"Kita hanya perlu hidup berdampingan, aku berjanji akan berlaku adil pada kalian, dan Kinan juga mengerti selama ini."
Amira benar- benar tak percaya dengan apa yang di dengarnya kini, Frans ingin dia hidup berdampingan dengan wanita itu, bahkan jika Frans meninggalkan wanita itu belum tentu kondisi pernikahan mereka akan sama seperti sebelumnya, sebab kepercayaannya terhadap Frans yang sudah hancur, tapi Frans dengan gilanya justru mengatakan jika mereka bisa hidup berdampingan.
Frans tidak waras.
Amira tidak mau, dia tidak sudi.
"Aku sangat mencintai kamu Amira." Amira memalingkan wajahnya.
"Aku akan lakukan apapun agar kamu terus bersamaku."
"Cuma satu permintaanku, tinggalkan wanita itu!"
Frans menggeleng "Kecuali yang itu."
"Gila kamu mas!" Amira mendorong Frans dan pergi dari sana. Frans ingin bersamanya, tapi tidak mau meninggalkan wanita itu.
****
Amira baru saja menginjakkan kakinya di rumah besar mertuanya, mertua yang sudah seperti orang tuanya sendiri. Perlakuan mereka yang baik membuat Amira tak segan mengadukan keluh kesahnya, mereka juga sudah seperti tumpuan hidup Amira yang sudah tak memiliki orang tua.
"Makanlah yang banyak." terdengar samar- samar ibu mertuanya Rina bicara, dari arah ruang makan, hingga Amira bergegas menuju kesana.
"Makasih ma." Amira mengerutkan keningnya saat mendengar suara lain menimpali.
"Kamu harus banyak makan, apalagi sekarang saat kamu sedang hamil."
Degh ...
Jantung Amira berdebar sangat kencang setelah beberapa detik terasa terhenti.
Amira melanjutkan langkahnya hingga kini benar- benar melihat ada empat orang duduk di meja makan. Tubuh Amira terpaku dengan hati yang begitu sakit di depan sana kedua mertuanya sedang tampak bahagia, di depan mereka ada suaminya Frans dan madunya, Kinan.
"Ya, Ma ... Makasih." senyum malu- malu terpatri di bibir Kinan.
"Jangan pikirkan apapun, fokuslah pada kehamilan mu, mama sudah tidak sabar ingin segera menimang cucu." kata si ibu mertua.
"Mama pikir hanya mama yang tidak sabar, papa juga loh." ayah mertuanya menimpali.
Terdengar suara tawa Frans dan Kinan yang renyah, menandakan mereka begitu bahagia.
"Iya, mama seneng banget loh pa, itu berarti keputusan kita menikahkan Kinan dan Frans adalah kebaikan."
Jantung Amira terasa semakin tertusuk sekarang, dan rupanya bukan hanya Frans yang mengkhianatinya tapi Mertuanya juga, mereka tahu tentang pernikahan kedua Frans, sedangkan dirinya hanya menjadi orang bodoh saja.
Amira menutup mulutnya dan membalik dirinya untuk bersandar di balik dinding. Mereka anggap apa Amira sebenarnya?
"Ma." Teguran itu terdengar lembut tapi jelas ayah mertuanya Lukman sedang memprotes sang istri.
"Apa? memang iya kan ... Kita sudah menginginkan cucu sejak Frans menikah dengan Amira, tapi dia tidak juga mengandung, dan firasat mama mungkin benar, dia itu mandul." Amira menelan ludahnya saat mendengar ucapan mertuanya yang begitu menyakitinya.
"Ma!" kali ini suara Frans "Kami mungkin belum di beri kepercayaan, tapi bukan berarti Amira mandul."
Amira mendengus dalam hati, 'Percuma kamu membela ku mas, nyatanya kamu sudah meruntuhkan kepercayaan kamu sendiri terhadapku.'
"Ini sudah empat tahun, beruntung ada Kinan, kalau tidak mungkin mama gak akan bisa punya cucu." Amira tertawa getir, ternyata selama ini ibu mertuanya hanya memakai topeng di depannya, mereka memperlakukan Amira dengan baik, seolah mereka menerima Amira apa adanya, tapi rupanya mereka menusuknya dari belakang, tapi terang saja mereka tenang, sebab mereka memiliki menantu lain.
Tak ingin mendengar hal yang lebih menyakitkan Amira pergi dari sana, niat awalnya datang ingin mengadukan kelakuan anak mereka yang b***t, dan mengkhianati pernikahan mereka, tapi ternyata apa yang di lakukan Amira dengan datang kesana adalah kesalahan. Tapi Amira tidak menyesal karena telah datang sebab dengan begitu dia jadi tahu bahwa mereka yang baik di depannya belum tentu baik di belakang, dan itu di lakukan mertuanya sendiri.
Amira merasa selama ini dia telah di bodohi, Amira tidak menangis, hingga saat dia mulai melajukan mobilnya, barulah bulir bening itu menetes.
Amira menepikan mobilnya saat di rasa pandangannya mengabur karena air mata, dan membuat jarak pandangnya terganggu, tentu saja Amira tak ingin sesuatu terjadi padanya, jadi dari pada dia mati konyol dalam kecelakaan lebih baik Amira berhenti dan melampiaskan kesakitannya lewat tangis beberapa saat.
Amira mendongak saat dirasa dia sudah puas menangis, pandangannya menguat dan menajam seolah ada kekuatan disana, Ya ... Amira tidak ingin di cap sebagai wanita bodoh lagi, dia akan melakukan gugatan perceraian pada Frans tak peduli Frans menceraikannya atau tidak tapi Amira tidak ingin dia terus terikat dalam ikatan gila ini.
Amira menekan ponselnya hingga menemukan nomer ponsel sahabatnya Sinta.
"Yes, Mir?" terdengar suara Sinta menyapa.
"Sinta, aku mau tanya ... Mas Rendi punya kenalan pengacara nggak?" tanya Amira.
"Ya- ya, tunggu kamu sudah putuskan mau apa Mir?" tanya Sinta sedikit terkejut, pasalnya kemarin Amira masih mengatakan akan memikirkannya.
"Ya, aku ingin bercerai dari Mas Frans." Amira berkata dengan tegas, sehingga Sinta tahu tak ada keraguan dari nada suaranya.
"Good, itu lebih baik, kamu bisa memulai hidup baru, lupakan pria b******k itu, buang dia jauh- jauh."
Amira terkekeh "Kamu mungkin akan semakin membenci dia saat tahu kenyataannya," lirih Amira lagi.
"Apa? Apa yang harus aku tahu?"
"Ternyata bukan hanya mas Frans yang mengkhianatiku, tapi mertuaku juga."
"Maksud kamu mereka tahu kelakuan Frans?!" Sinta memekik terkejut.
"Hm, dan aku baru tahu hari ini. Kamu tahu Sinta, aku rasa selama ini di belakangku mereka menertawakan aku." Amira terkekeh.
"b******k! Itu berarti keputusan kamu untuk benar- benar bercerai adalah keputusan yang tepat, kamu tenang saja aku akan minta Mas Rendi carikan pengacara yang nggak terkalahkan!"
Amira tersenyum "Makasih Sin." Amira pun mengakhiri panggilannya dan kembali melajukan mobilnya.
Amira baru saja tiba di rumah saat mendengar pintu kembali terbuka, dan Amira di buat tercengang saat melihat Frans datang dengan Kinan di belakangnya.
"Apa yang kamu lakukan Mas?!" tanya Amira geram, "Untuk apa Mas membawa pelakor ini datang!"
"Sayang, tolong jangan bicara begitu, mas ingin kita bicara, dan kamu bisa bicara dengan Kinan juga." Frans menggiring agar Amira duduk di sofa, lalu menarik istri keduanya agar duduk dihadapan Amira, dan dirinya sendiri duduk di sofa tunggal tepat di tengah- tengah.
Sebenarnya Frans cukup canggung dengan posisi ini, tapi dia harus melakukannya demi bisa mendamaikan kedua istrinya, dan mereka bisa hidup berdampingan, Frans sudah memikirkan ini bahkan Kinan mendukungnya, Frans awalnya akan menjelaskan pelan- pelan agar Amira mengerti tapi siapa sangka istrinya tahu lebih awal hingga Frans harus segera membuat Amira mengerti, dan Frans yang tahu jika Amira memiliki sikap keras kepala jadi Frans akan sedikit kesulitan, tapi tadi setelah dari rumah orang tuanya, Kinan menyarankan agar dirinya bicara dengan Amira, dan berharap Amira bisa membuka hatinya untuk menerima pernikahan keduanya.
Kinan tersenyum sangat cantik "Hai mbak," sapanya, sedangkan Amira tak menjawab.
"Aku datang untuk bersilaturahmi, karena mbak sudah tahu tentang pernikahan kami, jadi aku datang untuk menyapa Mbak." Kinan berkata sangat lembut, dan anggun. Tapi kenapa Amira merasa dia seperti tak memiliki rasa malu. Menjijikan.
Amira mendengus "Apa kamu adalah definisi wanita yang tidak tahu malu, kamu datang kemari berharap bisa berhubungan baik denganku, kamu bermimpi?"
"Aku tahu aku salah, tapi mbak aku gak bermaksud merebut mas Frans dari Mbak, aku hanya mengikuti kata hatiku, aku mencintai mas Frans dan aku rela menjadi yang kedua asalkan bisa bersama mas Frans, aku bahkan tak pernah menuntut meski mas Frans lebih banyak menghabiskan waktu dengan Mbak"
Amira tertawa mencibir "Jadi, asalkan kamu bisa bersama pria yang kamu cintai, tak masalah kamu menyakiti wanita lain? Dan apakah itu juga suatu kebanggaan untukku, karena suami kamu lebih banyak bersamaku, atau haruskah aku meminta maaf untuk itu?"
Kinan menunduk "Maaf kalau yang aku yakini menyakiti Mbak, tapi aku sungguh- sungguh mencintai mas Frans, dan aku mohon mbak bisa menerima pernikahan kami."
"Aku tidak akan pernah menerima pernikahan kalian, dan silahkan kamu terus memegang teguh keyakinan kamu, miliki Mas Frans," sanggah Amira, setelah itu Amira bangkit "Dan aku akan mundur."
Amira akan pergi, dia muak berhadapan dengan kedua pengkhianat itu, tapi belum Amira pergi, Frans menahan tangannya.
"Amira tolonglah, Kinan sudah datang dan tidak bisakah kamu menerima ini, ini sudah terjadi kamu hanya perlu menerima ini dan kita kembali hidup dengan tenang."
Amira menyentak tangan Frans, "Aku benar- benar baru tahu kalau kamu benar- benar b******k mas, apa kalian tidak merasa bersalah sama sekali karena sudah menyakitiku! Kalian bahkan tidak menyesal dengan membenarkan apa yang kalian yakini? Dan beraninya kamu membawanya datang, kamu seperti sedang menabur garam di lukaku!"
"Apa yang salah Amira, laki- laki di perbolehkan memiliki lebih dari satu istri, dan aku berjanji akan berlaku adil."
Amira menggeleng "Hanya jika istri pertama meridhoi, tapi maaf mas ... Aku ..." Amira menunjuk dirinya " ... Bukan wanita yang memiliki hati yang seluas itu."