Ada puluhan jenis tanaman bertengger di rumahku. Mulai tanaman hias, apotik hidup sampai bonsai, semua ada.
Keberadaan tanaman itu, sedikit membuat otakku fresh. Pagi, sore, aku siram air dengan rasa kasih sayang.
Dulu, almarhum ibu, paling sibuk kalau aku seharian otak-atik tanaman. Terkadang, aku suka cuek kalau disuruh maem siang.
Padahal, aku itu, sudah usia kepala tiga. Ibu selalu memperlakukan aku seperti anak kecil.
Ibu suka teriak-teriak, memanggilku.
"Le, makan dulu toh Le. Dari tadi kok yo kembang terus yang diotak-atik. Ibu buat bakwan jagung kesukaan kamu, ini," teriak ibu yang kala itu suka aku abaikan panggilannya. Aku cuma jawab singkat.
"Inggih, Buk (ya-red)!"
Tak hanya sekali dua kali, ibu teriak memanggilku. Selama aku belum dilihatnya makan, ibu terus memanggilku.
"Ugh. Aku rindu teriakan itu." batinku.
"Alfatihah, untuk ibu tercinta. Semoga ibu diberi tempat terindah di sisi-Nya."
"Drettt...drettttt.....dreettt...."
Ponselku bergetar. Kucari-cari dimana keberadaannya. Wah kacau. Sampai nyaris tak kukenali suara getaran ponselku itu, karena terlalu asik sama tanaman.
Buru-buru aku angkat ponselku. Ada panggilan masuk, dari Subandi. Bocah gemblung itu.
"Hmm iyo apa toh. Siang siang bolong begini telepon aku. Jangan bilang kalau minta traktir soto lagi ya. Bangkrut nanti aku, mana belum gajian!" bentakku dengan suara meninggi.
"Hahahahaha. Tahu saja si bos tanaman bonsai ini, kalau aku minta traktir makan siang," selorohnya dari balik ponselku. Suaranya cempreng buat telingaku pekak.
"Bukannya kebalik toh ini. Seharusnya aku yang minta traktir. Kamu itu kan PNS. Lah aku kan cuma honorer," bantahku.
Aku sengaja mengatakan itu. Karena, dia seperti nggak peduli aku punya uang atau nggak. Dia tahunya, aku baru dapat warisan dari orang tuaku.
Dalam hati, dasar anak monyet, Subandi ini. Tapi, sebenarnya aku ngerasa lapar juga. Perutku keroncongan. Hari ini aku sengaja nggak masak. Paling, masak indomie, pikirku.
"Ya sudah. Satu jam lagi kita ketemu di soto Pak Man," kataku, janjian sama Subandi.
"Uhuiiiii. Baik bos satu ini ya." sahut Subandi, sepertinya dia kegirangan akan aku traktir makan siang.
"Eh bos. Nggak pakai lama ya. Aku on the way ke warung soto Pak Man," katanya lagi.
"Iya iya," kataku seraya mengakhiri percakapan di balik ponsel genggamku itu.
Aku pun cuci tangan. Karena tanganku kotor banget, setelah bergelut dengan tanaman..
Awalnya aku niat tak mau mandi. Tapi, kalau nggak mandi, nggak nyaman. Nanti bisa-bisa dibilang BB sama si gemblung sialan itu.
Mandi, ah! Seger kalau kena air. Lagian aku juga belum mandi seharian. Masa iya, mau keluar rumah nggak mandi. Hahahahahahah!
"Dreett....dreettt.....drettt"
Kudengar ponselku kembali bergetar.
Kubiarkan saja. Karena posisiku masih di kamar mandi.
Tapi, aku berusaha mempercepat mandiku.
Selama belum kuangkat, sepertinya si penelepon tak berhenti melakukan panggilan ke nomor ponselku.
Sambil mengeringkan rambut basahku dengan handuk, buru-buru kuraih ponselku. Dasar si gemblung nggak sabaran.
"Iya on the way nih, Dul!" jawabku. Padahal, dia belum ngomong. Aku lempar handuk basah pengering rambutku tadi itu, ke sembarangan tempat.
Buru-buru kustater motor, menuju warung soto Pak Man. Dengan motor gedeku, aku meliuk-liuk di jalanan. Mobil-mobil yang searah jalan dengan aku, berusaha kusalip. Biar aku segera sampai tujuan.
Kurasakan ponsel di saku celana, samping pahaku, bergetar. Ah paling si gemblung Subandi. Aku paling anti kalau angkat telepon sambil berkendaraan.
Selama aku masih berada di atas kuda besiku, siapa pun yang menelepon, aku tak peduli.
Prinsipku, aku harus sampai tujuan lebih dulu, baru terima telepon. Tapi, aku bukan tipe orang yang suka menelepon balik, kalau ada panggilan tak terjawab.
***
Kulihat, Subandi sudah menghabiskan soto pesanannya. Biarlah. Mungkin dia lapar. Salah aku, karena aku memang lama, datangnya.
"Bang Bro. Maaf ya aki sudah lapar. Jadi, makan duluan." kata Subandi, sambil mengelus-elus perut buncitnya.
Hmm. Dalam hati. Tanpa dia memberitahuku, aku sudah paham kelakuannya.
Pak Man menghampiri aku yang baru datang.
"Seperti biasanya kan, ya Mas?" tanya Pak Man padaku.
"Inggih, Pak. Komplit ya. Pakai nasi," sebutku.
Seiring selesai aku order, Pak Man menuju ke belakang. Tak pakai lama. Pak Man berjalan ke arah meja dimana aku dan Subandi duduk.
Dia membawa nasi putih sepiring. Soto semangkuk. Es teh segelas. Plus mangkok kecil berisi sambal rawit ijo pedes.
Tanpa basa-basi, aku langsung saja makan soto ceker yang sudah terhidang di hadapan aku itu.
"Belum makan nih, kayaknya," celetuk Subandi.
Aku hanya diam saja tak menjawab. Sebab, rongga mulutku masih tersumpal makanan.
"Bos Bang Bro," panggil Subandi.
Aku yang dari tadi fokus makan, menikmati semangkok soto ceker super nikmat itu, jadi sedikit mendongakkan kepalaku. Menatap sorot mata Subandi.
Sambil terus mengunyah, aku menunggu kalimat apa yang bakal dilontarkan si gemblung itu.
"Apa nih. Tadi mau bilang apa?" tanyaku sedikit penasaran.
Soalnya, dia hanya memanggil namaku. Kan jadi penasaran, dibuat seperti itu.
"Bos!" kata Subandi lagi, memanggilku.
"Aku heran ya. Bingung sama kamu. Kamu tu panggil aku, apa sih yang bener. Sebentar bang bro. mas bro. Kadang Bos," protesku.
"Hahahahah!" Bukan jawab pertanyaanku, Subandi malah tertawa lepas.
"Mas Bro aja kalau begitu ya," jawabnya, memberi kepastian.
"Hmmm. Terserahlah. Kamu mau panggil aku apa terserah," jawabku pasrah.
"Mas Bro. Aku lupa. Kan aku punya kawan cewek," kata Subandi mulai bicara.
"Janda?" kataku menimpalinya.
"Hahahhaha!"
"Dasar gemblung malah ketawa ngakak pulak dia."
"Dia guru SD, Mas Bro. Masih perawan!" cerita Subandi menggebu-gebu.
Aku sok cuek. Tapi aku penasaran. Serius nggak si Subandi ini dengan ceritanya itu.
"Manis. Cantik. Ayu. Bodynya ramping banget. Lembut banget orangnya. Dia nggak bisa marah," sebut Subandi merinci fisik teman ceweknya itu.
"Ya udah. Buat kamu aja cewek itu," kataku masih dengan gaya cuek.
"Hmm. Mas Bro ini, ngajarin aku yang nggak bener. Terus, orang rumah aku gimana dong Mas Bro. Bisa perang dunia ke tujuh nanti Mas Bro," sebut Subandi lagi.
"Halah. Jadi apa maksudnya cerita sama aku. Aku tuh, suka cewek yang tajir. Dia tajir nggak. Kalau tajir, aku mau lho?" kataku menyebutkan syarat cewek yang bisa dekat dengan aku.
"Wow. Sejak kapan Mas Bro ini jadi matre." celetuk Subandi, nyinyir sama aku.
"Emang, cuma cewek yang boleh matre. Aku, lelaki normal. Pilih cewek yang tajir dong, biar hidup aku terjamin. Kan lumayan, punya bini tajir. Kerja nggak perlu jungkir balik," kataku penuh diplomasi.
"Oalah. Kalau cewek tajir, aku nggak punya kenalan," jawab Subandi nyerah.
Tapi, sekali lagi dia minta aku mempertimbangkan apa yang dia ceritakan soal cewek itu.
Bahkan, dia janji akan menemani menemui cewek itu, kalau aku bersedia meluangkan waktu sehari.
"Mas Bro. Kalau mau, kita ke sana yuk. Ke rumah kawan aku itu. Nanti Mas Bro bisa kenalan sama dia. Mas Bro nilai sendiri aja, orangnya seperti apa. Kalau cocok, dilanjut. Kalau nggak cocok ya jangan diteruskan. Mas Bro," kata Subandi sok bijak.
Aku hanya diam membisu. Lalu, buru-buru memanggil Pak Man, untuk membayar soto ceker dan minumannya tadi.
"Sekalian sama punya orang gemblung ini, ya Pak De. Itung. Jangan sampai nggak dihitung. Nanti sampai rumah, dia bakal sakit perut, karena makan soto nggak bayar," kataku pada Pak De.
Meskipun tanpa kalkulator, Pak De itu dengan cepat menghitung semua makanan aku dan makanan Subandi. Sepertinya, otak Pak De itu, masih encer. Buktinya, dia bisa hitung cepat tanpa kalkulator. Kalau aku, entahlah. Jangan ditanya, karena aku memang lemah kalau soal matematika.(***)