Menolak Perjodohan

1232 Words
"Evelyn!" seru Ziel, terkejut. "Cantik," lirih Ziel bersuara, syukur tidak ada yang mendengar.  Bagaimana mungkin lelaki berusia delapan belas tahun itu tidak terkejut bahkan bisa dibilang terpesona, jika teman satu sekolah yang terkenal akan gaya lelakinya itu, kini tampak anggun dan terlihat cantik dengan dandanannya yang feminim.  Evelyn turun dari tangga dengan penuh kehati-hatian. Pandainya sang tante memilihkan pakaian yang sangat cocok dengan usianya, membuat Evelyn berbeda dari penampilan sehari-harinya.  "Apakah aku terlambat bergabung?" tanya Evelyn setelah tiba di ruangan yang telah penuh dengan orang.  Semua nampak tersenyum menatap Evelyn. Hanya satu orang yang terlihat tidak terlalu bersemangat meski beberapa menit tadi ia sempat memuji kecantikan gadis itu.  "Sini, Nak!" ajak sang Bunda —Amelia, memberikan space kosong di samping ia duduk untuk putrinya.  "Eve, perkenalkan dirimu pada keluarga Kusuma," ucap Tuan Harsa pada cucunya, yang kemudian dibalas anggukan oleh Evelyn.  "Selamat siang semua, perkenalkan aku Evelyn Xena Narendra. Kalian bisa memanggilku, Evelyn atau Eve. Usiaku sekarang tujuh belas tahun menjelang delapan belas. Salam kenal dari aku untuk Kakek Rifki, Papa Azka, Mama Sita dan juga, Zieeeel." Ketika menyebut nama Ziel, ada nada tidak suka dari suara Evelyn.  "Hai Evelyn, kamu sudah besar sekarang dan juga cantik," sahut Tuan Rifki.  "Apakah Kakek Rifki sudah mengenalku sebelumnya?" tanya Evelyn.  "Tentu saja," jawab Tuan Rifki. "Kami sudah mengenalmu sejak kamu lahir. Dulu kami sering berkunjung ke sini, kalau tidak salah sampai umur kamu lima tahun, ya 'kan Harsa?" "Iya, tapi kalian sudah jarang ke sini sejak kamu pindah ke Yogya dengan Lingga," sahut Tuan Harsa. "Kamu juga Azka, hanya datang sesekali saja, itu pun kalau kami undang kalau tidak ... entahlah!" lanjut pria tua itu, yang masih tampak sisa-sisa ketampanan di wajahnya.  "Maaf, Om. Semenjak Papa pindah dan menetap di Yogya, beliau menyerahkan pekerjaan yang banyak dan menumpuk," sahut Azka, membela diri.  "Jadi kamu nyalahin Papa, Azka? Memang pekerjaan yang Papa serahkan membuat kamu sibuk selama lebih dari sepuluh tahun?" timpal Tuan Rifki tak mau disalahkan.  "Bener tuh, Pah, aku istrinya aja sampai lupa kapan diajak jalan-jalan, saking sibuknya Bapaknya Ziel ini." Sang istri —Sita, ikutan mengompori, membuat Azka terlihat keki menahan malu.  "Bu, udah dong ih, bikin malu Papa aja!" seru Ziel. Semua orang tertawa menanggapi ucapan Ziel, termasuk Evelyn yang terlihat menyunggingkan senyum tipis di bibirnya.  "Apakah ini Nancy dan Juna?" tanya Tuan Rifki melihat wanita dewasa lainnya yang duduk bersama seorang pria di sofa yang berbeda.  "Iya, Om," sahut Nancy tersenyum manis.  "Oalah, aku hampir lupa. Terakhir Om lihat, waktu kamu menikah karena kebetulan Om masih ada di sini," ucap Tuan Rifki, "sudah berapa anakmu?" lanjutnya lagi.  "Dua, Om. Sama kaya Mas Dirga." Nancy menjawab dengan suara yang sangat lembut.  "Oh yah, Dirga. Mana anakmu yang satu lagi?" tanya Tuan Rifki.  "Ada Om, di atas sama sepupunya yang lain," jawab Dirga.  "Oh, begitu. Kenapa tidak ikut bergabung?"  "Mereka akan turun nanti kalau tujuan pertemuan dua keluarga ini selesai dibicarakan." "Oh, yah. Baiklah, bagaimana kalau kita langsung membicarakan masalah ini saja!" seru Tuan Rifki.  "AKU MENOLAK!" "AKU MENOLAK!"  Dua suara yang berasal dari Ziel dan Evelyn, terdengar sangat kompak. Semua orang yang ada di dalam ruangan terdiam selama beberapa detik, tetapi kemudian tawa membahana tercipta.  Ziel dan Evelyn, keduanya bengong. Mereka tidak paham mengapa para orang tua di hadapan mereka saat ini malah tertawa seolah ada sesuatu hal yang lucu.  Di tengah kebingungan Ziel dan Evelyn, dan tawa kompak dari dua anggota keluarga, dua orang asisten rumah tangga hadir membawa nampan berisi minuman dan juga makanan kecil.  Bi Tinah wanita tua yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Narendra, menurunkan beberapa cangkir minuman dan membantu menurunkan beberapa piring berisi kue dan juga aneka potongan buah.  "Terima kasih, Bi!" ucap Nyonya Ninta —omahnya Evelyn. Lalu mendapat anggukan dari Bi Tinah yang kemudian kembali menuju belakang.  "Silakan diminum dan dinikmati hidangan sederhana yang bisa kami sajikan!" ucap Nyonya Lingga.  "Kita bisa membicarakan tentang perjodohan antara Evelyn dan Ziel sambil menikmati hidangan, biar lebih rileks." Tuan Harsa menimpali.  Semua mengangguk setuju dan kompak mengambil cangkir berisi teh hangat buatan Bi Tinah, hanya Ziel dan Evelyn, yang tidak mengambil apapun di atas meja. Ziel dan Evelyn tampak mulai tidak bersahabat. Keduanya tidak mengerti, mengapa protes mereka tidak didengar oleh para orang tua.  "Jadi, kamu setuju 'kan Dirga, Amelia?" ucap Tuan Rifki menatap Dirga dan istri, "bahwa putri cantikmu ini dijodohkan dengan cucuku, Ziel?" lanjutnya lagi.  "Aku dan istri, setuju, Om!" "Tapi aku enggak, Dad." Evelyn menimpali ucapan sang Daddy.  "Evelyn!" seru Amelia.  "Mom, Evelyn minta Momy diem dulu yah." Evelyn menatap sang bunda yang seolah cuek.  "Kakek Rifki, bolehkah Evelyn mengutarakan pendapat Evelyn?" "Ziel juga!" sahut Ziel, dan mendapat pelototan dari Evelyn.  "Silakan, Evelyn!" ucap Tuan Rifki tersenyum.  "Kek, kalau boleh tahu, apa alasan dilaksanakannya perjodohan ini?" "Untuk mempererat silaturahmi dua keluarga." "Itu saja?" tanya Evelyn lagi.  "Ya. Selain itu, ini merupakan sebuah janji antara Kakek dan Opahmu, saat kami muda dulu. Persahabatan yang tercipta antara kami berdua sempat terputus karena kakek pindah ke Yogya, dan akhirnya kita kehilangan momen kebersamaan kembali. Oleh sebab itulah, kami berharap janji kami dulu terlaksana sekarang, yaitu dengan menjodohkan kamu, Evelyn, dan juga Ziel, cucu Kakek." "Kalau alasannya hanya sebatas mempererat silaturahmi, kenapa harus ada pernikahan? Bukankah tanpa aku harus menikah dengan Ziel kita masih bisa saling bertemu dan mengobrol seperti ini?" "Kenyataannya tidak seperti itu, Eve!" Kini Tuan Harsa yang menjawab.  Evelyn kini mengatap sang Opah. "Kenyataan yang bagaimana, Opah?" "Kenyataan bahwa selama lebih dari sepuluh tahun, kita sama sekali tidak pernah bertemu dan tidak ada lagi momen berkumpul seperti ini," lanjut Tuan Harsa dengan lembut, yang membuat Evelyn terdiam.  "Tapi, apakah harus dengan cara seperti ini, Kek, pernikahan?" tanya Ziel menatap sang Kakek.  "Ya!" Singkat dan tegas, jawaban yang Tuan Rifki berikan.  Ziel dan Evelyn saling berpandangan, tetapi sesaat kemudian mereka memalingkan wajah masing-masing.  "Namun, aku tetap menolak rencana ini!" seru Evelyn tiba-tiba.  "Berikan Kakek alasannya, Evelyn?" "Aku enggak cinta sama Ziel, Kek!" ucap Evelyn tegas.  "Gua juga enggak cinta yah sama lo!" seru Ziel tak mau kalah.  "Ziel!" bentak Sita pada sang putra. Namun, tak mempan bagi Ziel karena bentakan dari sang ibu tidak berefek sama sekali.  "Ziel, Evelyn? Kakek dan istri kakek dulu juga tidak saling cinta ketika awal menikah. Namun, karena seringnya kita bertemu dan hidup bersama, akhirnya tumbuhlah benih cinta di antara kami berdua," ujar Tuan Rifki bercerita. Ziel dan Evelyn terdiam.  "Apakah kamu tidak tahu, Eve?" tanya Nyonya Ninta kini, dan membuat sang cucu memandangnya. "Omah dan Opah, dulu juga dijodohkan." "Benarkah, Yah?" ucap Dirga terkejut, dan mendapat anggukan dari sang ayah —Tuan Harsa.  "Kok Ayah dan Ibu enggak pernah cerita sama aku?" Dirga tampak heran.  "Untuk apa?" tanya Tuan Harsa balik.  "Terus, kenapa Opah dulu enggak ngejodohin Daddy juga, kenapa sekarang malah ngejodohin aku?" timpal Evelyn.  "Momen menjodohkan ayahmu dulu tidak pas, Eve. Karena Rifki tidak memiliki seorang putri. Lagipula ayahmu itu udah cinta mati sama bundamu dulu." Tuan Harsa berkata dengan tatapan usil pada sang putra dan menantunya, yang dibicarakan hanya mesem-mesem saja.  Evelyn tak lagi bertanya. Meski semua pertanyaan dijawab dengan kesungguhan dari Opah dan Kakek Ziel, tetapi gadis itu masih belum bisa terima mengenai perjodohan yang diusung oleh dua pria tua di depannya saat ini, apalagi lelaki yang akan dijodohkan dengannya adalah musuh bebuyutannya selama tiga tahun ia sekolah di SMA.  "Kalian berdua tidak perlu cemas, Kakek dan Opah-mu, Eve, sudah memutuskan untuk memberikan kelonggaran pada kalian berdua." "Maksudnya?" ucap Ziel dan Evelyn secara bersamaan.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD