Harus Menerima

1574 Words
Tiba di rumah mertuanya Amira menemukan memang sudah ramai, keluarga Frans memang keluarga besar dan sudah tentu jika ada acara seperti ini selalu ramai. Amira menepis tangan Frans saat pria itu menggandengnya, namun dengan cepat Frans kembali menggenggamnya, "Jangan membantah sayang!" peringatnya Amira mendengus, dan tak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang Frans mau. Mereka masuk bergandengan tangan dan langsung berbaur, mulai dari menyalami semua anggota keluarga Frans, "Apa kabar tante?" "Eh, Amira, tante baik? Kamu sendiri gimana, hai Frans." tante Frans ini menyapa Frans juga yang ada di sebelah Amira. "Baik, tante." "Kalian ini sudah empat tahun menikah kok belum punya keturunan juga sih, apa gak bosen kemana- mana berdua?" harusnya itu biasa saja untuk Amira, tapi melihat raut wajah tante Frans yang mencebikkan bibirnya saat bicara membuat Amira tahu wanita itu sedang mengejeknya. "Tante tenang aja benatar lagi bakalan ada kabar tante dapat keponakan baru." Amira menatap Frans dengan senyum seringai di wajahnya. Amira tersenyum ke arah tante Frans lalu berujar "Saya sapa yang lain dulu ya, tante." Amira sakit hati, tentu saja. Tapi kini dia bersyukur kenapa Tuhan belum memberikannya keturunan. sebab dia mungkin jadi berat saat mengambil keputusan jika ada anak di antara mereka, meski nyatanya saat ini Amira tetap tak bisa menggugat cerai Frans karena ancaman pria itu pada adiknya. "Kamu gak usah dengerin tante Clara, dia memang begitu kan," ucap Frans menenangkan. "Mungkin dulu aku sakit hati mas ..." Amira menatap Frans " ... Tapi sekarang aku bersyukur kenapa Tuhan belum memberiku kepercayaan, karena jika itu terjadi maka aku gak yakin bisa menghadapi ayah dari anakku mendua." "Amira ..." Frans ingin memprotes ucapan Amira, bagaimanapun tentu saja Frans tetap ingin ia dan Amira memiliki keturunan. Tapi sebelum itu terucap seseorang menghampiri ... "Eh, hai Amira apa kabar?" tanya salah satu sepupu Frans, Rido menghampiri. "Aku baik, Bagaimana kamu dan Anisa?" "Baik, anak dan istriku juga datang." Rido menunjuk anak dan istrinya yang sedang mengobrol dengan seseorang yang memunggunginya. "Lo baik Kak?" Rido juga menyapa Frans. "Hm," Frans menyambut uluran tangan Rido. Amira tersenyum "Ya, sudah aku ke Anisa dulu." Amira melepaskan tangan Frans, dia juga tak ingin terus bergandengan tangan dengan Frans, jadi dia gunakan kesempatan itu untuk lepas dari Frans, tapi Amira salah saat ia menoleh Frans justru mengikutinya. Amira menghela nafasnya lalu menghampiri Anisa istri Rido, hingga Amira melihat wanita yang sedang mengobrol dengan Anisa pun berbalik, Amira tertegun ... kenapa dia ada disana, bukankah semua orang adalah anggota keluarga Frans, kecuali semua menantu dan Amira sudah mengenal semuanya. Melihat Amira yang berhenti Frans pun menoleh, "Apa?" tanyanya heran. "Kenapa bersi keras bawa aku datang, kalau istri kamu yang lain juga datang." Amira menatap tajam Frans. Tidak kah Frans merasa dia keterlaluan, belum cukupkah rasa sakit hatinya. Frans mengalihkan tatapannya dan melihat Kinan juga ada disana tepat di depan Anisa. Frans tak tahu Kinan akan datang, apa mamanya yang mengajaknya, dan bagaimana jika Amira tahu tentang Kinan,apa rencana mamanya sebenarnya. "Aku gak tahu Kinan datang," ucapnya tanpa kebohongan, tapi Amira hanya mendengus. "Mbak sudah datang." lagi, senyum lembut itu yang menyapa Amira, hingga Amira merasa ingin muntah, setiap kali melihatnya, entah kenapa Amira justru merasa muak seperti senyum itu penuh kepura- puraan. "Kamu ada disini? Ah, tentu saja kamu juga bagian dari keluarga sekarang," ucapnya tajam. "Oh, kalian sudah saling kenal, oh sorry maksudku kamu sudah tahu tentang Kinan?" Anisa menyela. Amira mengerutkan keningnya lalu melihat ke arah Frans yang memijat keningnya. "Jadi mereka sudah tahu tentang hubungan kalian mas?" Anisa tertawa "Ya, iya ... Kan Kinan ini sepupu kak Frans, jadi tante Rina dan mama Kinan tuh saudara tiri beda ibu, dan karena Kinan tinggal di luar negeri jadi dia baru bisa kumpul sekarang ...." Anisa nampak berpikir "Eh, enggak deh kayaknya, dua tahun lalu pernah datang kan Kin?" tanya Anisa memastikan pada Kinan yang tersenyum canggung. Frans memejamkan matanya, sedangkan Kinan menundukkan kepalanya. Amira melihat Frans dan Kinan bergantian lalu mendengus "Astaga.." dia tak menyangka dengan apa yang ada di hadapannya sekarang, dan dua tahun lalu, apakah itu berarti saat mereka pertama kali bertemu lalu memutuskan untuk menikah. Frans menikah dengan sepupunya sendiri, meski sepupu beda ibu, tapi tetap saja mereka sepupu satu Ayah, dan kini Amira penasaran apakah keluarga Frans tahu tentang ini, meski sebagian faham memperbolehkan menikahi sepupu, tapi apakah Frans tidak bisa menemukan wanita lain, selain saudaranya sendiri. "Jadi, Kinan selama dua tahun ini kamu kemana, kok aku gak pernah lihat di acara keluarga?" Frans meneguk ludahnya kasar, saat Amira bertanya seperti itu. Kinan tersenyum tenang, sepertinya dia sudah mempersiapkan semuanya sejak awal jadi tak ada ketegangan sama sekali di wajahnya. "Aku tinggal di sini juga, cuma lagi sibuk aja, jadi gak bisa datang." Amira mengangguk. "Eh, Amira sudah datang sayang." Amira menoleh dan melihat ibu mertuanya tersenyum, ya senyum itu senyum yang nampak tulus, dan apakah Amira selama ini benar- benar tertipu. "Hai, mama baik?" Amira mencoba tersenyum di balik rasa sakit yang menusuknya, betapa dia terlalu percaya diri, mengira jika ibu mertuanya ini menyukainya, tapi kini Amira tahu mertuanya tidaklah tulus. "Baik, kamu udah menyapa Kinan?" Rina tersenyum dan melambaikan tangannya pada Kinan, "Sini Nak, ini Kinan ... Putrinya tante Sofia yang tinggal di Jerman, waktu itu mama sudah cerita kan?" Amira mengangguk. Amira menatap sekilas pada Frans, apa Frans belum mengatakan pada mamanya kalau dia sudah tahu tentang pernikahan mereka, atau mama Frans sengaja menyembunyikan ini dari keluarga besarnya. Tapi kenapa? Amira melihat Kinan yang masih menunduk, apa sebegitu cintanya Kinan pada Frans hingga rela selamanya jadi simpanan? dan menutupi statusnya sebagai istri Frans. Acara keluarga berjalan lancar, hanya acara sederhana, seperti biasanya. Seharusnya ini giliran anggota keluarga yang lain, tapi Mama mertuanya mengatakan dia ingin membagi kebahagiaan, jadi anggota yang lain mengalah, entah kebahagiaan apa yang di maksud, mungkin tentang kehamilan Kinan, tentu saja mereka akan segera memiliki cucu bukan? Amira menegakkan punggungnya lalu menatap ibu mertuanya "Mama gak perlu berpura- pura lagi sekarang, aku udah tahu tentang Frans dan Kinan. Lagi pula semua orang sudah pergi." Rina mengeryit lalu melihat Frans. Frans mengangguk menandakan jika Amira memang sudah tahu. Rina menghela nafasnya "Jika begitu mama harap kamu mengerti, kenapa Kinan dan Frans menikah, mereka saling mencintai dan karena Kinan juga sedang hamil, mama harap kamu bantu untuk menjaganya." Amira terkekeh "Sepertinya mama salah paham, aku memang udah tahu kalau Mas Frans dan Kinan menikah di belakang ku tapi aku gak berpikir untuk menerima ini, dan lagi aku gak habis pikir justru mama tahu tentang ini, sedangkan aku yang harusnya tahu lebih dulu bahkan sebelum mas Frans menikah lagi, malah gak tahu apapun." "Tentu saja mama harus tahu, apalagi Kinan keponakan mama sendiri, dan menurut mama gak masalah kok lagi pula Frans akan bersikap adil, iya kan Frans?" Frans mengangguk pasti. Amira terkekeh pedih "Jadi mama anggap aku apa selama ini? Apa mama tahu dasar berpoligami adalah adanya restu dari istri pertama, tapi bagaimana bisa kalian mendukung mas Frans sedangkan aku sendiri gak tahu. Apa aku sebodoh itu dimata kalian, apakah aku ini tidak pernah di anggap ada. Dan andai aku gak tahu sendiri tentang ini, apa selamanya kalian akan diam?" "Sayang, sudah jangan bicara begitu sama mama." Frans menggenggam tangan Amira. Amira menepisnya, Amira berusaha kuat, dan tidak menangis tapi tetap saja air matanya menetes "Apakah mama benar- benar tidak pernah tulus padaku?" Rina memalingkan wajahnya. "Harusnya kamu bersyukur karena berkat Kinan kamu juga bisa menimang bayi, Kinan juga tak keberatan kamu menjadi ibu lainnya." Ibu lainnya? Amira tak percaya dengan apa yang di katakan ibu mertuanya, bagaimana bisa seorang ibu berkata seperti itu? "Mama benar mbak, kita bisa besarkan anakku sama- sama," ucap Kinan dengan sorot mata yakin, wanita itu menggenggam tangan Kinan. Amira menatap Kinan dengan tatapan tak percaya, Ibu mana yang rela membagi anaknya dengan madunya? Tapi hati Amira sakit bukan karena itu, melainkan Amira di anggap tak bisa memiliki keturunan selamanya hingga dia harus menerima mengasuh anak madunya. "Kamu lebih baik menerima ini dengan tenang Amira." Lebih baik Amira mendapat perlakuan buruk sekalian dari pada harus di perlakukan seperti ini, dia seperti wanita yang tak berguna, dan harus menerima nasibnya, pasrah di duakan dan menerimanya. "Aku punya solusi yang lebih bagus ma," ucap Amira dengan wajah menunduk, Amira menghapus air matanya lalu mendongak "Mama bisa minta Frans menceraikan aku, dan mama bisa menikahkan Kinan dengan resmi dan menantu mama satu- satunya." "Amira!" Teriak Frans "Kita sudah bahas ini, kamu!" "Mama seorang wanita kan? Bagaimana perasaan mama kalau suami mama mendua dan di paksa menerimanya?" tak peduli ucapan Frans Amira masih bicara pada mertuanya. "Bagaimana kalau aku yang meminta Frans menikahi Kinan." ucapan mertuanya meruntuhkan hati Amira. "Aku meminta Frans menikahi Kinan, dan tentu saja alasannya karena mereka juga saling mencintai." Amira memundurkan kakinya. "Sayang." Frans berusaha menahan Amira yang hampir terjatuh, tapi lagi Amira menepisnya. "Jadi, tetaplah jadi istri Frans, mama gak masalah selama Frans bersikap adil." "Aku yang gak mau ma!" "Lalu apa? Kamu mau biarkan suami kamu terus bersama kamu padahal dia begitu ingin keturunan sedangkan kamu gak bisa memberikannya ..." Amira menggeleng "Aku gak mandul ma, kenapa mama bicara seolah- olah aku ini gak bisa mengandung selamanya?" "Apalagi, sudah empat tahun, tapi kalian gak punya anak juga. Tapi sama Kinan, kamu lihat dia sudah mengandung, itu artinya kamu mandul!" Hati Amira semakin tersayat, bagi seorang wanita perkataan itu pastilah begitu menyakitkan. "Ma, udah dong." Frans tak bisa melihat Amira terus menangis. "Kalau begitu, biarkan aku pergi ... aku mandul kan? Itu artinya aku gak ada gunanya lagi disini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD