BAB 8: ORANG YANG PURA-PURA TAK BERSALAH

2047 Words
Della memperlambat langkahnya kala mendapati Haven yang duduk lesu di depan pintu unitnya. Entah apa yang masih dilakukan Haven di sana. Hari sudah melewati tengah hari, Ari tak pula ada di sisinya, atau mungkinkah Ari masih ada di dalam unitnya? “Della,” lirih Haven, memelas. “Hav, kita sudah dua tahun berpisah, harusnya kamu ga ngusik aku lagi dong.” keluh Della. Haven tak menanggapi, hanya menatap Della sendu. “Mana Ari?” tanya Della. “Di dalam.” “Kalian ini maunya apa sih? Ga punya tempat tinggal?” “Maafin aku, Del.” “Aku sudah maafin kamu. Cukup?” “Kita bisa kembali seperti dulu?” “Hav, sayangnya aku tidak bisa melupakan apa yang kamu lakukan padaku. Yang kalian lakukan padaku lebih tepatnya!” Haven kembali terdiam. “Boleh aku mengatakan sesuatu?” tanya Della lagi. Haven tak menjawab, masih menatap Della lekat. “Kuanggap boleh kalau begitu. Jaga hubunganmu dengan Ari, Hav. Jangan menyesal dua kali.” “Aku tidak mencintainya!” “Kata siapa?” “Aku pemilik hatiku, Del. Aku tau pasti perasaanku padanya.” “Oh ya, sama seperti saat kamu menduga kalau kamu ga lagi mencintaiku? Berkhianat dengan Ari. Ternyata setelah aku pergi, kamu baru sadar kalau kamu cinta aku? Dan kamu berharap aku percaya pernyataanmu barusan?” Kelu. Haven kembali tak mampu menjawab rentetan pertanyaan Della. Della membuka pintu unitnya, menatap Ari yang berdiri di balik pintu dengan wajah sendu. “Tunggu di luar, aku perlu bicara dengan Ari,” ujar Della lagi pada Haven. “Ga ada yang perlu kamu bicarakan dengan dia!” ketus Haven. “Aku bukan mau ngomongin kamu, ga usah besar kepala Hav! Kamu pikir isi dunia ini hanya mengitarimu? Selalu tentang kamu?” “Della... kenapa kita jadi seperti ini?” “Kenapa? Kamu ga suka cara bicaraku sekarang? Apa kamu lupa, ini sudah berlalu dua tahun sejak kita putus. Ga mungkin kan aku memperlakukanmu seperti dulu? Aneh banget sih, kamu bikin aku buang-buang waktu ta ga, Hav!” Della masuk ke dalam unitnya, menutup pintu begitu saja, tak memperdulilan Haven yang pilu di luar sana. “Duduk Ri!” pinta Della yang sudah duduk lebih dulu di sofa living room-nya. Ari melangkah tanpa suara, duduk di sofa yang sama dengan Della, hanya terjeda satu dudukan. Della menyesap caffe latte hangat di dalam genggamannya, memilih menenangkan diri terlebih dahulu dengan minuman favoritnya itu. “Ngomong aja, Ri.” “Tentang apa?” “Mmm, mungkin lo bisa mulai dari kenapa lo selalu ngikutin gue?” “Apa?” “Gue psikolog, Ri. Gue punya ilmu yang lo ga miliki. Apa lo ga ngerasa aneh kenapa pada akhirnya gue memilih psikologi instead of business school?” Ari menatap Della lekat. Masih memilih diam. “Ri?” “Karena aku kepingin seperti Kak Della.” “Apa?” “Aku ingin sehebat Kak Della?” “Oh, come on, Ari! Lo ga perlu terus berbohong. Bukan karena Om Genta yang khawatir Kakek menghibahkan semua warisannya pada Papa karena hanya Papa yang memberikan cucu laki-laki untuk Kakek?” Ari kembali diam. “Kamu pikir itu keinginan Papa?” ‘Jangan pernah berdebat atau menjawab apapun perihal persoalan perusahaan tanpa seijin saya!’ peringatan Genta kembali terngiang di telinga Ari. “Ari, ada hal-hal yang lo ga tau tentang gue, tentang Mas Afgan, tentang Papa dan Mama. Jadi, amat sangat ga adil kalau lo bersikap sejauh ini hanya untuk memastikan dan menunjukkan diri lo yang lebih qualified untuk menjalankan management perusahaan, terlebih untuk memegang tampuk pimpinan. “Bahkan jujur aja, baik Mas Afgan dan juga gue ga ada yang terlalu perduli dengan selentingan yang ga jelas darimana asal muasalnya itu. Kasih sayang Kakek ke Papa dan Om Genta sama besarnya, begitupun ke kita cucu-cucunya, termasuk ke lo, Ri.” “Yeah, thanks,” gumam Ari, dingin. “Ri, gue dan mas Afgan dididik keras sama Papa sedari kami kecil. Lo tau, bahkan kami diwajibkan membaca satu artikel atau cerita per hari dan mempresentasikannya ke Papa setiap kali beliau pulang kerja. Begitu kami duduk di bangku SMP, kami ga pernah sampai di rumah sebelum jam delapan malam. Untuk apa? Les, Ri. Dari mulai les bahasa, matematika, kepribadian, musik, sampai olah raga. Saat teman-teman kami berpikir main apa hari ini, kami justru berpikir belajar apa hari ini. Apa lo tau kenapa Papa mendidik kami seperti itu? Semata-mata karena Papa ga mau kami gelap harta, menginginkan apa yang kakek miliki. Papa ingin kami punya cukup ilmu untuk menopang kehidupan kami sendiri dan keluarga kami kelak. Jadi kalau lo kerap berlaku seperti serigala berbulu domba pada gue dan mas Afgan, berhentilah Ri.” Ari mendengus, menahan semua kata yang sudah berada di ujung lidahnya. “Sudah?” tanya Ari. “Apa?” “Kalau Kak Della sudah selesai, aku mau pulang.” “Satu lagi! Haven cinta sama lo, Ri. Kalau lo berpikir lo kuat ngadepin sikap Haven yang seringkali ga sadar diri, bertahanlah. Tapi kalau lo ga tahan, tinggalkan dia. Lo dan dia sama berharganya. Pesan gue, jangan mempertahankan hubungan dengan orang yang bahkan ga mau memperjuangkan kita.” Ari masih mempertahankan wajah datarnya. Ia tau tak ada yang salah dari perkataan Della. Tapi masalahnya, memangnya dia punya pilihan? Dia hanyalah seorang yatim piatu yang wajib membalas budi orang yang sudah menolongnya bukan? Ari berdiri dari tempatnya duduk, menoleh pada Della yang masih lekat menatapnya. “Aku pulang, Kak.” “Hmm. Hati-hati di jalan.” *** “Dek?” sapa Afgan saat memasuki unit Della. Della yang sedang melapisi wajahnya dengan masker melepaskan dua irisan mentimun dari kelopak matanya. “Lho, kok ga bilang mau ke sini?” “Pake beha dulu lo sana!” omel Afgan. Della menurunkan pandangannya, lalu menutup dadanya dengan kedua tangan yang saling bersilang seraya mencengir lebar. Ia kemudian beranjak dari posisi malasnya, menuju kamar, mengganti pakaian yang lebih sopan. “Udah tau adeknya cewek, bilang dulu kek kalau mau datang!” Afgan tetap acuh, menyesap caramel macchiato yang dibawanya. “Itu buat gue?” tanya Della, merujuk pada satu cup minuman dingin yang sama dengan milik Afgan. Afgan mengangguk. “Ngapain si Haven sama Ari ke sini?” “Lo liat mereka?” “Liat pas beli kopi. Ngapain lagi mereka ke daerah sini kalau bukan ke tempat lo?” “Udahlah, ga penting.” “Mereka ga ada yang bilang kalau mereka mau tunangan?” Della membeku. “Lo masih cinta sama Haven?” Della tetap tak menjawab. “Gue juga ga tau kalau bukan karena si Bondan yang ngasih tau. Dia diundang, masih lisan sih dari Om Genta katanya.” Dan akhirnya, Della mendengus. "Well, I believe they have a business engagement!" tandas Afgan lagi. “Kasian ya,” lirih Della. “Siapa?” “Keduanya.” “Buat apa lo kasian sama mereka?” ketus Afgan. “Ya ampun Mas….” “Satu, Haven selingkuh dari lo, dapet Ari yang bikin pusing, ya suruh dia nikmatinlah pilihan dia. Kedua, fakta Haven adalah cowok yang Ari mau, artinya ga masalah dong buat Ari. Jadi darimana harus dikasihaninya?” Della terdiam. “Dengar ya Dek, 19 bulan lo berjuang melawan trauma lo. Gue yang mendampingi lo bolak balik dirawat di rumah sakit karena GERD lo yang kerap kali kumat setiap kali lo ingat kembali pengkhianatan Haven, bahkan lo sempat nyaris meregang nyawa. Dan lo bilang lo kasian sama dia? Sama mereka? f**k! No way, Della!” “Maaf, Mas,” cicit Della. “Baru enam bulan terakhir Dek lo dinyatakan sembuh,” lirih Afgan. “Iya, Mas.... Maaf.” Afgan mendengus keras. “Jangan pernah lagi lo ngasihanin mereka. Mereka aja ga tau diri, udah bikin masalah masih berani muncul di depan lo!” “Iya Masku sayang. Ya ampun, kalau udah marah kenapa ga bisa berhenti sih?” “Kesel gue!” Della malah tergelak. “Jadi, gimana Yokohama?” tanya Della, mengalihkan pembicaraan. “Ya gitu-gitu aja.” “Closing ga?” “Semoga.” “Gue lapar Mas.” “Pesan aja sih!” “Pengen aglio pasta bikinan lo.” “Bahannya ada?” “Ada.” “Ya udah gue bikin dulu.” “Asiiik! Makasih Masku sayang. Mas terdabes!” *** Jakarta, 25 bulan yang lalu. “Dek?” ‘Kok gelap semua sih?’ Afgan baru saja pulang dari perjalan bisnisnya, menempuh sekitar delapan jam perjalanan di udara dari Doha menuju Cengkareng, dan dua jam lebih perjalanan darat dari bandara ke unit Della. Tubuhnya letih. Ia memilih untuk menginap di unit Della karena esok hari meeting penting sudah menantinya di kantor. “Dek?” Afgan memanggil Della lagi. Hari baru menunjukkan sekitar pukul tujuh malam dan semua lampu di unit Della tak menyala. Ia kembali melangkah, menuju kamar Della, bisa saja Della tertidur sejak sore tadi bukan? Afgan membuka pintu kamar Della, tak ada cahaya sedikitpun di sana. Ia menyalakan lampu kamar di salah satu sisi dinding, entah mengapa perasaannya begitu khawatir. “Della? Dek?” Ranjang Della kosong. Baru saja Afgan hendak berbalik, keluar dari kamar adiknya itu, saat ia mendapati bayangan kaki dari sudut matanya. Afgan beranjak kembali, ke sisi kiri ranjang Della. Tepat di atas lantai, Della tak sadarkan diri. “Oh My God! Della, wake up! Wake up please!” ujar Afgan, panik. Ia meninggikan bagian atas tubuh Della, memeluk sang adik seraya menahan tangisnya Afgan mengeluarkan ponselnya, menekan satu nomor yang selalu diandalkannya untuk mengawasi keadaan Della kala ia tak ada di Jakarta. “Ya Mas?” “Turun sekarang, Ja! Siapin mobil! Della pingsan!” “s**t! Oke. Ke unit dulu?” “Ga usah, tunggu gue di lobby!” tutup Afgan. Sementara itu, berbeda tiga lantai dengan unit Della, Eja menyambar hoodie hitam dan kunci mobilnya lalu berlari ke lift menuju pelataran parkir apartemen. Setengah jam kemudian, Afgan berlari seraya menggendong Della di depan dadanya dari pelataran parkir rumah sakit menuji instalansi gawat darurat. Badan Della semakin dingin, napasnya semakin pendek-pendek. Begitu tiba di tempat khusus yang ditujukan untuk kasus darurat itu, para tenaga medis langsung sigap, berburu dengan waktu. Eja membawa Afgan menjauh, menunggu di ruang tunggu, membiarkan para dokter dan perawat memberi pertolongan pada Della. “Mas,” lirih Della saat Afgan kembali menemuinya nyaris dua jam kemudian. Afgan berjalan lemah mendekatinya, air mata di wajahnya tak henti berderai sejak dokter menceritakan keadaan Della padanya. “Mas... kenapa?” Afgan menghapus air matanya, mengusap lembut puncak kepala Della. “Kamu ada masalah apa Dek?” tanya Afgan, pilu. “Jangan bohong sama Mas, keadaanmu ga mungkin separah ini kalau ga ada pemicunya,” lanjut Afgan. “Memangnya aku kenapa Mas?” “GERD, dan sudah sampai menyebabkan pneumonia aspirasi.” “Apa?” tanya Della, tak percaya. “Kalau Mas terlambat menemukan kamu, bisa aja....” Isak tangis Afgan kembali terdengar, ia benar-benar ketakutan kehilangan satu-satunya saudaranya di dunia ini. “Mas,” lirih Della, kedua netranya turut meneteskan air mata melihat kesedihan Afgan. Afgan menarik napas dalam, menahan udara di paru-parunya sesaat sebelum menghembuskanya. Mencoba menenangkan diri. “Apa yang bikin lo seperti ini?” tanya Afgan lagi. “Della putus sama Haven,” lirih Della. “APA?” “Papa bakalan marah banget ya Mas? Papa ngarepin kita bisa kerjasama dengan perusahaan Om Teo kan?” “Papa tidak akan mengorbankan puteri Papa hanya demi kepentingan bisnis! Dan bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu pada Papa, nak?” Lingga, Ayah Della, muncul di belakang punggung Afgan. “Papa,” lirih kedua buah hati Lingga. “Jadi Papa yang menyebabkanmu tumbang seperti ini?” tanya Lingga pada Della. “Bukan Pa,” tangis Della. “Lantas?” “Haven mengkhianati Della,” Lingga masih belum menanggapi. “Dengan Ari.” Manik mata pria paruh baya itu membola, sementara kedua tangannya terkepal erat. Geram. Tak berbeda dengan reaksi Afgan yang kini berdiri tepat di samping Lingga. “Mama mana Pa?” “Dalam perjalanan ke sini. Macet katanya.” “Papa ngasih tau Mama?” “Iya, nak.” “Mama ga apa-apa?” “Kami orang tuamu, nak. Tak usah khawatirkan kami.” “Papa....” “Della, Papa mohon, lupakan Haven. Papa bisa memafkan kekurangan apapun dari pria yang kamu pilih terkecuali berkhianat, terlebih lagi dia berkhianat dengan Ari. Percayalah, kejadian ini adalah hal yang sudah direncanakan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD