I DON'T KNOW WHAT I FEEL

2297 Words
Brianna Harrison PoV Hari ini kampus mengadakan acara pekan olahraga. Dimana beberapa mahasiswa yang terpilih harus mengikuti perlombaan olahraga. Saat ini aku duduk di bangku paling depan penonton bersama Jocelyn. Aku sangat penasaran bagaimana cara Calvin bermain basket. Team pertama merupakan anggota Senat laki-laki. Dan team kedua merupakan seluruh anggota Executive laki-laki ditambah dengan beberapa kapten basket dari unit kegiatan mahasiswa disini. "Ana! Kau lihat Nicholas? Dia sungguh tampan", pekiknya heboh. Aku menoleh kearah Jocelyn menunjuk. Di sana, Nick dengan wajah seriusnya tampak mempersiapkan seluruh team untuk bertanding. Meski wajah nya serius tampak menyeramkan. Itu tidak menghikangkan ketampanannya. Malah lebih tampan, menurutku. Aku tersenyum simpul kearah Jocelyn, aku harus berpura-pura tidak menyukai Nick. "Ya memang dia tampan. Tapi, aku lebih suka yang itu", balasku sambil menunjuk salah seorang anggota Executive yang kedua ingin kuhindari selain Nick. "Dimitri?", tanya Jocelyn tak percaya. "Are you serious? Dia adalah playboy ulung", Aku mengangguk, "Aku tahu. Dan aku tak bisa menolak pesonanya", jawabku seolah itu adalah Nick. Jocelyn menggelengkan kepalanya, "Aku tak habis pikir dengan jalannya otakmu. Aku hanya ingatkan saja agar kau berhati-hati", katanya. "Hai, boleh aku bergabung?", Aku dan Jocelyn menoleh cepat kearah seorang gadis cantik yang mengenakan atasan seragam basket bertuliskan 'JACOB'di bagian dadanya dengan celana jenas dan sneakers. "Clarissa?", tanyaku. "Aku pikir kau menunggu di base camp", tambahku. Ia menggeleng, "Dan aku menjadi jamuran disana. Seluruh anggota bermain kan", jawabnya. Lalu clarissa mengulurkan tangannya kearah Jocelyn, "Kau pasti Jocelyn. Aku mendengarmu dari Ana", katanya membuat Jocelyn menoleh kearahku. Dengan takut-takut ia membalas uluran tangan Clarissa. "Ha-hai Clarissa", balasnya. "Ah aku akan pergi membelu minum. Kau mau?", tanya Jocelyn kepadaku. Aku menggeleng, lalu ia pergi dan meninggalkan kami berdua. Aku rasa dia takut pada Clarissa. Clarissa tersenyum. Lalu ia duduk di samping kananku dan menyenggol lenganku. "Jadi, kau dukung siapa?", bisiknya. Aku menoleh dan terkekeh, "Tentu team Executive", Dia menggeleng, "Aku tahu. Maksudku kau dukung siapa? Nick, Dimitri atau Raphael?", "Aku dukung Calvin", "No! Calvin is mine", "Raphael?", kataku seperti balik bertanya pada Clarissa. Ia terkekeh, "Aku yakin kau mendukung Nick", Aku langsung melebarkan mataku dan melototinya, "Clarissa, kau bisa membaca pikiranku?", tanyaku. "Aku tidak membaca pikiranmu, sist. Dari kemarin saat berada di cafe. Kelihatannya kau menyukai Nick. Dan Nick juga menyukaimu sepertinya", ujarnya santai sambil meneguk coke. Aku terdiam sejenak. "Aku sendiri tidak tahu perasaanku. Aku bingung. Nick bersikap baik saat aku menjadi Ana dan juga Crystal", Clarissa memutat matanya, "Maklumi saja. Dia juga bersikap kepadaku seperti itu. Dulu ak sampai menghindarinya karena aku pikir dia menyukaiku", Aku tetawa, "Benarkah?", "Yeah. Dan kau harus bisa membedakan mana sikapnya yang mengapmu teman atau gebetannya", "Sepertinya susah", Clarissa menghela napasnya, "Tentu susah karena dia bersikap pada orang yang sama meski beda nama. Dan kau sendiri meski sebagai Ana atau Crystal sama-sama kau menyukainya", katanya, "Tapi, kau tenang saja. Nick jarang bersikap baik pada perempuan kalau menurutnya perempuan itu tidak baik", "Lalu aku harus bagaimana?", "Ya kau harus tetap menajalankan peranmu. Cari tahu, siapa yang disukai Nick. Kau sebagai Ana atau Crystal. Jika memang dia menyukaimu sebagai Crystal, maka kau tidak perlu menjelaskannya kenapa kau menyamar dan bilang saja kau pindah keluar kota (Ana)", Aku mengangguk. "Baiklah. Aku ikuti saranmu", ujarku pasrah. Tak ada salahnya mencoba mengikuti saran Clarissa. Dan mungkin sarannya yang terbaik mengingat ia sangat mengenal Nick dan lainnya. Kami berdua berhenti mengobrol dan menikmati pertandingan. Awalnya aku biasa saja sampai aku melihat team executive ternyata sangatlah jago bermain. Mereka menerobos gawang lawan tanpa ada hambatan sedikitpun. Dan yang membuatku menjerit heboh adalah, saat Nick mendribel bola dan menggiringnya ke gawang lawan. Ia memasukan bola itu dengan gerakan melayang keudara membuat para penonton lainnya menyorakinya. Aku sendiri sampai tersenyum tanpa henti saat ia juga berlagak sombong kearah lawan. Menggemaskan. Team Executive memenangkan babak pertama. Dan kini mereka semua beristirahat sambil membasuh keringat masing-masing. Calvin berlari kearah kami. "Hei beib", sapa Calvin kepada Clarissa sambil mengerlingkan matanya. Aku berdecak kesal, "Mentang-mentang sudah resmi. Aku dilupakan", sindirku. Calvin tertawa dan ia mencubit pipiku. "Dasar jomblo", Aku melotinya dan memukul lengannya, "Awas aja. Sampai aku udah punya pacar. Jangan harap kau meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas", ancamku. "Kau kenapa suka mengancam ahkir-ahkir ini?", "Kau ternyata selama ini mengerjakan tugasnya?", tanya Calvin dan Clarissa berurutan kepadaku. "Mau gimana lagi. Aku juga tidak ada kerjaan. Lagian aku juga orang yang baik", jawabku membanggakan diri membuat Clarissa menggelengkan kepala. "Bantu aku mengerjakan tugas ya?", ujarnya memohon sambil menarik-narik tanganku. Aku menghempaskan tangannya, "Jangan pegang-pegang. Aku marah padamu. Minta Clarissa mengerjakan tugasmu", jawabku asal. Clarissa mengangkat tangannya seperti orang ditodong. "Enak saja. Aku tidak mau mengerjakan tugasnya", sahutnya. "Ayolah... Kau minta apa biar tidak cemberut lagi?", tanya Calvin kearahku. Aku berpura-pura membuang muka kearah lain. "Aku tahu", kata Calvin tiba-tiba membuat kami berdua menoleh kearahnya. Calvin membalikan tubuhnya dan berteriak, "Nick! Kemarilah!", panggilnya. Aku melebarkan mataku, "Calvin! Kenapa kau memanggilnya!", seruku panik. Aku menoleh kearah Clarissa yang menatapku,  'Tak apa', Semua jadi serba salah. Aku mengindarinya salah. Didekatinya juga salah. Aku melirik ragu-ragu kearah Nick yang masih berusaha di panggil oleh Calvin. Dalam hati aku berdoa jika Nick tidak mau kemari. Tapi, Tuhan sepertinya tidak memihakku hari ini. Dengan senyuman diwajahnya, Nick berlari kecil sambil mengusap keringatnya dengan handuk kecil membuatku semakin merasakan debaran di jantungku. "Ya?", tanyanya saat ia sudah berada dihadapanku. Clarissa menyenggol lenganku sambil bersiul. Apakah ada lubang? Aku ingin sekali membenamkan tubuhku kedalamnya. "Kata Ana. Permainanmu bagus", Reflek aku menendang kaki Calvin membuatnya mengaduh kesakitan. "Kau kenapa?", tanya Nick bingung kepada Calvin membuatku semakin salah tingkah. "Ah aku tak sengaja menendangnya", sahut Clarissa membantuku. "Ayo Calv. Aku bantu kau ke lapangan", tambahnya membuatku melototi Calvin dan Clarissa yang menjulurkan lidah kearahku. Sungguh teman yang baik sekali! Pikirku sinis. Nick menoleh kearahku membuatku buru-buru tersenyum. "Permainanmu bagus tadi", ujarku tiba-tiba. Aku akui memang permainannya bagus. Nick mengangguk dan membalas senyumanku, "Terima Kasih", Aku juga mengangguk sambil menggigit bibir bawahku. Kini suasananya sungguh awkward. Kami hanya saling menatap rumput dan memikirkan pikiran kami masing-masing. "Btw, aku senang kau disini mendukungku", ujar Nick tiba-tiba. Aku mengangkat kepalaku, "Hah?", Dia menggeleng dan terkekeh, "Maksudku teamku", "Oh itu. Ya, kau temanku. Pasti aku mendukungmu", "Hanya teman ya?", "Hah?", dengan bodohnya kata-kata itu kembali keluar dari bibirku. Nick tertawa, "Kau menggemaskan", ujarnya sambil mengacak-acak rambutku. Pipiku pasti sekarang sudah memerah. Aku bersuaha sekuat mungkin menahan senyuman diwajahku. Aku tidak boleh terlalu tersipu mengingat Nick pernah bersikap seperti ini (mengacak-acak rambut) kepadaku saat menjadi Crystal. Aku menyampirkan rambutku ke belakang telinga. "Nick! Pertandingan akan dimulai", teriak Dimitri dari jauh membuat Nick menoleh. "Ya! Tunggu sebentar!", teriaknya juga. Lalu ia menoleh kearahku yang baru saja menghela napas lega. "Babak kedua mau dimulai. Aku harap kau masih disini dan menyemangatiku sampai selesai", Aku hanya bisa mengangguk kaku seperti orang bodoh dan tersenyum. "Sampai nanti", pamitnya sambil menepuk pipiku beberapa kali. Dan ia berlari kembali kelapangan dan bersisipan dengan Clarissa. Sungguh aku tak bisa menahan senyuman diwajahku. Aku juga memegang pipiku yang baru saja disentuh oleh Nick. "Ehemm, yang satu berlari sambil tersenyum. Yang satu menyentuh pipinya sambil tersenyum", ujar Clarissa menyindirku sambil menyenggol bahuku dengan lengannya. "Kalian sama-sama lucu. Saling suka pada pandangan pertama tapi masih malu-malu untuk mengakuinya", "Clarissa!", seruku, "Jangan menggodaku!", Clarissa sontak tertawa keras hingga memegangu perutnya. "Sungguh aku sangat gemas dengan kalian. Ingin rasanya aku menguncimu dan Nick di base camp", Aku melototinya dan mencubit pahanya, "Jangan coba-coba!", "awhhh!!!", pekiknya. Tapi detik berikutnya ia menaik turunkan alisnya sambil menatapku. "Tapi harus dicoba, mungkin bisa jadi pemersatu kalian berdua", tambahnya sambil menahan tawa. Aku hanya meliriknya dan tak menghiraukannya lagi karena pertandingan babak kedua segera dimulai. Moodku yang tadinya buruk saat digoda oleh Clarissa menjadi semangat lagi saat team Executive mulai memainkan bola dengan baik. Aku dan Clarissa bahkan bangkit sambil menyoraki mereka sekeras mungkin. Kami Biarkan bila dilihat orang kami adalah orang gila. Tapi, setidaknya kami berdua harus menyaingi Kezia yang berada tak jauh dari bangku kami sambil menyoraki Calvin dan membawa banyak properti. Sungguh bermodal sekali, pikirku. "Awas saja! Aku masih mengampunyinya saat ini", gerutu Clarissa di sampingku. Aku menoleh kearahnya, "Biarkan saja. Toh, Calvin tidak menanggapinya", "Meski begitu aku ingin mencakar wajahnya yang penuh dengan dempul tebal", tambahnya membuatku tertawa. Memang benar apa kata Clarissa. Kezia terlalu banyak memakai makeup. "Btw, apakah team kita selalu menang?", tanyaku sambil fokus pada pertandingan. "Ya tentu! Tapi, tahun lalu saat team executive mendapat tugas dari dosen. Team kita kalah karena pemainnya tidak sehebat Nick dan lainnya", Aku tersenyum, "Jadi hari ini kita pasti menang?", Clarissa mengangguk, "Tentu. Lihatlah papan score", ujarnya sambil menunjuk papan score. "Permainan sudah berjalan 3 menit. Kurang dua menit lagi akan selesai", tambahnya membuatku menyipitkan mata pada paoan score yang ada di sebrang lapangan. Aku bahkan terkejut melihat hasil perolehan nilai team executive. Dari babak pertama tadi nilainya seri. Dan babak kedua ini, 8 - 1. "Clarissa, sebentar lagi kita menang", seruku senang. Dia tertawa, "Aku sudah bilang bukan. Kita pasti menang. Sekarang score 9-1. Dan kini, Nick membawa bola yang ke sepuluh menuju ring", teriaknya. Aku menoleh cepat kearah lapangan. Nick berlari kencang sambil mendribel bola melewati lawan yang menghalanginya. Tapi, dengan gerakan cepat dan gesit, Nick memutar tubuhnya dan berbalik arah membuatku menahan napasku beberapa detik. Sungguh jantungku ingin lepas rasanya saking semangatnya. Saat Nick hendak memasukan bola kedalam ring. Ia tampak bingung ketika beberapa lawan berkumpul menjaganya. Ia ingin mengoper bola tersebut. Tapi, anggota lainnya kini dihadapng musuh dan tidak ada cela sama sekali. Hingga aku melihat Calvin berhasil lolos. Aku dan Clarissa bisa secara bersamaan berteriak kearah Nick. "Oper pada Calvin!", "Ke Calvin!", Teriak kami berurutan. Nick menoleh kearah kami dan menoleh kearah Calvin. Kami (Aku dan Clarissa) pikir Nick akan mengoper bola itu pada Calvin. Ternyata, otaknya sangat pintar. Disaat semua musuh mendengar teriakan kami dan menoleh kearah Calvin. Nick dengan cepat menunduk melewati tangan musuh yang menghalanginya. Ia kembali mendribel bola dan melayangkan langkahnya. Dalam sekejap. Sorak sorai penonton terdengar membuatku dan Clarissa berteriak heboh. Clarissa bahkan memelukku sambil menggoyang-goyangkan pundakku. Begitupun sebaliknya. "Kita menang, Ana!", "Yeah, kita menang!", seruku berteriak. "Ayo kita turun", ajak clarissa dengan senyuman tak lepas diwajahnya. Ia menggandengku dan mengajakku turun dari bangku penonton.  Kami menerobos pagar pembatas setelah ijin pada penjaga pintu dan berlari kearah team Executive. Clarissa yang memang berlari mendahuluiku langsung menerjang dan memeluk Calvin. Aku sempat memekik karena melihat itu. Tapi, untungnya Calvin dengan sigap mengangkat tubuh mungil Clarissa. Aku hanya tertawa sambil menggelengkan kepala dan aku sangat senang. Sebenarnya aku ingin sekali memberi selamat pada Nick, Dimitri dan Raphael. Tapi, aku ingat bahwa mereka mengenalku hanya sebagai Crystal. Dengan langkah lebar aku memilih mendekat kearah Calvin dan Clarissa. "Selamat Calvin", seruku. Ia menurunkan Clarissa dan memelukku singkat, "Aku tahu aku jago. Jangan memujiku", katanya dengan kepedeannya. Aku terkekeh, "Penyakit kepedeanmu mulai muncul", "Hahaha biarkan saja", timpal Clarissa. "Ana! Tunggulah disini. Aku akan mengambil piagam bersama Clarissa", pamit Calvin. Aku mengangguk membuatnya segera berlari sambil menggandeng Clarissa menuju meja juri. Clarissa sangat beruntung, pikirku. Aku tadi sempat berpikir bahwa piagam itu akan diberikan Calvin dan dikalungkan padaku mengingat itu yang selalu dia dan Bryan lakukan jika memenangkan lomba. Tapi, semua keadaanya sudah berbeda. Saat aku berbalik hendak meninggalkan lapangan untuk kembali ke bangku penonton mengambil tas. Tiba-tiba bahuku ditepuk dari belakang. Dengan cepat aku membalikan tubuhku lagi. "Nick?", Dia berdiri dihadapanku dengan senyuman manisnya.  Tangannya terjulur kearahku membuatku bingung. Aku menatapnya dengan kening berkerut. Nick tidak menjawab, ia malah terkekeh pelan dan segerah meraih tanganku. Aku terkejut dengan perlakuannya yang tiba-tiba menggandengku. "Ikut aku mengambil piagam", Belum sempat aku protes. Nick mempererat genggamannya dan menarikku berlari menuju meja juri yang tadi dituju oleh Calvin. Ia melepaskan tanganku dan mengambil satu piagam di meja itu. Dan tiba-tiba, Nick tidak mengalungkan piagam itu pada dirinya. Ia mengalungkan piagam itu kepadaku. Sungguh jantungku kini berdetak semakin cepat saat ia menarik seluruh rambutku keluar agar tidak tersangkut tali kalung piagam itu. Dan ia tersenyum kearahku lagi, "Piagam ini aku berikan untukmu sebagai tanda pertemanan dan juga terima kasih karena membantuku tadi", Aku masih terdiam menatapnya. Otakku seperti berhenti berputar karena detakan jantungku berdetak cepat. Rasanya aku baru saja menggerutu karena Calvin tak memberiku piagam. Tapi, nyatanya ada orang lain yang memberikan piagam itu lebih berarti dari pada semua piagam yang pernah saudaraku berikan. "Sapphira? Kau mendengarku?", Lamunanku terbuyar saat Nick melambai-lambaikan tangannya kearahku. Aku langsung nenyengir. "Aku mendengarmu, sangat mendengarmu", jawabku. Nick tersenyum, "Simpan piagam itu baik-baik untukku ya? Untuk saat ini hanya itu yang bisa aku berikan milikku padamu", Boleh kah aku meledak sekarang? Ditambah pipiku yang mulai memanas ingin sekali aku kabur dari tempat ini. "Btw, apa kau hari ini pulang bersama Calvin?", tanyanya. Denhan cepat aku menjawab tanpa berpikir, "Tidak. Calvin harus mengatar Clarissa. Lagi pula ini hari sabtu. Mereka pasti mau pergi", Ia terkekeh, "Mau kuantar pulang?", tanyanya lagi. "Hah?", "Aku kebetulan mau ke rumah Calvin juga", Aku menggaruk tengkukku. Belum sempat aku menjawab. Nick merangkul bahuku dan menggeretku kearah tepi lapangan. Kemudian ia mengambil tas nya dan berpamitan dengan yang lain. "Nick! Tasku!", Nick tersenyum, "Apa kau tidak dengar perkataanku tadi? Aku sudah menyuruh anak-anak menitipkan tas mu pada Calvin", Ya! Aku tidak mendengarmu karena pikiranku saja terpaku padamu, Nick! Geruruku dalam hati. Aku hanya terdiam sampai Nick membawaku ke mobilnya. Mobil yang digunakannya untuk mengantarku malam itu sepulang dari cafe. Aku duduk didepan dan langsung memasang seatbelt sebelum kejadian  tersangkut dengan cepitan kembali terulang. Dan setelah semua siap. Nick menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Kami juga mulai mengobrol tentang hal-hal yang kecil. Mulai dengan dia bertanya padaku apa makanan kesukaanku, apa kebiasaanku jika dirumah, dan yang membuatku hampir tersedak adalah saat dia bertanya apakah aku punya pacar. Aku menoleh kearah Nick yang tersenyum dan masih fokus menyetir. Aku menatapnya. "Dari tingkahmu dan caramu menatapku. Kau belum punya pacar", katanya tiba-tiba. Apakah semua anggota executive memiliki keahlian membaca pikiran orang? "Berarti, jika aku mendekatimu. Kau tidak keberatankan?",
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD