1. The Beginning of Our Story: 2021.

1513 Words
Tolok ukur kebahagiaan bagi setiap pasangan itu berbeda-beda, tetapi kalau kami; mutlak. Baskara di langit biru belum naik sepenuhnya ketika pintu kamar berwarna hitam dengan gantungan warna merah bertuliskan Harsa's Room dibuka. Sosok perempuan berkepala tiga dengan kaus rumahan dan celana pendek masuk ke dalam. Kuasa perempuan itu menarik turun selimut putih yang menutupi tubuh putranya. "Harsa, do you to wont get up? Its 9 am, you have a plan with your dad, remember?" Perempuan itu mengguncang pelan-pelan tubuh anaknya. Dia terduduk di atas ranjang dengan sebelah kaki berada di atas. "Harsa wake up please?" Harsa, nama anak itu, mata sipitnya terbuka dan mengerjap pelan-pelan, berusaha menyesuaikan diri dari sinar matahari yang lolos melalui sela-sela gorden di kamarnya. "Mami?" Katanya begitu pelan. Anak itu menarik guling guna menutupi wajahnya dan bersiap akan tidur kembali sebelum sang Mami menarik guling itu yang kontan membuatnya membuka mata secara paksa. "Mami, what you wanna do?" "Its 9 am, Harsa. Kamu lupa kalau punya janji sama Papa?" "Janji apa? Aku enggak inget apa pun tuh." Harsa menjawab cuek. Perempuan dengan kaus rumahan itu berdecak pelan. Jarinya menjawil hidung Harsa dan mengusap surainya yang panjang. "Kamu punya janji sama Papa hari ini mau pergi ke mall berdua. Katanya kalian mau beli set Lego baru dan beli buku, kan?" "Oh iya!" Harsa buru-buru terduduk. Rambut anak itu berantakan, ada cetakan bantal di pipinya yang memerah. "Aku lupa, Mami. Papa udah bangun ya?" "Udah. Papa kamu lagi olahraga di depan. Mau olahraga dulu sebelum sarapan dan mandi?" Anggukan Harsa menjawab pertanyaan perempuan itu. Dengan tergesa-gesa, anak laki-laki itu turun dari ranjang menuju ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan cuci muka sebelum akhirnya turun ke bawah dan bergabung dengan sang Papa untuk berolahraga. Setelah sang anak pergi, perempuan berkaus rumahan itu memilih untuk membereskan kamar putranya beserta isi-isinya. Hari ini adalah hari Minggu, suami dan anaknya sudah berencana akan pergi ke mall berdua, katanya sih, Boys Day Out. Sedangkan dirinya sendiri akan Me Time di rumah, menghabiskan waktu liburnya di hari minggu yang tenang ini dengan membaca buku, menulis, atau bahkan membuat kue. Ah, dengan membayangkannya saja membuat perempuan itu terkikik senang. Keadaan Weekend seperti ini sebetulnya adalah kegiatan rutin mereka. Tidak melulu berdua, kadang-kadang mereka bepergian bertiga. Entah mengunjungi Kebun Binatang, pergi kulineran di Monas, beli buku-buku baru, beli kaset play station, atau hanya sekadar cuci mobil. Harsa senang bisa menghabiskan waktunya dengan sang Mami dan Papa. Sebab, hanya di hari minggu Harsa bisa bebas bermain dengan kedua orangtuanya tanpa panggilan syuting yang kadang-kadang terjadi secara mendadak. • "Mau pergi sekarang?" Harsa mengangguk setelah memakai sepatu kets hadiah ulang tahun dari Tantenya tahun lalu. Dia tersenyum manis sambil mendongak, menatap sang Papa yang tampak rapi mengenakan kaus putih dan celana jeans denim pendek selutut. "Sekarang aja, Pa. Kalau ntar-ntar malah panass!" "Gitu, ya? Oke deh!" Jay, pria yang dipanggil Papa oleh Harsa itu segera megambil topi dan masker untuk mereka gunakan. Awal tahun 2021, virus covid-19 masih menyerang Indonesia, meski tidak setinggi tahun 2020 tingkat penularannya. Pada awal tahun ini, pemerintah sudah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau disingkat PPKM. Tujuannya agar penularan c-19 bisa rendah tingkatannya. Butuh waktu 10 sampai 20 menit bagi Jay dan Harsa untuk sampai di pusat perbelanjaan. Keduanya langsung turun begitu mobil Hyundai Tucson hitam Jay terparkir dengan rapi di besement mall. "Hari ini mau beli apa, Son?" Jay bertanya. Harsa menggandeng tangan Jay dan mengayun-ayunkannya. "Harsa mau beli buku, beli leggo yang kemarin Papa janjiin, sama beli bobba. Can I?" "Sure. Apa pun untuk jagoan Papa." Jay mengusap pucuk rambut anaknya dengan lembut. Keduanya langsung disambut oleh stand donut dengan merk terkemuma yang wanginya menusuk hidung Harsa. Anak laki-laki itu mengerucutkan hidung dan menarik-narik ujung kaus Papanya. "Let's buy some doughnuts, Pa?" "Kamu mau donat?" "Iya." "Oke." Jay melangkahkan kakinya untuk pergi ke stand donat dan membelikan Harsa tiga buah donat yang diinginkan anak itu. Setelah menghabiskan tiga buah donat bertopping cokelat, Harsa dan Jay kembali melanjutkan langkah menuju tempat tujuan mereka selanjutnya, yaitu toko buku dan toko permainan. • Tangan Mika melambai-lambai di depan kamera laptop yang ia pasangi dengan webcam berkualitas 1080p. Dia sedang mengadakan zoom bersama dengan teman-temannya di Film Televisi Senandung Cinta di Braga. Senandung Cinta di Braga adalah film televisi pertamannya setelah hampir dua tahun dia hanya menjadi pembawa acara atau Host. Film televisi yang tayang pada pertengahan tahun 2009 itu merupakan salah satu film televisi terbaik yang benar-benar berpengaruh dalam hidup Mika. Bahkan, dia dan Jay, suaminya bisa menikah karena film televisi itu. "Lo apa kabar, Mik? Sumpah sih gue masih enggak nyangka kalau lo jadinya sama Jay." Celetuk salah satu teman Mika, Ranti namanya. "Iyakan? Gue pikir si Jay itu main-main aja sama lo. Secara dia enggak pernah kelihatan kencan sama perempuan mana pun, jadi gue kira dia sorry gay." Salah seorang teman bernama Diny menimpali celetukan Ranti. Mika tertawa. Wanita itu tak menjawab apa pun dan hanya menatap ke-empat teman-temannya di layar laptop. Sebetulnya pemain Senandung Cinta di Braga itu banyak sekali. Tetapi yang bisa dihubungi dan bersedia ikut zoom hanya mereka berempat; Ranti, Diny, Sarah, dan Sherina. "Kabar gue baik kok. Jay juga baik kalau lo mau pada tahu. Kalau soal kenapa gue bisa berakhir sama Jay, ya enggak tahu? Mungkin jodoh." Jawab Mika. Diam-diam, wanita itu mengaminkan dalam hati. "Cie elah bawa-bawa jodoh, mentang-mentang udah nikah ya lo!" Sarah berseru. Di antara kelimanya, hanya Sarah yang belum berkeluarga. Gadis berumur 35 tahun itu masih betah menjomblo. Kegiatannya saat ini hanya traveling ke berbagai belahan dunia dan mencicipi satu persatu makanan di sana. Sejak remaja, cita-cita Sarah memang ingin keliling dunia. Dia tidak ingin menjadi artis, tapi berhubung ada yang mengajaknya untuk casting waktu itu, dan beruntungnya lagi dia diterima, maka mau tidak mau dia menjadi artis. "Sirik aja sih lo! Makanya buruan nikah!" Kali ini Sherina yang berbicara. Ketiganya tertawa, kecuali Sarah. Gadis itu memberengut dengan bibir mengerucut. "Apaan sih?! Nikah tuh enggak perlu diburu-buru kali. Pernikahan tuh sakral, gue cuma mau ke altar satu kali dalam hidup gue, plus sama orang yang gue sayang dan sayang sama gue!" Dari layar laptopnya, Mika bisa melihat Sarah sedang mengibas-ngibaskan rambutnya dengan gerakan yang lumayan cepat. Berlagak seperti, gue keren banget anjaaaay! "Lo abis dari negara mana sih? Kok tiba-tiba jadi dangdut gini?" Kata Diny. Wanita beranak satu itu tertawa sambil menguncir rambutnya menjadi satu ikatan. "Yeee! Bukan dangdut kali, tapi gue seriusan! Lihat deh banyak banget kan sekarang aktris dan aktor yang cerai karena beda pendapat doang, terus banyak juga yang jadi korban perselingkuhan. Duh, amit-amit deh gue mah!" Sarah masih melanjutkan series perjulidannya. Ranti mengangguk, "Gue setuju sih sama statement lo yang barusan. Temen satu management gue baru aja cerai karena suaminya selingkuh. Parahnya, si suami ini punya anak dari selingkuhannya! Gila enggak sih?" "Wah kacau banget itu mah! Seriusan deh, laki-laki zaman sekarang tuh ngeri-ngeri enggak sih? Ada yang kelewat ganteng, tapi b******k, ada yang ganteng banget, baik, tapi beda agama, terus ada lagi yang ganteng, tajir, enggak b******k tapi ibunya kayak nenek lampir! Sumpaaaah! Gimana gue enggak takut nikah coba?" "Kita kenapa jadi pada ghibah gini sih?" Kata Diny sambil tertawa. "Lagian ya, Sar, kalau lo mau nikah, lo harus ngehilangin dulu tuh pikiran-pikiran jelek lo. Enggak semua lelaki persis kayak yang lo sebutin kok. Suami gue juga bukan laki-laki yang sempurna sampai-sampai enggak punya kekurangan, enggak, enggak kayak gitu. Tapi dia baik versi dirinya sendiri. Jadi, menurut gue, statement lo tentang laki-laki zaman sekarang tuh ngeri banget tuh agak kurang tepat aja sih." "Iya juga sih. Enak kalau gue nikahnya sama modelan kayak laki lo, atau lakinya Mika, atau Ranti. Lah kalau gue dapetnya yang aneh-aneh? Duh!" "Negatif thinking mulu lo ah!" Kata Diny. "Saran gue sih, mending lo kurang-kurangin tuh mantengin akun gosip yang nayangin soal berita perceraian. Asli deh, pisah sama pasangan yang udah lo percaya selama bertahun-tahun tuh isn't easy." "Tahu dah! Duh, udah-udah deh, malah jadi serius! Kita bahas yang lain aja enggak sih? Tuh, Mika aja sampai diem mulu dari tadi!" Sahut Ranti. "Lo enggak apa-apa, Mik?" Tanyanya. Mika yang mendengar namanya dipanggil pun tersadar. Dia tersenyum samar. "Eh, iya gue enggak apa-apa kok. Kalian tadi ghibahnya asik banget sih? Gue nyimak aja! Bingung mau nanggepin apa soalnya. Sorry, ya." "Ah enggak apa-apa kok, Mik. Lagian kita juga tahu lo paling anti sama perghibahan gini dari zaman dulu!" "Makasih, ya." Kata Mika. "Omong-omong selama pandemi ini kalian udah naik berapa kilo?" Ranti, Diny, Sarah, dan Sherina langsung heboh setelah mendengar pertanyaan itu. Mereka seolah-olah sedang berlomba-lomba dalam siapa yang paling banyak nambah berat badan selama pandemi. Di antara perdebatan antara teman-teman lamanya, Mika termenung. Dia memikirkan ucapan spontan Sarah tentang pernikahan sakral yang hanya ingin dia lakukan sekali dalam seumur hidupnya. Tentang pernikahan yang hanya ingin Sarah lakukan hanya jika Sarah bertemu dengan orang yang dia cinta dan mencintainya. Mika memikirkan hal itu. Tiba-tiba saja, d**a Mika terserang rasa sesak. Dia ... takut. Bagaimana jika ... dia dan Jay menyerah dan memilih untuk berpisah seperti kebanyakan aktris dan aktor yang lain? •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD