Sejak dikhianati Sabrina, aku menutup diri untuk jatuh cinta pada perempuan lain. Mungkin, tepatnya aku mati rasa. Aku ingin menata diri dan hati.
Entah sampai kapan, aku menikmati kesendirian ini. Bagiku, semua perempuan sama, makhluk paling menyebalkan.
Tapi, aku juga sadar, mungkin ini karma yang harus aku terima. Dulu, aku pernah mempermainkan perempuan dengan sesukaku.
Anehnya, aku yang belakangan cuek sama makhluk bernama perempuan, tiba-tiba kepikiran sama omongan Subandi.
Kemarin, dia bilang. Katanya, punya teman cewek, masih jomblo. Kalau aku mau ketemu dia, Subandi bersedia menjadi mak comblangnya.
Ah! Serius nggak sih tawaran dia. Terus, kalau cewek itu mengkhianati aku, seperti yang dilakukan Sabrina, gimana dong?!
Pikiran-pikiran buruk itu, menghantui otakku. Tapi, batinku rasanya bertentangan. Apa salahnya kalau aku mencoba berusaha membuka diri untuk perempuan lain.
Hahahaha! Dasar aku nggak teguh pendirian. Plin plan.
***
"Mas Bro. Makan siang yuk, di Pak Man. Kali ini aku yang traktir," tiba-tiba Subandi nongol di rumahku.
Padahal, ini kan jam kerja. Pasti dia mangkir dari kerjanya.
"Bolos kerja ya. Dasar PNS nggak bener nih. Merugikan uang negara saja, kalau sampai ada lima ekor seperti ini," kataku mengejeknya habis-habisan.
"Enak aja. Aku cuti 2 hari nih, demi Mas Bro!? kata Subandi padaku.
"Demi aku?" tanyaku heran.
"Iya, demi Mas Bro aku cuti. Kita makan soto Pak Man, yuk!" ajaknya menggebu-gebu.
"Hmmm. Aku nggak salah denger nih?" celetukku.
"Iya Mas Bro. Lagi banyak duit nih. Aku yang jadi bandar kali ini. Tenang aja," katanya sambil menunjukkan dompet kulitnya. Tapi, dia tak membuka isinya.
"Awas kalau bohong." ancamku bercanda.
"Ya ampun Mas Bro. Percaya deh sama orang hidup," kata Subandi mencari pembelaan diri.
"Iya iya. Ayo. Aku mandi dulu ya. Lima menitan, ya. Tungguin," kataku minta waktu.
"Iya. Nggak pakai lama," desak Subandi.
Aku diam saja tak menjawab, dan langsung ngeloyor ke kamar mandi.
Tak sampai lima menit, aku sudah menyelesaikan mandiku. Tapi, lagi-lagi si gemblung itu protes.
Katanya aku dibilang nggak mandi. Cuma cuci muka.
"Lah kok cepet Mas Bro. Mandi apaan. Cuma cuci muka, ya?" tanyanya mengejek aku.
"Katamu nggak pakai lama," bentakku.
"Iya sudah. Yuk buruan. Cacing perutku sudah pada demo, Mas Bro," desaknya lagi.
Aku pun ambil kunci motor, menuju parkiran samping rumah. Motor yang semula aku sayang-sayang nggak mau aku pakai keluar, lantaran baru aku cuci, akhirnya keluar juga ke jalanan.
Di sepanjang jalan, aku sambil berpikir. Apa aku tanyakan saja cewek itu sama Subandi. Siapa tahu, cewek itu memang berjodoh dengan aku.
***
Kuterima nikahnya....
binti.......
Dengan emas kawin seperangkat alat salat...
Ngayal. Ya aku berkhayal aku meminang cewek itu. Hahahahahahah!
"Woi Mas Bro. Pesen apa. Kok ngelamun." kata Subandi yang memperhatikan aku, diam-diam melirik cewek, yang duduk di pojok sendirian.
Mirip. Pikirku dia Sabrina. Ah! Sialan! Kenapa wajah perempuan itu mirip banget sama Sabrina.
Subandi ikut mengamati perempuan itu.
"Hmmmm. Aku tahu.....!" kata Subandi lirih.
"Sudahlah Mas Bro. Lupakan si Sabrinamu itu. Kita cari yang lain," kata Subandi mengalihkan perhatianku dari cewek itu.
"Sabrina, memang cantik sih. Tapi, kalau bikin sakit hati, ngapain dipelihara di otak. Dia kan cuma perempuan masa lalu. Nggak ada hebatnya. Lagian kan sudah punya orang. Singkirkan dia jauh-jauh pikiranmu. Hempaskan dia ke laut aja! oceh Subandi panjang lebar.
Tapi, betul juga kata Subandi. Baiklah aku akan memulai perjalanan cinta yang baru.
"Bismillah. Semoga ada cewek yang singgah di hati." kataku, sembari menengadahkan tangan, lalu menangkupkannya ke wajahku. Lalu, kututup dengan kata amin, atas doaku tadi.
"Nah, gitu dong Mas Bro," kata Subandi memberi semangat.
Kulirik sekali lagi, cewek itu. Subandi buru-buru memalingkan wajahku, agar tak menoleh ke perempuan itu lagi.
"Yuk. Makan soto ini saja. Nanti keburu dingin, sedingin hati Mas Bro sama cewek, kan bahaya banget kayak gitu," kata Subandi lagi, masih terus ngoceh.
Aku pun langsung meraih mangkok soto ceker, yang ada di hadapan aku itu.
Kami, makan dan tenggelam di mangkok soto ceker masing-masing. Pak Man, terlihat terkekeh menyaksikan siaran Cak Lontong.
Sepertinya, Pak Man itu pria happy. Bisa tertawa setiap waktu yang dia mau. Nggak kayak hidupku yang sedih, karena tak kunjung dapat jodoh.
Betapa enak jadi Pak Man. Ah! Sudahlah. Kenapa otakku jadi bahas soal Pak Man.
***
"Kenalkan kawan aku, Mas Budiman. Dia guru SD juga, di Pangandaran," kata Subandi yang mencoba menjadi penghubung antara aku dengan cewek itu.
"Salam kenal," kataku sedikit salah tingkah. Bahkan, aku sempat menjatuhkan asbak rokok di meja rumah cewek itu. Untung asbak rokoknya terbuat dari aluminium. Jadi, aku senggol pun aman.
"Namaku Mahira," kata cewek itu padaku.
"Panggil saja Hira," katanya.
Selebihnya kami bertiga lebih banyak diam.
"Tak lama, ibunya Hira keluar. Dengan ramah, ia menjabat tanganku. Aku pun membalas jabat tangannya.
"Maaf ini dengan Nak siapa ya mas?" tanya perempuan setengah baya itu, padaku.
"Budiman, Buk," jawabku.
Seiring waktu berjalan, Hira tak ikut mengobrol. Dia lebih memilih meninggalkan kami bertiga, di ruang tamu itu.
Rumah ini, besar. Pikirku. Ruang tamunya saja, luas.
Kupastikan, keluarga ini adalah keluarga berada.
Kupandangi punggung Hira, yang perlahan meninggalkan ruang tamu itu.
"Buatin teh s**u ya, untuk mas mas ini," kata perempuan itu serius.
"Hira itu anaknya pemalu, Mas. Harap maklum ya," kata ibu itu.
Kami berdua hanya tersenyum.
"Eh iya, saya belum pernah lihat Mas Subandi. Apa kawan kantornya Hira juga?" tanya perempuan paruh baya itu lagi.
"Oh ini kawan saya buk. Beliau ini juga guru. Mengajar di salah satu SD di Pangandaran," jelas Subandi di hadapan ibunya Hira.
Aku hanya mengangguk. Mengiringi percakapan keduanya. Tak lama, Hira muncul. Ia membawa dua cangkir teh s**u yang diperintahkan ibunya.
"Silakan diminum, Mas," kata ibunya.
Setelah itu, Hira masuk lagi ke dalam.
Lagi lagi, aku sempat memperhatikan perempuan muda itu. Kata ibunya, dia anak pertama. Tapi, belum nikah. Sedangkan adik-adiknya sudah lebih dulu, membina rumah tangga.
"Hira itu susah kalau sama laki-laki. Orangnya suka milih-milih. Padahal, saya sudah wanti-wanti dia, kalau cari teman laki-laki, jangan pakai pilih-pilih. Pokoknya dia setia dan tanggung jawab, itu sudah lebih dari cukup." cerita ibu Hira, panjang lebar.
Entah kenapa, aku tiba-tiba penasaran dengan sosok Hira. Dia perempuan pendiam. Sepertinya aku terhipnotis, pada pandangan pertama.
Ah! Baru juga kenal. Biasanya, memang begitu. Pendiam saat di awal. Semoga saja benar, penilaianku, bahwa dia memang pendiam.
Jangan tergoda pada pandangan pertama! Pekikku dalam hati!
Kamu harus telusuri dulu, jejak perempuan itu.
Batinku terus memberontak. Tak ingin menerima sosok perempuan lain. Semua ini karena Sabrina. Ya! Sabrina perempuan sialan tapi kucinta. Mengapa bayang-bayang dia selalu mempengaruhi otakku.
***
Di perjalanan pulang, Subandi terus mendesakku, memintaku untuk menerima kehadiran Hira.
"Sebenarnya yang ngebet banget sama perempuan itu, siapa ya. Kamu atau aku. Kalau kamu suka dia, bilang saja sama dia. Jadikan dia istri keduamu, atau selirmu!" kataku setengah emosi.
"Ya elah Mas Bro, santai dong. Jangan main gas. Aku ini, kan cuma mak comblang. Kalau Mas Bro lanjut sama Hira, aku kan bahagia banget. Itu aja sih Mas Bro harapan terbesarku," katanya sembari menepuk-nepuk pundakku.(***)