Amira tak habis pikir dengan apa yang dikatakan mertuanya bahwa dia harus bersyukur dan menerima pernikahan kedua suaminya.
Apa dia bukan seorang wanita, bagaimana perasaannya jika dia yang mengalami apa yang Amira rasakan. Bagaimana jika suaminya mendua dan sudah dua tahun lamanya suaminya membohonginya.
Mengatakan dia mencintainya kenyataannya justru suaminya juga mencintai wanita lainnya.
Amira memejamkan matanya lelah saat mendengar ketukan pintu terdengar suara Frans memanggilnya dari luar, pria itu sepertinya tak terima jika dia tidur di kamar tamu rumah mereka.
Sudah Amira putuskan Amira akan menuruti Frans untuk tidak bercerai, tapi Amira tidak ingin lagi berperan sebagai seorang istri, selama ini Frans melakukan apa yang dia inginkan, dan kali ini Amira juga akan melakukan apa yang dia inginkan.
"Amira, jangan kekanakan ... Dan membuat kamu durhaka pada suami kamu sendiri!" Amira tertawa miris, lihatlah jika istri yang melakukan kesalahan maka mereka bilang istri durhaka, tapi bagaimana dengan kesalahan yang di buat seorang suami pada istrinya. Apakah kami para istri harus tetap diam, dan menerima meski kenyataannya hati kita telah di hancurkan berkeping- keping.
Amira menutup telinganya berusaha tidak peduli, lalu beberapa menit kemudian Frans tak lagi berteriak.
****
Di pagi hari Amira bangun dan duduk di meja makan untuk sarapan seorang diri, tidak ada Frans muncul disana, hingga akhirnya Amira tahu dari pelayan jika Frans pergi setelah menendang pintu kamar dengan keras.
Dan Amira tahu kemana Frans pergi tentu saja ke rumah madunya.
Amira menghela nafasnya hatinya sungguh terasa sakit, tapi dia juga tak bisa terus berlarut, sedangkan kondisi ini harus ia tahan entah sampai kapan, mengingat Frans tidak mau melepaskannya, jadi Amira memejamkan matanya sesaat lalu berkata "Saya yakin kalian bingung dengan kegaduhan yang terjadi akhir- akhir ini, tapi saya harap semua yang terjadi di rumah ini tetap ada di rumah ini, cukup kalian yang tahu jika rumah tangga kami tidak baik- baik saja." percuma jika Amira menyembunyikannya kenyataan jika para pelayan justru melihat mereka bertengkar setiap hari, tapi Amira harap cukup hanya mereka yang tahu.
"Iya, bu." tiga pelayan itu mengangguk, meski Amira tak tahu mereka bisa menjaga rahasia atau tidak, setidaknya Amira sudah memperingatkan.
"Maaf juga ya Mbak Ratmi, mulai sekarang mungkin saya gak akan lagi memasak, jadi saya mengandalkan Mbak Ratmi sepenuhnya."
"Gak papa bu, tapi mungkin buatan saya gak seperti selera bapak." Amira menunduk, selama ini memang dia yang akan memasak untuk sang suami, dan karena Frans selalu memuji masakannya enak, Amira menjadi terbiasa berada di dapur, terlebih Amira memang suka memasak.
"Gak masalah, bukan berarti masakan mbak Ratmi gak enak kok, lambat laun Mas Frans juga akan terbiasa." setelah itu Amira bangkit, namun sebelum pergi Amira mengatakan sesuatu yang membuat para pelayan tercengang. "Kalian jangan terkejut kalau istri mas Frans datang nanti, perlakukan juga dia dengan baik."
Usai mengatakan itu Amira benar- benar pergi meninggalkan meja makan berisikan makanan yang baru sedikit dia sentuh.
"Kasian ya Bu Amira," ucap pelayan bernama Surti.
"Iya, kurang baik apa coba bu Amira, bisa- bisanya bapak mendua ..." Minah menimpali.
"Hust, sudah ibu bilang jangan ada yang bicara tentang masalah mereka kan, kita cuma kerja disini, jadi jangan ikut campur, apalagi sampai masalah ini keluar dari dalam rumah."
"Iya, mbak Ratmi," Ucap kedua pelayan yang usianya jauh di bawah Ratmi, Ratmi sendiri adalah wanita berusia 40 han, dan sudah bekerja sejak Bu Amira menikah dengan pak Frans. Dan tentu saja Ratmi tahu bagaimana keromantisan keduanya sejak mereka menikah dan tak pernah berubah, hingga akhir- akhir ini keduanya mulai sering cekcok dan dari yang dia dengar jika pak Frans mengkhianati Bu Amira.
Ratmi merasa kasihan apalagi dia ada disana saat pak Frans mengancam Bu Amira dengan adiknya yang berada di luar negeri untuk menjalani pengobatan. Tapi, dia tak kuasa apapun, dia disana hanya untuk bekerja.
"Ayo kembali bekerja!" Ketiga pelayan itu membubarkan diri, untuk kembali bekerja.
Amira melihat- lihat barang miliknya yang sudah di pindahkan pelayan ke kamar tamu yang saat ini di tempatinya, hingga tatapannya jatuh pada tumpukan kardus berisi buku- buku dan n****+ miliknya lalu di antaranya ada sebuah map berisi ijazah terakhirnya. Amira mengambil map tersebut dan membuka lembaran demi lembaran di dalamnya, haruskan dia menggunakan ini?
Benar sudah seharusnya dia menggunakan ini, ilmu yang dia peroleh tidaklah murah dan dia juga menghabiskan banyak waktu di bangku universitas, sayang sekali jika dia tak menggunakannya, ya ... Amira akan mulai mencari pekerjaan agar tidak bergantung pada Frans, sebab bukan tidak mungkin pria itu akan mengungkit semua yang telah dia berikan, bahkan itu hanya untuk mas kawin yang harusnya menjadi milik Amira sepenuhnya.
Hati Amira teriris mengingat itu, tapi mau menyesal juga percuma sebab nasi sudah menjadi bubur. Amira juga tidak mau menyesali pernikahannya dengan Frans, karena bagaimanapun banyak kenangan manis yang tercipta diantara mereka, hingga akhirnya kebenaran itu terungkap, dan Amira tak pernah menyangka akan terjadi seperti ini.
Amira keluar dari rumah tepat pukul delapan pagi, dan pergi menggunakan mobilnya untuk keluar gerbang, disaat yang sama mobil Frans memasuki gerbang dan Frans keluar dari dalam mobil tersebut dan membuka pintu di sebelah kursi kemudi.
Kinan menahan tangan Frans sebelum pria itu membawanya masuk "Mas yakin?" Kinan tampak ragu.
"Awalnya mas ragu, tapi melihat Amira yang semakin membantah, Mas gak mau lagi mengalah."
"Mas, aku takut dengan aku kesini semakin menyakiti Mbak Amira."
Frans menghela nafasnya "Kamu tenang saja Amira tidak akan berani bicara."
"Tapi mas?" Kinan mengikuti langkah Frans masuk ke dalam rumah meski dengan berat hati.
"Dimana bu Amira?" tanya Frans saat melihat Ratmi yang sedang bekerja.
"Eh, ibu pak? Ibu baru saja pergi pak." jawab Ratmi dengan menunduk, setelah sekilas matanya menatap Kinan, apakah ini istri baru pak Frans yang di bilang Bu Amira.
Frans mengerutkan keningnya "Kemana? Dia tidak meminta izin sama saya."
Ratmi semakin menunduk dia takut dengan suara tajam dari Pak Frans.
"Saya gak tahu pak, bu Amira gak bilang sama saya."
Frans menggertakkan giginya geram, bisa- bisanya Amira pergi saat dia sudah tahu kalau Kinan akan pindah hari ini, dan dia juga pergi tanpa pamit, istri macam apa dia.
Kinan mengusap bahu Frans "Mas mungkin mbak Amira pergi buru- buru, jadi dia lupa minta izin."
"Tetap saja harusnya dia ada di rumah, bukannya dia sudah tahu kalau kamu akan datang."
"Gak papa mas, kalau gitu dimana kamar aku, aku mau langsung istirahat." Kinan akhirnya bisa mengalihkan perhatian Frans hingga Frans membawa Kinan memasuki sebuah kamar yang sudah di persiapkan.
"Mbak Ratmi, aku gak habis pikir kok bapak bawa madunya kesini, pantes saja suruh beresin kamar tamu rupanya buat selingkuhan."
"Hust kamu nih! Jaga bicara kamu."
"Tapi emang benerkan Mbak, trus tadi apa katanya, harusnya Bu Amira menyambutnya begitu? Istri mana yang sudi menyambut kedatangan istri keduanya untuk tinggal di rumahnya."
"Berhenti ngomong Surti, nanti Bapak denger!" peringat Ratmi "Kita bekerja lagi," ajaknya sambil menyeret Surti pergi.
Amira menatap ponsel di tangannya, layarnya menunjukan pukul 12 siang, sudah empat jam Amira menghabiskan waktu diluar rumah, Amira yakin Frans sudah membawa Kinan kerumah mereka.
Amira tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Frans, bisa- bisanya suaminya itu menuruti perkataan ibunya untuk membawa Kinan tinggal di bawah atap yang sama dengannya, dan dengan entengnya dia mengatakan agar Frans bisa berlaku lebih adil jika mereka ada di rumah yang sama, dan lagi waktu Frans akan lebih efisien karena sepulang kerja dia hanya akan pulang ke satu rumah.
"Lagi pula Kinan sedang hamil, kamu harus lebih banyak menghabiskan waktu dengan Kinan agar Kinan tidak kesepian." itu kata ibu mertuanya saat mereka bicara di pertemuan keluarga kemarin.