Terkadang yang kita anggap biasa aja, justru menjadi hal yang paling kita rindukan saat hal itu hilang dari hidup kita.
Pagi-pagi sekali, rumah Niniknda-nya Harsa sudah ramai. Mika, bersama dengan Niniknda dan tiga tante serta ibu mertuanya Mika—Mamanya Jay—sudah berada di dapur dengan masing-masing tugas mereka. Para lelaki, Jay, Harsa, suami dari tante-tantenya sedang di taman belakang, mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh sambil sesekali menyapu halaman depan.
Mika mengambil tugas bagiannya, membuat ayam kecap dan udang asam manis serta Pie buah untuk hidangan sore nanti.
“Mik, ayamnya sudah kamu cuci?”
Mika menoleh, netranya menangkap sosok Tante Nindi di depannya. “Udah kok, Tan. Ini bentar lagi aku rebus.”
“Oh ya udah oke. Buah juga udah kamu potongin belum? Perlu bantuan Tante?” Tante Nindi menawarkan bantuan.
“Baru setengah, Tan. Enggak apa-apa kok, aku bisa sendiri.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Oke deh.” Jawab Tante Nindi. Perempuan berusia 45 tahun itu berlalu dari hadapan Mika.
Sepeninggal Tante Nindi, Mika memilih untuk menyalakan kompor dan menaruh panci berisi air dan ayam sebelum dia rebus.
“Mami!”
Mika menoleh, mendapati putranya berdiri di hadapan Mika dengan kaus singlet dan wajah penuh pasir. “Astaga, Tuhan, kamu kenapa, Harsa?”
Harsa menyengir lucu. Anak itu menggaruk-garuk telinganya yang tidak gatal dengan gerakan menggemaskan.
“Harsa tadi jatuh, Mam, di atas pasir-pasir belakang.”
Mika menaruh fokus sepenuhnya pada sang putra. “Kamu main pasir ngapain? Kan udah mandi?”
“Tadi aku main pasir karena diajak sama kakak-kakak dan yang lain. Sebenernya enggak main pasir sih, Mam. Harsa Cuma main lari-larian, terus enggak sengaja kesandung dan akhirnya jatuh.”
“Ke atas pasir?”
Harsa menganggukkan kepala, membuat Mika menghela napas lelah. Dia berkacak pinggang. “Kamu kenapa harus main lari-larian deh, Sa? Bukannya Mami udah bilang, ya, Harsa boleh main apa pun, asal enggak membahayakan diri Harsa sendiri. Harsa inget enggak?”
“Harsa inget,” jawabnya pelan.
“Terus kenapa Harsa masih lakuin itu?”
Mika mensejajarkan dirinya dengan tinggi Harsa, matanya menatap anak itu dengan pandangan bertanya, sedang kuasanya memegangi lengan Harsa dengan lembut. “Harsa?”
Harsa menunduk. Dia tak berani menatap wajah Maminya yang dia nilai sedang marah.
“Harsa?”
Masih tak ada jawaban.
“Harsaka Galuh Almairi?”
Masih tak ada jawaban juga.
“Anak baiknya Mami Mika sama Papa Jay?”
Harsa mengangkat kepala. Menatap wajah Mami dengan pandangan bertanya. “Mami udah enggak marah?”
“Kata siapa Mami udah enggak marah?”
“Itu Mami panggil Harsa dengan anak papa Jay dan mami Mika. Harsa pikir Mami udah enggak marah.”
Setiap kali Harsa berbuat kesalahan dan Mika marah, biasanya Mika akan memanggil anak itu dengan nama panjangnya. Nanti, setelah semuanya membaik, dan Harsa sudah meminta maaf padanya, baru Mika memanggilnya dengan sebutan anak papa Jay dan mami Mika.
Oleh karenanya tak heran jika sekarang Harsa merasa sang Mami tidak lagi marah padanya.
“Enggak, Mami masih marah sama Harsa. Mami panggil gitu supaya Harsa mau lihat wajah Mami.”
Harsa diam.
“Sayang, coba jawab pertanyaan Mami. Kenapa Harsa masih lakuin itu, hm?”
Harsa menggeleng. “Harsa enggak tahu, Mami. Harsa enggak tahu. Harsa minta maaf ya.”
“Mami maafin Harsa. Tapi Harsa tahu enggak kenapa Mami marah sama Harsa?” Tanya Mika.
Harsa mengangguk. “Karena Harsa ngebahayain diri Harsa sendiri, Mi.”
“Pinter anak Mami. Yaudah, sekarang ke kamar mandi gih, mandi terus pakai baju yang masih bersih. Papa masih di luar?”
“Masih, Mi. Papanda masih bersihin halaman depan sama Opa.”
“Oke. Udah gih sana!”
Harsa berlalu dari depan Maminya dan pergi ke kamar mandi, meninggalkan Mika dan air rebusan ayam yang baru saja mendidih.
•
Mika menjadi pemenang dalam arisan minggu ini. Perempuan itu habis diledek oleh ipar-iparnya yang lain, karena namanya keluar setelah kocokan arisan yang pertama.
“Asik-asik! Harsa auto dapet mainan baru ini!” Salah satu keluarga berceletuk dengan jahil.
Mika tertawa. Jay di sebelahnya juga tertawa. “Apa-apaan mainan baru? Kalau Harsa mau beli mainan baru mah enggak usah nunggu dapet arisan kali!” Kata Jay.
“Yaelaaaaah. Lemes apa lemesss. Lo serius mulu sih, Jay?!” Kakaknya Jay, Afan, tertawa melihat adiknya begitu serius dalam menanggapi ucapan sepupu-sepupunya yang lain.
“Tahu lo, Kak Jay! Mentang-mentang jadi artis kenamaan, uang banyak, bisa begitu ya lo!” Salah seorang sepupu bersungut-sungut di depan Jay yang kini malah tertawa.
“Udah-udah, kalian ini kok?” Ninik mengambil alih percakapan. Pusing melihat cucu-cucunya berdebat. Kemudian, para sepupu dan kerabat-kerabat yang lain kembali larut dalam obrolan ringan itu.
Setelah berbincang-bincang cukup lama dan juga sudah tahu nama siapa keluar di arisan kali ini, Jay dan Mika memutuskan untuk segera pulang. Pukul 20.30 malam waktu Indonesia bagian barat, mobil yang dikendarai Jay keluar dari tol dan bergerak perlahan menuju perumahan tempat mereka tinggal.
Jay menoleh ke kiri, ke tempat di mana Mika berada. Pria itu terlihat menarik napas dan tak berani membangun Mika yang tertidur dengan pulas.
Untuk sejenak, Jay tak bergerak. Dia tidak melakukan apa pun bahkan setelah mobilnya memasuki pekarangan rumah dan mesin mobil dimatikan.
Jay menoleh ke belakang, putranya tertidur dengan pulas. Sedang sang Mami dari putranya juga melakukan hal yang sama. Tanpa sadar, Jay tersenyum. Pria itu mendekatkan diri ke arah Mika, menatap wajah Mika yang terlihat damai ketika sedang tertidur.
Mika cantik. Jay tidak berbohong soal ini. Kulit Mika itu bersih, halus, dan juga sangat-sangat terawat. Jay tidak tahu pasti kapan istrinya pergi perawatan ke salon kecantikan, yang jelas, Mika tak pernah terlihat buruk di depan matanya.
Tangan-tangan Jay mulai menyingkirkan satu persatu rambut yang menutupi wajah wanita itu, sehingga Jay bisa menatap wajah Mika secara keseluruhan.
“Cantik, Mik.” Katanya pelan.
Netra Jay menatap ke arah kening Mika, turun ke bawah sedikit, netranya menatap hidung runcing itu, kemudian … netranya menatap bibir merah muda Mika.
Jay menggelengkan kepala. Dia buru-buru menjauhkan wajah. Takut kalau-kalau dia kebablasan. Dia tak mungkin melakukan hal itu di sini, dengan Harsa yang ada di belakang mereka. Tidak. Tidak. Jay tidak gila.
Maka, karena Jay tidak ingin membangunkan keduanya, Jay membawa Mika dan Harsa bergantian ke kamar mereka masing-masing.
Adalah Harsa yang pertama kali Jay antar ke kamarnya. Anak laki-laki itu langsung dibaringkan di tempat tidurnya dengan Jay yang mengecup keningnya dengan sayang. “Selamat tidur, Harsaka.”
Setelah memastikan bahwa tidur Harsa nyaman, Jay kembali lagi ke mobil dan kali ini, ia membawa Mika bersamanya. Ini bukanlah kali pertama Jay menggendong Mika. Tetapi rasanya sama seperti pertama kali Jay melakukannya.
Jay tak berbohong, bahwa dia merasakan kegugupan yang melanda dirinya saat ini. Wajah Mika yang tertidur benar-benar bisa menghilangkan kewarasan Jay, dia rasa.
“Jay?”
“Hm? Kamu bangun?” Tanya Jay.
“Iya. Kita udah sampai rumah, ya?” Mika bertanya.
Jay menaruh Mika di atas ranjang, sementara pria itu terduduk di pinggiran kasur dengan sebelah kaki berada di bawah. “Iya.”
“Aku capek banget. Maaf jadi ngerepotin.”
“Iya enggak apa-apa.” Kata Jay. Pria itu mengulum bibir bawah, matanya bergerak tak karuan ke arah mana pun.
“Kamu gelisah kenapa?”
“Hah?”
“Kamu … gelisah kenapa?”
Jay tersadar. Dia tak tahu kalau sikapnya begitu kentara di mata Mika. “Enggak apa-apa.” Kata Jay. “Saya Cuma—”
Perkataan Jay terpotong oleh aksi yang dilakukan Mika. Jay terperanjat. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang sedang mereka lakukan. “Mik?” Jay berkata lirih setelah tempelan bibir mereka terlepas.
“Aku ngerti apa maksud tatapan kamu, Jay. Lets do it.”
Begitulah malam itu terlewati. Jay dan Mika sama-sama melepas penat dan segala apa pun yang mereka pikirkan.
Tolong untuk malam ini saja, berhenti di pikiran suamiku, Embun. Tolong.
•
Jay memasuki ruang ganti dan ruang make-up dengan wajah sumringah. Semua penata rias artis yang melihatnya segirang itu menjadi bertanya-tanya. Kira-kira apa yang membuat Jay memasuki ruangan ini dengan senyum secerah matahari pagi.
“Cielaaaah, yang semalem abis ngeronda! Seneng amat sih lo?!”
Jay tertawa. Dia duduk di tempatnya dan mulai mempersiapkan diri untuk dirias oleh sang perias. “Ronda apaan sih? Sok tahu lo!”
“Yaelah, I’m married kali! Gue juga pahaaam!”
“Ah pokoknya lo sok tahu!” Sahut Jay.
Sekonyong-konyong, telinga dan wajah pria itu sudah semerah tomat. Membuat perempuan yang merias wajahnya menjadi terkikik.
“Alah! Muka lo merah banget, sumpah, Jay! Habis berapa kali lo semalem?” Salah seorang teman hostnya mendekatkan diri ke arah Jay.
“Gue enggak habis ngapa-ngapain, b******k!” Kata Jay.
“Bokis lo! Pipi lo merah, telinga lo juga. Yaelah, Jay, Jay. Kita temenan berapa tahun sih?” Temannya tertawa.
“Berisik banget sumpah, Rik. Gue enggak gimana-gimana kok. Ya kayak biasa aja sih?”
“Masa sih?” Erik menggodanya lagi. “Dulu-dulu juga bukannya lo sering, ya? Kok dulu enggak secerah sekarang? Kenapa? Lo jatuh cinta sama dia?” Erik berbisik-bisik di kalimat terakhirnya.
Jay terdiam. Matanya terpaku menatap cermin di depannya. Cinta, ya?
Jay rasa … tidak? Entahlah. Jay tidak tahu. Sejujurnya jangan pernah bertanya tentang cinta pada Jay. Sebab, pria itu tak akan pernah bisa menjawabnya. Dia sendiri tidak tahu cintanya untuk siapa. Yang dia tahu, dia menyayangi Mika sebagai Maminya Harsa.
“Ngaco.” Jay menjawab pendek.
Erik tersenyum miring. “Sumpah? Its been 10 years, Man. Makan hati banget sumpah?”
“Ya mau gimana? Gue cuma jujur.”
“Jujurnya lo malah bikin gue emosi!” Kata Erik. “Tapi lo beneran sebiasa itu sama dia? Lo punya perasaan sayang enggak sih?”
Jay mengangguk cepat. “Sayang lah, gila. Dia emaknya Harsa.”
“Anjing!” Erik mengumpat. “Lo lihat dia sebatas ibunya si Harsa aja?”
Jay mengangguk. “Kenapa?”
“Gila. Sumpah, lo gila, Man. GWS deh!”
Erik menggelengkan kepala setelah mendengar jawaban Jay. Laki-laki itu berlaku dari sana, karena emosi mendengar suaranya Jay. Sementara Jay hanya diam, dia kembali fokus pada perias yang sedang merias wajahnya.
“Saya yakin kamu denger pembicaraan saya dan Erik tadi. Tolong keep this topic as a secret, Mbak. Saya percaya kamu. Kalau seandainya berita ini keluar ke media, saya enggak akan pernah memaafkan kamu.”
Sang perias membeku, kemudian seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, dia menganggukkan kepala. “Oke, Mas Jay. Saya bakalan diem.”