Ellea sudah meminta izin pada orang tuanya, bahwa dia akan menginap malam ini. Mereka tentu mengizinkan. Lagi pula ayahnya anak-anak membawa mereka menginap juga hari ini. Seperti semesta seolah membantunya.
Ellea melihat kalender, besok adalah hari ulang tahunnya, apakah Kenzi sengaja mengajaknya menginap karena tahu tanggal ulang tahunnya. Karena selama beberapa tahun dekat, Kenzi tak pernah melupakan hari lahir Ellea, dia selalu mengucapkan selamat ulang tahun meskipun tak pernah memberinya kado.
Berbeda dengan Ellea, di tahun pertama saja dia sudah memberikannya kado, namun tidak di tahun berikutnya. Dia hanya mengucapkannya saja. Pikirnya percuma memberikan hadiah karena hubungan mereka tak juga mengalami peningkatan. Setiap semakin dekat, Kenzi kemudian tampak menarik diri.
Siang ini, Ellea berniat makan seorang diri karena Tora sedang ada urusan ke luar, katanya mau memperbaiki kartu ponselnya yang terblokir karena lupa mengisi pulsa.
Di lift dia bertemu dengan Dena yang juga akan makan, namun Dena hanya seorang diri.
“Mau makan di mana, mbak?” tanya Ellea.
“Mau ke mall sekalian cari kado untuk bos yang mau pensiun. Kamu mau ikut?” ajak Dena.
“Mbak sendiri?”
“Enggak, sama teman-teman sudah nunggu di lobby,” tutur Dena.
“Oh, enggak deh aku sendiri aja, jam satu ada zoom meeting soalnya,” tutur Ellea, bisa dibilang dia memang cukup sibuk di kantor.
“Yah sayang banget, padahal jarang-jarang kan keluar ngemall,” tutur Dena. Ellea hanya tertawa, lalu dia seolah teringat tentang Tia.
“Mbak, kenal Tia?” tanya Ellea.
“Kenal, kenapa?”
“Enggak, kemarin dia minta barang ke ruangan, tiba-tiba keinget aja,” kekeh Ellea menutupi getir hatinya, sejak kemarin dia penasaran dengan Tia.
“Kamu tahu gosipnya belum? Tapi hanya di divisi aku saja sih santernya,” ucap Dena setengah berbisik padahal di lift hanya ada mereka berdua.
“Gosip apa?”
“Dia itu pacaran sama suami orang,” tutur Dena.
“Hah? Serius?”
“Iya, bahkan sudah disidang katanya, tapi tau deh tetap aja jalan tuh orang dua, gila memang,” ujar Dena. Ellea hanya menggeleng, padahal gadis itu cukup cantik. Namun kenapa memilih bersama laki-laki lain?
Lift terbuka di lantai satu, mereka berdua pun keluar. Dena menuju teman-temannya yang telah menunggu. Ada Vera juga di sana. Sementara Ellea langsung jalan ke kantin. Ah kantin sangat ramai di jam dua belas. Dia ingin membeli makanan dan membungkusnya saja, namun dia ingat di ruangan nanti hanya ada dia berdua dengan Nando, dia tak akan nyaman. Karena itu dia mengedarkan pandangan mencari tempat kosong. Hingga seorang mengangkat tangannya. Ellea mengenalnya.
“Sini,” panggil pria paruh baya yang rambutnya sudah memutih itu. Haris, yang merupakan atasan Tia. Masih lebih baik lah duduk bersamanya, pria itu terkenal ramah pada siapa pun, meskipun dia sedikit over sharing.
Ellea membawa makanannya ke arah Haris dan duduk di seberang mejanya.
“Pak Haris sendiri?” tanya Ellea berbasa basi, tampaknya pria itu juga belum lama tiba karena makanannya masih banyak.
“Iya, biasa lah, teman kamu mana? Biasanya sama dia?” tanya Haris.
“Tora? Katanya nomornya keblokir jadi dia lagi ngurus,” ucap Ellea.
“Oh gitu. Kenzi sudah masuk kerja?” tanya Haris, wajar menanyakannya karena mereka berada di lantai yang sama, bahkan ruangan Kenzi tak jauh darinya.
“Sudah, pak,” ucap Ellea.
“Dia lagi dekat dengan siapa sekarang?”
“Waduh, kurang tahu pak,” bohong Ellea. Haris hanya tertawa.
“Padahal tahun lalu sudah mau menikah sama Tia, tapi gagal,” ujar Haris. Ellea yang sedang mengunyah makanannya pun cukup tersentak mendengarnya.
“Nikah?”
“Iya, waktu itu Kenzi ke ruangan saya, terus dia melihat Tia dan saya kenalkan saja keduanya, Kenzi bilang dia mau serius sama Tia, tapi kayaknya Tia belum mau saat itu. Akhirnya Kenzi mundur, padahal sudah sempat tanya-tanya alamat rumah dan dia bilang mau main, mau melamarnya.”
“Ngomong ke bapak? Apa ke Tia?”
“Ke Tia lah, masa ke saya?” kekeh Haris. Hati Ellea merasa sakit. Tahun lalu? Bukankah mereka masih berhubungan tahun lalu. Bagaimana jika benar mereka menikah saat itu? Betapa sakit hati Ellea seandainya hal itu terjadi, tiba-tiba pria yang dia manifestasikan selama ini meninggalkannya untuk menikah.
“Oh Tia cantik sih, wajar mas Kenzi suka,” ucap Ellea sambil menelan makannya dengan agak susah, nyatanya Haris tidak melihat raut terganggu dari Ellea.
“Bukan karena cantik, tapi Tia dan Kenzi itu satu daerah, sama seperti mendiang istrinya, mungkin itu yang membuatnya ingin menikahinya, satu suku,” tutur Haris.
“Oh gitu.”
“Ya, tapi kalau enggak jodoh mau dikata apa?” ucap Haris.
Ellea hanya tertawa menanggapinya, tawa aneh karena dia pun bergidik mendengarnya.
“Kamu sendiri bagaimana? Sudah ada calon?” tanya Haris. Ellea hanya menggeleng.
“Kalau bisa cari calon yang dari luar perusahaan ini, biar kamu tetap bisa bekerja juga, sayang karir kamu,” tutur Haris menasehati. Ellea hampir tidak tertarik lagi dengan percakapannya dia hanya ingin cepat-cepat menghabiskan makannya. Padahal malam ini dia sudah membayangkan akan menjadi malam indah dengan suaminya. Namun, hatinya terasa mengganjal kini.
***
Siang tadi Kenzi sempat check in di hotel dan kembali ke kantor kemudian.
Ellea meninggalkan sepeda motor di parkiran kantornya karena Kenzi akan menjemputnya seperti yang dia janjikan. Seperti biasa menunggu di depan minimarket setelah melalui jalan kecil.
Membeli beberapa cemilan sambil menunggu, dia pun kemudian berdiri di depan pelataran minimarket.
Hingga sebuah klakson lagi membuyarkan lamunannya, Kenzi sudah duduk menunggangi sepeda motornya. Ellea yang memakai masker itu menatapnya dan berjalan menghampiri, meletakkan kantung belanja di cantelan motor Kenzi dan duduk di belakangnya.
Kenzi segera menjalankan sepeda motor itu menuju hotel, namun dia sempat berhenti di rumah makan seafood. Ellea tahu Kenzi selalu mengajaknya makan di tempat yang baik, tak pernah sekalipun dia mengajak makan di emperan atau warung makan gerobak di pinggir jalan. Kadang Ellea iseng mengajaknya namun dia menolak. Entah karena apa? Mungkin Ellea berpikir seperti itulah selera Kenzi.
“Mau kepiting? Suka kan?” tanya Kenzi. Ellea mengangguk, masih teringat kata-kata tentang atasan Tia yang mengatakan bahwa Kenzi pernah mengajak Tia menikah, sedangkan dia? Ah sudahlah.
“Mau apa lagi?” tanya Kenzi pada Ellea.
“Terserah,” jawab Ellea malas.
“Kamu kenapa?” tanya Kenzi sambil mengernyitkan keningnya.
“Enggak, mungkin mau datang bulan, pengaruh hormon,” jawab Ellea. Kenzi hanya terdiam, mencatat pesanan dan menulis namanya, lalu menyerahkan pada pramusaji.
“Memang sudah mau tanggalnya?” tanya Kenzi. Ellea hanya mengangguk saja, dia memilih mengirim pesan pada ibunya, bertanya apakah anak-anak sudah dijemput oleh ayah mereka?
Padahal malam ini Kenzi bersikap sangat manis, entah hanya perasaan Ellea saja, atau memang dia memperlakukannya dengan sangat baik. Memotong kepiting dan mengeluarkan daging dari cangkangnya, dia juga meletakkan lauk di piring Ellea, membuka tutup botol untuknya tanpa diminta. Bahkan yang terakhir menggandeng tangannya menuju parkiran motor.
Hingga kemudian mereka tiba di hotel yang mereka tuju. Hotel itu cukup besar, hotel bintang empat dengan gedung yang cukup tinggi. Ellea hampir tidak pernah menginap di hotel sebesar ini. Dulu ketika menikah dengan suaminya, mereka hanya bulan madu di hotel bintang tiga atau dua, atau memang hotel yang dijuluki hotel melati dengan fasilitas yang lebih mirip seperti kamar kost.
Berbeda dengan hotel yang cukup besar ini, view kamar menghadap ke gedung bertingkat lain, maklum hotelnya berada di ibu kota. Bed yang besar dengan televisi cukup besar, ada kulkas juga di sana, sofa dan meja makan.
Puas memandangi kamar itu, Ellea menuju kamar mandi, dia melihat interior kamar mandinya, alangkah menyenangkan jika kamar mandi rumahnya seperti ini, sejenak dia membandingkannya. Closet duduk di sini, sementara di rumahnya closet jongkok yang membuatnya pegal jika dia diare atau sembelit.
Kran air hangat meski tanpa bath tub, ada hari dryer di kamar mandi itu, kaca yang besar di belakang wastafelnya.
Ellea terkejut ketika Kenzi memasuki kamar mandi dan memeluknya dari belakang. Ellea bisa melihat wajah Kenzi dari pantulan cermin di hadapannya.
“Mau sholat dulu?” tanya Kenzi. Ellea mengangguk sambil tersenyum. Kenzi melepas pelukannya, jantung Ellea berdegup tak karuan.
“Mandi dulu, habis itu baru sholat,” usul Kenzi yang lagi-lagi hanya diangguki oleh Ellea. Ellea mengambil handuk yang tersedia, dia pun mandi lalu beribadah di kamar itu, dia memang membawa alat untuk ibadahnya.
Menyusul Kenzi kemudian. Setelahnya Ellea memakai pakaian tidurnya. Celana pendek sejenis hot pants berwarna hitam, dengan kaos ketat berwarna merah muda.
Ellea mengganti saluran televisi, tidak ada yang menarik perhatiannya di saluran itu. Kenzi sudah selesai sholat dan duduk di ranjang, di sampingnya. Mereka berdua justru merasakan kecanggungan yang luar biasa padahal mereka dekat sudah lama namun tak juga menepis rasa canggung ketika berdua di kamar seperti ini.
“Jadi awkward ya,” tutur Ellea. Kanzi menoleh ke arahnya, dia menatap mata itu, memajukan wajahnya dan mengecup bibir Ellea. Ellea merubah posisinya, sehingga Kenzi kemudian memiringkan tubuhnya dan menindih Ellea.
(Mature content 21+ please be smart reader)
Kenzi melumat bibir Ellea dengan sangat bernafsu, beberapa kali Ellea merasakan bibirnya tergigit oleh Kenzi. Kemudian kenzi menurunkan ciumannya menuju leher Ellea, menghisapnya. Ellea melenguh, Kenzi meremas bukit kenyalnya. Dia menarik kaos Ellea sehingga meninggalkan penutup bukit kembarnya saja, Ellea membantu melepas kaitnya sehingga Kenzi bisa leluasa mengulum dan bermain di bukit itu.
Ciuman Kenzi terus turun, dia melepas penutup tubuh Ellea lainnya sehingga dia tak berbusana sekarang. Ellea membuka kakinya, menatap wajah Kenzi yang memperhatikan miliknya, Ellea hampir lupa bernapas ketika Kenzi mencumbu liang gairahnya. Mata Ellea terpejam, tangannya mengusap kepala Kenzi, meski belum terlalu lihai namun Kenzi mampu membawanya menuju gerbang kenikmatan. Ellea semakin berhasrat tubuhnya melenting ke atas dan melenguh, dia mendapatkan pelepasan pertamanya.
Kenzi mengusap mulutnya yang basah dengan kaosnya, dia membuka kaos miliknya dan juga celana pendeknya, dia berjalan menuju tasnya, Ellea melihat kejantanan sang suami yang menegak. Kenzi mengambil benda yang dibelinya tadi. Dia membuka kardusnya dan menghampiri Ellea. Ellea hanya terkekeh melihat benda itu, dia pernah menggunakannya dulu.
“Pakai-in,” ucap Kenzi dengan senyumnya membuat Ellea menggeleng geli. Dia membuka bungkusnya, mengusap milik Kenzi dan memasangkan benda yang terbuat dari silikon berwarna bening itu. Kenzi mendongak, usapan Ellea lebih dari sebuah usapan. Dia pun menunduk dan mengecup bibir istrinya.
“Sekarang ya?” pinta Kenzi. Ellea mengangguk dan Kenzi kembali menindihnya, memposisikan miliknya tepat di depan pintu liang gairah istrinya, benda itu menyeruak, Ellea mengernyit, ukurannya terasa sangat besar, dia merasa sangat penuh, bahkan Kenzi merasakan sedikit kesulitan, mungkin karena terlalu sempit akibat terlalu lama tak terjamah, kemudian dia menghujamkannya dengan satu sentakan yang panjang. Ellea melenguh sementara Kenzi mengeluarkan desahnya yang membuatnya kian berhasrat.
Kenzi menggerakkan pinggulnya, memompa tubuh sang istri, napas mereka kian memburu dengan suara yang saling bersahutan. Kenzi membungkam desahan Ellea dengan lumatannya. Ellea merasakan akan sampai, lalu Kenzi semakin memperdalam hujamannya, mereka mendapatkannya bersamaan, Ellea bisa merasakan milik sang suami yang berkedut meski tak ada yang tumpah di sana. Kenzi ambruk menindih Ellea, dia mengecup kening istrinya, dan menarik benda yang terbenam tadi, berbaring di samping Ellea dengan napas tersengal.
***