Ketemu Janda

1113 Words
Aku gelisah. Bolak-balik ngelirik jam, eh masih jam 21.00 wib. Entah jam berapa acara ini berakhir. Fajar, kelihatan bahagia, ngakak bareng alumni kawan-kawan SDnya. Lah aku, kayak orang hilang rasanya berada diantara puluhan manusia ini. Kumpul-kumpul begini, aku kurang suka. Apalagi basa-basi ketawa-ketawa ngakak nggak jelas kayak Fajar. Pokoknya hobbyku lebih suka menyendiri. Seorang perempuan yang kutaksir usia empat puluh tahunan, mendekati aku. Dia duduk di meja yang sama dengan aku. Duh, perempuan ini ngapain duduk disini. Bikin aku jadi salah tingkah aja. Tapi, diam-diam kalau diliat, dia manis. Ah! Pasti sudah punya orang. "Mas, kok sendiri di sini. Kenapa nggak gabung di sana." sapanya lebih dulu, memulai percakapan. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Centing" Suara ponselku. Kulihat dari Fajar. "Cie, akhirnya dapat gebetan baru. Dia tu janda. Suaminya nggak tahu kemana. Katanya udah cerai," tulis Fajar lewat pesan chat whatsappku. "Sial! Rupanya Fajar, diam-diam memantauku dari jauh. "Sinilah temaniiiiii aku," pintaku. Kusuruh dia menemaniku. Malah chat aku nggak dibaca. Dasar anak monyet Fajar nih! Aku panggil lewat panggilan w******p pun dia nggak mau angkat. Apa aku kabur saja ya dari acara ini. "Bro. Aku sakit perut. Nanti kalau sudah selesai acaramu, kabari aku ya. Aku jemput dirimu," pesan itu aku kirim. Sudah centang dua tapi warna abu. Pasti si kunyuk itu sengaja menyuruh perempuan ini datang ke tempat dudukku. "Lho. Mas mau ke mana. Acaranya belum selesai," katanya mencoba menghentikan langkahku. "Maaf, Mbak. Saya ada urusan mendadak. Ada panggilan alam," kataku sembari bergegas meninggalkan perempuan itu. Fajar meneleponku. "Mas Bro, kemana. Acara belum selesai. Tolonglah jangan tinggalin aku. Nanti aku pulang naik apa, nih!" kata Fajar dari balik telepon genggamku. "Kamu tu sengaja ya suruh perempuan itu datang ke tempat duduk aku," kataku penuh protes. "Nggak lucu tahu!" bentak aku dengan nada meninggi. Ponsel langsung aku matikan, dan motor kustater meninggalkan halaman rumah mentereng mirip istana. Dalam hati, nyesel aku. Nggak bakalan lagi, aku hadir di acara-acara reunian seperti itu. Tak lama, Fajar mengekor datang di belakang aku. Ternyata dia naik gojek. Terkekeh aku melihatnya. Pasti dia tadi meneleponku berulang kali. Bukan kusengaja meninggalkan dia. Bukankah aku juga tadi sudah berkabar ke dia. Kalau selesai acara, aku akan jemput dia. Benar. Aku lihat, ponselku ada panggilan masuk dari Fajar yang tak terjawab. Wow.....sampai 13 kali panggilan tak terjawabnya. "Mas Bro. Maaf ya. Jangan marah. Aku tadi nggak pernah lho ngerjain kamu, Mas Bro. Cewek tadi itu teman aku SD. Dia janda, pisah sama suaminya yang kerja kapal. Katanya suaminya itu main serong. Jarang pulang. Jadi, kawanku tadi itu, tahu kalau suaminya main serong. Akhirnya minta cerai," terang Fajar panjang lebar. "Terus, aku harus bilang wow gitu," candaku. "Serius Mas Bro. Dia janda. Kasian. Dikhianati suaminya. Kabarnya dia lagi nyari sandaran hati," imbuh Fajar seolah-olah tahu persis apa yang menimpa kawan perempuannya tadi. "Hmmm. Jangan-jangan kamu selingkuh sama dia ya. Kok kamu tahu detail kisah dia. Wah wah.....nggak bener nih kawanku satu ini!?" tanyaku pura-pura memojokkan dia. Si gemblung itu cuma garuk-garuk kepala. Kupaksa dia ngaku. Tapi dia masih diam membisu. "Jujur.....," kata Fajar. Tapi kalimatnya aku potong. "Jujur, dia pacarku!" kataku nyeletuk ke Fajar. "Oalah Kang Mas Bang Bro ini sembarangan lho!" katanya dengan nada protes. "Jadi, kenapa diam. Kan aku tanya dirimu tadi?" kataku. "Mas Bro ini nuduh ak yang nggak bener," kata Fajar. Lalu, dia melanjutkan kalimat dia yang aku potong di tengah jalan tadi. Sebelum melanjutkan perkataannya, dia menyulut sebatang rokoknya. Memainkan asap rokoknya ke udara. "Jujur..... dulu sama-sama menyukai satu sama lain. Kami sempat pacaran. Tapi sebentar saja. Karena dia tergoda dengan orang lain. Dia itu anak orang kaya. Kalau ke sekolah, diantar pakai mobil. Kami pernah pacaran diam-diam," cerita Fajar mengenang kisahnya. "Hmmmm. Ceritanya kamu niat jodohin bekas kamu ya!" celetukku. "Bukan begitu Mas Bro. Dia belum punya anak. Dia janda baru setahun terakhir ini," jelas Fajar meyakinkan. "Nggak ah. Aku nggak minat sama janda. Kalau bisa dapat perawan. Ngapain nyari janda," sergahku sok jual mahal. Seperti biasa. Fajar cuma garuk-garuk kepala. Menandakan dia mati kutu tak bisa berkutik dengan pernyataanku. Dalam hati aku, dulu aku play boy. Berhasil menakhlukkan cewek-cewek cantik yang sombong dan tajir. Masa iya sekarang aku nyari janda. Apa kata dunia. Bisa-bisa, turun harga diriku. Aku bisa kok sebenarnya sekarang ini nyari yang cantik dan tajir. Tapi, semua hanya soal waktu. "Nanti, pada waktunya, aku bakal berhasil mendapatkan bidadari cantik, tajir dan nggak sombong," kataku, dalam hati, sesumbar. Untuk mencairkan suasana hati yang semrawut setelah dari tempat reunian tadi, aku mengajak Fajar makan bakso. "Hahahaha. Lapar juga ya akhirnya, setelah bahas janda," kata Fajar, sambil membelai perut buncitnya itu. "Ih amit-amit. Sebenarnya aku nggak suka janda!" kilahku. "Awas hati-hati nanti jatuh hati sama janda!" kata Fajar lagi sambil terkekeh. "Ih amit-amit!" "Sudahlah yuk kita makan bakso aja. Lupakan janda pujaanmu itu. Perutku lapar gara-gara menunggumu di acara reunian menyebalkan itu," desakku. Beberapa menit kemudian, aku dan Fajar sampai di bakso Pak Manto. Bakso ini, bakso terenak di Kota Gurindam. Bakso terenak yang ada lontong daunnya. Kadang, aku pesen lontong daunnya sepiring. Rasanya, makan bakso pakai lontong, nikmatnya luar biasa. Apalagi, kalau cuaca hujan. Dulu, jamannya waktu pacaran sama Gina, dia suka traktir aku di warung Bakso Pak Manto ini. Terkadang, kalau aku dapat uang tak terduga, yang jatuh dari langit, Gina aku traktir makan bakso di sini. Sekarang, bakso Pak Manto ini, berganti anak-anaknya yang kelola. Maklum, Pak Manto sendiri, sudah sepuh. Jadi, wajar kalau diambil alih dikelola anak-anaknya. Juragan bakso ini, tak merekrut pembantu dari luar. Ia hanya memanfaatkan keluarga-keluarganya yang menganggur. Lumayan, ada 20 orang pekerjanya. semua adalah keluarga sendiri. Aku salut dengan Pak Manto. Dulu, waktu masih mudanya, kulihat, dia begitu gigihnya mencari nafkah. Seperti robot. Dia jualan bakso di pinggir jalan, sama istrinya. Sekarang, Pak Manto tak jualan bakso di pinggir jalan lagi. Baksonya sudah pindah ke ruko. Pembelinya semakin hari semakin ramai. Jadi penasaran, sama sosok Pak Manto yang pekerja keras itu. Pernah iseng tanya ke salah satu pelayan, yang tak lain adalah keluarganya sendiri. "Bapak di rumah Mas, sudah sepuh. Jadi kami larang jualan. Biar kami-kami saja yang meneruskan jualannya," jelas perempuan bagian kasir itu ramah, padaku. Diceritain soal Pak Manto, aku hanya manggut-manggut. Kagum banget aku sama perjuangan mencari nafkah. Fajar, diam-diam nambah pentolnya hingga 10 biji. Busyet! Emang dia itu perut karet. Makan satu gentong besar, pasti masih kurang. Padahal, tadi, pesan bakso semangkuk besar, plus sama lontong daunnya, seporsi piring besar. Ampun deh! "Besok makan siang di sini lagi yuk," ajak Fajar. Hmmmm. Dalam hati, bisa bangkrut bandar kalau tiap hari makan bakso. Aku sengaja nggak jawab. Pura-pura nggak dengar. Kalau dilayan, dan dia besok benar-benar nagih janji makan bakso lagi disini. Bisa bangkrut aku. Mana orang-orang yang honorer seperti aku, belum gajian.(***)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD