa aku harus melihatnya lagi sepagi ini?
Pandangan mata kami sempat bertemu. Tatapan elangnya itu seperti hendak mengulitiku hidup-hidup. Bikin merinding saja! Untung ada orang lain di sini.
Keluar dari lift, aku segera berjalan cepat menuju basement. Kuharap bisa menjauh dari Pak Rendra.
“Carilah tempat yang tepat!”
Suaranya cukup kuat di tempat parkir gedung apartemen ini. Aku langsung menoleh dan mengerutkan dahi. Apa maksud Pak Rendra mengatakan itu?
Ia berjalan menghampiriku yang masih tak mengerti tentang sikapnya.
“Apa maksud Bapak?” tanyaku begitu ia sudah berdiri di hadapanku.
“Berduaan dengan lelaki yang akan menikah, lebih baik cari tempat yang lebih tertutup dibandingkan taman kota.”
Darahku serasa mendidih hingga naik ke ubun-ubun mendengar penuturannya. Dan, dari mana dia tahu? Apa dia memang mengikutiku?
“Apa Anda punya hobi menguntit dan mencampuri urusan orang lain?” tanyaku geram. Aku tak lagi menyebutnya Bapak. Di luar kantor, dia bukanlah atasanku.
“Saya hanya tidak suka melihat seorang bawahan yang memiliki skandal dengan petinggi perusahaan sekaligus calon suami orang lain.”
“Itu bukan urusan Anda!”
Gegas aku berjalan menuju mobilku. Namun, saat kubuka pintu mobil, tangannya langsung menutup kembali dengan keras.
“Menjadi urusanku selama orang yang berskandal dengan direktur, masih bekerja di bawah divisiku.”
Matanya menyorot tajam tepat di kedua mataku. Intonasinya benar-benar membuatku merasa tertekan. Aku sampai tak bisa berkata-kata dibuatnya.
“Aku akan selalu mengawasimu. Ingat itu!”
Ia pergi begitu saja setelah mengancamku. Napasku yang tadi terasa tersendat, kini baru bisa kuembuskan dengan leluasa, meski detak jantungku berdetak tak karuan.
Orang itu benar-benar menakutkan. Apa urusannya hubunganku dan Devian, dengan dirinya?
Oh Tuhan! Lututku rasanya lemas sekali karena ketakutan melihat sikap Pak Rendra. Aku masih berdiri di samping mobilku sambil mengatur napas. Kulihat mobilnya sudah melaju dan melewatiku begitu saja.
Sepertinya hari-hariku setelah ini akan menjadi lebih berat.
Aku pun berangkat ke kantor dengan pikiran yang tak menentu. Belum selesai urusan percintaanku dengan Devian yang tak pernah terlihat ujungnya, muncul masalah baru dari orang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan permasalahan hidupku.
Sesampainya di lobi kantor, aku sempat berpapasan dengan Devian. Seperti biasa, ia hanya melirikku, lalu berjalan begitu saja sambil berbicara dengan direktur lain di sampingnya. Ia tak pernah menganggapku ada jika sedang berada di tempat kerja.
Aku pun meneruskan langkah hingga tiba di ruangan staf keuangan. Kulihat manajer baru itu sedang menikmati minuman di gelasnya. Entah itu teh, kopi, atau lainnya, aku tak peduli.
Segera kunyalakan komputer dan memulai pekerjaanku. Aku berusaha untuk seprofesional mungkin dan tak membawa-bawa masalah pribadi ke urusan pekerjaan.
“Ehem!”
Suara itu mengejutkan kami.
“Saya minta perhatiannya sebentar,” lanjut si mata elang itu. Semua karyawan pun memperhatikannya. Aku penasaran apa yang akan dia sampaikan.
“Tak lama lagi Pak Devian menikah. Selain memberi kado pribadi, saya ingin memberi sesuatu untuk atasan kita atas nama divisi keuangan,” lanjutnya. “Menurut kalian, kado apa yang paling cocok untuk Pak Devian dan istrinya?”
Pertanyaan terakhir sepertinya dia tujukan padaku. Sorot mata sengaja menatapku saat mengatakan itu.
Rekan kerjaku saling bersahutan memberikan saran. Aku hanya diam sambil memandangi komputer di hadapanku. Malas menanggapi pertanyaan tak penting manusia aneh itu.
“Bagaimana menurutmu, Ayana?”
Suara baritonnya mengagetkanku. Spontan aku menoleh padanya.
“Kamu pasti sangat tahu apa yang paling berkesan untuk Pak Devian.”
Apa? Apa maksudnya pernyataan itu?
“Sa-saya tidak tahu, Pak,” jawabku yang mendadak gugup. Apakah dia ingin agar semua karyawan di sini tahu hubunganku dengan Devian? Benar-benar manusia picik manajer baru ini!
“Oh, saya pikir kamu tahu makanya saya lihat dari tadi kamu diam saja seperti tak peduli.”
Kalimatnya benar-benar menguras emosiku. Aku harus sabar setiap hari berhadapan dengan manusia satu ini.
“Ya sudah, kita ikuti saran terbanyak saja. Karena ini ide saya, jadi biar saya saja yang beli.”
Para staf di ruangan ini pun bersorak gembira. Mungkin mereka berpikir manajer baru ini sangat baik. Namun bagiku, dia seperti monster berwujud manusia.
“Ayana, saya minta tolong kamu temani saya sepulang kerja mencari barang itu.”
“Sa-saya, Pak?”
“Iya. Kenapa? Apa kamu ada acara sepulang kerja?” tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
Terpaksa aku menggeleng dan berkata tidak ada.
“Ya sudah. Selamat bekerja semuanya.”
“Selamat bekerja, Pak,” sambut rekan kerjaku.
Aku menghela napas berat. Kenapa harus aku? Hal apa lagi yang sedang kamu rencanakan padaku, Pak Monster?