Sudah lebih dari setengah hari, dan aku masih betah berbaring di bawah selimut di kamarku. Tak ada hal apa pun yang kulakukan sejak pagi. Tidak makan, juga tidak mandi. Aku sama sekali tak memiliki semangat untuk melakukan apa pun.
Nafsu makanku hilang jika terbayang-bayang kejadian mengerikan semalam. Lututku masih terasa lemas untuk beranjak dari tempat tidur ini.
Seandainya aku tak mengambil keputusan itu, entah apa yang akan dilakukan oleh Pak Rendra padaku. Dia benar-benar manusia kejam yang tak punya hati.
Ponselku tiba-tiba berdering. Aku enggan beranjak dari tempat tidur untuk mengangkatnya. Namun, panggilan kembali terdengar. Mau tak mau aku bangkit untuk mengambil ponselku di meja.
Ternyata Lesti. Aku pun mengangkat teleponnya.
“Ay, lo ngapain?” tanyanya begitu telepon tersambung.
“Gak ada. Gue cuma lagi tidur-tiduran aja,” jawabku.
“Lo masih sakit, Ay?”
“Enggak. Emang kenapa?”
“Suara lo kedengeran serak dan lemes gitu.”
“Gue baru bangun tidur,” jawabku asal. Aku tak ingin menceritakan kejadian semalam padanya, meski Lesti merupakan sahabat baikku.
“Oh. Syukurlah kalau lo gak apa-apa. Lo udah pulang dari rumah sakit, kan?”
“Udah, Les. Dari semalam.”
“Pantesan pulang kerja semalam gue udah gak liat mobil lo lagi di parkiran.”
“He’em,” jawabku singkat.
“Lo udah beli kado buat Pak Bos?” tanyanya. Pak Bos yang Lesti maksud adalah Devian. Di kantor, lelaki itu memang kerap dipanggil dengan sebutan tersebut oleh para staf keuangan.
“Belum.” Aku bahkan sama sekali tidak terpikirkan untuk memberikan hadiah atas pernikahan Devian dengan Bella.
“Kalau gitu kita nge-mall, yuk. Nyari kado sekalian cuci mata.”
Aku diam sejenak. Kupikir aku memang lebih baik pergi bersama Lesti dari pada terus-terusan mengurung diri di balik selimut ini. Aku harus tetap semangat menjalani hidup. Dan aku butuh keluar rumah untuk sekadar menyegarkan pikiran.
“Ayo. Tapi lo jemput gue, ya, Les. Gue masih lemas bawa mobil sendiri.”
“Oke. Gue siap-siap dulu. Bye, Ay!”
“Bye!”
Setelah menutup telepon, aku pun bergegas untuk bersiap-siap keluar. Segera aku beranjak ke kamar mandi. Air yang mengalir dari shower terasa lebih segar dari biasanya saat membasahi tubuhku. Kuharap semua luka dan ingatan akan kejadian semalam bisa hanyut bersama dengan air yang mengalir ini.
Selesai mandi, aku menatap pantulan diriku di cermin. Mataku tampak sedikit bengkak akibat menangis semalaman. Aku harus menutupinya dengan make-up agar Lesti tidak curiga dan menanyakan sebabnya.
Tak lama setelah aku selesai bersiap-siap untuk berangkat, terdengar bel berbunyi. Aku melangkah menuju pintu, tetapi langkahku tiba-tiba terhenti.
Aku takut jika yang menekan bel adalah Pak Rendra. Kejadian semalam masih menyisakan trauma buatku.
Bel terus berbunyi karena aku masih juga mematung di ruang tengah. Tak lama, ponselku pun berdering. Panggilan masuk dari Lesti.
“Ay, lo udah siap? Gue udah di depan apartemen lo, nih! Dari tadi nekan bel.”
Aku merasa lega mendengarnya.
“Iya nih gue baru siap.”
Segera kumatikan telepon dan membuka pintu.
“Langsung berangkat?”
Aku mengangguk. Kami pun berjalan menuju lift. Aku sempat melirik sekilas ke pintu apartemen Pak Rendra. Kuharap ia segera pindah dari sana dan tak lagi mengganggu kehidupanku.
Lift sudah tiba di lantai basement. Aku dan Lesti segera berjalan menuju mobilnya yang terparkir di sana.
Saat hampir sampai ke mobil Lesti, tiba-tiba Lesti berteriak menyapa seseorang yang baru saja keluar dari mobilnya.
“Pak Rendra!” Lelaki itu sontak menoleh ke arah kami.
Tiba-tiba lutuku terasa kembali gemetar melihat lelaki itu. Aku pun mengalihkan pandangan dengan menatap lantai.
“Kalian mau ke mana?” tanya lelaki itu setelah menghampiri kami.
“Mau cuci mata, Pak. Sekalian cari kado buat Pak Devian. Bapak tinggal di sini?” tanya Lesti, yang terdengar antusias.
Rekan-rekan kerja wanita di kantor memang banyak yang tergila-gila dengan Pak Rendra. Kuakui wajahnya memang tampan. Ditambah sorot matanya yang tajam dan tampak misterius, mungkin menjadi daya tarik lebih bagi mereka.
Namun, bagiku dia adalah monster yang sangat kejam dan tak memiliki perasaan.
“Iya. Saya tinggal di sini,” jawab lelaki itu. Aku masih tak berani mendongak dan melihat wajahnya. Ingin aku segera berlari dari sini agar tak bertemu dengannya.
“Wah, tetanggan, donk, dengan Ayana!” ujar Lesti, yang terdengar semakin senang. Kuharap sahabatku ini tidak akan sering-sering main ke apartemenku hanya untuk melihat Pak Rendra.
“Iya,” ucap lelaki itu.
“Ay, kenapa lo gak bilang kalau lo tetanggaan sama Pak Manajer?” Kini Lesti berbicara padaku, setelah sejak tadi seperti menganggapku tidak ada.
Aku akhirnya mengangkat wajah, tetapi hanya menghadap Lesti.
“Gu-e—“
“Saya baru tiga hari, kok, pindah di sini. Jadi mungkin Ayana tidak sempat memberitahu temannya. Lagi pula, bukan hal yang penting untuk mengumumkannya,” jelas Pak Rendra.
Ah, lelaki itu sepertinya pintar sekali berbicara.
“Oh, begitu. Ya sudah, Pak. Kami jalan dulu.”
“Silakan. Hati-hati.”
“Siap, Pak!”
Aku pun segera berjalan menuju mobil Lesti yang terparkir tanpa menunggu apa-apa lagi. Rasanya aku bisa mati lemas jika berlama-lama berdiri di hadapan lelaki itu.
Di dalam mobil, Lesti terus membicarakab tentang Pak Rendra. Sesekali ia bertanya padaku tentang lelaki itu dan bagaimana dia bisa tinggal di gedung apartemen yang sama denganku.
Aku hanya menanggapinya dengan anggukan, dan sesekali menjawab tidak tahu.
“Menurut lo, dia udah punya pacar belum, ya, Ay? Atau malah udah punya istri?”
Tak tahan lagi mendengar Lesti terus menerus membicarakan Pak Rendra, aku akhirnya angkat suara.
“Les, bisa gak, sih, lo gak usah ngomongin Pak Rendra?” ucapku dengan nada kesal.
“Lo kenapa jadi sewot gitu, sih, Ay?”
“Sorry. Gue cuma gak suka aja sama manajer baru itu.”
“Gara-gara lo sering dikasih kerjaan gak kira-kira sama dia?” tanya Lesti.
Aku menghela napas. “Iya,” jawabku lesu. Lesti tak tahu apa yang terjadi di luar kantor antara aku dan manajer baru itu. Biarlah dia berpikir hanya tentang hal itu.
“Awas loh, Ay. Benci entar lama-lama jadi cinta,” ujar Lesti diiringi tawanya.
Lagi-lagi aku hanya mengembuskan napas panjang menanggapi ucapan sahabatku ini.
Cinta? Jatuh cinta ke lelaki monster itu? Kuharap itu tidak akan pernah terjadi meski lelaki di dunia ini hanya tinggal Pak Rendra seorang.