Frans keluar dari kamarnya dan pergi ke arah ruang makan, dia belum makan malam, saat datang dia justru bertengkar dengan Amira.
Frans tersenyum saat melihat Amira juga ada disana sepertinya Amira juga baru akan makan "Kamu masak apa hari ini?" tanya Frans yang menarik kursi di sebelah Amira.
Amira mendongak dan mendengus saat menemukan Frans "Aku gak masak, yang masak pelayan," ucapnya acuh, lalu mulai makan.
Frans memberengut lalu menyendok makanan "Padahal aku kangen masakan kamu loh, sayang. Makanan kamu kan memang terenak." tangan Amira yang hendak menyuapkan makanan terhenti, lalu menoleh ke arah Frans.
"Tapi sepertinya mulai sekarang aku gak akan masak lagi buat kamu, mas." Frans mengerutkan keningnya "Kalau di pikir- pikir aku ini seperti pembantu kamu ya, selalu melayani kamu, melakukan semuanya sendiri dengan tanganku apapun yang berhubungan dengan kamu, bahkan sampai pilihkan sepatu yang mau kamu pakai, tapi abis itu aku dilupain dan justru kamu mencari wanita lain, ah ... atau kamu bisa minta istri kamu yang lain untuk memasak, pasti masakannya tak kalah enak." Amira meletakan sendoknya, nafsu makannya hilang. "Jadi sudah aku putuskan aku gak akan masak lagi, sampai akhirnya kita bercerai."
Frans melempar kasar piring di depannya hingga jatuh berhamburan ke lantai, sudah cukup dia menahannya, kenapa Amira tetap saja mengatakan tentang perceraian.
"Sudah aku bilang aku nggak akan menceraikan kamu, Amira. Bahkan sampai kamu mati kamu harus tetap mati sebagai istriku!" teriaknya marah.
Amira yang awalnya terkejut kini berusaha tenang, akhirnya Frans menunjukan dirinya "Kalau kamu tidak mau menceraikan aku, maka aku akan menggugat kamu, dan kita bisa bertemu di pengadilan." Amira bangkit dan hendak pergi, namun perkataan Frans menghentikannya.
"Coba saja kalau kamu berani," ucapnya dengan tenang, Frans menghela nafasnya "Kamu bisa apa tanpa aku, Amira." Frans mendudukan dirinya di kursi dan kembali mengambil makanan yang baru, tak peduli makanan yang telah dia buang.
"Lakukan gugatan, maka pengobatan adik kamu juga akan aku hentikan." Amira tertegun.
"Kamu!"
"Sebuah nyawa untuk sebuah perceraian, akan aku anggap itu sepadan."
"b******k kamu mas, kamu gak bisa melakukan itu!"
"Kenapa tidak! Aku bisa melakukan apapun."
"Rendra di rawat memakai asetku." benar harusnya dia tak perlu khawatir aset itu miliknya dan dia memberikan hasil dari saham miliknya di perusahaan Frans untuk membiayai adiknya yang kini melakukan perawatan di luar negeri karena penyakitnya.
"Kamu lupa dari mana kamu mendapatkan itu." Amira membelalakan matanya.
"Aku, dan jika kamu tak menurut, kamu akan kehilangan semuanya, bahkan bukan cuma aset kamu yang hanya sedikit itu, kamu tidak akan mendapatkan sepeserpun harta dariku."
"Apa kamu gak malu, mas, kamu bahkan mau mengambil mas kawin yang kamu berikan?" ya saham yang di miliki Amira adalah bentuk mas kawin yang di berikan Frans saat pria itu menikahinya.
Frans terkekeh, "Selama ini aku yang membuat saham kamu berkembang, kamu pikir itu akan berhasil tanpa aku, tanpa aku, kamu bukan siapa- siapa." Frans mengelap bibirnya dari sisa makanan.
"Hanya gadis biasa yang sederhana." Amira mendongak saat mendengar ucapan Frans, pria b******k ini rupanya sedang menunjukan posisinya sekarang, dia memang hanya terlahir dari keluarga sederhana dan dulu dia pikir menikah dengan Frans adalah sebuah keberuntungan, memiliki mertua yang juga menyayanginya membuat hidupnya penuh kebahagiaan, tapi nyatanya semuanya hanya kebohongan mertua dan suaminya mengkhianatinya. "Jadi kalau kamu tak mau kehilangan segalanya, diam dan mulai terima ini, aku berjanji akan memperlakukanmu seperti ratu." Tangan Frans terangkat untuk menyentuh pipi Amira, tapi dengan cepat Amira memalingkan wajahnya.
Frans tahu ucapannya menyakiti Amira, tapi Frans harus mengatakan itu, agar Amira sadar akan posisinya jika dia bukan apa- apa tanpa nya, hingga Amira tak mampu pergi dan tak berani lagi mengatakan perceraian. Frans tak menyangka jika Amira benar- benar kukuh ingin bercerai, jadi tak ada cara lain selain mengancamnya, sudah Frans bilang dia akan melakukan apapun agar Amira tetap bersamanya.
"b******k kamu mas!" Amira meninggalkan Frans yang hanya terkekeh.
Amira mengeram saat mengingat perkataan Frans itu artinya saat mereka bercerai, dia tak akan memiliki apapun bahkan untuk sekedar mas kawin yang harusnya menjadi haknya, bukan hanya itu bahkan rumah ini dan tabungan atas namanya, Amira yakin Frans tidak akan memberikannya sepeser pun.
Sia- sia hidup Amira selama ini, berbakti pada suami, tapi dia bahkan tak memiliki haknya sebagai seorang istri, dan malah di khianati.
Frans sialan!
Amira berjalan mondar- mandir memikirkan apa yang harus dia lakukan jika begini, bagaimana dengan kehidupannya dan adiknya yang memerlukan uang yang banyak untuk perawatan kankernya.
Frans gila!
Dia terus memaki dan mengutuk suaminya. Hingga terdengar suara pintu terbuka, dan menampakan Frans masuk ke dalam kamar, Pria itu berjalan santai dan berbaring di ranjang "Sayang, ayo tidur, sudah malam," ajaknya. Pria itu menepuk sisi yang kosong di sebelahnya.
Amira menatap tajam, Frans terus bertingkah seperti tak melakukan kesalahan, padahal nyatanya pria itu sudah menghancurkan hatinya.
"Kamu atau aku yang tidur di kamar tamu?" Amira tentu tidak sudi tidur di ranjang yang sama dengan Frans.
"Amira, kamu jangan bertingkah seperti istri durhaka ..."
Amira mendengus "Baiklah, aku yang tidur di kamar tamu." Amira keluar dari kamar dan menutup pintu keras.
Frans terkekeh, "Marah dulu tak apa, tapi aku yakin kamu akan luluh." Frans menghela nafasnya lalu tatapannya terarah ke langit- langit kamar. "Aku mencintai kamu Amira."
***
"Sayang, kamu belum siap?" Amira mengerutkan keningnya saat melihat Frans sudah siap di pagi hari, hanya saja itu bukan pakaian formal untuk bekerja, tapi Amira tak peduli kemanapun Frans akan pergi.
"Oh, aku lupa bilang semalam, mama ingin kita datang kesana." Amira tertegun, terakhir kali dia memasuki rumah mertuanya itu Amira pulang dengan rasa sakit yang teramat dalam.
"Aku gak mau."
"Sayang, kamu mungkin lagi marah sama aku, tapi tolong tetap hormati mama dan papa."
Amira mendengus, apanya yang harus di hormati dari mertua yang mendukung anaknya melakukan perselingkuhan. "Kamu bisa ajak istri kamu yang lain." pasti kedua mertuanya senang sebab mereka begitu menyayangi istri kedua Frans, bukan?
Frans menghela nafasnya "Sayang, ada acara keluarga, kalau kamu gak dateng mama sama papa bisa malu, mereka bisa- bisa ngeledek aku gak bisa didik istri."
Amira mendongak, ya keluarga Frans memang begitu, dan Amira muak, saat dia harus di bandingkan dengan istri sepupu atau keponakan dari keluarga Frans "Baik." Amira segera memasuki kamar dan mengganti pakaiannya.
Jika dulu mertuanya akan membelanya saat para orang tua membandingkannya dengan istri anak mereka, Amira ingin tahu apakah mertuanya itu masih akan berpura- pura baik di hadapannya, dan Amira penasaran dengan ekspresi tulus yang selalu nampak di wajah ibu mertuanya itu, benarkah selama ini dia tertipu.
"Kamu gak pake make up?" tanya Frans wajah polos Amira memang cantik tapi ada acara di rumah orang tuanya, bagaimana kalau orang- orang mencibirnya. Amira memang tidak membubuhkan apapun di wajahnya hanya lip gloss yang iya oleskan di bibirnya untuk melembabkan.
Amira memutar matanya jengah "Gak ada waktu, kamu mungkin akan menunggu lama, lalu terlambat. Lagi pula untuk apa aku tampil cantik, toh secantik apapun aku tetap saja suamiku mendua." Amira mendahului Frans dan berjalan ke luar rumah.