Jika seorang aktor begitu lihai dalam memainkan perannya di atas panggung hiburan. Akankah sang aktor juga lihai dalam memainkan peran dalam hidupnya sendiri?
Jay memejamkan mata saat merasakan sapuan alat-alat makeup di wajahnya. Hari ini dia menjadi pembawa acara di salah satu siaran televisi swasta guna menggantikan pembawa acara tetap yang saat itu sedang sakit dan di karantina. Dugaan sementara dari sakit temannya itu adalah tertular virus covid, maka dari itu, dia di karantina dan tidak boleh datang ke mana pun saat ini.
Always safety first.
"Udah lama banget deh sejak gue kerja bareng lo lagi. Lo apa kabar, Jay?"
Jay tersenyum kecil. "Baik kok gue. Lo sendiri gimana?"
"Baik lah, kayak biasanya. Anak lo udah umur berapa sih? Gue terakhir lihat lo sama anak lo secara langsung tuh pas ulang tahun dia yang kesatu enggak sih?"
"Iya bener. Udah gede dia, umur 10 tahun bulan depan."
"Wah gila! Umur pernikahan lo juga lama ya berarti?"
Jay menatap sang perias wajah dari cermin dengan tatapan yang hanya dia yang tahu apa artinya. Jay dan sang perias, Mariane, pernah bekerja bersama berpuluh-puluh tahun silam. Jauh sebelum Jay terjun ke dunia per-ftv dan perfilman, Jay lebih dulu menjadi pembawa acara di acara-acara musik atau di acara-acara kuliner.
Jay pertama kali mengikuti casting di tahun 2005 dan sepanjang tahun 2005 sampai 2007 awal, Jay menjadi host. Baru di tahun 2008 awal, Jay mulai dilirik oleh sutradara film televisi yang kemudian membuatnya direkrut untuk menjadi pemain utama pria dalam mewujudkan naskah cerita itu.
"Iya, tahun ini hampir 11 tahun. Gue agak lupa, maklum, faktor umur." Kata Jay. Pria itu tertawa kecil ketika merasakan lengannya dipukul sang perias.
"Bisa-bisanya lo lupa! Kalau bini lo tahu lo lupa tahun pernikahan kalian, marah enggak tuh dia?" Tanya Mariane.
Jay kontan menggeleng. "Enggak bakalan. Dia mah enggak emosian orangnya. Maksudnya tuh kayak, yaudah lupa kan manusiawi gitu lho." Jay menjelaskan.
Apa yang Jay katakan tentang Mika memang benar adanya. Mika itu orang paling sabar yang pernah Jay temui sepanjang hidupnya. Jay tidak pernah mendapati seseorang dengan keikhlasan dan ketabahan seperti Mika. Hati Mika itu luaaaas sekali! Sampai-sampai Jay terkadang berpikir, mungkin saja hati Mika ini terbuat dari baja sekaligus tahu sutra.
"Haduh, si Mika mah the best banget ya? Beruntung banget lo tuh dapetin dia!"
Mariane mengoleskan lipbalm pada bibir Jay sebelum memoles lipstick tipis di sana. "Akur-akur ye lo sama dia, semoga langgeng sampai akhir!"
"Amen." Balas Jay dengan begitu pelan.
Dalam diam, pria itu berpikir. Akankah dia bisa merealisasikan doa Mariane ataukah sebaliknya?
•
"Mik, coba deh lo take sekali lagi! Kayaknya yang bagian paragraf tiga tadi feel-nya kurang dapet. Kita coba sekali lagi, ya?" Pak Sutradara memasang kembali earpods yang dia pakai untuk menyunting potongan bagian film yang sedang dibintangi Mika saat ini.
Tahun ini, Mika hanya menerima satu tawaran syuting untuk film berjudul The Sins. Film bergenre trailer horror yang menceritakan tentang sekumpulan mahasiswa yang pergi ke gunung untuk refreshing setelah menghabiskan satu minggu penuh mengikuti ulangan tengah semester yang membuat kepala mereka pecah. Mereka pergi ke salah satu gunung tertinggi di pulau Jawa. Sama seperti gunung-gunung di mana pun, gunung itu pun punya aturannya sendiri. Aturan yang tidak seharusnya mereka langgar dengan tujuan agar tidak membuat para penghuni di sana marah, karena merasa orang-orang yang mendatangi tempatnya sudah berlaku tak sopan.
Aturan yang tidak seharusnya mereka langgar itu malah mereka langgar. Mereka bersikap seperti lupa anggah-ungguh bertamu ke tempat baru. Yang kemudian membawa malapetaka bagi kelimanya.
Setelah mendengar suara sang sutradara, Mika mulai mengulang adegan yang dirasa kurang pas.
"Lagian lo aneh-aneh aja sih! Gue udah bilang kan buat jaga anggah-ungguh di mana pun! Ayolah, please ... kita itu udah jadi mahasiswa, tahun depan bakalan nyusun skripsi malah. Bisa-bisanya lo semua begini? Tuhan, gue udah enggak tahu harus bilang apa ke orangtuanya Bayu kalau dia tetap enggak ditemuin!"
"CUT! Bagus, Mik!" Sang Sutradara mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi saat Mika sudah selesai menyelesaikan bagiannya. "Bagus banget sumpah! Yang ini emosinya jauh lebih dapet! Pertahanin ya, Mik. Lo paling keren sumpah!"
Mika tersipu. Dipuji seperti ini sukses membuatnya malu. "Biasa aja sih, tapi syukurlah kalau sesuai ekspektasi lo."
"Wah ini mah lebih dari ekspektasi gue kali! Gue kira bakalan biasa aja, tapi pas diulang, wah gilaaaaaa! Enggak salah sih kita-kita pilih lo!"
"Duh bisa-bisa gue terbang enggak sih kalau gini terus?"
Sutradara itu tertawa. "Yaelah, lo masih sama aja kayak dulu. Sama-sama enggak bisa dipuji, kalau dipuji dikit aja lo udah langsung malu dan salah tingkah!"
Sutrada yang bertugas mengawal jalannya proses syuting dari awal hingga akhir ini adalah salah satu teman lamanya Mika. Mereka pernah terlibat beberapa projects di masa lalu, dan keduanya cukup dekat. Sutradara yang diketahui bernama Nanda itu sudah menganggap Mika seperti adiknya sendiri.
"Ya mending gitu enggak sih? Daripada gue kegeeran dan jadi sombong kan?" Kata Mika.
Nanda tertawa. Pria dengan earpods yang masih tergantung di lehernya itu mendekati Mika dan menepuk bahunya pelan. "Iya sih bener. Lo makin hari makin upgrade deh. Gue jadi suka!"
"Jangan suka dong, Bos! Mika tuh udah ada pawangnya tahu! Pawangnya galak lagi!"
Mika menoleh dan mendapati seorang crew televisi yang sedang meledeknya.
"Oh udah ada pawang, ya? Pawangnya siapa sih? Sini-sini ospek sama gue dulu!" Kata Nanda, bercanda.
Nanda jelas tahu siapa pawangnya Mika.
"Itu lho si Jay! Jay Galuh Almairi. Aa Jayyyyyy!"
"Yaelah Jay doang! Gua sikut juga dia terbang!"
Mika menggelengkan kepala. Obrolan keduanya makin tak terkendali, jadi, Mika memilih untuk pergi ke ruang ganti dan makan siang dengan tenang di sana.
•
Jay Galuh Almairi
Saya enggak bisa jemput kamu ya, Mika.
Saya ada janji.
Nanti saya kabari kalau saya sudah ingin pulang.
Jay mengirim pesan itu kepada istrinya sesaat setelah selesai siaran. Jay memasukan handphone ke dalam saku celana dan berjalan menuju parkiran dengan perasaan senang.
Pria itu menatap pantulan dirinya di kaca—memastikan bahwa wajahnya baik-baik saja dan tetap rupawan meski dia sudah bekerja di depan tv hampir seharian penuh. "Udah ganteng deh!" Katanya dengan penuh percaya diri.
Kuasa Jay memutar kemudi, kemudian menginjak pedal gas. Sore ini Jay berniat pergi ke salah satu rumah seorang teman lama yang hampir dua mingguan ini tak ia kunjungi. Harsa sempat sakit sesaat setelah Jay membawa anak itu untuk pergi ke mall dan berjalan-jalan seharian penuh. Faktor kecapekan dan jam makan yang telat menjadikan anak itu sakit.
Oleh sebab Harsa sakit, maka Jay jadi absen mendatangi sang teman. Baru hari ini dia bisa pergi melihatnya kembali.
Butuh waktu sekitar dua jam setengah dari lokasi syuting ke tempat teman lamanya itu. Rumah teman lamanya itu berada jauh dari pinggir kota. Rumah yang berdiri di pinggiran dengan bangunan kokoh berlantai dua yang hanya ditinggali oleh seorang wanita cantik dengan status lajang. Halaman rumah wanita itu dipenuhi oleh bunga-bunga hias yang memanjakan mata.
"Jay?"
Netra Jay menyipit, lesung pipi langsung tercetak begitu saja ketika pria itu tersenyum. Dengan segera Jay memangkas jarak dan memeluk daksa wanita di depannya. "Embun." Lirihnya.
Embun, wanita yang daksanya sekarang ada di kungkungan Jay tengah tersenyum. Indera penciumannya menghidu aroma mint bercampur keringat dari tubuh Jay. "Its been a long time, Jay."
Jay hanya mengangguk. Dia menyimpan dagunya di atas pucuk kepala sang wanita, sementara kuasanya semakin erat merengkuh daksa wanita itu.
"I really miss you, Embun."
"Me too, Jay. Hampir dua minggu ini aku kesepian. Kamu ke mana?" Suara lirih Embun semakin membuat Jay merasa bersalah.
Jay mengusap surai Embun, memberikan kesan ketenangan pada wanitanya. "Maafin saya, ya? Saya bener-bener enggak bisa ke mana-mana dua mingguan ini. Putra saya sakit. Kamu tahu kan sedekat apa saya dengan putra saya?"
Putra saya.
Sejujurnya, ada rasa sakit yang Embun rasakan ketika dia mendengar kalimat-kalimat itu meluncur dari bibir Jay. Putra saya, putra saya. Harusnya putra kita alih-alih putra saya. Kata itu seolah-olah menunjukkan pada Embun bahwa tempat ini bukanlah tempat yang seharusnya dia tinggali. Kata itu seolah-olah menunjukkan bahwa apa yang sedang dia lakukan sekarang adalah hal yang salah. Kata itu seolah-olah menunjukkan bahwa sehebat apa pun Jay dalam mencintainya, Jay tidak akan pernah lagi sama; Jay-nya tidak akan pernah lagi bisa menjadi milik Embun sepenuhnya.
"Anak kamu sakit, Jay? Sakit apa?" Embun mendongak. Netra cokelatnya menatap penasaran ke arah Jay. Sementara yang ditatap mengusap-usap rambut wanitanya dengan pandangan mata yang semakin menyendu.
"Putra saya kena tifus. Kemarin rawat inap selama kurang lebih lima hari. Selama itu pula saya bergantian dengan dia untuk menjaga putra kami. Maafin saya, ya, Embun. Saya enggak bermaksud untuk membuat kamu kesepian."
Dia.
Satu hal lagi yang kembali menyadarkan Embun akan posisinya. Satu hal yang teramat Embun sesali kehadirannya. Dia. Embun harusnya tahu, sejak dia menyetujui ide gila itu, dia yang akan terluka paling banyak.
Kalau boleh bicara jujur, sebetulnya Embun menyesal. Dia menyesal sekali sudah melakukan itu di masa lalu. Andai dulu dia lebih berani dan tidak impulsif, apakah Embun bisa menjadi dia yang Jay maksud?
Usapan Jay di tengkuknya membuat Embun tersadar. Kesadaran Embun tertarik kembali secara sempurna, dan dia bisa melihat sorot mata Jay yang mulai meneduh. "Kenapa melamun?"
"Enggak. Aku cuma lagi ... seneng aja."
Jay tersenyum. "Masuk yuk? Saya pikir enggak enak kalau saya hanya diam di sini aja." Kata Jay.
Embun menganggukkan kepala. Wanita itu menurut ketika tangan Jay membawanya masuk ke dalam rumah dan duduk di atas sofa.
Jay bukan sekali atau dua kali mengunjungi rumah ini. Jay selalu ke sini setiap satu minggu sekali, hanya sekadar menanyakan kabar Embun dan bagaimana hari-hari wanita itu berjalan.
"Kamu baik-baik aja, Embun? Selama dua minggu ini, apa aja yang udah terjadi sama kamu?" Tanya Jay.
Embun tersenyum. Tipis sekali. "Enggak terlalu banyak, dan enggak menarik juga. Kalau kamu?"
Senyum Jay terbentuk semakin lebar, dan pria itu mulai menceritakan kegiatannya selama dua minggu yang penuh penat kepada teman lamanya.
Jay ... seandainya aku boleh egois saat ini, apakah aku bisa mendapatkan kamu lagi?
•••