"Kamu kenapa dari tadi diam saja, Ziel?" tanya Sita kepada putra semata wayangnya.
"Enggak ada apa-apa kok, Bu!" jawab Ziel sembari berlalu menuju kamarnya.
Sita hanya memandang sang putra naik ke lantas atas tanpa ingin bertanya lebih lanjut.
Di dalam kamar, Ziel langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran besar. Bayangan tentang kejadian di rumah keluarga Narendra kembali datang di dalam pikirannya. Lelaki itu tidak menyangka bagaimana bisa ia hilang kontrol saat bersama dengan Evelyn di taman tadi.
"Bagaimana bisa aku nyium itu perempuan?" batin Ziel.
"Arkh! Rencana perjodohan ini lama-lama bikin aku gila." Ziel bangkit dari rebahannya, menuju lemari pakaian hendak mengganti baju.
"Hallo, Ger!" Sambil mengganti pakaian, lelaki itu menelepon seseorang.
[Ya, Ziel!]
"Lo lagi di mana? Nongkrong, yuk!"
[Tumben banget, masih siang gini ngajak nongkrong? Lagi BT, lo?]
"Nanti deh gua cerita. Lo bisa enggak?"
[Iya, gua bisa. Cafe biasa aja yah? enggak jauh dari rumah soalnya.]
"Iya. Ya udah gua jalan sekarang!"
[Ok, sip!]
Ziel kembali keluar kamar. Saat tiba dilantai bawah, ia bertemu dengan sang papa.
"Kamu mau kemana, Ziel?"
"Mau keluar sebentar, Pah!"
"Nanti sore 'kan Kakek pulang, masa kamu enggak antar ke bandara?"
"Cuma sebentar kok, Pah. Lagian juga deket."
"Sama siapa?"
"Gery!"
"Ya udah, jangan sampai telat pulang!"
"Iya. Aku jalan dulu yah, Pah?"
"Hem," balas Azka sembari mengulurkan tangannya kepada sang putra.
Ziel pergi dengan menggunakan motor sport miliknya yang terparkir di garasi bagian dalam.
"Ziel mau kemana, Pak?" tanya Sita yang tiba-tiba nongol dari dapur.
"Mau keluar katanya," jawab Azka.
"Emang dia enggak akan anter Papa ke bandara?" tanya Sita, sembari menyerahkan satu gelas jus alpukat untuk sang suami.
"Anter ... Ziel bilang cuma sebentar." Azka menerima gelas dan berjalan menuju ruang keluarga.
"Papa mana?" tanya Azka, yang sejak pulang dari kediaman Narendra langsung masuk ke ruang kerjanya. Weekend yang selalu sama, terkadang masih sibuk dengan pekerjaan kantor.
"Di kamar. Sepertinya sedang istirahat."
"Oh!" Keduanya kemudian larut menikmati program acara di televisi.
***
"Lo dijodohin sama si Evelyn?" tanya Gery yang terkejut dengan berita yang disampaikan oleh sahabatnya itu.
"Hem!" jawab Ziel mengangguk sambil menyeruput minuman kopi yang ia pesan.
"Kok bisa?" tanya Gery lagi, penasaran.
"Ya, siapa yang nyangka kalo kakek gua itu ternyata sobatan sama opah-nya Evelyn." Ziel nampak mengangkat bahunya.
"Gila lo! Serasa jaman Siti Nurbaya aja itu si Evelyn, dijodohin sama Datuk Maringgi," ujar Gery sambil tertawa.
"Sialan lo! Emang gua mau apa dijodohin sama cewek bar-bar kaya si Evelyn. Bisa hancur kehidupan rumah tangga gua nanti."
"Hahaha, Ziel, Ziel. Ya udah sih, lo nikmati aja lagi. Lagian si Evelyn juga 'kan enggak jelek. Dipoles dikit juga keliatan kalau dia itu cantik." Gery menatap Ziel dan memasukkan gulungan spaghetti di garpu ke dalam mulutnya.
Ziel terdiam saat sahabatnya itu mengatakan hal yang benar. Kemarin ia sempat terpesona dengan penampilan dari Evelyn, yang memang cantik bila gadis itu didandani seperti perempuan pada umumnya.
"Oy, kenapa lo? kok jadi bengong!" seru Gery.
"A-Eh, enggak. Tapi gua masih belum bisa terima, Ger. Mau apa pun itu alasannya."
"Hem!" Gery nampak menghela napas dan membuangnya kasar. "Gini deh, Ziel. Gua punya ide. Terserah lo sih mau apa enggak."
"Ide apa?"
"Kakek lo 'kan bilang, mereka kasih batas waktu sampai dua tahun untuk kalian semakin mengenal satu sama lain. Kalau sampai batas waktu itu lo sama si Evelyn enggak saling cinta, perjodohannya batal kan?"
"Iya emang."
"Nah! Ya udah lo kerja sama aja sama si Evelyn buat pura-pura menyetujui perjodohan itu. Lo berdua bisa sama-sama cari pacar juga, jadi gua yakin enggak akan ada deh perasaan suka diantara kalian nantinya."
Ziel nampak merenungi kata-kata dari sahabatnya itu. Sebuah ide yang cukup baik menurutnya setelah ia ingat dengan ucapan kakek dan opah Evelyn kemarin.
Flashback On
"Tenang, Eve. Kami tidak akan memaksa kalian untuk menikah jika dalam jangka waktu dua tahun itu, akhirnya kalian tidak saling mencintai."
"Benarkah?" Binar bahagia nampak di wajah Evelyn dan juga Ziel. Secercah harapan seolah muncul di hati keduanya.
Saat tengah menikmati makan siang, Tuan Rifki mengatakan hal itu. "Ya. Kami tidak sekolot itu memaksa untuk menikah bila akhirnya dalam dua tahun kebersamaan, kalian tidak kunjung saling mencintai."
"Tapi ada syarat yang harus kalian jalani," lanjut Tuan Harsa.
"Syarat? syarat apa, Opah?" tanya Evelyn.
"Agar kalian bisa sering bertemu dan bersama, maka setelah bertunangan Evelyn akan tinggal di kediaman Kusuma hingga batas waktu yang ditentukan!"
"Apa?" pekik Evelyn. Gadis itu sungguh terkejut. "Bagaimana bisa seperti itu, Opah? Aku enggak mau!" protes Evelyn.
"Tentu saja bisa dan kamu harus mau. Kalau kamu menolak, maka tak ada alasan lagi bagi kami untuk tetap melanjutkan perjodohan ini sampai kalian menikah!" jawab Tuan Harsa.
"Tadinya kami mau Ziel yang tinggal di sini, tetapi setelah dipikir-pikir kediaman Kusuma akan kosong jika putranya pindah. Makanya kami memutuskan agar Evelyn 'lah yang tinggal di sana karena di kediaman Narendra masih ada Athila, adik Evelyn." Tuan Harsa lanjut menjelaskan.
Wajah Ziel dan Evelyn nampak terlihat berbeda. Harapan yang tadi sempat muncul, kini terhempaskan sudah. Masakan buatan Bi Tinah yang sebetulnya lezat, terlihat buruk dan seolah mengganjal ketika ditelan.
Flashback Off.
"Lo bener juga sih, Ger! Nanti gua pikirin lagi deh. Seandainya gua yakin, gua akan sampein sama si Evelyn, dan gua harap dia juga setuju."
***
Dalam perjalanan ke bandara, Ziel terus memikirkan ide yang diberikan oleh Gery —sahabatnya. Ia masih sedikit ragu apakah idenya itu benar atau tidak dengan membohongi orang tuanya terutama sang kakek.
"Kalau lagi bawa kendaraan itu yang fokus, jangan sambil melamun!" Tiba-tiba suara sang kakek di sebelahnya mengagetkan Ziel yang tengah menyetir mobil.
"Eh, s-siapa yang melamun, Kek?" sahut Ziel yang mendapat tepukan dari kakeknya.
"Ya, kamu. Siapa lagi?"
"Aku? Aku enggak ngelamun kok, Kek. Kakek ngarang aja deh."
"Kalau kamu enggak ngelamun, pasti udah nyahut panggilan dari Papa kamu di belakang." Tuan Rifki tersenyum melihat cucunya bersikap salah tingkah.
"Emang ada apa Papa panggil Ziel?" tanya Ziel melirik sang papa melalui kaca spion atas.
"Enggak ada apa-apa. Papa cuma mau mengingatkan aja, kamu jangan bikin malu keluarga Kusuma jika nanti Evelyn tinggal di rumah kita. Jangan bikin dia enggak betah dengan tingkah laku kamu yang nakal. Kalau enggak, Papa akan stop uang deposito kamu di bank."
"Papa ini belum apa-apa udah ngancem segala," gerutu Ziel.
"Bukan ngancem cuma ingetin kamu aja. Kalau kamu bersikap baik, maka Papa juga akan baik."
"Iya, iya. Papa tenang aja. Aku enggak akan berbuat yang aneh-aneh."
"Bagus!"
"Makanya kalau khawatir anaknya bikin ulah, jangan punya rencana yang aneh-aneh juga," lirih suara Ziel pelan.
"Kamu ngomong apa, Ziel?" tanya sang kakek di sampingnya.
"A-Eh, enggak ngomong apa-apa kok, Kek," sahut Ziel sambil terkekeh.
Perjalanan menuju bandara hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dengan kondisi jalan raya yang padat. Penerbangan Tuan Rifki pada pukul lima sore, menyisakan waktu empat puluh lima menit sebelum take off. Ziel membantu sang kakek untuk check-in bagasi.
"Kakek sudah harus masuk ruang boarding. Nanti kamu telepon Pak Le' Heru agar jemput di bandara. Pastikan kalau kakek sudah terbang."
"Iya, siap, Kek. Nanti Ziel telepon."
"Ya sudah, Kakek pergi dulu. Jangan lupa Azka, hari jum'at kamu pulang ke Yogya, jemput Papa sama Mama-mu!"
"Iya, Pah. Nanti Azka pulang sama Sita. Papa hati-hati selama dalam perjalanan. Kabari kami kalau sudah sampai rumah." Azka mencium tangan sang papa. Bergantian Sita dan terakhir Ziel.
"Ya sudah, Papa masuk. Kakek masuk yah, Ziel!" kata Tuan Rifki pada cucunya.
"Iya, Kek. Hati-hati!"
Tuan Rifki masuk ke dalam ruangan boarding, untuk menunggu panggilan keberangkatan pesawat yang akan mengantarnya pulang ke Yogya.
***