Amira memasuki sebuah restoran tempatnya akan bertemu dengan Rendi dan Sinta, disana mereka sudah menunggu dengan seorang pengacara yang akan menangani kasus perceraiannya dengan Frans.
"Maaf, aku terlambat." Amira memasuki ruangan privat yang sudah di sewa Randi, dia langsung duduk dan tak menyadari seseorang yang ada di antara mereka menatapnya dengan terpaku.
"Gak papa kok, kita baru sepuluh menitan, ya kan mas?" Sinta tersenyum dan menepuk tangan Rendi yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Oh, iya ... " Rendi mendongak "Sori, ada email dari klien," ucapnya lalu segera mematikan ponselnya.
Amira meringis tak enak hati "Maaf ya, aku jadi ngerepotin kalian." pasalnya Rendi adalah seorang direktur di perusahaan besar pastilah pria itu sangat sibuk.
"Gak masalah, temen Sinta, temenku juga, sudah kewajiban aku membantu." Amira benar- benar merasa bersalah, tapi Amira akan sangat berterimakasih atas bantuan Rendi.
"Makasih banyak loh, Mas."
"Kayak sama siapa aja kamu nih Mir." Amira tertawa kecil.
"Tetep aja aku jadi gak enak hati, udah repotin pacar kamu Sin."
Rendi terkekeh "Oh, iya kenalkan ini pengacara yang akan menangani kasus kamu, Harras."
Amira masih tersenyum hingga tatapannya bertemu dengan seorang yang sejak tadi diam dan memperhatikannya, senyum Amira surut saat melihat siapa pria yang duduk tepat di sebelahnya.
Amira sejak datang hanya fokus pada Rendi dan Sinta karena merasa tak enak hati sudah merepotkan keduanya, dan tak terlalu menghiraukan yang lainnya, tapi saat ini Amira tertegun dengan wajah yang berubah datar.
Pria yang di panggil Harras itu bangkit dan mengulurkan tangannya.
"Harras."
Amira bergerak dan menjabat tangan sang pengacara "Amira."
Harras mengangguk, lalu menoleh pada Rendi "Sebenarnya kami tak perlu berkenalan lagi." Rendi dan Sinta mengerutkan keningnya "Iya kan Amira?"
Amira masih menatap dengan datar, lalu menghela nafasnya "Gak ada pengacara yang lain?" tanya nya pada Rendi.
"Kalian saling kenal?"
"Nggak ... "
"Iya ... "
Jawaban berbeda itu keluar berbarengan dari mulut Harras dan Amira.
"Ya, bagus dong kalau kalian saling kenal, jadi kalian bisa ngobrol lebih rileks tanpa rasa canggung." timpal Sinta.
Harras terkekeh melihat wajah Amira yang merengut "Aku terserah Amira." Harras kembali duduk "Aku bisa bekerja dengan profesional." pria itu melipat kedua tangannya di d**a, tapi tak mengalihkan tatapannya dari Amira.
Rendi melihat Amira dan Harras bergantian "Jadi?" tanyanya pada Amira.
"Biarkan dia berpikir dulu, kamu bisa hubungi aku langsung nanti." Harras menyimpan kartu namanya di depan Amira lalu bangkit.
"Aku pamit dulu." Sebenarnya dia ingin lebih lama di sana, dia juga belum puas menatap wajah kesal Amira tapi dia di tunggu klien nya di tempat lain.
"Aku juga, sayang mas harus balik ke kantor," ucap Rendi, pria itu mengecup dahi Sinta lalu berucap pada Amira. "Kamu bisa hubungi dia langsung, kalau kamu tidak cocok dengannya, aku carikan yang lain." Amira mengangguk.
"Makasih mas." Rendi sudah pergi menyisakan Sinta dan Amira, dan kini Sinta menatap Amira penuh curiga.
"Kamu kenal pak Harras?" usia mereka memang tak jauh, tapi demi kesopanan dan profesi Harras meskipun dia teman kekasihnya, Sinta harus tetap menghormatinya. Jadi Sinta memanggilnya 'Pak'.
Amira menghela nafasnya "Dia mantan kamu?" tanya Sinta lagi, dia sendiri tak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya seingatnya Amira memang memiliki mantan sebelum menjalin hubungan dengan Frans, mungkinkah pria itu adalah Harras?
Amira menggeleng "Dia musuh ku di SMA dulu."
Sinta nampak terkejut lalu dia berpikir sampai sebuah nama muncul di benaknya "Si Leoni?" Amira mengangguk.
Amira dan Sinta bersahabat sejak mereka duduk di bangku kuliah, dan sejak itu pula Amira sering bercerita tentang musuhnya di SMA yang sering kali menjahilinya terkadang pria itu juga membulinya dan saking bencinya Amira memanggilnya Leoni.
Harras Leonard Fatur, dan saking bencinya Amira memanggilnya Leoni, karena dia yang seorang pria berani menjahilinya yang seorang perempuan, bukankah dia seperti perempuan. Jadi saat orang lain memanggilnya Harras, menurut Amira panggilan Leoni lebih cocok untuknya.
Sinta tertawa "Tapi, mas Rendi bilang dia pengacara yang handal, dan semua kasus yang di tanganinya selalu menang."
Amira mengedikkan bahu "Mungkinkah dia benar- benar bisa profesional?"
"Kenapa tidak di coba?"
"Bagaimana jika dia membullyku lagi," keluh Amira.
Tawa Sinta kembali pecah, "Kalian bukan anak SMA lagi, kan?" Sinta benar, lagi pula untuk apa di usia mereka yang hampir kepala tiga masih saling meledek dan menjahili. Amira harap Harras benar- benar profesional, sebab Amira sudah mulai jengah dengan pernikahannya dengan Frans, yang Amira rasa, hanya rasa sesak saat mengingat pengkhianatan pria itu.
Semalam setelah Frans pergi mengantar Kinan pulang, pria itu kembali dan dengan tak tahu malunya dia tidur di sebelahnya lalu memeluknya seperti kebiasaannya.
Jika dulu Amira akan senang dan menikmati pelukan hangat suaminya, tapi setelah pengkhianatan itu Amira merasa hatinya membeku.
Amira muak, dengan kelakuan Frans yang berlaku seolah dia tak melakukan kesalahan sama sekali. Apa Frans merasa apa yang dia lakukan benar, dan dia tak memikirkan perasaannya, jadi dengan hati yang telah hancur Amira memutuskan untuk benar- benar melepaskan.
Sinta menggenggam tangan Amira "Sudah jangan melamun terus, pikirkan sesuatu yang baik." Sinta tahu betapa terlukanya Amira, bagaimana dia mencintai Frans dan Sinta bisa lihat binar mata Amira yang penuh cinta saat dia bercerita tentang Frans, tapi ternyata pria itu justru menduakannya.
"Mau jalan- jalan?" tanya Amira.
"Kamu yakin?"
"Aku gak mau pulang rasanya," keluh Amira, setiap pulang dia seperti melihat Frans yang telah membodohinya selama ini dan dia yang menjadi istri yang tak tahu apapun merasa sangat bodoh.
Sinta tersenyum "Oke." keduanya bangkit dan meninggalkan restoran.
Amira dan Sinta pergi ke sebuah mall terbesar dan berkeliling, Sinta benar- benar menemani Amira dan terus berusaha menghibur Amira mulai dari menonton, makan siang lalu membeli beberapa camilan, hingga mereka melewati sebuah toko pakaian.
"Mau belanja?" Amira menimbang lalu mengangguk.
Keduanya masuk dan melihat- lihat, Amira meraih beberapa pakaian yang dia sukai, selama ini Amira bukan termasuk orang yang boros dan membeli apapun yang dia mau, Amira selalu berpikir untuk apa membeli sesuatu yang tak penting, sedangkan kebutuhannya sudah Frans penuhi, pria itu bahkan selalu memilihkan pakaian untuknya, dress dan gaun- gaun yang berkelas dan cantik di tubuhnya, lengkap beserta perhiasan.
Tapi entah kenapa Amira merasa jengah, kali ini Amira tak ingin lagi mengenakan gaun selutut yang banyak mengisi lemarinya, dress dress yang selalu Frans berikan memang sangat cantik dan akan menonjolkan keanggunannya sebagai istri pengusaha kaya, tapi melihat dirinya, Amira jadi teringat dengan penampilan Kinan, ya jika diingat penampilannya dan Kinan sama, dan mungkin ini adalah keadilan yang Frans katakan, pria itu mungkin membelikannya pakaian yang sama untuknya seperti madunya agar dia bisa di sebut adil.
Mengingat itu, Amira menggenggam pakaian yang baru dia pilih, semakin tidak sudi Amira mengenakan pakaian yang sama dengan Kinan.
"Yakin beli itu?" tanya Sinta melihat kaos tangan pendek beserta celana jeans. Itu terlalu casual untuk Amira yang selalu tampil anggun.
Amira terkekeh "Biar kayak remaja."
Amira membawa pakaian itu ke ruang ganti lalu mencobanya.
Sinta terpaku saat melihat Amira keluar dari kamar pas "Beneran loh kayak remaja lagi." Amira terkekeh.
Wajah Amira memang terawat dan masih cantik bahkan Amira yang memiliki wajah baby face tidak nampak berusia 28 tahun.
Sinta bangkit dan memilih beberapa pakaian, "Ini, ini, ini juga." Sinta menyerahkan semua pakaian yang di pilihnya pada Amira.
Beberapa saat disana Amira dan Sinta keluar dengan beberapa paper bag di tangannya, keduanya terus berjalan hingga tiba di sebuah salon.
Sinta mengedikkan kepalanya dan Amira mengangguk.