BAB 7: HATI YANG BERKARAT

1579 Words
Ari menatap geram pada Della. Kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Saat itu Della sadar, Ari pasti mengikuti Haven, menyaksikan sendiri pria itu masuk ke unitnya. Della menahan kekesalan, tertawa sinis di dalam benaknya. Entah apa maksud Ari, seharusnya ia muncul dari tadi kan? Tak perlu menunggu hingga Haven mengganggunya di dini hari seperti ini. “Lo mau masuk dan urus Haven atau diam aja di sini?” tanya Della, ketus. Ari menyeringai, sinis. “Ga usah nyari gara-gara sama gue! Sandiwara lo udah ketebak!” sulut Della lagi. “Apa?” “Lo pasti ngikutin Haven kan? Untuk apa? Untuk membuktikan praduga lo yang ga beralasan kalau Haven akan datang ke sini? Atau untuk ngenyangin ego lo kalau gue masih ngerayu dia? Kelu. Ari terdiam, enggan menjawab pertanyaan Della. “Masuk!” tegas Della. Ari melangkah, masuk ke dalam unit Della, langsung bersimpuh di samping Haven. “Ngapain lo Jo?” tanya Della dengan ponsel yang sudah menempel di telinga kanannya, mengganggu me time Jondy. Sahabat Della itu memang rutin begadang setiap weekend. “Ngapain lagi, ya maraton nonton drakor dong.” “Turun Jo!” “Turun kemana?” “Ke tempat gue!” Ya, Jondy dan Della memang tinggal di satu apartemen, berbeda tiga lantai. “Ajak Eja!” “Astaga! Mau ngapain sih? Lo ga liat ini jam berapa?” “Haven di sini!” “JAAA! BURUAN SIAP-SIAP! KE UNIT DELLA!” pekik Jondy seketika pada adik semata wayangnya. “Buset! Lo kira-kira dong teriak di kuping orang!” omel Della. “NGAPAIN? GUE LAGI NONTON BOLA!” balas Eja, Della yang mendengar kedua bersaudara itu saling berbalas pekikan hanya bisa menggelengkan kepalanya. “ADA MALING!” Della terkekeh geli. “Tunggu! Bentar lagi gue ke tempat lo!” ujar Jondy yang langsung menutup panggilan Della. Della kembali masuk ke dalam unitnya, menonton Ari yang sedang bersusah payah hendak menarik Haven agar pindah dari tempatnya terbaring. “Ga usah repot-repot! Gue udah panggil bala bantuan!” ketus Della lagi. “Aku bawa Haven pulang aja!” ujar Ari, sengit. “Ya terserah lo! Gih sana!” balas Della, dingin, tak perduli. “Harusnya aku yang marah, Kak!” Della hanya mendelik. “Aku yang pacarnya Haven, tapi Haven malah datang ke sini!” ujar Ari lagi, parau, menahan tangisnya. “Ngapain lo nangis? Fakta lo ada di sini, artinya lo udah ngikutin Haven sedari tadi. Artinya juga lo tau Haven mabuk-mabukan! Ga usah drama lo! Harusnya lo cegah dong dia sampai mabuk begitu!” “Oh, jadi Kak Della masih perduli sama Haven? Jangan-jangan benar kalian masih berhubungan di belakangku!” “Terserah! Gue ga perduli dengan pikiran lo!” Baru saja Ari hendak membalas ucapan sinis Della, pintu unit Della kembali terbuka. Seorang pria yang lebih muda lima tahun dari Della tergesa mendekat. “Mana malingnya Kak?” “Tuh!” ujar Della. Datar. Merujuk pada Haven. Eja mengerutkan keningnya, kemudian menggeleng. “Ngapain dia di sini?” “Ya lo tanya aja sama dia!” “Kok lo jadi nyolotnya sama gue sih Kak!” keluh Eja. “Sorry. Maaf ya adikku, kebawa bete gue jam segini didatengin pasangan artis! Kebanyakan drama! Najis banget emang!” Eja dan Jondy sama-sama terkekeh, sementara Ari membeku di tempatnya. Eja mendekati Haven, bersiap memapahnya, memindahkan pria itu dari posisinya yang menutup akses keluar masuk unit Della. “Kemana Kak?” “Sofa!” “Serius? Panjangan dia Kak!” “Terus? Di ranjang gue? Dih, enak amat! No way! Mending lo lempar aja tuh sekalian ke tempat sampah!” Eja menurut, memapah Haven dengan susah payah, berpindah ke sofa di ruang serbaguna tempat itu, sementara Della beranjak ke kamarnya guna mengambil barang-barang pribadinya. “Lo urus tuh cowok lo! Gue ke unit Jondy,” ujar Della pada Ari. Ari diam saja. “Berhenti drama, Ri! Gue cukup yakin lo sadar saat memutuskan selingkuh sama Haven! Apa lo pikir hubungan yang dimulai dengan perselingkuhan akan lancar-lancar aja? Sudah lama putus apanya? What the hell! Silahkan nikmati akibat dari perbuatan kalian! I don’t care!” Jondy tersenyum sinis. Eja menepukkan kedua tangannya tanpa bunyi. Della tak menunggu Ari menjawab, ia melangkah kembali, keluar dari unitnya disusul Jondy dan Eja. Membiarkan kedua insan yang sedang bermasalah itu menikmati waktu suram berdua. *** Pagi harinya, Haven bangun dari tidurnya dengan sakit kepala yang luar biasa hebat beserta mual yang membuatnya sangat tak nyaman. Ia duduk terdiam di sofa, mencoba mengendalikan rasa sakitnya. Setelah beberapa saat yang berakhir gagal, Haven berlari menuju kamar mandi di unit Della. “Ari?” tegur Haven, tak percaya dengan apa yang dilihatnya selepas memuntahkan semua isi perutnya pagi itu. Ari duduk di minibar. Dua cangkir minuman hangat yang masih mengeluarkan asap tersaji di hadapannya. Juga dua kotak sterofoam yang Haven duga isinya adalah bubur. Haven menyapukan pandangannya ke seluruh sisi unit, masih merasa aneh dengan kehadiran Ari di sana. “She’s not here,” lirih Ari. Haven berjalan ke dapur di balik minibar, mengambil mug, mengisinya dengan air putih hangat sebelum menenggak cairan itu hingga tandas. “Ngapain kamu di sini?” tanya Haven, sinis. Ia melangkah mendekat, duduk di samping Ari. Ari menyodorkan satu kotak makanan yang tadi dibelinya, membuka kotak itu tepat di hadapan Haven. “Makan, Hav.” “Thanks.” “Kamu udah mandi?” tanya Ari, memecah kebekuan di antara mereka. “Hmm!” “Sepertinya kamu hafal setiap sudut tempat ini,” gumam Ari. Kecewa. “Jangankan tempat ini! Posisi semua tahi lalat di tubuh Della saja aku tau!” Haven membanting sendok yang digenggamnya, mendengus keras. “Kamu mengikutiku lagi?” “Aku pacar kamu, Hav. Aku berhak tau kemana saja kamu pergi!” Kali ini Haven menyeringai. “Sudah berapa kali aku bilang, ayo kita putus Ari! Atau jangan salahkan aku kalau aku menyakitimu berulang kali! Aku capek pacaran sama kamu.” “Dan aku udah jawab berkali-kali, aku ga akan mengiyakan permintaan putusmu! Aku mencintaimu, Hav!” “Cinta? Bullshit! Cinta yang kamu agung-agungkan itu mengerikan Ari!” “Bagi aku, jauh lebih mengerikan kalau kamu kembali sama dia!” “Sebenarnya apa sih masalah kamu? Kenapa kamu merusak hubunganku dengan Della? Dan kalau aku kembali padanya, kamu akan menghancurkanku? Apa hak kamu ngomong begitu? Kamu bahkan tega dengan sepupumu sendiri?” “Ya!” “Ada apa sebenarnya Ari? Apa salah Della padamu?” Ari kembali diam. Selalu seperti itu. Setiap kali Haven bertanya apa masalah kekasihnya itu dengan sang mantan, Ari menutup mulutnya rapat. “Ingat saja perkataanku Hav. Berani kamu meninggalkan aku, salah satu dari kami yang akan mati! Juga jangan lupakan kehancuranmu!” *** Jakarta di masa lalu. Gadis kecil berusia lima tahun itu berdiam diri di dalam kamar orang tuanya. Rumahnya sudah tak seramai tadi ataupun dua hari terakhir kemarin. Ia masih berusaha mencerna mengapa kemarin lusa Ayah dan Ibunya datang menggunakan ambulans, lalu orang-orang berkumpul di rumahnya, beberapa jam kemudian Ayah dan Ibunya ditanam di dalam tanah yang dingin dan gelap. Ari meneteskan air matanya kembali. Apakah itu artinya Ayah dan Ibunya sudah tiada? “Ari?” sapa seorang wanita yang membuka pintu kamar itu. Perempuan itu berjalan mendekatinya. Bergabung bersamanya di atas ranjang, memeluk Ari hangat. “Ari ikut Aunty ya?” “Kemana?” “Ke rumah Aunty.” “Kenapa?” Anindita, adik kandung dari Ibu Ari menatap lekat manik mata milik keponakan kecilnya. Iba. Betapa menyedihkan nasib gadis kecil itu. Kedua orang tuanya tewas seketika kala mengalami kecelakaan maut beberapa hari lalu. Dan kini, Abang sang Ayah, Darya, meminta semua harta kepemilikan almarhum dengan alasan bahwa dirinyalah ahli waris yang sah karena adiknya yang tewas itu tak memilki anak laki-laki, sementara saat Anindita meminta agar Darya mengasuh Ari, Darya menolaknya mentah-mentah dengan alasan anak kandungnya sendiri sudah banyak. Picik dan serakah sekali memang pria itu. “Tinggal sama Aunty, sayang.” “Ayah dan Ibu ga pulang lagi?” Anindita meneteskan air matanya kembali. Menggeleng. “Mulai sekarang, Ari harus panggil Mama ke Aunty ya?” Ari menatap lekat adik Ibunya itu, bertanya-tanya di dalam benaknya, apakah kini ia menjadi anak dari perempuan di hadapannya? “Aunty jadi Mama Ari?” “Iya, sayang.” “Om Genta?” “Jadi Papa Ari.” “Boleh?” “Boleh dong, sayang.” Ari kembali terdiam. “Ari mau kan ikut sama Mama?” Ari kecil mengangguk lesu. Sepanjang masa kanak-kanaknya, baik Anindita ataupun Genta tak membedakan Ari dengan kedua puterinya. Tetapi saat gadis-gadis itu beranjak dewasa, satu kekhawatiran terbit di hati dan pikiran Genta. Pria itu khawatir jika setelah bertahun-tahun turut membangun perusahaan sang Ayah, pada akhirnya tampuk kepemimpinan akan diserahkan pada Kakak laki-lakinya, Lingga, Ayah Della. Alasannya sederhana hanya karena Genta tak memiliki anak laki-laki. Entah siapa yang memprovokasi pria itu hingga bahkan sikapnya berubah keras pada ketiga puterinya. Yang lebih menyedihkan lagi, kedua puteri kandungnya tak ada yang memiliki bakat berbisnis yang mumpuni, justru sang puteri angkat yang terlihat sangat menonjol. Sayangnya, ego Genta tak juga bisa dikenyangkan, melihat Della dan kakak laki-lakinya yang memiliki kepandaian dan bakat bisnis yang luar biasa membuat pria itu semakin panas hati, iri dengan semua berkat yang Lingga miliki. Amarahnya ia lampiaskan pada Ari, menuntut Ari agar membalas budi. “Sekali saja saya lihat kamu kalah dari Della, silahkan angkat kaki dari rumah ini! Pergi dengan selembar baju yang melekat di tubuhmu, sama seperti saat kamu datang ke sini. Sudah saatnya kamu membalas budi! Buktikan jika saya tidak salah mengadopsimu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD