“Pak Rendra!” teriakku saat lelaki itu tiba-tiba mendorongku ke dalam dan menutup pintu.
“Kenapa? Bukankah kamu senang berduaan dengan lelaki di rumahmu?”
Kalimatnya membuatku murka seketika.
“Keluar!” usirku.
“Bagaimana kalau aku tidak mau?”
Dia terus melangkah maju hingga membuatku terpojok di dinding.
“Saya mohon keluar, Pak!”
Tak menjawab permintaanku, kedua lengannya tiba-tiba mengunciku di dinding hingga aku tak bisa bergerak.
“Apa yang ingin Bapak lakukan?” Aku mulai merasa takut. Tatapan lelaki ini seolah-olah hendak menerkamku.
“Kamu terlihat ketakutan, Ayana.” Dia tersenyum tipis, seperti merendahkanku.
“Tolong, Pak. Keluar dari rumah saya ....” Aku kini memelas dengan air mata yang sudah terasa nyaris keluar dari kelopak mata.
“Kenapa kamu begitu tergila-gila dengan Devian, Ayana? Kenapa?!” tanyanya lembut, tetapi ia berteriak seketika sambil mencengkeram erat kedua lenganku.
Aku semakin ketakutan. Air mataku pun mengalir begitu saja. Kakiku gemetar dan terasa lemas. Bibirku berat untuk berkata-kata.
“Jawab aku, Ayana!” teriaknya lagi. Cengkeraman di kedua lenganku semakin kuat hingga membuatku kesakitan.
“A-pa yang Bapak inginkan?” tanyaku gugup.
“Apakah aku harus mengatakan dengan jelas padamu?” Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku hingga membuatku refleks memalingkan wajah ke samping.
“Tinggalkan Devian!” bisiknya di telingaku. Meski pelan, tetapi ucapannya terdengar seperti sebuah ancaman besar.
Aku memberanikan diri menghadap wajahnya.
“Apa urusannya dengan Anda, Pak? Kenapa Anda selalu mencampuri hubungan saya dengan Devian?”
“Kenapa aku harus menjelaskannya padamu?” tanyanya balik tanpa menjauhkan wajahnya dari wajahku.
“Dan kenapa saya harus menuruti permintaan Anda?” balasku dengan memberanikan diri.
Wajahnya tampak semakin murka mendengar jawabanku.
“Ooh, jadi kamu bersikeras?”
“Iya!” tegasku, dengan pipi yang masih dibasahi air mata.
“Baiklah. Mari kita lihat, apakah Devian masih mau dengan wanita yang telah tidur dengan lelaki lain!”
Mataku seketika terbelalak mendengar ucapannya. Sementara, lelaki di hadapanku ini justru menaikkan sebelah bibirnya. Ia tunjukkan ekspresi kemenangan di balik rencana busuknya.
“Lepaskan saya!”
Pak Rendra menarikku dengan paksa dan mendorong kuat tubuhku hingga tersungkur di sofa.
Aku hendak bangkit, tetapi lelaki itu dengan sigap mendorongku kembali dan duduk di atas kedua lututku. Tangannya memegang erat kedua tanganku yang terus memberontak.
“Lepaskan saya, Pak!” teriakku sambil terus berusaha melepaskan diri.
Namun, usahaku tidak membuahkan hasil. Cengkeramannya begitu kuat, dengan raut wajah dan tatapan mata yang membuat lututku semakin gemetar.
Perlahan ia turunkan wajahnya mendekati wajahku.
“Tidak, Pak! Jangan lakukan ini. Saya mohon!” Aku terus berteriak dan berusaha menghindar dengan memalingkan wajah ke kanan dan kiri.
Dia sama sekali tak mengindahkan permohonanku. Tangannya dengan cekatan menarik piyama yang kupakai hingga beberapa kancingnya terlepas.
“Tidaak! Jangan, Pak! Jangan lakukan itu. Aku mohon ...!” Aku menangis histeris sambil berusaha menutupi tubuhku yang sedikit terbuka.
Tangisanku sama sekali tak membuatnya iba. Dia terus menarik piyamaku hingga semua kancingnya terlepas. Dia menarik paksa pakaian atasku hingga menyisakan pemandangan dengan pakaian dalam yang menutupi dadaku.
Pak Rendra menurunkan wajahnya di bawah leherku dan menyusuri setiap bagian tanpa peduli dengan tangisanku.
“Jangan, Pak! Kumohon!”
“Tidak! Jangan lakukan itu!”
Dia masih terus melakukan hal menjijikkan itu padaku. Sementara, Devian tidak pernah melakukan hal itu terhadapku.
Aku merasa sudah di ujung tanduk. Harga diriku sudah diinjak-injak oleh lelaki ini. Aku harus menyelamatkan diriku sendiri sebelum dia benar-benar membuat harga diriku dan harta yang kujaga selama ini hancur olehnya.
“Saya akan meninggalkan Devian! Saya akan meninggalkannya!” teriakku frustrasi.
Aku tak punya pilihan lain selain mengatakan itu.
Pak Rendra seketika berhenti menjelajah bagian atas tubuhku. Ia mundur dan menatapku tajam.
“Coba ulangi sekali lagi!” perintahnya.
“Sa-ya akan meninggalkan Devian,” ucapku terbata-taba.
“Katakan yang jelas!” teriaknya.
“Saya akan meninggalkan Devian!” ucapku setengah berteriak di tengah rasa takut yang tak kunjung mereda. Kedua tanganku berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Sementara, lelaki itu masih duduk di atas kedua pahaku.
“Bagus!” ujarnya. Dia pun bangkit dan berdiri di samping sofa. Aku segera duduk dan mengambil bantal untuk menutupi tubuhku.
Aku terisak dengan memeluk bantal di hadapannya, yang hanya terdiam menatapku tanpa berbicara apa pun lagi. Aku benar-benar takut dibuatnya dan tak berani menatap wajah lelaki mengerikan itu.
Hingga beberapa saat kemudian, ia yang hanya berdiri membisu di hadapanku, akhirnya pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata pun.
Aku segera berlari mengunci pintu. Kusandarkan tubuhku di balik pintu dan menangis kencang di sana. Lututku semakin lemas hingga tak mampu lagi menopang tubuh. Perlahan tubuhku luruh, terduduk di lantai.
Kupeluk erat kedua lutut dan mengeluarkan semua perasaanku. Rasa takut, cemas, sedih, terluka, dan merasa tidak memiliki harga diri lagi.
Lelaki itu ... orang yang baru saja kukenal sudah nyaris meremukkan harga diriku yang tersisa. Aku benci padanya.
Pak Rendra, aku sangat membencimu!
***
Matahari sudah mulai meninggi saat kubuka tirai kamarku. Aku kembali berbaring dan menyelimuti tubuh. Tidak ada semangat bagiku untuk melakukan apa pun sejak kejadian semalam, yang membuatku trauma dan takut bertemu dengan lelaki itu.
Pak Rendra, mengapa dia tega melakukan itu padaku? Mengapa dia sampai nyaris berbuat sejauh itu hanya untuk memisahkanku dengan Devian? Apa tujuan lelaki yang baru kukenal itu sebenarnya?
Apakah ... dia menyukaiku?
Konyol! Jika dia memang menyukaiku, tidak mungkin dia berbuat buruk seperti semalam terhadapku. Tak mungkin pula dia selalu menatapku tajam penuh kebencian.
Lantas, dendam apa yang dia sembunyikan terhadapku? Bukankah kami baru saja saling mengenal sejak dia bekerja sebagai manajer keuangan yang baru di Vent Group?
Aku terus bertanya-tanya sendiri. Namun, tidak juga kutemukan jawabannya.
Aku semakin takut keluar rumah dan berpapasan dengan lelaki itu. Hari ini lebih baik aku di rumah saja, menenangkan diri. Kebetulan hari ini libur weekend.
Dan besok, adalah hari di mana hatiku akan hancur dan remuk melihat lelaki yang kucintai bersanding dengan wanita lain di pelaminan.
Ya Tuhan ... mengapa nasibku setragis ini? Tidak bisakah aku mendapatkan cinta seperti orang-orang lainnya? Mengapa sejak kecil aku tak pernah mendapatkannya? Mengapa?
Air mataku mengalir deras seiring kenangan-kenangan masa kecil yang kembali terbayang. Ayana kecil yang sering di-bully teman sekolah hanya karena tinggal di panti asuhan. Aku bahkan tidak pernah melihat wajah ayah dan ibuku.
Di saat siswa-siswi lain dijemput oleh orang tua mereka sepulang sekolah, aku hanya bisa menatapnya dari jauh dan membayangkan kalau aku merasakan hal yang sama. Namun kemudian, aku hanya bisa menangis menghadapi kenyataan, bahwa tak pernah ada orang tua yang menjemputku di sekolah.
Kini, nasibku tak kalah buruk kurasakan dibandingkan dulu. Aku hanya seorang wanita yang tak pernah mendapatkan pengakuan dari Devian, meski sudah cukup lama kami menjalin asmara. Dan sekarang, aku harus menghadapi kenyataan pahit bertemu dengan lelaki aneh nan kejam, yang memaksaku dengan cara menjijikkan agar meninggalkan Devian.
Tuhan ... bisakah Kau berikan aku sedikit cinta tanpa harus merasakan luka?