Ferlita membalas erat pelukan Ibu Edna. “Maaf, ya Bu. Iya, aku juga kangen sama Ibu dan mereka,” ucap Ferlita, yang kali ini membiarkan dirinya terlarut rasa nyaman dan terlindungi, dalam pelukan Bu Edna. Aneh. Baru sekali berbincang selama perjalanan dengan Edward, sudah sanggup membuatnya memberi sedikit celah, pada aliran rasa yang diberikan bu Edna. Dia tak menolak.
Lalu dia ingat, dia telah mengingkari janjinya sendiri, mengatakan siap membantu Bu Edna di hari Sabtu. Buktinya? Begitu Daniel mengisi hari-harinya, kehidupannya seolah berpusat pada Daniel seorang. Pagi hari saat membuka mata, langsung mengecek adakah pesan masuk darinya. Malam hari sebelum tidur, telepon rindu dari Daniel lah yang mengantarnya ke alam mimpi. Dan seharian, tentu saja ketemu Daniel. Sudah dua kali ditolaknya permintaan Bu Edna untuk membantu di hari Sabtu. Alasannya, telanjur ada janji sama teman.
Kini, suara hatinya bagai menegurnya, “Duh, Ferlita, adakah alasan yang lebih bermutu dan bertanggung jawab ketimbang itu? Mengapa urusan pelayanan terkalahkan sama urusan Daniel?”
Bu Edna tersenyum dan mengelus punggung Ferlita pelahan.
“Nggak apa Ferli, namanya orang kan kesibukannya berbeda-beda. Duduk sini. Gimana ceritanya, ini, ternyata kalian berdua saling kenal ternyata? Dunia sempit, ya?” tanya Bu Edna sambil mengurai pelukannya. Ia memandang wajah Ferlita dan Edward bergantian.
“Ferlita sama sepupunya yang mengurus pesta di rumah, tempo hari Bu. Terus, Ferlita ini juga adik kelasnya Romi, eng.., Romi sahabatnya Daniel. Ibu, kenal Daniel, kan?” entah mengapa, Edward menyebut-nyebut nama Daniel, seakan ingin cari tahu apakah Bu Edna pernah mendengar nama Daniel disebut dalam curhatan Ferlita kepada Bu Edna. Di luar perkiraannya, Bu Edna tertawa lepas.
“Ooooh..., Daniel yang waktu itu jemput kamu kemari, Fer? Berarti yang dimaksud Daniel sahabatnya itu, Romi? Wah, wah, pasti nggak ada yang kebetulan, buat semuanya itu,” ucap Bu Edna, membuat Ferlita dan Edward merinding berbarengan. Mereka mendapat firasat, sesuatu bakal terjadi ke depannya, dan itu melibatkan mereka berdua.
“Kalian berdua mau minum apa? Biar Ibu minta tolong Mbok Surti buatkan. Sekalian mau ambil titipin buat Mamamu, Edward,” kata Bu Edna.
“Air putih saja, Bu,” sahut Edward dan Ferlita berbarengan, mengundang kernyitan di dahi Bu Edna.
“Hawanya agak dingin lho, habis hujan begini. Biar Mbok Surti siapkan teh hangat saja, ya? Boleh, kan?” Bu Edna menawarkan.
Lagi-lagi, Edward dan Ferlita mengangguk bersamaan menanggapinya. Bu Edna tersenyum dan meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Edward maupun Ferlita tak tahu, perasaan Bu Edna yang peka serta kedekatannya kepada sang Pencipta, seolah mengirimkan visi, betapa selaksa kepedihan, akan menimpa Ferlita lagi, ke depannya. Air mata Bu Edna menetes, tangannya bergetar ketika hendak keluar dari kamarnya, membawa titipan untuk Mamanya Edward.
“Semoga kamu kuat melaluinya, Nak. Kamu tahu, Ibu akan selalu menyediakan telinga untuk mendengarkan keluhanmu, sekiranya kamu percayai. Ibu nggak akan mendesakmu,” kata Bu Edna lirih seiring langkahnya menuju ke ruang tamu.
Hanya puluhan menit saja mereka bertiga berbincang di ruang tamu. Lantas, Edward dan Ferlita mohon diri kepada Bu Edna. Lalu sekali lagi, Ferlita membiarkan dirinya dipeluk oleh Bu Edna kala mereka tiba di dekat pagar. Diresapinya rasa nyaman yang mengalir, seperti hendak membasuh luka-luka hatinya.
“Kalau sempat, main-main kemari ya, Fer,” pesan Bu Edna serius.
Ferlita langsung manggut.
“Iya, Bu. Saya pulang dulu,” ucap Ferlita. Dibisikinya hatinya, dia akan datang hari Sabtu nanti, walau mungkin tak diperlukan oleh Bu Edna. Ia pikir, dengan begitu, barangkali akan lebih mudah baginya melupakan Daniel, cinta semusimnya, kan?
Nyatanya, kejutan hari ini belum berakhir bagi seorang Ferlita. Setibanya di rumah Om Pedro, Ferlita melihat Ray berdiri di depan pagar, tampak resah menantinya. Sepupunya itu tampak berjalan mondar-mandir, seperti seorang ayah yang menanti kedatangan anak perempuannya yang pulang larut malam tanpa mengabarinya hendak kemana dan telepon genggamnya juga tak dapat dihubungi. Reaksi yang cukup berlebihan untuk ukuran seorang kakak sepupu laki-laki yang usinya juga tidak terpaut terlampau jauh dengan Ferlita.
“Pa, ini dia yang aku khawatirkan dari awal. Pasti setelah ini, Ferlita jadi murung, deh. Kita sama-sama tahu, Pa, mereka nggak bakalan bisa sama-sama, ke depannya. Papa tahu, kan, Daniel itu seperti apa? Kita nggak tahu pergaulannya bagaimana. Aku nggak mau Ferlita patah hati, Pa. Sudahlah, semoga saja Daniel cepat-cepat kuliah di Tucson. Maka dengan sendirinya, hubungan mereka bakal putus dengan sendirinya. Aku yakin Pa, mereka nggak akan kuat eldeeran,” protes Ray pada papanya tadi, begitu mengetahui bahwa Ferlita belum kembali dari bandara, seusai mengantar Daniel.
Tetapi reaksi Pak Pedro tidak selaras dengan keinginannya.
“Ray, kamu itu kan nggak setiap hari di sini. Ferlita kan berhak, punya kawan. Dan kelihatannya, dia senang-senang saja, kok, dengan adanya Daniel. Jangan terlalu negative thinking sama Daniel. Sikapnya baik, kok,” kata Pak Pedro menenteramkan.
Ray mengangkat bahu. Dia tak tahan lagi. Dia tak ingin hubungan Ferlita dengan Daniel kian mendalam yang akhirnya hanya akan melukai hati Ferlita. Dia sungguh tak rela. Dinantinya kedatangan Ferlita di luar rumah. Dirasanya, dia perlu bicara empat mata dengan Ferlita malam ini juga. Baginya, hal satu ini sudah masuk kategori super duper urgent!
Betapa terkejutnya Ray, kala melihat mobil Audi Q7 biru yang melambat, siap merapat ke sisi pagar rumahnya. Dari nomor polisinya saja, Ray tahu kendaraan milik siapa itu. Pengemudinya rupanya juga telah melihat Ray. Itu terbukti dari klakson mobil yang sengaja dibunyikannya sebelum turun dan membukakan pintu untuk Ferlita.
“Edo, Ferli, kalian berdua ketemu di mana?” tanya Ray. Mendadak, dia merasa senang. Secuil asa menyapanya.
“Di bandara, terus tadi singgah ke rumah Bu Edna,” jawab Edward seadanya.
“Ray, nginap di sini, kan?” tanya Ferlita.
Ray berpikir sejenak, lalu secepatnya mengangguk. Padahal, itu keputusan mendadak. Sejatinya, dia belum berniat untuk menginap di rumah malam hari ini.
“Iya, kebetulan memang menunggu Edo. Mau bahas detail kerjaan, ya, Do? Ayo, masuk, Do,” ucap Ray, juga secara spontan.
Cukup dua detik Edward berpikir dalam diam, namun setelahnya dia mengangguk saja dan melangkahkan kaki melewati pagar rumah. Sementara Ferlita, mengernyitkan dahinya.
“Eh? Kok sejak dari bandara sampai barusan, Bang Edo nggak ada nyinggung mau ketemuan sama Ray?” tanya Ferlita, membersitkan curiganya.
Namun sebelum Ray dan Edward menanggapi, dia buru-buru berkata, “Karena bang Edo sudah ketemu sama Ray, boleh aku tinggal, ya? Aku mau istirahat. Dari pagi keluar dari rumah buat kuliah, ketemu Daniel, sampai ke rumah Bu Edna. Bang Edo, terima kasih banyak atas tumpangannya, ya.”
“Oh, iya, Eli. Santai saja. Selamat istirahat, ya,” ucap Edward.
Dan Ray segera terlupa akan niatnya untuk berbicara serius dengan Ferlita mengenai Daniel. Kemunculan Edward yang mengantarkan Ferlita, seketika mencuatkan harapan baru di benak Ray. Ya, siapa tahu, suatu saat kelak, Edward dapat menggeser posisi Daniel dari hatinya Ferlita, kan? Hal itulah yang terpikir oleh Ray.
Di mata Ray, sikap Edward yang jauh lebih stabil, latar belakang keluarga yang dipikirnya juga lebih harmonis, semestinya akan membawa pengaruh lebih baik buat Ferlita. Kalau bukan dia yang melindungi Ferlita, lantas siapa? Sebagai kakak sepupu laki-laki, sudah sepatutnya dia menjaga Ferlita, bukan? Menjaga Ferlita dari kemungkinan patah hati, disakiti, disia-siakan oleh Daniel atau Cowok manapun juga.
** * * Lucy Liestiyo * *