Tiga bulan setelah kepulangan Della ke Jakarta.
Haven Bastian Patch, pewaris tunggal Patch Nourish Corp, putra seorang Teo Sebastian Patch yang sudah malang melintang di dunia bisnis makanan khususnya di Australia. Ibunya adalah Ajeng Adiratna Ganendra, perempuan dengan sosok yang lembut di luar tetapi tegas di dalam. Ajeng bermukim di Australia sejak menjalani pendidikan medisnya, kemudian menikah dengan Teo dan mendampingi pria yang berbeda tujuh tahun dengannya itu meniti bisnis dari bawah.
“Kamu ga tidur lagi?” tanya Ajeng pada sang putra di tengah sarapan mereka.
“Tidur, Ma,” jawab Haven, malas.
“Kalau tau bakalan seperti ini, ngapain juga kamu mutusin Della?”
“Ma,” rajuk Haven.
Teo belum menanggapi, hanya menyimak sandiwara Ibu dan anak di hadapannya.
“Sejak kamu bawa Ari ke rumah ini, Mama udah tau, kamu tuh ga cinta sama Ari!”
“Haven cinta Ari, Ma,”
“Sangkal aja terus, boy!” Teo memotong ucapan Ajeng yang sudah berada diujung lidah.
Haven berdecak. Kekesalan Haven makin menjadi, lelah menanggapi pertanyaan yang terus saja bolak balik dilemparkan kedua orang tuanya.
“Papa serius, Nak! Papa pernah putus dengan Mamamu dulu. Dan itu sangat menyakitkan. Papa pun berusaha berpaling, walaupun ternyata sia-sia. Untungnya saat itu Mamamu masih sendiri, jadi Papa masih punya kesempatan memperbaiki kesalahan Papa,” lanjut Teo lagi.
“Kenapa dulu Mama dan Papa putus?”
“Mamamu sibuk dengan pendidikan spesialisnya, Papa sibuk dengan urusan perusahaan. Kami sangat jarang bertemu. Sekalinya bisa kencan, kerjaan Papa hanya berkeluh kesah. Dan saat Mamamu yang mencurahkan isi hatinya, Papa justru berkomentar yang tak penting dan membuatnya kesal. Kami selalu bertengkar. Jenuh.”
Haven terpegun, mencari celah kecacatan hubungannya dengan Della. Gagal.
“Tapi Haven ga pernah ribut sama Della.”
“Itu yang salah!” ujar Ajeng. Lembut.
“Pasangan butuh bertengkar, Nak. Kadang kita perlu memaksa agar orang yang kita cintai bisa memahami kita,” lanjut Ajeng lagi.
Haven menyugar rambutnya kasar. Entah bagaimana caranya ia menjelaskan duduk perkara perpisahan mereka pada kedua orang tuanya. Ditambah lagi, ia lelah karena tak ada orang yang bisa diajaknya bicara tentang Della.
“Della selalu memaklumi Haven, Ma. Kalau dia lagi marah, dia lebih milih nyendiri dulu. Kalau amarahnya sudah reda, baru Della akan bicara baik-baik sama Haven,” gumam Haven kemudian.
“Lantas kenapa kamu meninggalkan perempuan sebaik itu?” tanya Teo.
Haven menggelengkan kepala. Ia pun tak bisa memahami mengapa ia bisa bertindak bodoh.
“Perempuan selevel Della biasanya memiliki ego yang tinggi. Tapi tidak dengan Della, maksud Papa, Della justru pintar menempatkan diri. Sekeras apapun Papa berpikir, Papa ga bisa menemukan alasan yang logis selain perselingkuhan yang menyebabkan hubunganmu dan Della berakhir, boy.”
“Karena Ari lebih cantik dari Della!” ketus Ajeng.
“Ma....”
“Itu kenyataannya. Kalian para pria dominan dengan insting primitif kalian! Cantik, seksi, mulus! Hal-hal seperti itu yang akan lebih dahulu menarik minat kalian.”
Haven berdecak kesal kembali, sementara Teo terkekeh geli.
“Kamu ga bisa menyangkal, boy. Kenyataannya, Della cantik dengan caranya sendiri. Casual, tak suka mempertontonkan keseksian fisiknya, bahkan wajahnya terlihat cantik natural. Tapi begitu berinteraksi dengannya, kita akan tau betapa cerdas dia. Sementara Ari? Oh ayolah boy, bahkan kami mengira kamu membawa model internasional saat datang dengannya ke rumah ini. Sayangnya, Papa ga terlalu nyambung bicara dengan sama Ari. Apa Papa boleh jujur?”
“Hmm!”
“Ari ga akan bisa menggantikan Della.”
“Pa!”
“Terserah apa kamu mau mendengar Papa atau tidak. Yang jelas, kamu akan sangat menyesali usainya hubunganmu dan Della. Gadis seperti itu langka, boy. Kalau kamu bersikeras untuk tetap bersama Ari, cari cara untuk mencintainya dan berhenti membandingkan dia dengan Della.”
“Apa kamu bilang, babe? Akan? Sekarang saja anakmu itu sudah menyesal!” ketus Ajeng lagi.
“Mama....”
“Minta maaf sama Della. Keterlaluan kamu Haven! Mama tidak pernah mengajarimu menjadi seorang pengkhianat!”
“Ma....”
“Kamu pikir dengan kamu ga cerita, Mama ga akan tau duduk perkaranya? Sepuluh tahun kalian bersama. Lima tahun bersahabat, dan lima tahun pacaran. Lalu setelah putus Della menghilang begitu aja? Apalagi alasannya kalau bukan kamu yang berkhianat? Mama ini perempuan, Hav! Jangan coba-coba berbohong! Kami tau semuanya tentang pasangan kami.”
Haven mendengus keras, menutup kedua netranya, pusing sendiri dengan setiap kalimat yang dilontarkan oleh Ajeng dan Teo. Bukan karena ucapan mereka yang menyudutkannya, tetapi karena apa yang mereka katakan benar adanya.
“Percuma, Ma. Della ga akan maafin Haven.”
“Dia akan memaafkanmu jika kamu berjuang mendapatkan hatinya kembali,” ujar Ajeng lembut.
“Haven kenal Della, Ma. Sangat mengenalnya. Della bukan tipe yang meledak-ledak saat mengutarakan kekecewaannya. Dan Della ga akan mengakhiri hubungan kami kalau dia masih sanggup bersabar dengan ketololan Haven. Dan saat kemarin Haven melepasnya pergi, Haven tau kalau Della sudah terlalu lelah dan kecewa.”
“Jadi kamu menyerah?” tanya Teo.
“Haven ga tau, Pa! Kenapa justru Haven yang merasa kandasnya hubungan kami begitu menyakitkan? Bukankah harusnya ga begini?”
Ajeng hanya mendengus, tak bisa memberi kalimat penghibur kembali. Begitupun Teo yang hanya menatap lekat sang putra.
***
Ari masih menelungkup malas seraya memainkan ponselnya di atas ranjang kediaman pribadi Haven, sementara Haven sudah membersihkan dirinya sedari tadi dan kini sibuk mempersiapkan kebutuhannya untuk perjalanan bisnis esok hari.
Haven mendengus, menggelengkan kepala.
“Ari!”
“Hmm!”
“Mandi sana!”
“Hmm!”
Haven berdecak kesal.
“Iya-iya aku mandi! Bawel!”
“Kamu tuh perempuan Ri, gimana bisa kamu ga bersih-bersih setelah bercinta?”
“Aku ngantuk! Lagian kamu aneh-aneh aja, habis bercinta malah mau pulang.”
“Aku kan harus ke Perth besok, ada barangku yang harus diambil di rumah Mama Papa. Aku lupa nyiapin tadi pagi.”
“Terserah!” ketus Ari seraya turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi rumah itu.
Haven terdiam di sisi ranjang, teringat kembali dengan Della. Biasanya, setiap kali Haven akan melakukan perjalanan bisnis, Della akan menelponnya di pagi hari, mengingatkan Haven setiap barang yang wajib dibawanya di setiap perjalanan. Dan malam harinya, Della yang akan menyiapkan kebutuhan Haven, mengemaskan untuknya. Setelah selesai mengemas, Della akan menyambut rayuan Haven, berakhir dengan percintaan hingga keduanya lelah dan terlelap hingga pagi menjelang.
‘I miss you so much, baby!’
Haven merogoh sakunya, mengambil ponsel. Setelah kunci layar terbuka, pandangannya terpaku pada nama Della di aplikasi pesan singkat miliknya. Tak ada satupun pesan di sana. Sejak berakhirnya hubungan mereka, Della tak pernah sekalipun mengirimkan pesan untuknya.
‘Apa yang lo harapkan, Hav? Bahkan lo sendiri ga berani mengirimkan dua huruf sekedar untuk menyapanya.’
“Oh, God! What have I done?” lirih Haven.
Ia beralih, membuka salah satu aplikasi sosial medianya. Della tak memblokir akun Haven, tak pula berhenti mengikuti akunnya. Hanya saja, tak ada satupun postingan terbaru sejak perpisahan mereka.
Rindu. Haven benar-benar merindukan Della.
“Baby?” tegur Ari begitu perempuan itu selesai membersihkan dirinya.
Haven bersegera menutup semua jejak Della, mengangkat kepalanya, tersenyum pada Ari.
“Kamu ngapain?”
“Meriksa email. Sudah mandinya?”
“Hmm! Kamu? Udah beres packingnya?”
“Hampir.”
“Beneran kita harus pulang malam ini?”
“Iya.”
“Aku ga boleh ikut ke Perth?”
Haven mendengus.
“Baby, kamu besok ada kuliah. Mau bolos?”
“Ga apa-apa kan?”
“Kamu kan sudah bolos sekali, Ri. Lagian aku kerja, bukan liburan!”
Kali ini, Ari yang mendengus.
Haven berdiri dari tempatnya duduk, kembali mengemas beberapa barang-barang kecil yang harus dibawanya. Sementara Ari sibuk berpakaian dan mengeringkan rambutnya.
“Della, kamu simpan penjepit dasi aku dimana sayang?”
Ari membeku. Pengering rambut yang ia genggam kontan ia matikan.
“Della?”
Ari masih terdiam.
Haven kembali mendengus, ia menolehkan wajah. Tepat ketika ia menatap manik mata Ari, seketika ia sadar kesalahan fatal yang barusan tak sadar dilakukannya.
“Ari,” lirih Haven.
“You did it again!” ketus Ari.
“I’m sorry....”
“Maaf kata kamu? Ini sudah tiga bulan, Hav! Dan kamu justru semakin mengingatnya! Kamu pikir aku ga tau kalau saat aku mandi kamu justru mencari jejak mantan pacarmu itu?”
“Ari... kita mengkhianati Della!”
“Terus kenapa?”
“Ari....”
“Apa masalahnya? Kalian belum menikah kan? Wajar kalau kamu berpaling! Bahkan zaman sekarang cowok yang sudah menikahpun banyak yang mengkhianati istrinya!” ujar Ari lagi, nyaris memekik.
“Berarti kamu membenarkan perilaku kita?”
“Oh, jadi kamu menyesal?”
“Ya aku menyesal! Aku sangat menyesal menyakiti Della!”
“APA HEBATNYA DIA? APA?”
“ARI!”
“KENAPA SEMUA ORANG SELALU MEMILIHNYA? AKU LEBIH SEGALA-GALANYA DARI DIA!”
“ARI!”
“Lihat saja Haven, berani kamu kembali pada Della, aku akan membunuhnya. Jika kamu melindunginya, aku akan membunuh diriku sendiri! Aku tidak sedang bercanda, Hav! Percayalah, aku akan melakukannya. Orang yang tidak memiliki apapun di dunia ini ga mengenal kata takut! Dan aku pastikan kamu hancur sehancur-hancurnya jika kamu berani meninggalkan aku!” ancam Ari.
“Are you crazy?”
“YA! AKU MEMBENCINYA! AKU BENCI SELALU DIBANDINGKAN DENGANNYA! DELLA YANG HEBAT, DELLA YANG CANTIK, DELLA YANG ANGGUN, DELLA YANG PINTAR! NGGAK! AKU LEBIH HEBAT DARI DIA! AKU JAUH LEBIH HEBAT! BUKTINYA AKU BISA MEREBUTMU!”
Haven terdiam. Kelu.
“Aku pulang!” ujar Ari, masih menahan geram dan amarahnya.
“Ari?”
“WHAT?”
“Kamu, sengaja?”
“Apa?”
“Kamu... sengaja menghancurkan hubunganku dan Della?”
Tawa menyeramkan terdengar di telinga Haven. Bahkan bulu kuduknya sampai meremang.
“Oh, benar sekali Tuan Haven! Wah, Anda terlalu cerdas sampai ga menyadari itu!”