4. Bandung

1758 Words
Ada dua penilaian tentang keluarga; satu, keluarga adalah tempat untuk pulang dan mengeluarkan segala keluh kesah, atau; dua, keluarga adalah seburuk-buruk “tempat tinggal”. Agenda Mika dan Jay minggu ini adalah pergi ke rumah Neneknya Jay di Bandung. Mereka pergi ke Bandung dikarenakan ada jadwal arisan bulanan antar keluarga. Setiap bulan, meski bukan sebagai tuan rumah, rumah Neneknya Jay akan selalu dijadikan tempat berkumpul. Yah, biasalah. Neneknya Jay merupakan orang tertua dan dianggap sesepuh, maka semua anak-anak, cucunya, bahkan cicitnya Nenek Jay akan berkumpul di sana. Hari ini, mereka pergi ke sana. Sebetulnya acara itu masih berlangsung esok hari. Tetapi Mamanya Jay mengatakan pada Mika, bahwa dia rindu berat dengan si Baik Harsa. Mama Jay juga menyuruh mereka untuk menginap satu malam saja di rumah itu. Jadilah, siang ini, tepatnya Sabtu ini, mereka pergi ke sana. Tadinya Jay ingin berangkat pagi-pagi sekali, dia khawatir terjebak macet di jalan. Namun, ternyata dia masih ada satu agenda lagi di jam 8 pagi untuk datang ke podcast milik temannya di daerah Jakarta Barat. Jadilah dia baru bisa berangkat ke Bandung siang hari, setelah lunch. “Semuanya udah di bawa?” Jay bertanya. Dia berdiri di depan pintu yang terbuka. Netranya melihat Mika yang berjalan ke arahnya sambil membawa tas kecil berisi perlengkapan Harsa. “Udah.” Jawab Mika. Wanita itu menyerahkan tas kecil itu ke tangan Jay, meminta Jay membawanya masuk ke dalam Pajeronya. Setelah itu, Mika mengunci pintu dan menaruhnya di dalam tas. “Mami, aku bawa iPad di tas aku. Boleh enggak?” Harsa bertanya. Mika yang baru saja masuk ke dalam mobil langsung menoleh ke arah anaknya di belakang. “Udah terlanjur Harsa bawa?” Tanya Mika, yang kontan diangguki oleh Harsa. Mika menarik napas. Mau bagaimana lagi? “Yaudah enggak apa-apa. Tapi nanti jangan asyik sama gadget, ya. Harsa harus berusaha sosialisasi sama sepupu-sepupu juga ya?” Anggukan Harsa menjadi jawaban. Harsa itu sebetulnya bisa-bisa saja tidak pegang gadget. Tapi, jika sekali saja dia pegang gadget, maka Harsa bisa lupa waktu. Waktu makan, waktu ibadah, waktu membantu Mami, bahkan waktu mengerjakan pr. Dalam sehari, Mika hanya membolehkan Harsa main gadget selama satu jam. Di jam 3 sampai jam 4 sore aja, setelah mandi. Lewat dari jam itu, Mika sudah mengambil gadget dari tangan Harsa. Harsa menurut. Anak laki-laki itu jarang sekali membantah ucapan Mami atau Papanya. Bagi Harsa, perkataan Mami dan Papa adalah satu hal yang mutlak; yang berarti, dia tidak bisa membantahnya. “Udah siap semua?” Jay bertanya. Matanya menatap bergantian ke arah Mika dan Harsa. Harsa mengangguk semangat. “Siap, Pa!” “Oke, kita berangkat ya!” Jay mulai menginjak pedal gas dan memutar kemudi dengan kuasanya. Perjalanan dari Bogor ke Bandung memakan waktu kurang lebih 2 jam 44 menit jika tidak macet. “Harsa kalau ngantuk bobo aja, Sayang.” Kata Mika. Mika melirik ke spion, melihat anaknya yang sudah mulai menyenderkan daksa ke jok mobil. “Beneran ngantuk, ya?” “Iya, Mam.” Harsa menjawab pelan. “Tidur aja, Dek. Nanti Mami sama Papa bangunin kalau udah sampai.” “Oke, Mam.” Harsa mulai memejamkan mata, dan tak lama kemudian, alam mimpi segera dijejakinya. Sementara Harsa tidur, Mika mencoba memutar musik dengan mencolok kabel USB ke handphonenya. Dia memutar lagu yang ada playlist Spotify-nya. Lagu-lagu milik The 1975 mulai mengalun merdu di dalam mobil itu. Jay fokus pada jalanan, matanya sesekali melirik ke arah Mika yang sedang membuang pandangan ke arah jendela. “Saya baru tahu kamu suka The 1975.” Kata Jay. Mika menoleh. Kedua alisnya terangkat. “Oh, iya. Aku emang suka.” “Saya juga suka. Cocok juga di telinga saya.” “Oh, ya?” Jay mengangguk. “Kita sama-sama enggak tahu kesukaan masing-masing, ya?” Pertanyaan itu terdengar menyedihkan bagi siapapun yang mendengarnya. “Iya.” Mika menjawab seadanya. Dia bingung ke mana arah pembicaraan Jay kali ini. “Sepuluh tahun bersama, dua belas tahun saling kenal, kita ini masih seperti asing ya? Kamu sadar enggak, Mika?” Mika belum menjawab. Wanita itu fokus memikirkan jawaban apa yang akan ia katakan pada Jay. Selama ini, Mika juga menyadari bahwa mereka masih sama seperti dulu; asing. Yang beda di antara mereka hanya status dan Harsa yang membersamai mereka. “Sedihnya iya, Jay.” Jay meringis pelan. Kuasanya mencengkeram kemudi agak sedikit erat. “Kamu bahagia?” “Pertanyaan kamu retoris banget, Jay.” Jay menoleh. “Kenapa? Kamu enggak bahagia?” “Bukan. Jangan salah sangka. Aku bahagia, selagi itu sama Harsa. Apa pun, apa pun kalau itu sama Harsa, aku akan bahagia.” Jawab Mika. “Kamu bahagia?” Pertanyaan yang sudah pasti susah untuk Jay jawab. “Saya enggak ngerti.” “Gimana maksudnya?” “Coba kamu kasih konteks di pertanyaan kamu.” Mika mengulang pertanyaan yang sama, kemudian, Jay menjawab dengan suara pelan. “Kalau yang kamu tanyakan tentang bagaimana perasaan saya karena memiliki Harsa, jelas saya bahagia. Bahagia sekali. Kamu bahkan enggak perlu jawaban itu, kan? Tapi kalau kamu tanya bagaimana perasaan saya karena pernikahan ini, saya agak sesak, sedih, dan merasa bersalah di satu waktu, Mika. Merasa bersalah pada Embun, pada kamu, pada Harsa, sesak karena saya enggak bisa berbuat apa pun, dan sedih karena saya menyakiti hati tiga orang; Embun, kamu, dan … Harsa.” • Jay, Mika, dan Harsa sampai di Bandung pukul 4 sore. Sesuai dugaan, arah jalan ke Bandung macet. Beruntungnya mereka tidak terjebak macet sampai malam hari. Jika saja itu terjadi, maka Jay tidak bisa berkata apa pun. “Harsa cicit Niniknda!” Daksa Harsa langsung dihujani dengan pelukan dan kecupan oleh sang Ninik—Nenek Jay. Nininda adalah panggilan kesayangan Harsa untuk neneknya Jay. Satu fakta tentang Harsa. Harsa itu suka sekali memanggil orang-orang dengan “nda” di akhir katanya. Papanda, Maminda, Tantenda, Niniknda, Omanda, Nyainda. Semuanya. “Halo, Niniknda! Harsa kangeeeeeeen!” Kata Harsa. Kuasanya balik memeluk sang Ninik tak kalah erat. “Niniknda juga kangen banget! Harsa apa kabar? Baik, Sayang?” Niniknda melepas pelukan, menatap wajah Harsa tampan Harsa dengan netranya yang ditutupi oleh kacamata plus. Maklum, faktor usia. “Baik dong, Niniknda! Niniknda baik kaan?” Niniknya menganggukkan kepala. “Iya dong Niniknda sehat! Niniknda kan setiap hari olahraga, makan makanan sehat. Harsa juga, ya?” Perkataan terakhir Niniknda bukan kalimat pertanyaan, tapi permintaan dari Ninik tua itu untuk sang cicit agar dia hidup sehat juga. “Pasti!” Niniknda mengecup pipi sang cicit dan beralih kepada Mika dan Jay yang ada di belakang anak itu. Setelah menyalami Niniknda, Mika dan Jay masuk ke dalam rumah. Ternyata sudah ada tantenya yang sampai. Fyi, anak neneknya Jay itu ada lima. Yang pertama laki-laki, sekarang sedang menetap di Jepang dan tidak bisa pulang. Setiap bulan ketika acara arisan ini diadakan, om-nya yang di Jepang itu akan digantikan oleh anaknya yang sedang berkuliah di Indonesia. Lalu yang kedua ada tantenya, yang berprofesi sebagai dokter anak di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Tantenya yang kedua ini cukup dekat dengan Jay, karena sampai saat ini, Tantenya itu belum punya anak, dan beliau menganggap Jay sama seperti anaknya sendiri, pun dengan Harsa yang sudah dia anggap sebagai cucunya. Yang ketiga ada omnya yang sekarang sedang mengambil alih perusahaan keluarga. Perusahaan keluarga Almairi bergerak di bidang konstruksi. Proyek terakhirnya yang Jay tahu adalah pembangunan sebuah rumah sakit di daerah Bandung. Yang keempat ada tantenya yang sampai saat ini tidak menikah. No married women. Tantenya mematahkan stigma cari pasangan dong biar bahagia yang selalu dielu-elukan keluarganya, bahkan orang-orang sekitar. Tantenya Jay membuktikan bahwa bahagia tidak melulu tentang pasangan, kadang, sendiri pun bisa menjadi kebahagiaan seandainya kita tahu yang mana prioritas kita dalam hidup. Kemudian yang terakhir ada Papanya Jay. Papanya Jay berprofesi sebagai seorang arsitek di perusahaan keluarganya sendiri. Pria tua itu menolak ketika dulu ditawari untuk menjadi direktur di perusahaan keluarganya. Alih-alih menjadi direktur, dia ingin menjadi arsitek saja. Jadi, begitulah. “Ya ampun, Jay! Kamu apa kabar?” Jay langsung diberondong pertanyaan itu oleh tante Ninda—anak niniknya yang keempat. Jay tersenyum lebar, sampai-sampai matanya menyipit dan lesung di pipinya timbul. Manis. “Jay baik kok, Tan. Lihat deh perut Jay, gendut banget gini! Pasti sehat deh Jay mah!” Tantenya tertawa. Matanya menatap istri keponakannya yang sedang menatap mereka. “Eh ada Mika! Ya ampun, Mik, kamu sehat kan?” “Mika sehat kok, Tante. Puji Tuhan.” “Syukur deh. Tante seneng dengernya!” Kata Tante Nindi. Tante Nindi menyodorkan toples-toples berisi kue-kue kering ke hadapan Mika yang mulai duduk di sampingnya. “Nih, Mik, cobain deh! Tante kemarin habis bikin ini, dan enak banget!” Mika menatap kue sus kering di depannya dengan minat. Wanita itu mengeluarkan handsanitizer dari dalam tas dan memakainya sebelum mengambil satu kue sus dari dalam toples. Matanya berbinar saat merasakan selai cokelat itu mulai memeleh di lidahnya. Enak! “Tan, ini enak banget! Tante bikin pakai resep sendiri atau gimana?” Mika bertanya. Mika itu suka sekali membuat kue. Dia bisa membuat kue setiap hari libur, atau terkadang jika dia benar-benar sibuk dan tak ada waktu, Mika masih menyempatkan diri untuk membuat kue. Bagi Mika, masak itu adalah salah satu cara yang dia pakai untuk healing. Untuk menenangkan hatinya yang gundah dan kepalanya yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan aneh. “Tante lihat resep dari YouTube, terus Tante modifikasi, Mik. Tante pikir juga rasanya bakalan aneh, tapi ternyata lumayan.” “Ih ini mah bukan lumayan lagi, Tan. Udah enak banget!” Tante Nindi tersipu. “Bisa aja kamu! Makasih ya, Mika.” “Sama-sama, Tante. Kapan-kapan Mika mau buat yang kayak gini ah. Tapi mungkin isinya selai strawberry atau bluberi. Harsa kurang suka cokelat kecuali Kinderjoy soalnya!” “Oh, dia enggak suka, ya? Tante baru inget. Tante kira dia suka banget sama cokelat. Soalnya kalau pergi ke minimarket, Harsa selalu minta dibeliin Kinderjoy.” Mika tertawa. Dia menggeleng. “Enggak, Tan. Dia enggak terlalu suka, tapi kalau Kinderjoy beda.” “Haduh dasar anak-anak!” Kemudian, tawa keduanya terdengar. Satu hal yang Mika dapat syukuri selain adanya Harsa di dunianya. Yaitu, kehadiran keluarga Jay yang hangat dan penuh kasih sayang. Semua keluarganya Jay baik padanya. Tak pernah sekalipun Mika mendapat perlakuan buruk dari keluarga Almairi. Baik dari papa mertua, mama mertua, ninik mertua, atau bahkan tante dan om-omnya Jay, semuanya baik pada Mika. Mereka juga baik pada Harsa dan sudah menganggap Harsa sebagai cucu mereka sendiri. Mika bersyukur. Setidaknya, keluarga Jay menjadi alasan kenapa sampai saat ini, dia masih ada di tempat yang sama, tanpa berniat untuk beranjak, meski rasanya, cekikan di leher Mika semakin kuat, karena dia … juga bisa lelah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD