Part 6 (Kecelakaan)

1490 Words
“Kenapa Bapak meminta saya untuk menemani Bapak?” tanyaku kesal setelah duduk di dalam mobilnya. Dia tak hanya menyita waktu dan tenagaku, tetapi juga memaksaku untuk naik ke mobilnya. Benar-benar orang yang menyebalkan! “Siapa lagi di antara para staf keuangan yang paling memahami Pak Devian?” Aku melipat kedua tangan di d**a dan memalingkan pandangan darinya. Mobil hitam ini mulai melaju meninggalkan gedung perkantoran. “Padahal tinggal cari saja barangnya!” jawabku kesal. “Saya butuh pendapatmu untuk memilih mana yang paling sesuai dengan selera direktur. Sebagai simpanannya, kamu tentu paham betul tentangnya.” Mendengar kalimat terakhirnya, hatiku benar-benar sakit. Simpanan? Andai Devian tak dijodohkan, mungkin saja aku yang bersanding dengannya di pelaminan. “Jika tak tahu apa pun tentang saya, lebih baik Bapak diam dan tidak usah mencampuri urusan orang lain!” ketusku. “Mungkin saya memang tidak apa-apa tentangmu. Tetapi apa yang saya lihat selama beberapa hari bekerja di sini, sudah cukup membuktikan kamu punya skandal dengan direktur keuangan.” Aku langsung menoleh dan menatapnya tajam. Lisannya benar-benar kejam dan tidak bisa didiamkan lagi. “Hentikan mobilnya!” pintaku dengan penuh kemarahan. Mungkin sekarang kedua mataku terlihat merah. Dadaku pun naik turun karena napas yang memburu. “Kenapa? Kamu tersinggung?” tanyanya dengan sikap seolah-olah acuh tak acuh, membuatku semakin geram. “Tujuan Bapak mengajak saya apa hanya ingin mengolok-olok saya?” “Saya tidak mengolok kamu. Itu fakta.” Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi dibuatnya. “Hentikan mobilnya sekarang juga!” teriakku. Dia masih diam. Segera kuputar kemudi agar mobil ini menepi. “Ayana! Apa yang kamu lakukan? Lepaskan?” Mobil ini mulai melaju tanpa kendali, ke kanan dan kiri jalan. Aku tak peduli selama dia tidak mau menghentikan mobilnya. “Ayana! Ini bahaya!” teriaknya. Dia berusaha melepaskan tanganku dari kemudi, sambil satu tangannya berusaha mengendalikan mobil. Tiba-tiba sebuah truk pengangkut barang datang dari arah berlawanan. “Oh, tidak!” Pak Rendra mendorongku kuat hingga kepalaku terbentur kaca di pintu mobil sampingku. Kurasakan mobil ini melaju ke kiri secara tiba-tiba. Mataku melotot melihat pohon di depan mobil kami. “Aaaa!” teriakku, sebelum benturan keras di kening dengan dashboard mobil terjadi. Aku sempat merintih kesakitan dan mendengar suara Pak Rendra memanggilku, sebelum akhirnya pandanganku menjadi gelap. *** Aku membuka mata perlahan dan merasakan nyeri di kepala. Tirai berwarna biru muda dan selang infus yang terhubung dengan tangan kiriku, membuatku langsung menyadari bahwa aku kini berada di bilik rumah sakit. Aku mencoba mengingat-ingat yang terjadi sebelumnya—yang menyebabkanku terbaring di brankar ini—meski kepalaku terasa semakin nyeri. “Akhirnya kamu sadar juga.” Suara itu tidak asing buatku. Aku segera menoleh ke sumber suara. Pak Rendra. Lelaki itu duduk santai di sofa ruangan ini, dengan kening sebelah kanan yang ditutup perban. Ya, aku ingat kalau sebelumnya kami mengalami kecelakaan saat hendak pergi mencari kado untuk Devian. Dan semua itu disebabkan oleh lelaki bermata tajam, setajam lisannya itu. “Kenapa bawa saya ke rumah sakit? Kenapa tidak biarkan saja saya mati?” “Kalau pun saya ingin kamu mati, itu tidak di mobil saya,” jawabnya tanpa terlihat rasa bersalah sedikit pun. Darahku benar-benar mendidih dibuatnya. Bukannya memanggilkan dokter, dia justru tega berkata seperti itu. Aku benar-benar kesal. Tidak ada gunanya aku bertahan di rumah sakit ini. Kucoba untuk melepas selang infus di tanganku. “Apa yang kamu lakukan?” Pak Rendra menghampiri dan mencoba menghentikanku. “Kenapa? Bukankah Anda ingin saya mati?” Aku sedikit meringis saat ia mencengkeram erat pergelangan tangan kananku. “Kamu tidak boleh mati secepat ini,” ucapnya dengan intonasi dan tatapan yang begitu tajam, hingga membuatku sedikit takut. Segera kutepis kuat tangannya dan menatapnya tak kalah tajam. “Saya juga tidak akan mati begitu saja. Asal Pak Rendra tahu, saya jauh lebih kuat dari yang Anda bayangkan!” Dia tersenyum sinis. “Baguslah. Jadi saya tidak perlu kasihan padamu,” ucapnya sebelum pergi meninggalkanku sendiri di ruangan ini. Dasar manusia tak punya hati! Aku memukul-mukul kasur sebagai pelampiasan kekesalanku padanya. Tak lama, dokter dan perawat datang memeriksa kondisiku. “Kapan saya bisa pulang, Dok?” tanyaku setelah dokter menjelaskan kondisiku yang tidak terlalu parah. Juga hasil tes yang menunjukkan tidak adanya cedera serius di bagian kepala. “Jika besok sudah tidak pusing, Mbak bisa pulang.” Aku mengangguk dan kembali seorang diri di kamar ini setelah kedua petugas medis itu keluar. Bosan sekali rasanya berbaring di sini. Aku melirik jam di dinding, sudah pukul 21.25. Memangnya, berapa lama aku tak sadarkan diri? Terdengar suara dari dalam perutku. Aku merasa lapar sekali. Tidak ada makanan apa pun di sini. Bahkan, manajer kejam itu sama sekali tak membelikan makanan untukku. Lebih baik aku pesan makanan saja. Aku langsung teringat tas dan ponselku. Akhirnya aku bisa bernapas lega setelah melihat tasku di meja. Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi kepalaku rasanya pusing sekali. Ya Tuhan, mengapa nasibku miris sekali seperti ini? Aku terus berusaha untuk duduk meski menahan nyeri. Perlahan kuturunkan kaki dari brankar. Tiba-tiba pintu kamarku dibuka. Pak Rendra? Mau apa lagi dia datang ke sini? “Mau mengambil ini?” Dia mengangkat tasku dari meja. Aku tak ingin menjawabnya. Kupalingkan wajah dari lelaki kejam itu. “Ini!” Dia meletakkan tas berwarna hitam itu di tepi brankar. Aku masih diam, tak ingin berbicara padanya. Sesaat kemudian, dia meletakkan dua buah plastik putih di dekat kakiku. “Makanlah, agar kamu punya tenaga untuk melawanku,” ucapnya, lalu pergi lagi meninggalkanku sendiri. Dasar lelaki itu! Apa sebenarnya yang dia inginkan? Perutku kembali berontak. Tanpa pikir panjang, kuraih dua bungkusan itu. Ternyata isinya makanan. Seporsi nasi goreng, burger, air mineral, dan jus jeruk. Mengapa dia mau repot-repot membawakan ini semua untukku? Jangan-jangan, ini ada racunnya! Kusingkirkan kembali bungkusan itu, meletakkannya di lantai. ‘Ceklek!’ Lagi-lagi pintu kamarku dibuka, bikin terkejut saja. Dia lagi, dia lagi. Mau apa lagi dia datang ke sini? “Hp-ku tertinggal.” Kulihat dia mengambil ponselnya di meja dan berjalan ke pintu. “Makanan itu tidak ada racunnya. Aku masih membutuhkanmu untuk mengerjakan banyak laporan,” ujarnya sambil melirik bungkusan yang dia bawa, lalu menutup kembali pintu kamar ini. Aku mencebik melihat sikapnya. Mulutnya benar-benar tak ada manis-manisnya. Segera kuambil bungkusan itu dan menikmati semuanya tanpa bersisa. Selesai makan, aku benar-benar merasa bosan. Kuambil ponsel dari dalam tas dan mengirim pesan suara kepada Lesti. “Les, besok gue gak masuk.” Tak lama Lesti langsung membalas pesanku dengan pesan suara juga. “Napa, Ay?” “Gue di rumah sakit. Ada insiden kecil.” Ponselku langsung berdering begitu Lesti mendengar pesan terakhir. “Halo, Ay. Lo kenapa?” tanyanya di ujung telepon. Suaranya terdengar panik. “Kecelakaan kecil, Ay.” “Kecelakaan? Di mana? Gue ke rumah sakit sekarang!” “Eeh, gak usah! Lagian ini udah malam, jam besuk juga udah lewat,” cegahku. “Terus lo sekarang sama siapa, Ay? Kok bisa kecelakaan? Kondisi lo gimana?” “Nanyanya satu-satu kali, Les,” jawabku disertai tawa kecil mendengar berondongan pertanyaan dari sahabatku itu. “Kondisi gue baik-baik aja, kok,” lanjutku. “Cuma pusing aja. Besok juga gue udah bisa pulang kalau udah gak pusing.” “Beneran?” tanyak Lesti seolah-olah tak percaya. “Iya, bener. Ngapain gue bohong.” “Terus siapa yang nungguin lo sekarang di rumah sakit? Rumah sakit mana?” “Gak ada. Gue di Rumah Sakit Harapan Kita.” “Ya ampun, Ay. Napa lo gak bilang ke gue dari tadi, sih, biar gue yang nungguin lo.” “Gak apa-apa. Lo santai aja.” “Kalau ada apa-apa, lo langsung telepon gue, ya, Ay.” “Siap, My Bestie.” “Jadi, lo kecelakaan gimana? Ngantuk lo ya bawa mobil?” “Enggak. Mobil gue aja masih di kantor.” “Lah, terus?” “Gue naik mobil Pak Rendra, mau beli kado buat Pam Devian. Nah, kecelakaan deh, tuh!” “Ya ampun, Ay! Kok bisa? Terus, kondisi Pak Rendra sekarang gimana?” “Dia jauh lebih baik dari gue. Udah pulang noh orangnya.” “Hah? Dia gak tanggung jawab, gitu? Nungguin lo di rumah sakit, kek. Masa main pulang aja!” gerutu Lesti. “Biar aja lah. Dia juga butuh istirahat.” “Kok bisa kecelakaan, Ay? Kejadiannya di mana?” “Hmm, panjang cerita. Kapan-kapan gue ceritain, ya.” “Ya udah, deh. Yang penting lo gak kenapa-kenapa, kan?” “Iya. Lo tenang aja.” “Ya udah, Ay. Lo istirahat, gih. Jangan tidur larut, entar makin pusing pala lo.” “Iya, Les. Makasih, ya.” Aku pun memutus panggilan telepon dan memandang langit-langit ruangan ini. Seketika aku teringat Devian dan mencari kontaknya di ponsel. Nyaris saja aku mengirimkan pesan padanya bahwa aku sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Sebelum akhirnya aku tersadar dan mengurungkan niat. Mungkin pesanku ini tak sepenting dulu lagi baginya. Pernikahan Devian dengan seorang model cantik bernama Bella itu hanya tinggal menghitung hari. Bagaimana kisah cintaku setelah Devian menikah? Haruskah kuakhiri saja, atau bertahan meski ini salah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD