SEMAKIN MELUPA, SEMAKIN TERINGAT

2380 Words
Aga menatap Liona seketika saat suara wanita itu akhirnya memasuki indra pendengarannya. Pandangan mereka kembali bersua sejenak. Persoalan yang merujuk pada keseriusan perkenalan lebih lanjut antara dirinya dan Jessica, ternyata mampu menarik perhatian Liona. "Semoga menjadi akhir yang baik ya," ucap Liona melanjutkan ucapannya tadi dan secepat mungkin mengeyahkan pandangan ke arah lain. Sedangkan Jessica hanya tersenyum malu mendapati dukungan semua pihak terhadap dirinya dan Aga. Seakan lampu hijau pun sudah menyala, padahal mereka jelas butuh waktu untuk sekadar mengenal lebih jauh. "Tuh, Jess, banyak yang dukung. Mama sih setuju kok," ujar Berlin diiringi canda tawa menggema. Aga yang tadinya terdiam sejenak lantas tersenyum tipis dan mengalihkan pandangan ke arah keluarga Jessica. Menanggapi setiap hal yang merujuk pada kelanjutan hubungannya dengan Jessica secara terang-terangan. Persetan dengan rasa sesak yang sedari tadi mulai menguar dalam hati masing-masing. Nyatanya, Aga dan Liona membuat sebuah pengakuan publik seakan memang mereka sudah memilih jalan masing-masing saat ini. Di tengah-tengah perbincangan hangat, tiba-tiba ada yang menarik perhatian mereka. Sebuah meja di ujung, berjarak kurang lebih sepuluh meter dari mereka terdapat sepasang kekasih yang tampaknya berbahagia. Seorang violin tengah memainkan sebuah biola dengan sangat indah dan enak didengar. Hingga, akhirnya sebuah lamaran menjadi tujuan utama sang pria ke wanitanya. Hal yang membuat Liona kini menatap lurus dan tersenyum tipis. Liona bukan lagi tertarik pada sepasang kekasih itu, melainkan pada sang violin dengan alunan nada indah yang dimainkannya. Namun, saat itu juga Alvin bergerak dan beranjak begitu saja meninggalkan meja dan izin untuk ke toilet. Liona yang paham akan situasi hanya bisa terdiam. Selalu saja seperti ini, ketika ada suara alat musik khususnya biola, Alvin selalu menghindar. Entah, apa yang membuat pria itu seperti ini, sampai sekarang Liona belum mendapatkan jawaban. "Liona ini katanya Alvin bisa main biola ya?" tanya Berlin tiba-tiba, membuat topik pembicaraan baru yang mulai beralih melibatkan Liona. Liona yang kembali menatap lurus ke arah sang violin itu mendadak sedikit terkejut. Ia hanya bisa tersenyum dan mengangguk malu-malu. "Iya, Tante. Tapi udah nggak main lagi, soalnya si Alvin juga nggak terlalu suka sama musik dan juga sibuk sama kerjaan yang nggak mendukung untuk ngelanjutin itu," ujar Liona menjelaskan. "Kereeenn!" Ada sahutan kencang dari sisi kanan Aga. Jessica langsung tertarik dengan obrolan itu dan menyorot ke arah Liona. "Liona, ajari aku dong. Aku lagi belajar biola. Tanya deh sama Mama. Ya kan, Ma?" "Iya, tapi enggak enak. Enggak kayak pria itu." "Ish, Mama, kan lagi belajar." Jessica menekuk bibirnya ke bawah mendengar ejekan sang Ibu. Ia kembali menatap Liona. "Aku belum nemu guru yang tepat. Kamu mau ajari aku?" Kembali, ada rasa canggung yang menyerang Liona. Bukan ia tidak ingin berbagi ilmunya, hanya saja sudah sangat lama ia memang jarang memainkan alat musik itu. Kesibukannya sebagai pekerja dulu dan saat ini sebagai dosen membuat hobi itu terbengkalai. Apalagi sejak Alvin melontarkan sebuah kalimat ketidaksukaannya terhadap alat musik itu membuat Liona sedikit rendah diri untuk melanjutkan hobinya. "Tapi, aku udah enggak pernah main, Jess. Udah sibuk sama kerjaan." Di tengah perbincangan yang terjadi, Alvin kembali lagi dari toilet. Wajahnya kembali terlihat segar setelah tadi sedikit keruh. "Enggak kenapa-kenapa. Yang penting kamu jago. Pasti kan ada ilmunya sama kayak expert. Mau ya Liona. Aku pengen banget bisa main biola." "Apa bagusnya main biola? Mending kamu kembangin lagi deh Jess keahlihanmu sama piano. Kayaknya lebih cocok." Alvin langsung menyahut perbincangan dua wanita itu yang mendukung pengakuan Liona bahwa pria itu memang tidak menyukai alat musik biola. "Ish, Alvin! Aku kan pengen bisa yang lain gitu. Pengen nyoba alat musik lain. Aku boleh kan minta ajarin Liona?" "Ya terserah kamu, Jess. Asal enggak ada aku aja nanti." "Padahal jadi violin itu butuh usaha yang serius." Suara berat itu tiba-tiba menerobos masuk ke dalam obrolan. Aga, dengan tatapan tenang yang menyorot ke arah Alvin sedikit terganggu dengan ketidaksukaan pria itu terhadap hobi Liona. Padahal dulu, ia sangat mendukung kegiatan wanita itu hingga membelikan satu buah biola untuk Liona. Ia sedikit tidak enak hati ketika ada seseorang yang membatasi hobi dan kemampuan orang lain hanya karena tidak suka. "Gimana?" Alvin mulai menyahut dan terlihat serius. "Ya, menurut saya pemain biola itu cukup hebat sebab menurut penelitian, biola itu salah satu alat musik tersulit untuk dipelajari. Sayang saja kalau misal kekasih anda dibatasi seperti itu hanya karena tidak suka." Alvin yang tadinya terlihat baik-baik saja kini merubah wajah menjadi sedatar mungkin. Tatapan yang setajam elang itu mampu menusuk Aga jika pria itu juga saling menatap. Ada yang salah, perasaan Alvin benar-benar terganggu dengan kehadiran Aga. Apalagi sejak kemarin kecurigaan itu makin menjadi oleh orang yang sama. "Maksudnya gimana,ya? Dia kan calon istri saya. Ya saya berhak melarang atau menyuruh apa pun kan? Apalagi hanya sebatas melarang bermain biola, ada banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan selain itu. Lagipula tunangan tidak keberatan atas itu." Ada sebuah gelak tawa di akhir kalimat. Aga terdiam sejenak. Alvin benar, untuk apa juga ia terlalu mengekpresikan ketidaksetujuan itu secara terang-terangan. Membuat ia mendecak kecil dan melesungkan senyumnya ke arah Alvin seolah tidak terjadi apa-apa. "Ya ... saya hanya beropini saja, soalnya sayang juga kalau dibatasi." "Jadi ... aku boleh belajar sama Liona kan, Vin?" Kembali, suasana teralihkan dengan masuknya suara Jessica memecahkan ketegangan yang sempat hadir di antara Alvin dan Aga. Hingga akhirnya Alvin hanya menyetujui saja dengan tetap pada pendirian sebelumnya. Sementara itu, hanya anggukan dan senyum lagi yang ditorehkan Liona saat Jessica kembali menanyakan kesediaan dirinya untuk mengajari wanita itu. Membuat Jessica sangat senang dan antusias sampai menanyakan di mana alamat Liona tinggal. Hingga beberapa jam kemudian, mereka mengakhiri acara santai itu. Kembali ke kediaman masing-masing setelah banyak saling bertukar informasi tentang diri pribadi. Namun, ketika mereka berpisah di depan restoran itu. Aga sejenak mengelilingi mall itu sendiri guna meredakan hati yang sedari tadi bergejolak tanpa kendali. Perasaan turut menguat ketika beberapa kali bertemu Liona, membuat ia berpikir lagi bahwa banyak hal yang sudah menghilang dari dalam diri wanita itu. Senyum yang tertoreh dulu, sikap Liona saat itu juga berubah drastis. Aga memahami setiap orang mampu berubah seiring perjalanan hidup dan usia. Namun, hati kecilnya merasa ada yang salah dengan hubungan wanita itu dan Alvin. Bahkan Aga terlalu sibuk memikirkan apakah Liona benar-benar bahagia atau tidak bersama pria pilihannya. Hingga, akhirnya ia keluar dari mall menuju ke arah tempat parkir mobil yang berada di basement lantai tiga untuk pulang. Sudah cukup rasanya memusingkan hal yang seharusnya tidak lagi terpikirkan andai pertemuan ini tidak terjadi. "Loh, Jess? Kamu parkir di sini?" Aga mulai menghampiri wanita yang tengah kebingungan di sisi mobilnya setelah beberapa kali memastikan bahwa itu adalah Jessica. "Eh, Aga. Ah, kebetulan. Mobil aku kayaknya mogok deh. Aku udah telepon Mama tapi enggak diangkat. Telepon Kakak juga sama. Aku boleh numpang mobil kamu enggak?" "Sure. Ayo. Mobil aku kebetulan parkir di sini. Aku pikir kalian satu mobil berangkat ke sini. Terus ini?" "Gampang lah, nanti aku panggil montir aja buat jemput mobil aku." Aga hanya mengangguk dan akhirnya Jessica ikut bersama Aga menuju ke arah mobilnya. "Aga, aku minta maaf ya jadinya harus numpang mobil kamu." "Santai saja, Jess. Lagipula aku juga enggak merasa direpotkan," balas Aga yang mulai merekatkan sabuk pengaman pada tubuhnya. "Kamu ada acara lagi habis ini, Ga?" Aga menggeleng pelan sembari mulai meninggalkan tempat parkir itu. "Kenapa, Jess?" "Ah, enggak. Aku hanya bertanya. Oh, iya, kapan-kapan aku mau minta temenin kamu boleh enggak ya?" "Ke mana, Jess? Kalau memang enggak ada kesibukan di kantor ya enggak masalah. Nanti aku sempatkan." Ada sebuah senyum tipis di bibir Jessica. Sepertinya ungkapan Aga tadi selalu terngiang-ngiang di benak wanita itu, ditambah seluruh sikap yang sepertinya benar-benar ingin saling mengenal lebih jauh, tampak begitu saja berjalan mulus. Bukan tidak mungkin Jessica suka pada pandangan pertama. Nyatanya wanita itu benar-benar merasa senang dan hatinya berbunga saat pria berkulit ivory ini berniat meluangkan waktu untuknya. "Aku mau ke rumah Liona, kamu inget kan tadi aku mau belajar banyak dari dia tentang biola. Mau kan temenin aku?" Deg! Aga mendadak menghentikan mobil sebelum benar-benar keluar dari gedung parkir mall itu. Pria itu ingat bahwa tadi obrolan tentang Liona sudah berhasil menggelitik memori masa lalu. Apalagi saat ini harus memutuskan apakah ia bersedia mengantar ke rumah Liona atau tidak. Keterdiaman Aga yang mendadak membuat Jessica sedikit terkejut. Beruntung belum ada mobil lain yang mengklakson saat itu. "Aga, kenapa?" tanya Jessica sedikit panik. Aga langsung kembali tertarik pada kenyataan. Semakin lama rasa ingin melupakan justru semakin sulit. Niat hati ingin membuka diri untuk bisa menerima orang lain, nyatanya kendala itu tetap saja menghantui. Entah, apakah kendala kali ini akan kembali mempengaruhi niat membuka hati atau justru terjebak lagi untuk mengunci diri? Aga tidak tahu pasti. "Ha? Oh itu, aku pikir di depan tadi ada kucing lewat. Makanya aku rem mendadak. Maaf ya, jess." Aga mulai berusaha mencari jawaban yang masuk akal pada Jessica. "Astaga, aku pikir apa? It's okay nggak masalah." Aga kembali fokus pada situasi saat ini. Kenangan manis bersama Liona masih terpatri jelas dalam ingatan. Banyak hal indah tertuang dalam hubungan mereka, meskipun berakhir perpisahan hanya karena ego darah muda yang masih tinggi. Pria itu menghela napas perlahan sembari fokus menyetir. Aga paham kondisi saat ini dengan sepuluh tahun lalu sangat lah berbeda. Andai ia tidak melepas, andai ia tidak egois, tetapi semua sudah teratur sedemikian rupa. Rasa sesak kehilangan seorang Ibu karena ulah ayah dari Liona membuat hatinya masih merasakan sakit. Namun, seiring berjalannya waktu dan usia, Aga mampu menerima semua keadaan. Bahkan ia menyesal melepas Liona dengan kata-kata yang menyakitkan bagi wanita itu. Saat ini yang dipikiran Aga hanyalah, apakah Liona sudah memaafkan segala ucapannya atau semua yang ia rasakan hari ini buah dari rasa bersalahnya? "Aga ...." Pria itu langsung menoleh ke arah sosok wanita di sampingnya. "Iya, Jess." "Emm, soal tadi, ucapanmu di depan keluargaku. Apa kamu benar-benar mau mengenal jauh sama aku?" "Memangnya kenapa, Jess?" "Emm, kamu beneran free kan? Maksudnya enggak ada yang tiba-tiba labrak sama maki-maki aku kan?" Ocehan wanita itu mendadak membuat geli Aga dan akhirnya ada sebuah tawa menggema. Jessica, wanita cantik itu cukup terlihat polos dan menggemaskan di mata Aga. "Enggak ada, Jess. Lagian siapa yang mau marah-marah sih? Kalau ada, buat apa aku mau nerima ajakan keluarga kamu hari ini? Logika aja, Jess." Jessica hanya tersenyum mendapati jawaban Aga. Hatinya semakin berbunga. Baru kali ini ia bisa jatuh hati secepat itu pada sosok laki-laki. Padahal Jessica bukan tipikal perempuan yang mudah membuka hati untuk pria mana pun. Namun, sosok Aga membungkam semuanya. Jessica mengagumi pria itu. Di matanya, Aga benar-benar sedewasa itu dengan attitude yang sesuai dengan kriteria pribadi. Senyum yang Aga torehkan bahkan membuat candu Jessica. Hal itu terbukti saat setiap kali Aga berbicara dan menorehkan sebuah senyum bahkan tawa, mata cokelat Jessica tidak pernah lepas menatap pria itu. Membayangkan Aga menjadi miliknya? Tentu ia akan beruntung memiliki pria bersahaja seperti Aga, terlepas dari siapa pria yang memang tidak bisa dianggap sembarangan. Namun, kepribadian Aga memang terbaik menurut versi Jessica. "Jess, ini ke mana? Perumahannya yang di mana?" "Hah? Eh, itu ... bentar." Jessica mulai kembali menatap jalanan setelah lagi-lagi ia terperangkap dengan pesona Aga. "Itu lurus aja terus belok kiri. Masuk ke perumahan Jingga Residence." Aga menatap ke depan untuk memastikan dan akhirnya mengangguk. Mobil SUV itu melaju sedikit cepat hingga pada perempatan jalan ia membelokkan kuda besi itu. Perlahan tapi pasti mobil itu bergerak menyusuri perumahan elit di daerah itu. Banyak bangunan-bangunan bertipe modern berdiri. Lingkungan yang sepi menjadi ciri khas perumahan seperti ini. Biasanya, rumah di sini hanya dipakai untuk aset saja. "Itu, Ga, gerbang warna hitam." Aga mengangguk dan mulai menghentikan mobil persis di depan pintu gerbang berwarna hitam. Bangunan modern yang didominasi warna putih dan kaca sebagai desainnya membuat Aga cukup mengapresiasi. "Makasih ya, sekali lagi. Mau mampir dulu?" tawar Jessica yang sudah berada di luar mobil Aga. "It's okay lain kali aja ya, Jess. Mungkin nanti bisa mampir lagi." "Oh, oke. Kalau gitu kamu hati-hati di jalan. Kabarin ya kalau udah sampai rumah." Aga tersenyum dan mengangguk. Ia lantas kembali melajukan mobil itu, berlalu dari kediaman Jessica. Sementara itu, Jessica yang belum masuk ke rumah dan masih mematung di depan gerbang sembari menatap kepergian Aga, hanya bisa tersenyum tipis. "Mungkin kamu orangnya," gumamnya yang semakin melebarkan senyum dan akhirnya berlalu masuk ke dalam rumah. ******** Baru saja Aga sampai di kediamannya. Belum juga turun dari mobil, ponsel berwarna silver yang berada di sampingnya menyuarakan nada dering. Pria itu langsung mengangkat tanpa basa-basi, kebiasaan Aga yang tidak melihat dulu siapa peneleponnya. "Ya?" "Bro, how are you? You still remember me?" Aga meneliti suara sang penelepon sembari mengingat. Hingga beberapa detik kemudian, akhirnya nama sang penelepon kembali dalam ingatan Aga. "James, i'm fine. How about you?" "Very well. Nanti malam, i'm invite you untuk datang ke acara grand opening my bar and lounge. Can you come?" tanya James dengan bahasa campuran sebab mungkin baru bisa melafalkan Bahasa Indonesia saat beberapa tahun lalu meminta Aga untuk mengajarkannya Bahasa Indonesia. "Where? By the way, congrats for your bussines." "Jalan Angkasa no 11, Jakarta Selatan. Nanti saya share lokasinya and then you come here. Okay, brother." "Okay. Thank you very much to invite me, James." Ada beberapa kalimat setelahnya sebelum Aga mengakhiri perbincangan dengan pria bule itu. James Vincent, teman satu kampus Aga saat berada di luar negeri. Mereka saling mengenal sebab tinggal di satu lokasi apartemen. Menjadikan mereka memiliki hubungan pertemanan yang sangat baik hingga Aga kembali ke Indonesia untuk meneruskam usaha keluarga. Sedangkan James, pria keturunan Inggris itu kembali ke negaranya dan lima tahun lalu bertandang ke Bali untuk beberapa alasan yang entah apa. Hingga akhirnya hari ini ia justru mendirikan sebuah bar dan lounge di daerah Jakarta Selatan. Aga menggeleng dan tertawa geli sebab tidak tahu menahu passion dari teman karibnya itu. Dari sejak mereka kuliah hingga hari ini, sifat random pria bernama James itu masih tetap sama. Suka berpindah-pindah bak hidup nomaden mungkin menjadi hobinya. Pria yang suka mengeksplor mana pun demi kesenangan pribadi. Mungkin bagi James, pekerjaan tidak melulu harus di depan meja dengan laptop yang stand by setiap saat. Baginya, menjadi seorang traveller juga bisa mendapatkan uang. Apalagi setiap perjalanan di abadikan dan menjadi sebuah konten untuk dinikmati publik. Iya, pria itu juga seorang travel vloger yang memiliki channel di youtube dengan pengikut jutaan. Jelas pundi-pundi uang mengalir dari sana. Entah untuk alasan apa akhirnya ia mendirikan sebuah usaha di Jakarta, padahal hobinya berjalan-jalan mengelilingi dunia. "Tuan, permisi ...." Aga langsung menoleh saat pendengarannya menangkap suara perempuan setelah beberapa saat lalu masuk ke dalam rumah. "Iya, ada apa, Ra?" tanya Aga pada salah satu pembantunya. "Ini, tadi ada karyawan Tuan Aga ke sini. Kasih dokumen ini." Aga menatapnya sejenak dan membuka lembar per lembar di dalam sebuah map merah. Ia lantas mengangguk dan berterima kasih pada sang pembantu, kemudian melangkah menuju ke arah kamarnya. Setelah itu, ia sejenak terduduk di tepi ranjang dan meletakkan dokumen itu di atas nakas. Banyak hal yang ternyata harus dikerjakan. Bukan hal mudah memimpin sebuah perusahaan dan mempertahankannya sampai detik ini. Waktu dan tenaga yang keluar juga tidak main-main. Rasanya Aga juga sedikit memiliki waktu santai yang terkalahkan dengan kesibukan mengontrol semua pekerjaan. Hal yang membuatnya sadar untuk apa memikirkan semua yang membuat hatinya tak karuan, beberapa waktu ke belakang. Apalagi persoalan hati dan cinta. Baginya sudah sangat lama ia tidak terlalu memusingkan perkara itu dan cukup fokus pada pekerjaan yang berada di pundaknya. Namun, sekali lagi, kehadiran Liona sudah menghancurkan semua benteng yang berdiri kokoh untuk tidak lagi bermain-main dengan perasaan cinta dan kasih sayang. Wanita itu kembali, membawa sejuta kenangan yang mungkin hanya Aga yang merasakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD