"Maksudnya apa, Kek?" tanya Ziel mengulangi.
"Pernikahan kalian tidak harus diselenggarakan sekarang. Selain karena usia kalian yang memang belum memenuhi persyaratan pernikahan menurut pengadilan agama, juga karena Kakek dan Opah Rifki menilai kalian masih membutuhkan waktu untuk saling mengenal."
"Kita udah tiga tahun kenal, Kek, dan itu sungguh membosankan." Ziel menatap sinis Evelyn.
"Emang lo kira gua juga enggak bosen." Evelyn menimpali.
Kedua sejoli ini sudah mulai menunjukkan jati diri mereka sebenarnya di hadapan keluarga masing-masing. Namun, semua orang tak ada yang mencampuri perdebatan antara Ziel dan Evelyn, mereka malah asik menikmati hidangan yang disediakan oleh keluarga Narendra sambil mengobrol dengan suara pelan.
"Kakek!"
"Opah!"
Tiba-tiba terdengar bentakan dari Ziel dan Evelyn. Semua menatap ke arah keduanya.
"Apa?" tanya Tuan Rifki pura-pura bertanya.
"Kalian kok malah enak-enak ngobrol gini sih. Ini nasib kita berdua gimana?" tanya Ziel terlihat kesal.
"Nasib kalian? 'Kan udah selesai. Perjodohan ini akan tetap dilaksanakan. Kesepakatan kami, kalian akan diberi waktu hingga usia kalian cukup untuk menikah, mungkin satu tahun bagi Ziel, tapi berhubung kamu juga harus mengikuti usia Evelyn, jadi kami menggenapkannya menjadi dua tahun," jelas Tuan Rifki.
"Selama masa dua tahun itu, kalian diharapkan untuk saling berinteraksi agar saling mengenal lebih dalam. Salah satu cara kami agar hal itu bisa terjadi, yaitu dengan melangsungkan pesta pertunangan untuk kalian minggu depan."
"Apa?!" seru Ziel dan Evelyn.
Tuan Rifki pura-pura tidak melihat dan mendengar seruan dari kedua sejoli itu. Ia kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Satu lagi, kalian akan kami masukkan ke Universitas yang sama. Namun, kalian bebas memilih fakultas dan jurusan sesuai dengan keinginan masing-masing."
"Apa?!" Kembali Ziel dan Evelyn berseru.
"Opah, ini enggak adil. Kenapa kalian berbuat sejauh itu?" protes Evelyn pada sang Opah.
"Semua kami lakukan untuk kebaikan kalian, Eve."
"Apanya yang kebaikan kalau aku harus menikah dengan lelaki ini." Evelyn nampak emosi menatap Ziel.
Keduanya saling menatap tajam. Bahkan mereka tidak menyadari kedatangan Bi Tinah di tengah-tengah ruangan.
"Maaf, Den, makanannya sudah siap." Bi Tinah menatap Dirga —ayah Evelyn.
"Oh iya, Bi. Makasih." Dirga menyahut.
"Nah, mari kita nikmati makan besarnya, kebetulan sekali pas dengan jam makan siang," ajak Tuan Harsa kepada semua orang.
"Ayo, Om!" ajak Dirga pada Tuan Rifki.
"Ah iya, mari! Terima kasih sebelumnya. Kalian terlalu merepotkan diri." Tuan Rifki bangkit dari duduknya.
"Ah tidak, ini hanya makan siang, bukan apa-apa," timpal Tuan Harsa.
"Hei, ayo makan, berantemnya nanti lagi diterusin." Nancy iseng menggoda sang keponakan.
"Tante!" seru Evelyn sambil manyun. Nancy malah menggandeng suaminya —Juna, dan meninggalkan sang keponakan berdua bersama Ziel yang masih sama-sama diam dengan tatapan tajam.
***
"Gua enggak akan pernah setuju sama perjodohan ini, apalagi gua harus nikah sama cowok playboy kaya lo," ucap Evelyn ketika keduanya tengah berada di taman yang terletak di pinggir rumah.
Mereka meminta ijin untuk mengobrol berdua setelah acara makan siang selesai.
"Hei, emang lo kira gua mau nikah sama cewek bar-bar kaya lo!" balas Ziel.
"Apa yang udah lo lakuin supaya perjodohan ini enggak terjadi?" tanya Evelyn tiba-tiba.
"Emang lo berharap gua ngelakuin apa?"
"Ya apa kek, kaya gua contohnya, mogok makan atau mogok sekolah!"
"Eh lo lupa, kalau kita udah lulus!"
"Ya, udah lo mogok makan kek?"
"Dih, sorry yah, buat apa gua mesti mogok makan, rugi dong perut gua enggak menikmati makanan enak yang dibuat sama Bi Sumi!"
"Kalau kaya gitu, berarti perjodohan ini akan tetap berlanjut!" seru Evlyn.
"Kenapa gitu?"
"Ya, karena enggak ada penolakan dari kita berdua."
"Gua udah nolak!" sahut Ziel.
"Tapi lo enggak beraksi!" timpal Evelyn.
"Buat apa, toh gua pikir percuma."
"Kenapa lo yakin kalau aksi penolakan kita adalah sesuatu yang percuma?"
"Ya, karena kedua orang tua itu, dari dulu sampai kapan pun tidak akan pernah bisa di bantah ucapannya."
"Kamu tahu dari siapa?"
"Papa-ku, lah!"
Evelyn terdiam. Gadis itu tidak tahu harus berkata apa lagi. Hati nuraninya masih belum bisa menerima keputusan ini.
"Tapi gua tetep enggak bisa terima sampai kapan pun juga!" teriaknya sambil bangkit dari duduknya. "Kok gua perhatiin, kayanya lo happy banget yah, sama rencana ini? Segitu ngebetnya lo mau nikah sama gua?" tanya Evelyn menatap tajam Ziel.
Ziel menatap Evelyn balik dengan sama tajam. Lelaki itu berdiri dan menghadap gadis di depannya. Postur tubuh dengan tinggi seratus delapan puluh, membuat Evelyn yang memiliki tinggi seratus enam puluh lima, sedikit mendongak ke atas menatap Ziel.
"Dengar baik-baik yah, gua itu sama sekali enggak tertarik sama lo, mau dari dulu atau pun sekarang," ujar Ziel. "Kalau mau pernikahan ini enggak terjadi, kita itu harus pintar untuk atur strategi dan bukan menggunakan emosi, ngerti?" Evelyn sedikit memundurkan tubuh dan wajahnya dari Ziel. Namun, dengan cepat lelaki itu menahan dan kembali menarik tubuh Evelyn dan malah semakin menempel dengan tubuhnya.
"E-eh, lo jangan macem-macem, Z-Ziel!" pekik Evelyn dengan suara sedikit tertahan. Sangat terasa hembusan napas keduanya karena jarak yang tersisa diantara mereka hanya lima senti saja.
"Sial! Kenapa aku malah narik perempuan ini!" batin Ziel. "Tuhan, wajah ini jadi terlihat berbeda, sangat cantik." Hatinya terus bersuara.
Evelyn menahan napas saat Ziel terus menatapnya. "Z-Ziel, l-lepasin gua!" ucap gadis itu terbata.
Tanpa sadar Ziel semakin mendekatkan wajahnya, tak lama kemudian bibir Ziel sukses mendarat di atas bibir Evelyn. Gadis itu terkejut. Ia sontak membelalakkan kedua bola matanya.
Selama sekian detik, waktu seolah berhenti bagi Ziel dan juga Evelyn. Tak ada pergerakan dari keduanya.
"Sial! Bibir gadis ini mengapa begitu manis," batin Ziel.
"Oh, Tuhan! Mengapa lelaki ini menciumku. Aku harus bagaimana? Mengapa aku tidak mampu menggerakkan tubuhku?" suara hati Evelyn.
Karena suasana sunyi yang tercipta di area taman, dan hanya terdengar suara burung-burung berkicau di atas pohon, Ziel terhanyut sehingga tidak sadar akan perbuatannya.
"Ah!" Evelyn menyentuh bibirnya setelah ia sadar dan menarik wajah.
"M-maaf, Eve, maafin gua. G-gua kelepasan!" ucap Ziel meminta maaf.
Dengan mengumpulkan sekuat tenaga, meski gadis itu sadari ia sedikit lemas akibat tekanan perasaan yang tengah menghinggapi tubuhnya saat ini, Evelyn melepas paksa rangkulan tangan Ziel yang melingkar di sekeliling pinggang. Kemudian ia berlari masuk ke dalam rumah, entah ke arah mana gadis itu berlari. Namun, Ziel yakin ia pergi menuju kamarnya.
***
"Terima kasih atas sambutan kalian hari ini. Aku sangat senang sekali kita bisa mengobrol sedikit lebih lama." Tuan Rifki nampak terlihat senang saat berbicara kepada sahabatnya, Tuan Harsa.
"Ya, nanti kita akan sering-sering seperti ini kalau pernikahan ini terselenggara," jawab Tuan Harsa.
"Ya, kamu benar, Harsa. Semoga saja, kedua cucu kita sama-sama cocok dan berjodoh!"
"Aamiin!" Kompak semuanya.
"Baiklah, sesuai rencana kita di awal, akhir pekan depan kita akan mengadakan pesta pertunangan Ziel dan Evelyn." Tuan Harsa menatap Evelyn, yang setelah mengobrol dengan Ziel lebih banyak berdiam diri dan tak bersuara sama sekali. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ziel. Lelaki itu terlihat lebih banyak menunduk seolah enggan menatap Evelyn.
Semua anggota keluarga tahu perubahan sikap yang terjadi pada keduanya, tetapi mereka semua enggan berkomentar.
"Ya, lebih cepat lebih baik, agar mereka segera mendalami dan memahami karakter masing-masing," ucap Tuan Harsa
"Baiklah, Harsa, Ninta, kami sekeluarga mohon pamit. Aku tidak bisa lebih lama lagi di sini, sebab nanti sore jam penerbanganku ke Yogya."
"Ya, baiklah. Kamu hati-hati dalam perjalanan nanti. Titip salamku untuk Lingga, semoga lekas pulih seperti sedia kala agar bisa menghadiri acara pertunangan cucunya," ujar Tuan Harsa tersenyum.
"Ya, kamu benar, Harsa. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih untuk hari ini!" ucap Tuan Rifki kepada sang sahabat.
***