Liona meletakkan tas kecil miliknya di sofa ruang tamu kontrakan sembari melepaskan high heels setinggi tujuh sentimeter. Lelah jelas sekali ia rasakan. Bagaimana tidak? Pekerjaan mengurus nilai yang akan disetor sebagai nilai akhir ujian mahasiswa membuat ia cukup bekerja keras.
Belum lagi acara yang mengharuskan ia mendampingi Alvin, justru membuat hatinya tidak karuan saat ini. Entah, sudah sekian lama rasa itu justru kembali muncul setelah pertemuan tidak sengajanya dengan Aga sebanyak dua kali. Membuat perasaan turut ragu terhadap hubungan pertunangannya dengan Alvin.
"Liona ...."
Ah, Liona hampir lupa bahwa Alvin masih berada di rumahnya. Ia terdiam memunggi pria yang kini berada beberapa sentimeter darinya. Jangan sampai Alvin memergoki bahwa ada yang tidak beres dari raut wajah tidak menyenangkan Liona.
"Kamu ... belum pulang, Vin?"
"Kamu ngusir aku?"
Pria bertubuh tegap itu mulai mengerutkan dahi. Sikap Liona sepanjang acara pernikahan rekan baik keluarganya tadi sama sekali tidak membuatnya puas. Liona banyak diam dan tidak seperti biasanya. Bahkan terkadang tidak fokus jika diajak berbicara.
Apalagi saat ini nada bicaranya sedikit tidak mengenakan hati. Tidak biasa Liona berani menanyakan hal itu, jika bukan dirinya sendiri yang memang berniat pulang dari kontrakan sang tunangan.
"Liona kamu ini kenapa? Hari ini kamu berbeda, kamu lebih banyak diam dan tidak fokus, tidak seperti biasanya. Ada yang salah?"
Liona menelan salivanya, terlalu bodoh baginya menunjukkan sikap tadi. Ia sadar bahwa beberapa hari komunikasi antara dirinya dan Alvin memang cukup memburuk. Hal biasa memang yang terjadi dalam setiap hubungan, tetapi hal itu benar-benar kebetulan dengan hadirnya Aga yang membuat semua terbiaskan sejenak.
"Aku enggak kenapa-kenapa kok, Vin. Aku cuman capek, kerjaanku lagi banyak banget."
"Yakin? Bukan alasan saja?"
Liona menggeleng kemudian berbalik, menunjukkan senyumnya pada pria itu. Sebisa mungkin, walau hatinya tengah tidak baik-baik saja, ia tidak perlu memberitahu secara terang-terangan pada orang lain, apalagi pada Alvin.
Sementara, pria itu melangkah ke arah Liona dan menelisik sang tunangan. Empat tahun hubungan mereka terjalin, bukan tidak mungkin Alvin tidak mengetahui segala perilaku hingga sifat Liona.
"Kamu enggak bohong sama aku, 'kan?" tanya Alvin dengan nada serius bercampur intimidasi.
"Bo--bohong? Bohong apa? Aku enggak bohong apa pun."
"Liona, kamu harus ingat kalau kamu ini tunanganku. Kita sebentar lagi menikah. Aku harap kamu tidak macam-macam di belakangku."
Liona kini mengerutkan dahinya mendengar penuturan Alvin, seolah menuduhnya macam-macam.
"Maksud kamu apa sih, Vin?"
"Nothing. Aku hanya mengingatkanmu tentang status kita. Aku bisa melakukan apa pun kalau kamu berani mengkhianatiku."
Sebuah senyum melengkung di bibir Alvin bahkan tidak membuat Liona turut melakukan hal sama. Ada ancaman tersirat yang sudah sering pria itu lontarkan setelah berhasil memberikan status resmi padanya.
Liona bahkan tidak menyangka bahwa sifat asli dari Alvin se-otoriter ini. Selama mereka berpacaran, semua kebaikan ditunjukkan bahkan sikap lembut lebih mendominasi. Namun, setelah acara pertunangan terjadi, Alvin berubah. Pria itu lebih posesif dari sebelumnya, tidak menerima kritik sama sekali dan bersikap semaunya.
Bisa dikatakan Liona sadar akan terjebak dalam hubungan tidak sehat. Namun, nyalinya ciut untuk bisa berhenti berhubungan dengan pria di mana keluarga besarnya memiliki kedudukan penting di pemerintahan Ibu kota.
Calon mertua Liona, ayah Alvin adalah seorang anggota DPR yang terpandang, ibunya pun termasuk dari kalangan pebisnis butik terkenal. Liona mengenal Alvin dari ibunya ketika sering berhubungan dengan Ibu dari Alvin.
Semua berjalan begitu cepat, perkenalan itu membuat ia akhirnya mampu membuka diri dan jatuh dalam pelukan Alvin. Keluarga besar pun menyetujui dan akhirnya merestui hubungan mereka. Namun, nyatanya perkiraan akan berakhir bahagia tampak belum bisa dinikmati Liona. Sikap Alvin membuat mimpi indah wanita itu harus sedikit demi sedikit pupus.
Rasanya percuma jika ia berbicara yang sebenarnya, pasti tidak akan menjadi sebuah permasalahan berarti dan justru bisa jadi ia yang dituntut balik karena merusak nama baik keluarga Anggoro.
"Vin, kamu sadar nggak kalo sikap kamu ini terlalu berlebihan. Kamu udah nggak percaya sama aku?"
"Aku berlebihan? Memangnya salah kalau aku hanya mengingatkanmu? Kenapa kamu sekarang bicara tentang kepercayaan?"
"No, kamu nggak salah. Tapi dulu kamu nggak gini, Vin. Jujur, sikap kamu berubah. Kamu bukan Alvin yang lembut dan bukan lagi sosok yang manis kayak dulu. I know, kamu berhak kayak gini, tapi kenapa aku nggak suka ya?"
Alvin kembali menatap Liona serius. Baru hari ini, protes itu terlontar dari bibir Liona setelah sekian lama hubungan mereka terjalin.
"Kamu nggak suka? Liona, aku calon suamimu. Nanti atau sekarang, perintahku akan berlaku dan kamu harus patuh kan sama suami? Kenapa begini saja kamu protes? Aku berhak atas kamu karena kamu calon istriku."
"Tapi, Vin, aku juga--"
"Liona cukup!" sentak pria itu seketika. "Enggak ada kata tapi, Liona. Enggak ada lagi yang perlu dibahas. Aku akan menginap di sini," ujar Alvin yang menjauh dari Liona dan melepas blazernya kemudian duduk di sofa ruang tengah, mengabaikan lagi ucapan yang harusnya bisa dibahas lebih dalam.
Sedangkan, Liona hanya bisa kembali terdiam dan mendecak pelan. Segala perbincangan yang ingin ia bahas selalu diputus begitu saja tanpa solusi di dalamnya. Alvin sangat superior dalam hubungan mereka, membuat Liona tidak berkesempatan memiliki suara sama sekali.
Jengah? Mungkin wanita itu memang merasa bosan pada hubungan yang tidak seimbang seperti ini. Alvin tidak bisa diajak bertukar pendapat dan harus selalu mendengar segala penuturannya.
Wanita itu mengembuskan napas kasar dan berbalik meninggalkan Alvin di ruang tamu. Bahkan pria itu tidak repot-repot merasa bersalah telah membentak sang tunangan.
Langkah kaki itu segera menuju ke kamar pribadi dan menutup pintunya. Rasanya, menyegarkan badan mungkin solusi untuk mendinginkan emosi. Ia berjalan sedikit malas ke arah kamar mandi dan melepas semua bajunya begitu saja. Shower yang berada tepat di atasnya kini mengalirkan air hangat membasahi diri.
Hati kecilnya semakin ragu untuk meneruskan hubungan pertunanagan dengan Alvin. Namun, bagaimana ia bisa melepaskan diri dari pria itu? Begitu sulit, sebab jujur saja rasa sayang dan cinta juga turut menyumbang di dalamnya.
Ia juga mencintai Alvin. Empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalin hubungan. Akan tetapi, sikap Alvin semakin lama membuat ragu untuk melangkah.
Ada lelehan air mata yang turun begitu saja saat perasaan wanita itu gelisah. Perdebatan yang sering terjadi dan nada tinggi dari Alvin selalu membuatnya takut.
Apakah memang semua perempuan lemah atas bentakan pria? Liona hanya bisa merasakan sakit di dalam hatinya sekarang. Kebebasannya berpendapat atau apa pun terisolasi oleh sikap dominan Alvin.
Terlarut dalam perasaan risau membuat ia tidak sadar bahwa ada sosok di belakangnya. Air guyuran shower juga mendadak berhenti dengan sendirinya. Kemudian, pelukan pada tubuh polos tanpa sehelai kain itu seketika mengejutkan Liona yang langsung menegang.
"Alvin!"
Ada sebuah usapan di perut rata wanita itu, hingga tengkuk yang merasa hangat karena kecupan dari Alvin.
"Maaf ... maaf kalau aku membentakmu tadi. Aku tadi lihat kamu waktu di acara enggam fokus dan pandanganmu ke arah cowok yang kamu tabrak sebelumnya. Aku nggak suka kamu memerhatikan yang lain. Dan aku juga nggak tau apa kamu mengenal dia atau enggak. Wajar kan kalau aku cemburu?"
Hanya keterdiaman yang dilakukan Liona. Nyatanya Alvin menyadari bahwa diam-diam ia menatap Aga. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah harus berbicara yang sebenarnya atau membohongi Alvin bahwa ia tidak mengenal Aga.
Kebingungan Liona tidak tepat waktu, tetapi ia benar-benar bingung mendapatakan jawaban yang akan terlontar dari bibirnya.
"Aku ... aku nggak tau dia siapa, Vin. Aku juga enggak merhatiin dia. Kamu nggak perlu cemburu karena aku juga enggak kenal sama laki-laki itu. Aku cuman nggak enak aja belum minta maaf."
"Hemm, gitu. Oke, aku percaya sama kamu. Kamu nggak mungkin mengkhianatiku. Aku minta maaf ya soal tadi, maaf kata-kataku kasar sama kamu."
Alvin membalikan tubuh Liona ke arahnya dan memegang pipi wanita itu. Tinggi Alvin yang melebihi Liona membuat wanita itu sedikit menengadah. Pria itu menatap sejenak dan mengecup bibir basah sang tunangan dengan singkat.
"Aku kayak gitu cuman takut kehilangan kamu, Liona. Aku itu sayang banget sama kamu dan nggak mau kamu berpaling ke yang lain. Kamu juga sayang sama aku, 'kan?"
Liona kalah lagi. Sekalipun hati kecil masih merasa kesal terhadap segala tindak tunduk Alvin. Nyatanya, rasa cinta lebih mendominasi. Liona selalu ingat bahwa beribu keburukan tidak akan pernah terlihat buruk jika ada kebaikan di dalamnya. Tidak mungkin juga ia menilai sama jika masih ada hal berbeda lain yang cukup menenangkan jiwa.
Liona mengenal Alvin baik-baik dan percaya bahwa pria itu akan bersikap sepeti dulu suatu saat nanti.
****
"Oh jadi ini ponakan Jeng Silvi yang udah megang perusahaan sendiri itu ya? Pa, ini loh yang punya Artha Group itu," ujar wanita berusia 50 tahunan pada sang suami yang di dibalas dengan senyum terkembang.
"Ah iya, Jeng. Ini anaknya. Baru bisa ketemu ya. Kemarin waktu saya adain acara, anaknya sibuk banget sama kerjaan. Jadinya nggak bisa dateng deh."
Ada sedikit canda tawa menggema di gedung yang sudah beberapa saat lalu hampir kosong. Hanya tinggal beberapa tim wedding organizer dan lainnya yang mulai membereskan sisa acara. Sedangkan keluarga Sukmajaya yang terdiri dari Andalas Sukmajaya beserta sang istri dan juga anak kedua mereka yang bernama Jessica, sejenak berada di luar gedung dan sedikit bercengkerama.
"Usaha di bidang apa itu?" tanya Andalas pada Aga.
"Oh itu, Om, bisnis properti basis teknologi. Jadi kita juga mengembangkan teknologi yang memadai untuk setiap proyek yang kita bangun. Jadi tidak hanya mengembangkan pembangunan proyek saja seperti kebanyakan."
"Ah begitu. Good job. Hebat kamu usia segini udah mampu memimpin perusahaan, ya. Pekerja keras biasanya kalau seperti ini."
"Iya ya, Pa. Nak Aga ini memang kelihatan pekerja keras. Tidak mudah loh mimpin perusahaan."
Aga hanya tersenyum mendapati pujian itu. Memang rasanya terlalu muda untuk memimpin perusahaan sebesar Artha Group. Namun, keadaan yang membuat Aga harus menjadi seperti saat ini dan mengambil alih semua yang diwariskan sang ayah padanya.
Bukan hal mudah, tetapi Aga selalu berusaha menjadi yang terbaik demi kebaikan nama keluarga dan kelangsungan usaha sang ayah.
"Udah punya calon belum nih?" Ibu Jessica yang diketahui bernama Berlin itu mulai bertanya masalah pribadi pada Aga.
"Saya Tante?"
Berlin mengangguk dan rasanya jawaban itu seolah benar-benar ditunggu. Beberapa pasang mata menyorotnya, tak luput juga dari Jessica. Aga hanya tersenyum tipis dan mengheleng.
"Belum ada yang cocok, Tante."
"Wah, kebetulan. Sama Jessica aja. Jessica juga belum ada pacar lagi. Masih jomblo."
"Mama stop it, ish apaan sih? Sorry, ya Aga, Mama emang suka ceplas ceplos." Jessica mulai menyela dan tidak enak dengan Aga yang berada persis di sampingnya.
Hanya senyum yang dilontarkan Aga dan suasana memang cukup bersahabat. Ada kehangatan di setiap obrolan dan Aga semakin tau siapa keluarga Sukmajaya.
Menurutnya, keluarga Sukmajaya memang terbilang baik dan bersahaja. Suka bercanda dan sangat terbuka. Hingga, beberapa menit kemudian rupanya waktu yang membatasi obrolan itu.
"Kalau gitu, terima kasih atas kehadirannya di acara kami ya Nak Aga. Jangan sungkan menyapa jika bertemu di jalan."
"Iya, Om."
"Oh iya, besok kan kita ada acara kan ya, Pa. Acara santai sih, Nak Aga ikut ya besok. Enggak ada kesibukan kan? Besok kan Minggu."
Aga mendadak diam dan bingung untuk menjawab. Sedangkan menatap Silvi yang berada di sisinya, justru hanya mendapati isyarat seolah untuk menyetujui.
"Bisa kan, Nak?" Lagi, Berlin menanyakan untuk memastikan kesediaan Aga.
"Em, apa tidak mengganggu, Tante?"
"Enggak dong. Acara santai aja kok. Bisa ya? Kalau bisa nanti biar Jessica kasih alamat ke kamu. Kalian udah saling tukar kontak kan?"
Secara spontan Jessica dan Aga mengangguk bersama. Memang sebelum itu mereka saling bertukar kontak untuk berkomunikasi jika perlu. Sebab ada beberapa hal yang Jessica sempat tertarik dengan usaha yang dijalankan Aga saat ini. Momen itu yang membuat mereka saling bertukar nomor tadi.
"Bagus deh, nanti biar Jessica kasih tau alamat sama jamnya ya ...."
"Iya Tante, terima aksih banyak sudah diundang."
Ada sebuah tepukan di bahu Aga sebagai respon dari Berlin. Setelah itu, mereka pun terpisah di tempat parkir dan pulang ke kediaman masing-masing.
"Tante, ini beneran Aga besok harus dateng?"
"Ya emang kenapa? Dateng aja, kan kamu diundang. Kesempatan biar bisa deket sama si Jess."
"Tapi kan Tan, ck, Aga canggung nggak ada Tante."
"Ya ampun Aga. Wake up! Jangan kayak ABG deh, kamu itu udah dewasa. Bisa menentukan sikap. Mungkin memang ini kali jodoh kamu, si Jessica itu. Jadi manfaatin kesempatan. Biar kamu nggak jomblo terus."
Ada suara debas dari Aga saat mendengar kalimat terakhir sang Tante. Setelah itu tidak ada lagi perbincangan hingga Aga mengantarkan tantenya sampai di rumah dengan selamat. Barulah ia kembali ke kediamannya setelah itu.
****
Aga melempar blazernya ke arah ranjang. Ia melepaskan jam tangan dan mulai berganti baju. Perbincangan dengan keluarga Jessica masih segar dalam ingatan.
Hal yang membuat Aga akhirnya mengenal sedikit demi sedikit keluarga itu. Semua bentuk senyuman yang tertoreh, tawa yang menggema mendadak hilang ketika ia kembali sendiri saat ini.
Entah, sejak kapan ia mampu memanipulasi keadaan seperti ini. Rasanya hangat bisa bercengkerama seperti tadi, tetapi masih saja ia merasa ada yang kurang dan tidak tepat.
Hingga, pikirannya kembali berpusat pada satu nama. Liona. Ia menghentikan segala aktivitasnya dan duduk di tepi ranjang.
"Apa dia baik-baik saja?"
Pikiran-pikiran itu muncul kembali saat melihat perlakuan pria yang kini bersanding dengan Liona. Namun, di sisi lain tampaknya ia juga harus sadar bahwa pasangan wanita itu rasanya cukup baik di mata siapa pun.
Aga tidak salah melihat jika ada beberapa tamu yang bersikap sangat menghormati pria itu. Entah apa korelasinya, yang jelas sepertinya pria itu juga bukan sosok sembarangan.
Apa itu alasanmu tidak menyapaku dan berpura-pura tidak mengenalku? Batin Aga lagi.
Aga menghela napas dan kembali berdiri menuju ke kamar mandinya. Bukan saatnya memikirkan hal seperti ini bahkan Liona bukan lagi urusannya.
Hingga, beberapa saat kemudian pria itu keluar dari kamar mandi sudah dengan baju tidurnya. Mengistirahatkan badan menjadi pilihan Aga setelah kegiatan tambahan tadi cukup membuatnya semakin lelah. Melupakan segala hal yang membuat hati gelisah dan berharap esok hari kembali normal seperti biasa.