‘Apa aku salah, kalau berharap lebih? Apa ini yang dibilang perasaan sepihak? Aku bingung, dimana harus menempatkan perasaanku sebenarnya? Kenapa semakin sering kurasakan ada di antara Bang Edo dan Daniel? Atau... sebetulnya sejak awal, sejak di pesta penyambutan bang Edo, kondisinya sudah begini? Aku musti gimana sebenarnya, kenapa bukan Bang Edo yang maju duluan, justru Daniel, dan aku nggak bisa menghindar? Lalu sekarang.., aku sulit melepaskan diri jadinya,’ keluh Ferlita dalam diam.
“Bang Edo?” panggil Ferlita pelan.
“Ya?” sahut Edward ringan.
“Bang Edo pernah eldeer-an?” tanya Ferlita, to the point, tanpa prolog ini-itu.
“Eh?” Edward mengernyitkan keningnya mendapati pertanyaan ‘aneh’ ini.
“Maksudku, bang Edo kan kuliahnya di Tucson, sementara Brenda kan, di UK. Itu, gimana ngejalaninnya, Bang?” Ferlita menegaskan pertanyaannya.
Edward terperangah mendengar pertanyaan Ferlita yang sangat jauh dari perkiraannya.
“Hah? Brenda?” Edward benar-benar membelalakkan mata jadinya. Nyaris terbahak, pula!
Ferlita mengangguk dan menyambung, “Ya, Brenda, atau siapapun, Bang.”
Edward tertawa tanpa suara lalu bertanya, “Beneran kepengen tahu, Eli?”
Dengan polosnya Ferlita mengangguk lagi. Tanpa ia sadari, kembali dia bertindak spontan selagi mengorek info ke Cowok. Dulu ke Daniel juga begitu. Dia tak sadar, kadang lupa memfilter lebih dulu jenis pertanyaannya.
“Aku nggak pernah elderan. Dan aku nggak ada hubungan apa pun, sama Brenda,” kata Edward datar.
Ferlita menatap tak percaya mendengar jawaban lugas Edward, yang terkesan benar bukan jawaban yang dibuat-buat.
“Maksudnya? Bang Edo pacarannya sama bule-bule itu? Dan putus sewaktu Bang Edo balik ke Jakarta?” cecar Ferlita lagi, yang memancing tawa Edward.
“Ha ha ha... kamu lucu, deh, nanyanya. Sudah seperti polisi lagi interogasi. Trust me, nggak ada cerita spesial, soal itu. Mirip-mirip dengan kisah percintaan mahasiswa-mahasiswi di tanah rantau lainnya. Lagian, aku nggak pernah tertarik sama cewek bule, kok. Ya, oke, dulu pernah macarin Cewek Jepang, tapi begitu dia lulus kuliah, dia pulang ke negaranya, sementara aku kan lanjut S2. Kami putus. Sama halnya dengan satu Cewek Indonesia juga, setelahnya. Tapi yang jelas, putusnya baik-baik, kok. Kamu kenapa, takut Daniel kepincut sama teman kuliahnya, ya?” tanya Edward.
Ferlita menggeleng.
“Justru sebaliknya. Kalau aku mau jujur, kayanya aku ogah deh, eldeeran. Aku nggak yakin, aku sama Daniel kuat, njalaninnya. Apalagi, kami baru banget, jadiannya. Dan sebetulnya..,” Ferlita menggantung ucapannya. Anehnya, Edward yang berdebar menanti kelanjutannya. Dalam keremangan malam, Edward mendapati kemurungan mewarnai paras Ferlita.
‘Oh, Eli, jangan bilang lagi, kamu terpaksa menjalani hubungan sama Daniel. Jangan! Aku lebih rela dengar kalian berdua saling mencintai dan bahagia. Sungguh!’ keluh Edward dalam hatinya.
“Aku keseringan banget cerita soal Daniel. Bang Edo bosan nggak sih, dengarnya? Kalau sekarang kubalik, aku yang mau tanya tentang Daniel, boleh, nggak?” mendadak Ferlita seperti melakukan manuver, dan itu sukses membuat Edward tergeragap.
“Eh? Mau tanya apa?” Edward menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Ferlita menantang tatapan Edward dengan berani, seolah sebuah isyarat agar Edward bertindak. Tapi tidak. Suara hati Edward seolah memperingatkannya, saatnya belum tiba.
“Kenapa hubungan Daniel sama papa dan kakaknya begitu buruk?” tanya Ferlita.
Edward berdeham kecil lalu menyahut, “Kelihatannya Romi deh, yang lebih cocok buat ngejawab pertanyaan kamu yang itu, atau mungkin Daniel sendiri.”
Ferlita mengibaskan tangan.
“Ah, sudahlah, nggak usah dijawab. Aku cuma pengen dengar dari versi orang lain saja. Tante Ann, yang beda 16 tahun dari papanya Daniel dan selalu dipuji Daniel karena menurutnya asyik dan gaul, pernah bilang ke aku, Daniel sebetulnya terbeban, menjadi the next Sanjaya. Kata tante Ann, papanya Daniel sering lupa, atau tepatnya sengaja melupakan, bahwa Daniel itu paduan dari kedua orang tuanya. Jadi, nggak sekadar nurunin otak cerdas papanya, tapi juga.., eng.., jiwa seni mamanya. Kasihan Daniel ya, Bang, dia pernah keceletukan, papaya menjauhkan dia dari semua alat musik yang sejak kecil sudah diperkenalkan sama mamanya, dan mengarahkan dia ke bidang akademis terus. Kata papanya Daniel, cukup Gina, adik Daniel, yang boleh bermimpi menekuni dunia kreatif. Cukup Gina yang gemar berlenggak-lenggok di catwalk dan bahkan pintar men-design baju, juga bersuara merdu. Bagian Daniel adalah meneruskan usaha keluarga mereka,” tutur Ferlita.
Edward tak bereaksi. Itu sungguh cerita klasik, sangat tertebak. Seorang Ayah yang hendak membentuk putranya menjadi seseorang yang setangguh dirinya, pelindung keluarga, dan dapat diandalkan. Dia dapat membayangkan, sejak kanak-kanakpun, papanya Daniel selalu membedakannya dengan dua Saudari perempuannya. Brenda sempat cerita, kok, tapi tentu saja dengan penekanan berbeda. Ya, Brenda merasa papanya bukan sedang tak adil pada Daniel, yang tak dibiarkan bersenang-senang menikmati masa kecil sewajarnya sebagaimana dirinya dan Gina. Bagi Brenda, papanya justru mengabaikan eksistensinya sebagai si sulung. Brenda kerap kesal, kenapa Daniel selalu diberi lebih banyak petuah dan pelajaran hidup dari sang Papa? Menurutnya, harusnya dia sebagai si Sulung juga, dong? Keteraturan yang diciptakan sang Papa untuk Daniel malah membuatnya iri. Masa dalam usia sekecil itu, Daniel sudah dikondisikan, kalau kata dipaksakan terlampau kasar, untuk mengenal dunia bisnis?
...
“Alangkah konyolnya. Kenapa justru dia yang selalu dibawa ke pertemuan dengan kerabat bisnis, baik dalam suasana formal maupun informal? Kenapa selalu dia, yang dibanggakan di depan kerabat dan rekan bisnis? Dia selalu disebut anak lelaki kebanggaan, dan Papa menitipkan segudang harapan padanya. Padahal kelihatannya dia saja malas-malasan. Atau berlagak seperti itu Supaya Papa semakin gigih membujuknya?” sebut Brenda pada Edward suatu kali, bertahun silam.
...
“Bang, pernah dengar dari Romi nggak, Daniel itu sebenarnya stress, lho. Tapi aku tahu banget, dia berusaha keras buatmenutupi kelemahannya. Dia pasti gengsi, lah. Kadang aku merasa bercandanya dia itu garing. Aku nggak bisa lupa waktu dia bilang, harapan papanya ke dia itu, menjelma menjadi beban yang semakin terasa berat di pundaknya. Terakumulasi sempurna, bertumpuk-tumpuk, bikin dia seringkali dilanda keraguan apakah tulang belakangnya masih cukup sanggup menahan itu semua dan apakah cara berjalannya masih tegak, ataukah kian membungkuk dari hari ke hari. Kasihan banget, kan, Bang?” sambung Ferlita.
Edward meresapi kata-kata Ferlita.
“Seberat itu, ya?” Edward setengah bergumam. Rasa empatinya muncul. Dia mengerti seperti apa rasanya kondisi yang barusan disebut oleh Ferlita. Karenanya ia terkenang gambaran Daniel kecil.
‘Pantas saja. Siapa yang tahan, dibentuk semena-mena menjadi duplikasi seseorang, kan? Nggak heran, kalau manifestasi pemberontakan Daniel kecil, ya kegemarannya menyalahgunakan kemampuan beladirinya, berkelahi dan melawan guru, semasa di Sekolah Dasar dulu. Tujuannya? Iseng, cari perhatian dan bikin repot papanya,’ kata Edward dalam hati.
“Tapi semoga kehadiran kamu bisa bikin Daniel lebih happy, sekarang,” ucap Edward. Oh, dia tak tahu pasti mengapa rasanya demikian pedih, kala mengucapkannya? Apa berarti, selama ini Edward mengingkari perasaannya kepada Ferlita?
Ferlita tersenyum kecut.
‘Justru itu, masalahnya Bang! Tolongin aku Bang, rasanya aku nggak yakin, aku bakal mampu menjalaninya lebih lama. Memangnya ini layak buatku? Kalau sebuah relasi enggak bikin dua orang yang terlibat di dalamnya sama-sama happy, sehatkah itu?’ protes Ferlita dalam hati.
“Kita ke sana, yuk, gabung sama yang lain?” ajak Edward, yang diiringi ayunan kakinya. Ah, sesungguhnyalah, dia sedang mencoba berdamai dengan hatinya sendiri. Dia sedang membebaskan dirinya dari tuduhan versus hasrat.
“Ferlita itu pacar orang, Edward, catat itu! Jangan salah bicara!” suara hatinya bagai mengingatkan dirinya terus.
Ya, satu menit lagi saja, jika dia terus-terusan berduaan dengan Ferlita, dalam suasana yang teramat mendukung seperti ini, di tempat yang juga bernuansa syahdu begini, dia yakin pertahanan hatinya bakal jebol. Dia ragu, apakah mulutnya masih bisa memegang rahasia, tentang perasaan dan harapannya kepada Ferlita.
* * LL **