Malam Old & New di Puncak, 31 Desember 2013
“Kembang apinya bagus, ya?” tanya Edward, yang mendadak berada di samping Ferlita.
“Eeh.., iya, Bang,” kata Ferlita gugup. Sedetik lalu, dia baru membayangkan Daniel. Sedetik lalu pula, ia masih mencoba membujuk hatinya yang tak tega melihat wajah murung kekasih hatinya itu terpampang di layar ponselnya. Dikenangnya kembali percakapan melalui panggilan video itu.
...
“Belum berangkat ke Tucson saja, sudah sesusah ini, Fei. Kok, mendadak banyak ritme yang nggak nyambung begini, Fei?” keluh Daniel.
Ferlita tahu apa yang dimaksud Daniel. Tapi dia bisa bilang apa? Setelah mengantarkan Daniel ke bandara di hari Senin, Sabtunya dia batal bertemu Daniel. Ferlita sudah menyanggupi untuk ke rumah Bu Edna. Ya, meskipun selama mengajar adik-adik itu, dia juga risau. Bayangan Daniel yang dirawat di sebuah rumah sakit di Singapore, hampir membuatnya nekad merengek minta ijin ke Pak Pedro demi bisa menengok ke sana. Dia ingin melihat secara langsung kondisi sang Pacar. Kala itu Daniel jatuh sakit, demam tinggi, mungkin saking rindu pada Ferlita dan takut berpisah lama dengannya, sehingga tak dapat memenuhi janjinya untuk datang ke Jakarta.
Lantas ketika kondisi Daniel mulai pulih, rupanya tante Ann tak segera mengijinkannya terbang ke Jakarta demi menemui sang kekasih hati. Dari Daniel, Ferlita tahu bahwa Brenda dan papanya Daniel justru mengunjungi Daniel, dan mereka tinggal di Singapura sampai Daniel diwisuda. So, memangnya ada celah buat Ferlita? Bukannya dia telah menetapkan batasnya sendiri? Dia sudah tak bertemu secara fisik dengan Daniel, kini tinggal perkara hati, kan? Dan itu tergantung dirinya. Hapus saja nama Daniel dari ingatan, beres! Pemikiran ini hinggap di kepalanya.
Ada saat-saat dalam hidup, ketika seseorang merasa telah melakukan yang benar, meski itu .. ah! Sedikit menyakiti hatinya sendiri. Dan oleh karenanya, orang lain memandang ketulusan hatinya, tak tahu betapa ia telah mengorbankan perasaan, perasaan yang mulai diragukannya sendiri. Begitulah seorang Ferlita. Dia makin disayang dan mempunyai nilai plus di mata tante Ann, ketika tante Ann mendengar sendiri bagaimana Ferlita membujuk Daniel untuk mau menghabiskan liburan Natal dan tahun Baru dengan papanya, kakaknya, adiknya, serta tante Ann melalui pilgrimage-sebuah perjalanan berupa ziarah rohani. Mereka akan ke Lourdes.
“Itu kesempatan baikmu, Dan, sebelum kamu sibuk sama kuliahmu nanti. Kan, bakalan jarang ketemu sama keluargamu begitu kamu sibuk kuliah nanti? Kamu masih ingat, nggak, janji apa ke aku? Mau memperbaiki hubungan kamu sama papa dan kakakmu, kan? Dimulai dari sekarang saja, ya. Aku sendiri juga sedang dilibatkan ke event-nya Ray, jadi kalau kamu ke Jakarta pun, agak susah deh, ketemunya. Kamu jangan lupa, ya, doakan aku di Lourdes nanti?” bujuk Ferlita di antara bisingnya suasana mal tempatnya berburu sebagian perlengkapan untuk event-nya Ray.
Di luar sepengetahuan Ferlita, semenjak Ray mendapati Edward mengantarnya ke rumah, timbul sebuah gagasan di kepala Ray, untuk mendekatkan keduanya. Caranya, tentu saja dengan melibatkan Ferlita lagi ke sejumlah gelaran acara grup perusahaan papanya Edward yang dipercayakan padanya, termasuk, acara pergantian tahun yang diselenggarakan di kawasan Puncak, kali ini.
“Fei, thankyou for coming in to Daniel’s life. You have encouraged him to become a man, not just a ‘good boy’. Makin kemari, tante makin jarang mendengar dia berkonflik sama Papanya dan Brenda. Kamu yang bikin dia berubah, Fei. Dia mulai berdamai sama keadaannya. Tante juga yakin, kelak diapun siap dengan tanggung jawab buat nerusin usaha Papanya. He adore you so much. Tolong jangan kecewakan dia ya. Bukan semata karena Tante terlampau sayang sama dia, tapi lebih karena ...., kamu tahu kenapa, kan? Sekali dia percaya sama orang, dia pegang terus rasa percaya itu.., tapi sebaliknya..,” lembutnya suara Tante Ann melalui panggilan video kemarin, disertai sorot mata yang tenang, kini seperti hadir lagi mengusik Ferlita.
...
“Mau minum Eli?” Edward mengangsurkan sebuah gelas padanya, membuat lamunan sesaat Ferlita buyar seketika.
Ferlita melirik. Dengan rikuh dia berkata, “Duh, Bang Edo! Nggak begini caranya. Harusnya aku, Ray dan timnya, yang melayani di sini. Bukannya yang ngasih kerjaan.”
Edward tertawa dan berkata, “Kamu lucu. Dan lebay, ternyata. Yuk, ke sana. Sebentar lagi sudah mau count down, hitung mundur. Boleh kan, aku jadi orang pertama yang ngucapin selamat tahun baru ke kamu?”
Ferlita auto tersipu.
Sontak saja sebuah pemikiran tengil hinggap di kepala Ferlita : Itu barusan, masuk kategori menggoda pacar orang nggak, sih?
“Lebay gimana? Enggak lah, kan klien adalah raja,” kata Ferlita.
“Nah, itu, di bagian situ, lebay-nya,” timpal Edward ringan.
Ferlita nyaris mengeluh. Kini ia mulai tersadar, rupanya seorang Edward jauh lebih berbahaya dari Daniel buatnya. Dia tidak pernah memakai gaya Daniel yang serba maksa dan mendesak untuk mengajak keluar. Nggak pernah! Padahal selama mempersiapkan acara ini, mereka sering bertemu.
Eh? Apa Ray sok sibuk dengan pekerjaan lain, sehingga sesekali menyuruh aku mewakili, kalau mau membahas detail kecil dengan Bang Edo Dan mengapa, hati aku sering berbunga-bunga setiap kali bertemu dengan Bang Edo, bahkan aku ingat sekali, sengaja tidak membawa kendaraan saat meeting, sehingga Bang Edo berinisiatif menyodorkan diri untuk mengantarku pulang?’ pikir Ferlita tiba-tiba.
Namun kemudian ia teersadar, semua hanya sebatas itu. Tak pernah Edward sengaja menggodanya, atau memancing perasaannya. Padahal, mereka pernah makan berdua di kafe dekat kantor Edward, seusai meeting terakhir. Apa coba yang dikisahkan Ferlita setiap kali berada dalam kendaraan Edward yang mengantarnya pulang, atau pada percakapan ringan mereka? Tentang Daniel. Kegalauannya.
Kadang Ferlita bertanya dalam hati, etiskah itu? Sementara sisi hati Ferlita, seolah mulai terbiasa dengan kehadiran Edward. Sementara Edwardnya? Hm, tampaknya berlaku wajar. Sopan-sopan saja, biarpun menyediakan telinga bagi curhatan Ferlita dan sedikit memberi saran. Ya, sedikit sekali, dan tepatnya bukan saran, melainkan lebih menyerupai dukungan semata, supaya dirinya membawa segala perkara ke dalam doa serta memohon petunjuk dari sang pemberi hidup. “Don’t think too much, listen to your heart,” itu kalimat yang paling diingat oleh Ferlita dari Edward, jika berkeluh kesah betapa dirinya galau, saat dia ingin putus dari Daniel, tetapi pada saat yang sama dia pun merasa sayang sekaligus takut menyakiti hati Daniel.
Sebuah kembang api ditembakkan ke langit kelam, membentuk tulisan Happy New Year. Indah sekali. Terindah, dibanding yang sebelum-sebelumnya. Ratusan karyawan perusahaan papanya Edward langsung larut dalam kegembiraan. Memang, tidak semua karyawan dapat hadir, sebab banyak pula yang telanjur mengambil cuti demi berliburan dengan keluarga.
“Happy New Year, Eli. Semoga tahun yang baru ini memberimu lebih banyak kebahagiaan dan kesuksesan, ya,” Edward mengulurkan tangannya.
“Amin. Happy New Year, bang Edo. Wish you the same things,” sambut Ferlita.
“Nggak mau ngucapin ke Bu Edna, atau ke Daniel, mungkin?” Edward mengingatkan.
“Aku sudah kirim voice note ke Bu Edna kok, tadi. Ke Daniel yang belum. Ah, mungkin, sebaiknya malahan nggak usah. Aku takut ganggu dia. Dia kan pasti sedang quality time sama keluarganya,” kata Ferlita sambil menunduk.
“Sebuah voice notes atau pesan teks nggak akan mengganggunya. Barangkali, dia malah lagi berusaha menghubungi kamu tapi terhalang signal yang kurang bagus di sini,” saran Edward.
Ferlita memejamkan mata. Tenangnya suara Edward, sungguh mengusiknya. * * Lucy Liestiyo * *