MANIPULASI RASA

2858 Words
Minggu pagi yang terlihat cerah sudah menyapa pagi Aga. Angka digital pada jam tangan sudah menunjukkan pukul enam pagi. Aga sejenak berhenti dari lari paginya. Merenggangkan tubuh untuk melakukan pendinginan setelah memutari stadion GBK. Hal yang selalu Aga sempatkan di sela-sela kepadatan bekerja. Ponsel yang menyuarakan musik selama berlari tadi ia matikan sejenak. Pria itu kemudian duduk di sisi trotoar dekat dengan stand minuman yang selalu saja ada setiap akhir pekan seperti ini. Keringat masih bercucuran dan ia membiarkan sembari menatap sekitar, di mana banyak warga kota tengah melakukan aktivitas olahraga pagi di tempat itu. Terkadang ia tersenyum kala menatap satu keluarga utuh yang tengah melakukan keseharian bersama. Andai semua itu bisa dirasakannya lebih lama, maka tidak akan pernah ia sia-siakan. Namun, 20 tahun bersama sang ayah sudah menciptakan sebuah kenangan indah tersendiri baginya. Dari pria itu lah ia menghargai kehidupan, dari sang ayah lah ia mampu memposisikan diri seperti saat ini. Meskipun ada kalanya ada hal yang memang tidak selalu sama. "Hei." Aga terlonjak saat tepukan di pundak mendadak menghampiri. Ia lantas menoleh ke atas dan dilihatnya sosok wanita dengan rambut yang dikuncir kuda tersenyum lebar padanya. "Olahraga di sini?" "Jess ... kamu ke sini juga? Sendirian atau sama keluarga?" "Sendirian. Aku dari dulu sih suka ke sini, sih. Ya karena kuliah di luar aja jadinya baru bisa lagi setelah balik ke sini. Aku boleh duduk?" "Ya, of course." Jessica pun duduk di samping Aga dan meminum minuman isotonik yang mungkin baru saja ia beli dari kedai minuman. Wanita itu juga menyeka buliran keringat yang turun dengan handuk kecil. "Mau?" tawar Jessica pada Aga. Aga menggeleng, jelas tidak enak jika ia langsung menggapainya. Aga bukan lagi lelaki petakilan yang tidak memikirkan konsekuensi akan tindakannya. "Oh iya, aku udah send alamat sama jamnya semalem. Udah masuk kan?" "Oh itu, iya udah masuk kok. Sorry belum gue bales karena ya ini langsung lari pagi. Aku cuma save nomer kamu aja terus ya udah gitu." "Ah, nggak masalah kok. Aku pikir kamu masih tidur makanya enggak ada balesan." Aga hanya bisa tersenyum canggung. Rasanya sedikit aneh sekarang, ia benar-benar tidak merasa jengah atau apa pun berkenalan dengan Jessica. Justru ia sedikit gugup saat bersama wanita itu seperti saat ini. Jatuh cinta pandangan pertama rasanya tidak mungkin lagi Aga rasakan. Ia hanya gugup, tidak ada jantung yang berdebar seperti tengah kasmaran. Namun, apa pun yang dirasakan sekarang, ia tetap menghargai usaha sang tante untuk mencarikan jodoh untuknya. Jessica juga tidak terlalu buruk. Wanita itu sangat cantik walau tanpa polesan make-up tebal seperti semalam. Justru Aga lebih tertarik dengan wajah Jessica yang seperti ini. Keanggunan pada diri wanita itu juga masih bisa Aga lihat. "Oh iya, yang kemarin aku bilang itu. Aku tertarik banget sama apartemen di sekitar SCBD. Apa masih ada slot? Boleh tau nggak sih ada di situ aja atau di mana?" "Oh yang di Jaksel. Kita disitu ada beberapa sih. Yang paling menonjol itu Artha Land yang di dalamnya ada apartemen yang kemarin kamu tanyain. Di situ kawasannya jadi satu gitu, ada mall sama apart terus perkantoran. Nanti coba aku cari tau dulu. Aku tanya ke bagian pemasaran dulu, nanti kalau memang masih ada unit yang belum terjual kamu mau?" "Sure. Aku pengen punya apart di daerah situ sih soalnya, kan ya kawasannya cukup oke lah gitu ... apalagi yang kamu jelasin kemarin kayakya strategis banget." Aga mengangguk dan mulai tertarik dengan obrolan kali ini. Dari perbincangan itu, Aga juga bisa menilai jika memang Jessica adalah perempuan pintar dan berkelas. Pengetahuannya juga cukup luas dengan pergaulan yang tentu mengikuti. Pria itu cukup nyaman bertukar pendapat atau sekadar mendengar ia berbicara. Tidak ada lagi drama perempuan-perempuan manja yang selama ini sering ia temui melalui kencan buta atau apa pun. Justru yang terlihat Jessica sangat mandiri. Mungkin benar apa kata sang tante, jika Jessica berbeda dari yang lain. "Udah jam segini, kamu enggak mau pulang? Aku antar?" tawar Aga. "No, thanks. Aku bawa mobil sendiri, kok," sahut Jessica yang ikut berdiri dari tempatnya duduk. Aga kembali melesungkan senyumnya dan menawarkan untuk berjalan ke arah tempat parkir bersama. Selama di perjalanan mereka kembali terlibat obrolan seru. Nyatanya Jessica memang mampu menciptakan topik tanpa kekurangan sedikit pun. Membuat Aga setidaknya kembali mengembangkan senyum dan sesekali tawa menanggapi obrolan itu. "Itu mobilku," tunjuk Jessica pada sebuah BMW silver. "Ah, ya udah, sampai ketemu nanti. Kamu hati-hati." "Ya udah aku balik dulu ya, Aga. Bye," ujarnya yang melambaikan tangan pada Aga, kemudian segera melipir ke arah mobilnya. Aga hanya membalas singkat dan masih di tempatnya hingga wanita itu berlalu meninggalkan kawasan GOR. Sejenak, Aga kembali melesungkan senyum tipis dan memikirkan tentang kelangsungan perkenalan mereka. Apa pantas dirinya bersanding bersama Jessica dengan status yang lebih dari sebuah pertemanan? Atau apakah ia yakin untuk memilih wanita itu sebagai pengganti nama yang selama ini tercekat kuat dalam relung hati? Aga mengembuskan napas perlahan dan kembali ke arah mobil untuk segera kembali ke kediamannya. **** Suara alarm pada pukul tujuh sudah menggema memekikan telinga. Harum masakan pun turut mengusik penciuman. Liona, wanita yang menggelung rambutnya asal itu tengah menyiapkan sarapan untuknya dan Alvin. Dua buah omlet telur sosis ditambah potongam buah apel segar sudah siap disantap. Ditambah kopi s**u favorit sang tunangan juga sudah bertengger manis di atas meja. Ada sebuah lengkungan senyum di bibir Liona. Selalu saja seperti ini, seolah masalah berlalu begitu saja tanpa ada bekas sedikit pun. Hati Liona kembali berbunga setiap kali menyiapkan apa pun untuk pria yang akan menjadi suaminya kelak. Sikap yang sering di maklumi membuat wanita itu buta akan cinta terhadap Alvin. Liona melenggang ke arah kamar guna membangunkan pria pujaan hati. Badannya sudah segar sebab sedari pukul enam pagi sudah giat membersihkan diri dan membereskan rumah. Langkah kaki kini tepat berhenti di sisi ranjang dan bibirnya kembali tersenyum tipis, kala menatap pria yang masih asik dalam mimpinya. Ia kemudian duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut rambut Alvin. "Vin ... bangun. Sudah pagi. Ayo bangun. Aku sudah buatkan sarapan untukmu," ujar Liona sembari mencolek pelan lengan Alvin. Ada geliat dari pria itu untuk beberapa detik setelah dibangunkan. Matanya perlahan membuka dan sudah dilihat Liona di sisinya. "Selamat pagi ...," sapa Liona yang masih mempertahankan senyumnya. Usapan di kepala Alvin membuat pria itu menggenggam tangan Liona. Rasanya masih ingin bermalas-malasan, mengingat hari itu adalah hari libur. "Sayang, sarapan dulu. Bangun, yuk." Lagi, Liona berusaha membangunkan sang tunangan kali ini. "Iya, Sayang. Sebentar lagi. Jam berapa ini?" "Jam tujuh lewat dua puluh menit." Ada sebuah anggukan pelan dari Alvin. Kemudian pria itu terduduk di ranjang meskipun belum sepenuhnya ingin beranjak. Jika melihat dari permukaan saja, kehidupan asmara Liona sangat sempurna. Ia memiliki tunangan dari kalangan terhormat. Belum lagi wajah tampan, bentuk badan atletis dan sikap tegas Alvin juga mampu membuat kaum hawa selain Liona mencuri pandang. Di samping itu, Alvin pun memiliki pekerjaan sebagai pemilik show room mobil di daerah Jakarta Selatan. Sikap yang ditunjukkan saat suasana hati sedang baik-baik saja itu lah yang mampu membuat hubungan mereka terlihat sempurna. Membutakan mata hati Liona bahwa pria itu telah bertindak semauanya sendiri dan membelenggu seluruh kebebasannya. Siapa sangka jika Alvin Anggoro sangat dominan dalam percintaan yang ia bangun? Semakin mengekang Liona walau hanya sekadar untuk bercengkerama dengan beberapa teman. Wanita itu bahkan tidak banyak memiliki relasi dan terkenal diam di kampus. Mahasiswa pun banyak yang menganggap bahwa Liona termasuk dosen yang tidak bisa diajak untuk sekadar bercanda. Justru cenderung terasa killer bagi mereka. Belum lagi sedikit interaksi yang terjadi sesama dosen membuat Liona tidak memiliki banyak waktu untuk sekadar tertawa bersama dengan yang lain. Namun, apa daya jika cinta itu mendominasi relung hati Liona. Ia hanya berpikir bahwa semua sikap itu untuk kebaikan dirinya sebagai calon menantu keluarga Anggoro. Sebisa mungkin ia juga harus menjaga sikap. "Oh, iya, hari ini kamu ada acara?" tanya Liona yang kini meletakkan satu piring omelet di depan Alvin. Alvin menggeleng pasti dan melahap beberapa potong omelet ke dalam mulutnya. Di atas meja makan minimalis itu mereka melakukan sarapan dengan beberapa perbincangan sederhana. Tidak ada lagi rasa tidak enak hati seperti semalam. Semua selesai dengan sendirinya. "Kamu mau jalan?" Liona menatap sang tunangan yang mencetuskan tawaran itu. "Kamu ngajak aku jalan-jalan?" "Kalau kamu mau ya ayo. Mumpung kamu libur dan cuaca di luar kayaknya bersahabat. Mau?" Liona melesungkan senyum lebarnya dan mengangguk antusias. Baginya jalan-jalan keluar memang hal yang baik untuk menjernihkan otak agar tidak jenuh. Lagi pula ia juga jarang untuk bisa bermain keluar jika bukan Alvin yang mengajak. Mungkin, menerima segala kekurangan dan sifat alamiah pasangan menjadi hal lumrah bagi Liona. Setidaknya ia kembali mampu tersenyum tulus pada Alvin dan melupakan rasa sakit hati yang selalu membuat perasaan ragu untuk meneruskan. Kamu pasti bisa berubah seperti dulu, Vin, batin Liona berharap. **** Pukul sepuluh pagi tepat di kediaman Aga, pria itu tengah mempersiapkan diri untuk menghadiri acara yang katanya acara santai oleh keluarga Sukmajaya. Aga kini tengah memilih jam tangan yang akan dikenakannya di rak khusus jam tangan, kemudian mengambil satu yang menurutnya cocok. Setelah itu ia merapikan kemeja, memakai jaket kulit dan bergegas keluar dari kamar. Namun, beberapa langkah dari kamar itu, Aga tiba-tiba berhenti. Rasanya aneh, bisa-bisanya ia bersemangat seperti ini. "Ini kenapa jadi begini?" gumamnya. Apakah hatinya sudah berpindah dan tertarik dengan Jessica? Aga masih saja menyangkal hal itu, membuat langkahnya menjadi kembali ragu untuk menghadiri acara keluarga Sukmajaya. Di saat keraguan muncul, tepat saat itu nada dering ponselnya berbunyi. Hal yang membuat Aga sedikit tersentak dan mengambil benda pipih itu dari saku jaket. Nama Jessica tertera jelas pada layar ponsel itu dan membuat Aga segera menggeser tombol untuk menerima panggilan secepat mungkin. "Iya, Jess ...." "Kamu jadi dateng kan? Dicariin sama Mama, hehe. Enggak tau deh kenapa Mama kayaknya suka banget sama kamu sampai dicariin." "Eh, gitu? Aku mau jalan ini. Ya udah aku jalan dulu, Jess. Nanti kkta ketemu di sana. Oke ...." "Oke. Hati-hati, Ga." Sebuah deheman singkat Aga berikan untuk membalas sedikit perhatian singkat itu. Setelahnya panggilan pun terputus dan Aga segera melangkah menuju keluar rumah. Bukan saatnya lagi berenang dalam lautan keraguan. Mungkin memang ini sudah jalannya untuk membuka hati, meskipun tidak tahu akan di masa depan akan menyatu atau hanya sekadar teman bermain. Lima belas menit berlalu, kondisi macet di jalanan pagi itu membuat Aga sudah mendecak berulang kali. Tidak biasanya jalanan semacet ini pada hari Minggu. Namun, entah barisan kendaraan di jalanan kali ini benar-benar belum bergerak. Banyak suara klakson menggema sesekali membuat kepala Aga sedikit merasakan berat. "Ini kenapa, sih? Kenapa enggak gerak?" gerutunya sembari menatap jam di pergelangan tangan. Ia menarik ponsel yang berada di dashboard mobil. Mengetikkan pesan chat pada nomor Jessica untuk memberitahu bahwa akan sedikit terlambat untuk sampai di tempat di mana mereka menggelar acara. Suara debas menguar, Aga mengembuskan napas sedikit kasar saat lima menit berlalu belum juga ada pergerakan berarti. Namun, beberapa menit kemudian, akhirnya mobil itu bergerak mengurai kemacetan yang ada. Nyatanya memang ada kecelakaan yang membuat jalanan macet di hari Minggu seperti ini. Aga langsung melesatkan mobil itu ke arah sebuah restoran yang berada di dalam mall. Mobil SUV itu akhirnya terparkir di lantai tiga dan sedikit berjalan cepat setelahnya menuju ke tempat tujuan. Sembari melihat pesan dari Jessica, ia juga meneliti nama restoran di mana keluarga Sukmajaya di sana. Hingga, netra Aga menangkap sosok wanita dengan dress selutut berdiri di depan sebuah restoran sambil memegang ponsel. Sesekali ia menatap kanan kiri seolah mencari seseorang. "Jess!" Aga mulai menyapa dan segera menuju ke arah jessica. "Ah, akhirnya kamu datang." "Sorry banget, tadi di jalan ada kecelakaan jadinya macet banget." "It's okay. Yuk masuk. Udah ditungguin tuh. Kakak aku juga mau kenal sama kamu." Aga hanya melesungkan senyum dan mengikuti Jessica masuk ke dalam restoran Jepang. Sepertinya memang acara di dalam sana terbilang santai sebab kini Aga menatap keluarga Jessica yang saling bercanda gurau dan terlihat sangat santai. "Ma, Pa, nih Aga." "Selamat pagi, Tante, Om," sapa Aga dengan sopannya serta mengulurkan tangan ke arah Andalan dan Berlin. Kedua paruh baya itu pun menjabat tangan Aga dan tersenyum melihat sopan santun yang dijunjung Aga. Memang sejak awal berkenalan dengan Aga, kedua orang tua Jessica selalu membicarakan pria itu. Sepulang mereka daru acara pesta pernikahan sang anak sulung, nama Aga selalu disebut dan konyolnya membuat Jessica terseret di dalamnya. Seolah mereka sudah mengenal Aga lama dan senang jika anak gadis mereka dekat dengan Aga. "Ini kenalin, kakaknya Jess. Namanya Darmawangsa," ujar Berlin memperkenalkan sang anak. "Loh, Pak Alex kan?" Kini semua mata tertuju pada sosok pria berusia sekitar 30 tahunan yang duduk di sebelah Berlin--Ibu Jessica. Aga menatap sejenak dan mengingat siapa pria itu hingga akhirnya ia menangkap layar rekaman identitas Darmawangsa. "Pak Darma." Aga juga turut sedikit terkejut dengan pertemuan ini. "Ma, ini tuh rekan bisnis Darma. Mama inget proyek real estate di Kebayoran dua tahun lalu? Nah itu interior di sana kantor Darma yang menang tender, nggak nyangka Mama kenal sama yang punya Artha Group." "Ah, iya Mama inget. Kebetulan banget ya ini ternyata udah saling kenal. Ini tuh keponakan temen Mama sama Papa, Darma." Aga hanya melesungkan senyum di depan keluarga Sukamajaya. Hingga pandangannya berhenti pada sosok pasangan di samping kirinya dan tatapan itu benar-benar berhenti tanpa berkedip untuk beberapa detik. "Aga, ini anak dari sahabat kami. Kebetulan tadi ketemu dan ya kita ajak bareng saja di sini." "Ini ... yang kemarin ditabrak tunangan saya kan?" tanya Alvin yang seketika berdiri dan mengulurkan tangannya pada Aga. Alvin tersenyum penuh kharisma pada Aga yang justru masih syok dan membuat ia hanya melirik tangan itu untuk sekian detik. Hingga, akhirnya sadar akan situasi yang ada, Aga segera menjabat tangan itu dan kembali memperkenalkan dirinya. "Alexrado, panggil saja Aga. Senang berkenalan dengam anda." "Wah, jadi rame banget ya. Ayo-ayo Nak Aga. Duduk-duduk. Silakan makan apa yang kamu suka, jangan sungkan ya ...," tawar Andalas Sukamajaya. Aga kembali tersenyum seolah melupakan keterkejutannya tadi. Ia duduk di sisi Jessica. Meja di restoran itu berbentuk melingkar. Di hadapan Aga ada Andalas Sukmajaya dan istri. Sisi kanannya ada kakak dari Jessica, sedangkan di sisi kirinya persis adalah Liona dan tunangannya. Sulit mengontrol diri untuk berpura-pura tidak mengenal satu sama lain. Nyatanya ada waktu yang membuat seolah kegiatan sekeliling berhenti total saat tatapan kedua insan itu bertemu. Sorot yang tidak pernah berbohong jika masih ada kepingan hati yang tersisa. Namun, lagi-lagi Aga harus sadar diri. Cincin yang melingkar di jari manis Liona membuktikan bahwa mereka memang sudah terlalu jauh. Sulit untuk kembali diraih. "Kapan kalian nikah?" tanya Berlin pada Alvin. "Keluarga rencananya tahun depan. Tapi kayaknya Alvin mau percepat itu deh, Tan. Mau nyusul Bang Darma," ujar Alvin diiringi tawa dan memegang erat telapak tangan Liona. Sementara itu, justru Liona merasa tidak enak mengumbar segala kemesraan di depan publik seperti ini. Walaupun memang ia menginginkan sebuah pengakuan sebab merasa dihargai dan dicintai Alvin, tetapi hal itu berbeda ketika di depan Aga. Perasaanya menjadi tidak karuan, tetapi tidak mampu berbuat apa pun. Haya sebuah senyum dan seakan menyetujui usulan Alvin yang ia tunjukkan. Sikap yang menciptakan proyeksi bahwa semua itu memang membuatnya sangat bahagia. Terlepas dari semua pemandangan yang menyesakkan Aga. Pria itu tersenyum kecut. Ia menunduk sejenak mengurai rasa sesak itu agar tidak terlalu kentara dihadapan keluarga Sukmajaya. "Romantis ya Alvin ini, sayang banget kayaknya sama Liona. Aku kapan ya diseriusin gitu. Iri deh ...," celetuk Jeasica yang memang terpukau dengan hubungan Liona dan Alvin. "Loh ini Aga ini kan calon kamu, Jess?" Jessica langsung membelalakan mata ketika sang Ibu melontarkan hal yang menurutnya sedikit tidak enak didengar. Bagaimana mungkin ucapan itu terlontar padahal ia dan Aga saja baru mengenal semalam. Belum juga ia tahu seluk beluk siapa Aga dan latar belakangnya. "Mama, begini ya ... Jess sama Aga ini temen. Kita baru kenal ya ampun, Ma. Masa iya langsung begitu. Duh, Aga maaf ya Mama lagi-lagi rese." "Jess, masih ada kok istilah cinta pada pandangan pertama," timpal Darmawangsa. Ada gelak tawa setelah itu seolah semua hanya lelucon dan angin lewat saja. Namun, jujur saja dalam hati Jessica memang ada harapan kecil yang memang menyetujui semua ucapan sang Ibh dan kakaknya. Namun, terlalu cepat untuk menuju hal seperti itu sebelum mengenal jauh siapa pria di sisinya ini. Sementara Aga kembali hanya bisa tersenyum canggung sebab memang tujuan sang Tante adalah soal pasangan masa depan. Namun, saat ini kondisi hatinya benar-benar tidak terlalu baik. Melihat Liona yag sepertinya sudah bahagia membuat pria itu menegakan badan. Mungkin memang saatnya membuka hati untuk yang lain dan membiarkan Liona bahagia dengan pilihannya. "Mungkin memang bisa. Tapi kita harus kenal satu sama lain dulu kan, Tante. Selebihnya bisa dibicarakan nanti. Ya kan, Jess?" "Hah?" Ada sebuah keterkejutan di benak Jessica atas penuturan Aga. Rasa gugup dan debaran jantung di d**a membuat wanita muda itu hanya tersenyum menanggapi. Sedangkan kelaurga besar Sukmajaya tentu sangat mendukung arah positif itu. Sementara itu, kalimat Aga, membuat mata cokelat Liona menatap dalam diam. Senyum yang Aga torehkan ke keluarga Sukmajaya membuat wanita itu memudarkan senyum. Mungkin memang mereka sudah benar-benar jauh. Sehingga wajar apabila Aga telah membuka hati untuk orang lain. Apalagi ia melihat Jessica dengan segala kelebihannya. Cantik , muda, dan berbakat. Membuat Liona pun cukup tahu diri dan memang wanita seperti itu pantas untuk bersanding dengan Aga. "Iya, sepertinya Mas ini sama Jessica cocok." Liona mulai membuka suaranya setelah sekian lama hanya bungkam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD