Nicholas Villa PoV
Sedari tadi aku duduk di balkon koridor gedung barat sambil mengedarkan pandangan seperti mencari sesuatu.
Apa yang aku cari? Aku sendiri tidak tahu.
Mungkin karena aku sudah gila.
Saat mataku tak sengaja menangkap dua orang gadis berjalan memasuki perpustakaan. Aku langsung tersenyum dan turun.
"Sapphira!", panggilku.
Kedua gadis itu menoleh. Keduanya juga tampak bingung melihatku.
"Kau memanggilku?", tanyanya sambil menunjuk diri sendiri.
Aku mengangguk, "Bagaimana keadaanmu?", tanyaku langsung sambil memasukan kedua tanganku kedalam saku celana.
"Aku akan masuk duluan", sahut gadis di samping Sapphira.
Sapphira tersenyum kearahnya. Begitupun denganku saat gadis itu berpamitan kearahku.
"Jadi, sekarang kau menanyakan keadaanku?", tanyanya sambil menahan senyumnya.
Apa ada yang lucu? Pikirku.
"Apa salah aku menanyakan keadaanmu setelah kau habis ditampar?",
Dia menggeleng, "Kau tidak salah menanyakan keadaanku. Hanya saja...", ujarnya menggantung.
"Hanya saja apa?", tanyaku.
"Hanya saja aku penasaran. Apa kau juga melakukan hal yang sama pada orang lain setelah mereka ditampar atau dikasari oleh Kezia?",
"Ti-",
Aku langsung terdiam. Pertanyaan itu tampak menjebak sekali. Pikirku.
Dengan cepat aku meralatnya, "Ya. Aku sebagai ketua Students Council disini harus peduli terhadap mahasiswa lainnya",
Sapphira menatapku sambil terdiam sejenak. Sungguh kenapa tubuhku tidak bisa bergerak sekarang?
Bahkan mata itu terlalu indah jika aku berpaling.
Ia tiba-tiba terkekeh, "Aku senang ternyata kau sebagai ketua sangat peduli. Tapi, sungguh aku ingin tertawa melihat ekspresimu. Kau seperti orang yang baru saja ketahuan berselingkuh", ujarnya santai.
Aku tersenyum. Sungguh jarang sekali ada gadis seperti Sapphira. Dia tampak biasa dan santai saat berbicara denganku.
Jika mahasiswa lain yang aku ajak bicara selain anggota Executive dan senat, mereka pasti menunduk takut atau tergagap saat berbicara denganku.
Bukan kepedean, tapi, aku kadang bertanya pada diriku sendiri.
Apa aku tampak menyeramkan?
Apa karena ketampananku mereka tergagap?
"Jadi... Apa kau baik-baik saja?",
Sapphira mengangguk, "Untuk saat ini. Aku baik-baik saja. Aku tidak tahu apakah besok atau nanti akan masih baik-baik mengingat Kezia masih menerorku", ujarnya dengan santai tanpa ada ketakutan pada Kezia.
"Kau tidak perlu khawatir untuk hal itu. Aku sudah menyuruh temanku untuk menangani Kezia",
"Terima kasih. Tapi jangan berlebihan kepadanya", ujarnya memperingatiku.
Aku menggeleng, "Tapi dia sudah keterlaluan. Bahkan pipimu tampak masih memerah sampai sekarang. Apa sudah kau obati?",
Dia dengan cepat menyentuh pipinya yang kemarin telah ditampar oleh Kezia. Dan kini ia masih bisa tersenyum.
"Ya, aku dibantu Calvin mengompres kemarin",
Aku mengerutkan keningku.
"Calvin membantumu?",
Ia seperti terkejut. "Ah itu... Ehmm", kini dia terlihat seperti bingung dan takut.
"Kalian sangat dekat?", tanyaku lagi curiga.
Jika sampai apa yang Calvin katakan kemarin bahwa ia tak ada hubungan apa-apa dengan Sapphira adalah bohong. Sungguh ia akan membuat Calvin menderita dengan menjauhkan Clarissa.
"Kita dekat karena kita tetangga sejak kecil", ujarnya cepat.
"Ya. Aku tahu bila kalian bertetangga", balasku sambil mencoba untuk mempercayai Sapphira.
Meski ada ketertatikan sendiri pada gadis ini. Aku tetap belum bisa mempercayainya seratus persen karena kami belum kenal dekat.
"Baiklah. Aku baik-baik saja dan masih hidup tentunya. Boleh aku masuk ke dalam? Mungkin Jocelyn menungguku dari tadi", tanyanya sambil tersenyum.
Bisakah kau tidak tersenyum terus kearahku? Tanyaku dalam hati.
Aku mengangguk, "Ya tentu",
Ia mengangguk dan melangkah melewatiku membuatku bernapas lega.
Tapi, ia berhenti melangkah membuatku buru-buru tersenyum kearahnya.
"Ada apa?", tanyaku.
Ia menggeleng, "Tidak apa. Hanya saja, jangan memanggilku Sapphira. Panggil saja Ana",
"Aku lebih suka memanggilmu Sapphira", ujarku, "Karena matamu indah seperti batu safir", timpalku dengan nada lebih pelan diahkir kalimat.
Semoga dia tidak mendengarnya, batinku.
"Baiklah, Nikc. Terserahmu saja. Aku duluan. See you soon",
See you soon?
Aku terkekeh pelan.
Itu tandanya, kita akan bertemu untuk yang ketiga kalinya.
...
Brianna Harrison PoV
Aku bernapas lega ketika sudah memasuki perpustakaan.
Kenapa saat aku menghindari Nick tapi malah aku bertemu dengannya?
Aku benar-benar harus menghindari Nick. Sejak kemarin ia membantuku.
Aku tidak bisa tidur tanpa memikirkannya.
Wajah tampannya selalu terngiang di otakku.
Ya, aku akui dia tampan dan sangat mempesona.
Dan itu membuatku frustasi.
Bodohnya lagi, kenapa aku berkata seolah kita akan bertemu lagi?
Aku menggelengkan kepalaku.
Jangan sampai aku berurusan dengan Nick atau penyamaranku terbongkar sebelum waktunya.
...
Sore ini aku sedang tidak dalam keadaan menyamar. Tanpa kacamata, softlens, kawat, dan pakaian kebesaran saat aku menjadi Ana.
Inilah Crystal.
Sebenarnya aku juga bukanlah ornag yang terlalu suka berpenampilan ribet seperti anak-anak lainnya.
Seperti sekarang... Rambut yang biasa aku curly, kubiarkan lurus dengan bagian bawahnya sedikit blow masuk.
Lalu, aku hanya memakai kaus tanpa lengan crop berwarna putih dan celana jeans grey acid ⅞ yang ujungnya terlipat.
Ditambah dengan stiletto berwarna cream nude dengan tas senada sudah cukup bagiku.
Cukup lama aku menunggu Calvin di dalam mobil. Ia tak kunjung datang.
Aku tidak tahu kenapa dia menyuruhku berangkat sendiri padahal kami berasal dan pergi ke tempat yang sama.
Tanpa pikir panjang, aku turun dari mobilku dan melangkahkan kakiku masuk kedalam salah satu cafe franchise yang memang tersebar di seluruh negri.
Saat aku menginjakan kakiku. Aku langsung disambut dengan bunyi lonceng dan aroma kopi yang sangat nikmat.
Dengan langkah pasti, aku menuju ke kasir untuk memesan menu favoritku.
"Apple pie dan frapucinó nya satu", ujarku pada pelayan yang berdiri di depan meja kasir.
"Baiklah nona. Satu Apple pie dan frapucinó. Apa mau upgrade size untuk kopinya?",
Aku menggeleng, "Tidak terima kasih",
"Baiklah semuanya seratus sembilan ribu",
Aku tersenyum dan membuka tasku untuk mengambil dompet.
Dimana dompetku? Tanyaku dalam hati.
Aku mencoba mengecek ulang apakah aku salah melihat atau tidak.
Tapi, tidaklah mungkin mengingat tasku hanya berisi ponsel dan juga beberapa perlatan make up.
Aku mendesah pelan saat ingat bahwa semalam Calvin meminjam kartu member cardku. Dan pasti laki-laki itu tidak meletakan kembali di tempat semula.
Sial! Aku harus kembali ke rumah Aunt Claudia untuk mengambilnya.
Mana bisa bila akan pergi tanpa membawa dompet dan meminta Calvin membayarnya.
Saat aku baru saja mendongak hendak membatalkan pesananku.
Dan tiba-tiba,....
"Buatkan pesanan itu lagi. Jadi aku membeli 2 apple pie dan 2 frapucinó",
Aku dengan cepat menoleh kebelakang saat suara laki-laki itu memasuki indra pendengaranku.
"Kamu!?", pekikku.
...
Nicholas Villa PoV
Aku memarkirkan mobilku dan turun setelahnya.
Sore ini Calvin dan Clarissa mengajak kami semua para anggota Executive untuk bersantai sambil minum kopi di salah sau Cafe yang cukup ternama.
Mereka berkata bahwa mereka akan merayakan hari jadi mereka.
Maksudku, kami, aku, Raphael, dan Dimitri meminta pajak pada mereka karena sudah resmi memjadi sepasang kekasih.
Aku masuk ke dalam Cafe dan menuju lantai dua, dimana ruangan VIP berada yang telah disiapkan Calvin.
Di ruangan itu, sudah ada Clarissa dan juga Raphael sedang mengobrol.
"Hai, Nick", sapa Clarissa. Ia bangkit dari sofa dan berlari kecil kearahku.
Lalu ia memelukku singkat.
"Kau tampak cantik hari ini", godaku kearahnya.
Ia terkekeh, "Berarti selama ini aku tidak cantik?", tanyanya.
"Tidak. Kau selalu cantik. Tapi, hari ini lebih cantik", jawabku sambil mencubit gemas pipinya.
"Sudah. Kalian jangan membuatku semakin cemburu", gerutu Raphael membuatku dan Clarissa menatapnya.
"Cemburu?", tanya Clarissa bingung.
Raphael berdecak lidah, "Pertama, kau dan Calvin sudah jadian. Kedua, karena aku baik hati. Aku mengalah padanya karena aku yakin. Ketampananku akan membuatku mendapatkan gadis sepertimu.
Ketiga, kau dan Nick selalu saja membuatku envy. Kalian beranggapan saudara tapi bersikap seperti sudah berpacaran lama", ujarnya panjang lebar yang tentunya tak masuk akal.
Aku dan Clarissa sontak tertawa keras. Clarissa mendekat kearah Raphael. "Oh ayolah. Kau seperti anak kecil saja. Kau memang tampan. Tapi, Calvin lebih tampan. Untuk itu kau memilihnya", jawab Clarissa bergurau.
Raphael memutar matanya. "Lihat saja. Sampai aku mendapatkan kekasih yang lebih cantik darimu. Kau harus mentraktitku untuk makan malam di Skylines, US", ujarnya bangga.
Aku menahan tawaku sambil menggeleng melihat tingkah Raphael.
"Kalian berdebatlah sepuasnya. Aku kebawah dulu membeli minuman",
Ujarku.
Aku melangkah keluar dan menuruni tangga menuju lantai dasar.
Saat aku baru saja ingin mengantri untuk membeli minuman.
Aku melihat Dimitri sedang tertawa bersama seorang gadis.
Dengan cepat aku menghampiri mereka.
"Dimitri?", panggilku membuat keduanya menoleh.
...
Brianna Harisson PoV
Aku menoleh cepat kearah laki-laki di belakangku.
Dan ia tersenyum, "Tidak perlu berterima kasih", ujarnya sebelum aku mengatakan sesuatu.
Aku tahu siapa laki-laki ini. Dimitri Richards, salah satu anggota Executive yang paling playboy.
Dia tak kalah tampan dengan yang lainnya mengingat seluruh anggota Executive berparas bagaikan pahatan patung-patung dewa yunani.
Tapi, kenapa dia disini?
Hah! Tentu saja ini Cafe bebas siapa saja yang ingin masuk. Bodohnya diriku!
Aku menggeleng sambil tersenyum,
"Tetap aku harus berterima kasih.
Maaf merepotkanmu, dompetku tertinggal di rumah sepupuku",
Aku harus mengatakan apa adanya agar ia tidak curiga.
Dan aku yakin, Dimitri mengenali siapa diriku.
"Calvin Jacob?", tanyanya sambil tersenyum miring.
"Ya, bagaimana kau tahu?", tanyaku seolah aku tidak mengenalinya lagi.
Dia terkekeh, "Tentu sepupumu adalah sahabatku", ujarnya.
Lalu ia mengulurkan tanganya kearahku.
Aku membalasnya, "Kau pasti tahu siapa diriku mengingat kau tahu siapa sepupuku",
Ia tertawa, "Tentu. Siapa yang tidak tahu putri cantik keluarga Harisson. Bahkan aku juga mengenal kembaranmu. Kami pernah satu club menembak",
Benarkah? Kenapa Bryan tidak pernah bercerita denganku berteman dengan Dimitri?
Aku mengangguk sambil menarik tanganku dari tangannya. "Ah begitu. Tapi, maaf... Aku tidak mengenalimu", kataku pelan takut dia tersinggung.
Dimitri tersenyum lagi kearahku.
Jujur saja senyumannya sangat manis. Menambah kesan badboynya lebih terlihat. Tapi, aku harus hati-hati. Jangam sampai jatuh kedalam pesona seorang badboy untuk sekian kalinya meski ia akan memperlakukanku romantis.
"Aku Dimitri Richards",
Aku mengangguk, "Ah ternyata au anak dari Liam Richards. Politikus sekaligus pemilik media ON POINT?",
"Benar. Dia ayahku", jawabnya bangga.
"Nona, Tuan. Ini pesanan anda", sahut pelayan tadi membuatku menoleh.
Sebelum aku mengambil pesananku. Dimitri sudah mengambilnya terlebih dahulu. "Tolong bawakan saja dompet dan ponselku. Kopinya panas. Takut terkena tanganmu", katanya.
Aku mengangguk, dan dengan cepat aku mengambil ponsel dan dompetnya diatas meja kasir.
Saat kami hendak melangkah. Tiba-tiba sebuah suara yang aku kenal memanggil Dimitri.
"Dimitri?",
Damn! Kenapa dia disini? Batinku.
Aku perlahan menoleh bersamaan dengan Dimitri.
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam dan mencoba tersenyum manis.
Semoga Nick tidak mengenaliku.
Seharusnya aku tidak perlu takut mengingat Clarissa sendiri berkata bahwa aku tidak akan dikenali saat menyamar.
Tapi, entah kenapa aku takut saat Nick yang menatapku.
"Kau bersama......?", tanya Nick menggantung kalimat sambil menatap kami bergantian.
Aku menunduk dan beharap jika semua baik-baik saja.
Dimitri terkekeh, "Brianna, kenalkan ini sahabatku dan juga sahabat Calvin. Nicholas", ujarnya membuatku terkejut.
Aku mengangkat kepalaku dan membuka mulutku seperti orang tergagap.
"Brianna?", tanya Nick bingung.
Aku dengan cepat mengulurkan tanganku.
Bodoh!
Kenapa aku mengulurkan tanganku?
"Aku Brianna. Sepupu Calvin", ujarku.
Dia tersenyum simpul dan membalas uluran tanganku, "Ah, rupanya kau gadis yang selama ini aku cari",
"Hah?", tanyaku kaget.
Kenapa dia berkata seperti itu?
Dia mencariku?
Untuk apa?
Dengan cepat Nick menggaruk tengkuknya. "Maaf. Maksudku, aku mengenal kembaranmu tapi aku tidak tahu kau yang mana",
Oh begitu...
Tapi, apakah Nick selalu bersikap gugup dihadapan wanita?
Apa dia juga sama playboy nya dengan yang lain?
Tiba-tiba dadaku terasa aneh rasanya saat melihat senyuman manis Nick saat kepada diriku sebagai Sapphira diberikan kepadaku juga sebagai Brianna yang sesungguhnya.
"Nick, aku dan Brianna akan naik terlebih dahulu. Tak apa kan?", tanya Dimitri memecah kesadaranku.
Aku menoleh kearah Nick menunggu jawabannya.
Dan dia mengangguk, "Kalian duluan tak apa. Aku akan memesan minuman dan menunggu Calvin",
Aku mengela napasku. Sedikit kecewa dengan jawaban Nick kepada Dimitri.
Aku pikir dia akan menahan kami agar kita menuju keatas bersama dan membantuku menjauh dari Dimitri.
...
Nicholas Villa PoV
Jadi dia Brianna? Saudara kembar Bryan dan sepupu perempuan Calvin yang selama ini membuatku penasaran.
Benar apa kata Raphael dan Dimitri.
Brianna cantik. Sangat cantik, menurutku. Tapi, ada sesuatu di dalam diri Brianna yang membuatku bingung. Aku tidak tahu apa itu.
Rasanya aku sudah mengenalnya sebelumnya.
Mungkin aku halusinasi.
Setelah pesananku selesai dan mengambilnya. Calvin memasuki Cafe dan melangkah kearahku.
"Yang lain sudah datang?", tanyanya.
Aku mengangguk, "Yah",
"Kau sudah bertemu dengan sepupuku?",
"Brianna?", tanyaku. Aku mengangguk, "Ya, aku sudah bertemu dengannya",
"Lalu...", ujar Calvin ambigu membuatku mengerutkan keningku bingung.
"Lalu apa?", tanyaku.
Calvin terdiam menatapku beberapa saat. Dan ia menepuk bahuku sambil tersenyum simpul, "Nothing. Ayo kita keatas", ujarnya.
Nothing? Tapi dari raut wajah Calvin seolah mengatakan ada sesuatu yang ingin dia katakan sebenarnya.
Tapi, aku berusaha melupakan hal itu dan berjalan bersama Calvin menuju lantai dua.
Sesampai kami disana.
Aku melihat Brianna sudah duduk bersama Clarissa dan bercanda bersama Dimitri.
Kemana Raphael?
"Kemana Raphael? Apa dia belum datang?", tanya Calvin sambil duduk di hadapan kedua gadis itu.
"Dia pergi ke toilet",
Aku mengangguk, lalu aku mengambil kursi di samping Dimitri dan meletakan minumanku.
Aku terdiam sambil menatap kearah Brianna.
Begitupun dengannya yang menatapku.
Kami berdua terdiam dengan mata masih saling berpandangan. Bahkan sekelilingku terasa sunyi dan seolah waktu berhenti berputar.
Hanya satu yang aku pikirkan.
Kenapa rasa penasaranku tentang Brianna hilang dalam sekejap saat aku melihatnya langsung?
Bukannya tak menarik. Dia sangat menarik.
"Maaf, toiletnya antri", seruan Raphael membuat kontak mata kami terputus.
Kami semua menoleh kearahnya. Tapi, wajahnya terlihat cengo saat melihat salah satu dari kami.
Dan tentunya, jawabannya adalah Brianna.
Dengan cepat Raphael melangkah mendekat.
"You must be Brianna. Sudah lama aku tak melihatmu membuatku bingung", ujarnya sambil menarik Brianna kedalan pelukannya saat gadis itu bangkit.
Brianna tampak santai saja. Ia tersenyum, "And you must be, Raphael. Valentino's brother",
Aku mengepalkan tanganku. Dadaku berdetak cepat saat Brianna dan Raphael berpelukan?
Kenapa denganku?
Dengan cepat aku melangkah mendekat dan menarik Brianna dari Raphael, "And you must go away", ujarku tiba-tiba.
Brianna menoleh kearahku. Begitupun dengan yang lainnya.
Mereka juga menatapku bingung.
"Dude, jangan terlalu cemburu", sahut Dimitri.
"Kalian berpacaran?", pekik Raphael. "Kenapa dunia sangat kejam kepadaku? Setelah kakakku sendiri sekarang sahabatku?", timpalnya lagi membuat kami semua melototinya.
"Jangan mulai drama seperti Kezia", ujarku.
"Aku tidak memulai drama", elaknya,
"Sudahlah. Lebih baik kita habiskan hari ini dengan bersenang-senang", sahut Clarissa membuatku bernapas lega.
Setidaknya aku tidak harus menjelaskan kenapa aku bersikap seperti itu.
Aku sendiri tidak tahu...
...
Brianna Harisson PoV
Sudah pukul tujuh malam saat kami memutuskan untuk mengahkiri keseruan ini.
Aku cukup senang bahwa sahabat-sahabat Calvin ternyata sangat menyenangkan dan seru jika berkumpul.
Tapi, dari tadi fokusku hanya kepada Nick.
Apa Calvin berbohong kepadaku tentang Nick yang pendiam?
Dia tampak sangat menikmati malam ini. Dan dia juga tidak hanya duduk diam.
"Crystal. Kau pulang bersama Nick ya", seru Calvin tiba-tiba membuat semuanya terdiam.
Nick menatapku. Dan aku menatap Calvin.
"Aku membawa mobil sendiri", ujarku.
"Kau tidak bisa pulang dengan mobilmu sendiri", ujarnya lagi sambil menatap kearah luar jendela cafe.
"Kenapa aku tidak bisa?", tanyaku lagi.
Yang lainnya juga tampak masih tidak mengerti.
"Karena sekarang... Aku sedang menatap kearah Porsche kesayanganmu yang digeret oleh mobil derek",
"What?!", pekikku.
Aku langsung berlari kearah jendela dan melihat kemana aku memarkirkan mobilku. Dan benar saja, mobil kesayanganku itu sudah di geret oleh mobil derek.
Aku mendesah pelan.
"Aku tak masalah bila mengantarmu pulang", sahut Nick membuatku tak bisa berkata apa-apa.
...
"Yah. Aku suka sekali dengan Adam Devine. Actingnya selalu membuatku tertawa",
Satu hal yang aku tahu dari Nick.
Ia sama-sama suka menontol movie sepertiku.
Sejak perjalanan ke rumah Calvin.
Nick mengajakku berbicara mengenai hal-hal kesukaannya yang kebetulan sama denganku.
"Oh ya. Apa kau ada waktu hari sabtu besok?", tanyanya tiba-tiba setelah kami berhasil meredakan tawa kami.
Aku menoleh kearahnya. "Kenapa?",
Ia tersenyum sambil menatap lurus ke jalan. "Tak apa. Aku hanya ingin mengajakmu nonton",
Aku terkekeh, "Nonton?", tanyaku.
"Ya. Apa kau mau?", tanyanya lagi.
Aku terdiam sejenak hingga mobil Nick berhenti tepat di depan gerbang mansion keluarga Calvin.
Ia melepaskan seatbeltnya dan memiringkan tubuhnya kearahku.
"Kau mau?",
"Apa aku punya alasan untuk menolakmu?",
Senyuman manis mengembang diwajah Nick saat mendengar jawabanku.
Aku tidak bisa menolaknya.
Terlalu berharga rasanya menolak tawaran Nick.
"Baiklah. Aku akan menjemputmu disini jam 7 malam",
Aku mengangguk, "Ya. Sampai jumpa", ujarku hendak membuka pintu mobil.
"Tunggu!",
Tiba-tiba Nick memajukan tubuhnya kearaku dan menarik tali tas milikku yang tersangkut di pengunci seatbelt.
Dari jarak sedekat ini. Aku bisa mencium aroma maskulin di kaus yang di pakainya.
Bolehkah aku berteriak sekarang?
Jantungku ingin melompat seperti aku ingin melompat memeluknya juga.
"Terima kasih", ujarku tergagap.
Ia mengangguk dan mengacak-acak rambutku. Lalu ia kembali ke posisinya semula. "Sama-sama", ujarnya.
Aku membuka pintu mobil Nick dan turun setelah itu. Lalu aku menunduk mensejajarkan tubuhku dengan jendela mobil.
"Terima kasih sudah mengantarku. See you on satnite?",
Dia mengangguk, "Yeah, see you on Saturday night",
"Hati-hati dijalan", kataku lagi.
Nick tersenyum, "Masuklah. Angin malam tidaklah baik",
"Ya, aku akan masuk, setelah kau pergi",
Nick terkekeh, "Aku akan pergi setelah kau masuk", ujarnya membalik kata-kataku.
Aku hanya bisa menahan senyumku.
Lebih baik aku mengalah daripada kita berdebat dan berujung Nick tidak pulang kerumahnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi.
Aku membalikan tubuhku dan melangkah masuk kedalam gerbang.
Tapi, saat baru saja aku menutup pintu gerbang. Nick memanggilku,
"Brianna?",
"Ya?", tanyaku cepat.
"Aku rasa aku menyukaimu",