Haven menoleh ke sumber pekikan, menatap tajam pada Fadell.
“Biasa aja lo liat gue! Gue juga ga pengen berurusan sama lo!” ketus Fadell lagi, sementara Haven menahan amarahnya sekuat tenaga.
“Lain kali tolong beri tau aku kalau kamu mau menghilang sementara, sayang!” lanjut Fadell lagi, sinis, kali ini pada Della.
“Maaf,” lirih Della.
“Bisa kita pulang sekarang?”
Della mengangguk, menyambut uluran tangan Fadell. Fadell menautkan jemari mereka, membawa Della pergi, meninggalkan Haven yang menahan bara di dadanya hingga air matanya menetes. Sesak!
Fadell tak melepaskan kaitan jemari mereka, membawa Della meninggalkan gedung hotel tanpa meloleh ke belakang sekalipun. Begitu sampai di pelataran parkir, ia menekan kunci sedan hitamnya, membukakan pintu, meminta Della masuk dan duduk ke kursi kopilot, tanpa suara. Fadell bahkan masih memasangkan sabuk pengaman untuk Della sebelum melangkah ke sisi pengemudi.
“Rumah kamu dimana?” tanya Fadell, datar.
“Taman Rasuna.”
“Oke.”
“Kamu bisa turunin aku di halte terdekat, biar aku naik taksi aja.”
Fadell mendengus. Ia menutup kedua matanya, menarik napas dalam sebelum menghembuskan udara itu perlahan. Fadell sadar, emosinya pun ikut terpancing.
“Della,” lirihnya.
“Ya?”
“Kamu marah sama aku?”
“Marah untuk apa?”
Fadell menoleh, menatap Della lekat sebelum menjawab pertanyaan gadis itu.
“Untuk melerai pembicaraan kamu dan Haven, untuk seenaknya menggandeng dan membawa kamu pergi.”
“Fadell, aku benar-benar berterima kasih untuk itu.”
Fadell kembali mendengus.
“Aku ga suka melihat laki-laki yang meninggikan suaranya ke seorang perempuan, terlebih jika itu di depanku.”
Della terdiam, menanggap gurat getir di wajah Fadell.
“Aku minta maaf,” lirih Fadell lagi.
“Ga apa-apa. Aku justru berterima kasih. Ga akan mudah pergi meninggalkan Haven dalam kondisi dia sedang marah seperti itu. Kalau bukan karena kamu, mungkin dia sudah membopongku ke tempat lain hanya untuk membuatku diam dan mendengarkan semua ocehannya.”
Fadell mengerutkan keningnya.
“Semengerikan itu?” tanyanya, khawatir.
“Oh, maksud aku bukan dalam konotasi buruk. Kalau kamu berpikir dia bisa berlaku kasar, sejauh ini Haven ga pernah kasar padaku. Tapi Haven paling ga suka kalau dia sedang bicara ataupun marah, lawan bicaranya justru pergi begitu aja. Masalahnya, aku ga nyaman berduaan dengan dia.”
“Della, jaga dirimu,” lirih Fadell.
Entah mengapa, ucapan Fadell justru membuat bulu kuduk Della meremang.
“Fadell?”
“Semua orang bisa berlaku kasar saat terdesak. Dan sepupu kamu... Ari. Entah kenapa aku ngerasa ada yang salah sama dia.”
“Maksud kamu?”
“Aku juga ga tau, semoga hanya perasaanku saja.”
“Ari bukan orang jahat.”
“Hmm. Akupun bukan orang yang percaya bahwa ada orang yang dilahirkan jahat!” ujar Fadell, tegas.
“Maksud kamu?”
“Sepertinya, dia terbiasa menahan segalanya. Tapi kamu tau apa yang terjadi kalau kita terlalu menahan sesuatu terus menerus? Suatu saat bisa meledak,” jelas Fadell lagi.
Kini Della yang mengerutkan keningnya. Tidak paham dengan alur ucapan Fadell.
“Seperti yang tadi aku bilang, semoga hanya perasaanku saja,” ujar Fadell lagi. “Kita berangkat sekarang?”
Della mengangguk, memberikan senyum tulusnya untuk Fadell. Pikirannya kini tak tertuju pada Haven, melainkan pada pria beranak satu yang duduk di sampingnya. ‘Kenapa seolah dia ngomongin dirinya sendiri? Menahan sesuatu terus menerus?’
“Fadell,” panggil Della pelan.
“Ya?”
“Es krim yuk?”
Fadell terkekeh. Ia melirik jam di dashboard.
“McD?” tanya Fadell.
“Of course!”
“French fries?” Fadell bertanya lagi.
“Yup! Aku suka banget dicolek-colekin ke es krim.”
Fadell malah tertawa riang.
“Kok malah ketawa?” tanya Della.
“Kok bisa sama lagi ya?”
“Kamu juga suka?”
Fadell mengangguk.
“Kimi malah suka banget,” ujar pria itu lagi.
“Ok! Jajan time!” ujar Della bersemangat.
“Let’s go!”
***
“Kenapa milih tinggal di sini?” tanya Fadell begitu ia memakirkan kendaraannya di pelataran parkir apartemen Della. Hari sudah mendekati dini hari. Mereka terlalu lama bersenda gurau seraya melahap fast food yang keduanya pesan sebelum menuju ke unit Della tadi.
“Temannya Papa ada yang jual unitnya, tiga tahun lalu, harga kerabat, ya aku beli.”
“I see. Bukannya lumayan jauh ya ke Wonderland? Biasa naik apa?”
“Motor!”
“Oh ya?”
Della mengangguk.
“Hati-hati kalau bawa motor.”
“Iya, Ayah Kimi.”
Fadell terkekeh.
“Ya sudah, aku pamit ya? Makasih banget untuk malam ini, mau nurutin kebodohan aku. Makasih juga sudah diantar, sudah ditraktir ice cream and french fries!”
“Oke.”
“Salam buat Kimi.”
“Iya.”
Della membuka sabuk pengamannya, sementara Fadell segera keluar dari mobil itu lebih dulu, menyeberang ke sisi Della, membukakan pintu untuknya.
“Makasih lagi,” ujar Della, tulus.
Fadell diam saja, hanya menatap kedua manik mata Della lekat.
‘Cantik!’
“Fadell?”
“Oh, sorry. Ayo, aku antar sampai lobby.”
“Ga usah. Kasian Kimi, jangan-jangan dia nunggu Ayahnya. Kamu jadi kemalaman gara-gara aku.”
"Tanggung....”
“Ga apa-apa, lagian kamu parkir pas di seberang lobby,” potong Della disetrai senyuman hangatnya.
Fadell terdiam, kembali terpaku.
“Della?”
“Ya?”
“Kamu... cantik.”
***
Della terdiam di depan kaca meja riasnya, menatap wajahnya sendiri. Entah mengapa senyuman manis itu enggan pergi dari sana, seolah terpahat.
“Astaga Della! Stop it! Bisa-bisanya sih lo kegeeran begitu!” ujarnya seraya menepuk-nepuk kedua pipi.
Della tertawa pelan lagi.
“Oh My God! What’s wrong with me?”
“Tapi dia ga nanya nomer hape gue!” Della terus bermonolog.
Ia lalu mendengus.
Di saat yang sama seseorang menekan bel unitnya. Della mengerutkan kening, menoleh dan menatap jam yang tergantung di dinding kamarnya. Sudah pukul satu dini hari.
‘Siapa yang datang jam segini?’
Kali kedua bel itu berbunyi lagi.
Della beranjak dari tempatnya duduk, melangkah cepat menuju pintu. Tamu dini hari itu benar-benar tak sabaran! Begitu video interkom Della nyalakan, sosok pria yang sangat tak ingin ia temui mencengir bodoh di luar sana.
“Hav,” lirih Della.
“Baby, kamu ganti password ga bilang aku!” ujar Haven, terkekeh, mabuk.
Della menghempaskan napasnya. Sugguh hal yang gila, menerima orang mabuk di dini hari seperti ini.
“Buka, baby. Aku ngantuk,” rajuk Haven.
“Hav, kamu salah alamat! Pergilah!”
“No no no! I live here! With you, my Della!” ujar Haven lagi, teler, kesadarannya sudah di ambang batas.
Della diam saja, sementara Haven mengernyit.
‘Huek!’
“Hav!”
‘Huek!’
“s**t! HAV!”
Della bersegera, gegas membuka pintu unitnya.
“Hey baby, I’m home!” ujar Haven lemah.
Della lagi-lagi mendengus keras, entah apa yang harus dilakukannya pada mantan kekasihnya itu.
Haven mengikis jarak begitu saja, seenaknya memeluk Della.
“Hav! Lepas!”
Haven tak bergerak. Diam sempurna.
“HAV!”
Tak ada tanggapan.
“Kamu tidur? Hav!”
Haven diam saja. Menangis sunyi.
“Hav, ini sudah dini hari. Bangun dong!”
Haven diam saja. Berpura-pura tertidur. Ia hanya ingin bersama Della malam ini, dan jika ia datang dalam keadaan sadar, Della pasti tak akan membukakan pintu untuknya.
Kaki Della mulai kebas, kepayahan menahan bobot tubuh Haven. Della melangkah mundur, mendorong pintu unit agar menutup, memaksakan langkah, perlahan menyeret langkah Haven masuk ke dalam unitnya.
‘BRUGH!’
“Aduh! Haven, kamu bikin susah aku tau ngga!” keluh Della seraya meringis menahan nyeri karena terjatuh. Tepat di batas foyer dan ruang serbaguna studionya, kaki Haven tersangkut, membuat keduanya tersungkur di atas lantai.
Haven seperti orang pingsan, tak merespon sama sekali.
Della menolehkan wajahnya setelah memastikan jika sikunya tak terluka akibat terjatuh tadi. Ia menatap wajah Haven, yang sedang menangis sunyi, menatapnya sendu.
“Hav?”
“Goddammit!” gumam Haven.
“Hav?”
“I must be crazy! Kenapa aku setega itu mengkhianati kamu?” gumam Haven lagi ditengah mabuknya.
“Hav?”
Haven terisak, menangis pilu.
Kedua tangan Della naik, membekap mulutnya, ternganga menatap Haven yang seolah sedang berduka.
“Baby... I’m sorry.”
Della diam saja, tak berani menanggapi.
“Della,” lirih Haven lagi.
“Della... I miss you. I miss you!” raung Haven seraya memukul-mukul dadanya. “I’m sorry Della! I’m sorry! Come back to me please, baby.”
“Haven...”
“Aku hancur setelah kita berpisah.”
Della berdiri dari posisinya, bersikeras memaksa Haven agar berdiri, memindahkan pria yang bobot berbeda 20 kg dengan bobot Della agar tak terkapar di depan pintu.
“Ayo, pindah Hav!”
“Kiss me.”
“Hav, aku ga lagi bercanda! Aku ga kuat mindahin kamu! Kamu berat banget tau ngga!”
“Kiss me, baby. Ayo kita bercinta. Ayo kita balikan, Della.”
Haven melingkarkan kedua tangannya di belakang tengkuk Della. Menarik Della yang membeku menatap kedua manik mata Haven. Haven melekatkan kening mereka, memiringkan sedikit wajahnya agar sisi hidung mereka saling bersinggungan, memberi Della kecupan hangat, mengecap bibir perempuan yang sangat dirindukannya, perlahan.
“I miss you,” tangis Haven ditengah kecupannya.
Della diam saja, tak mampu bereaksi apapun. Tak menyambut kecupan Haven, tapi tak juga mendorong dirinya atau Haven agar ciuman itu usai.
Syukurlah, bel unit kembali berbunyi. Della mendorong Haven, menjauhkan wajah mereka, tersadar dari kekhilafannya.
“Della,” gumam Haven.
Della terdiam, sementara bel unit lagi-lagi berbunyi.
“Jangan buka,” lirih Haven.
Della mengerutkan kening, merasa jika Haven benar-benar sudah melewati batas. Ia berdiri, melangkah kembali ke pintu unit, dengan menahan geram ia langsung membukanya.
“Ari?”