Satu
Suara klakson motor cukup membuyarkan lamunan Ellea, dia memang sudah lima menit menunggu di depan minimarket. Malam ini cukup cerah, seperti biasanya dia pulang kerja di jam seperti sekarang ini.
Seorang pria memakai helm menoleh ke arahnya, Ellea langsung naik ke motor itu. Melingkarkan tangannya memeluk pria yang merupakan teman kerjanya itu. Kenzi namanya. Usia mereka terpaut cukup jauh, delapan tahun, lebih tua sang pria.
Ellea sendiri saat ini berusia tiga puluh tiga tahun. Dia seorang single parent dua anak. Wajahnya manis, hidungnya mungil dan ada lesung pipi kecil di dekat bibirnya.
Kenzi juga merupakan seorang single, duda tanpa anak. Istrinya meninggal ketika hamil. Sebuah penyakit dideritanya hingga dia harus kehilangan istri dan anaknya sekaligus. Bukan hal yang mudah, namun dia telah melalui kesakitan itu empat tahun lamanya. Sama dengan usia perceraian Ellea.
Seorang wanita merebut hati suaminya, banyak yang bilang suaminya terlalu jahat, menjandakan istri demi janda. Namun entahlah, toh Ellea selama ini sudah merasa tak ada rasa untuk pria yang telah menghamilinya dua kali itu. Dia juga tak membawa kasus ini di pengadilan karena tidak cukup kuat bukti.
Rambut panjang Ellea berkibar, dia hanya menguncir setengah rambutnya, membiarkan angin membelai kepalanya malam ini. Meletakkan dagu di atas bahu sang pria. Rasanya sangat nyaman.
“Sampai kapan kita menyembunyikan hubungan kita, Mas?” tanya Ellea. Yang ditanya hanya meliriknya dari kaca spion motornya yang cukup usang. Bukan tak mampu, Ellea tahu Kenzi telah memiliki rumah dan bahkan mobil. Namun entah mengapa dia sangat menyukai motor tua yang bahkan standarnya miring itu. Sangat miring hingga orang akan menganggap motor itu akan jatuh jika ditinggal.
Ellea tahu tak ada jawaban pasti dari pertanyaannya. Sudah tiga tahun dia menjalin hubungan rahasia dengan pria ini. Status mereka lah yang menjadi alasannya. Mereka berdua terlalu takut dengan anggapan janda dan duda yang tersemat. Romansa di kantor, jika mereka masih gadis dan bujang tak akan menjadi buah bibir. Namun berbeda dengan status mereka.
Omongan miring pasti tak terelakkan. Bukan sekali dua kali orang-orang menyindir atau berpura menjodohkan mereka namun dibelakang mencibir. Ellea dan Kenzi sangat tahu hal itu, sebab itu lah mereka jarang sekali terlihat bersama di kantor.
Jika memang mereka memiliki waktu luang, mereka pasti pergi ke luar untuk makan malam. Ya hanya makan malam tidak lebih.
Hubungan mereka tidak seperti pikiran orang tentang pacaran ala orang yang pernah menikah. Tidak! Mereka memang telah berusia matang, namun untuk melangkah ke arah hubungan yang lebih gelap mereka tak mau. Berciuman saja mungkin hanya dua kali, itu pun mereka sangat menahan diri. Tak mau berbuat lebih yang akan merugikan mereka berdua.
Motor Kenzi berhenti di restoran khas Timur, ada ayam panggang dengan nasi kebuli. Sebagai menu utama.
Kenzi tak bisa memberi kepastian bagi Ellea, mungkin juga menikahi Ellea adalah opsi terakhirnya. Selama ini Ellea tetap menerimanya, dia merasa senang bisa bersamanya, meski dia tahu dirinya mungkin hanyalah sebuah opsi akhir dari Kenzi.
Memiliki dua anak mungkin yang jadi bahan pertimbangan Kenzi, cintanya pada Ellea mungkin tak sebesar itu untuk memperjuangkannya. Dia hanya nyaman bersamanya tanpa berniat berlayar. Melajukan perahu yang mereka naiki.
Mereka makan di rumah makan yang tidak terlalu jauh dari kantor, jarak dua puluh menit ditempuh dengan sepeda motor. Biasanya mereka berbincang di motor, sama seperti ABG, terkadang saling bercanda dan tertawa, namun tidak untuk malam ini. Pertanyaan Ellea mungkin membuat mood Kenzi memburuk. Ada sesuatu yang membuatnya sangat ragu.
Kenzi memesan makanan tanpa bertanya pada Ellea, toh Ellea memang sangat plin plan, namun dia akan memakan apa pun yang disediakan.
Dua piring nasi kebuli lengkap dengan potongan ayam panggang. Ellea memakannya setelah mencuci tangan, rasanya hambar. Dia tidak terbiasa.
“Kok diam?” tanya Kenzi, Ellea hanya menarik napas panjang. Bukankah sejak tadi pria yang rambutnya mulai ditumbuhi uban ini diam saja?
“Capek,” jawab Ellea.
“Bos masih belum masuk ya?” tanya Kenzi yang memang satu lantai dengan Ellea, namun mereka beda divisi.
“Ya biasa, namanya juga sudah mau pensiun, masuk sesukanya,” jawab Ellea, padahal dia lebih capek ke psikisnya. Entah sampai kapan dia menjalin hubungan ini? Dia bisa berbohong mengatakan pada sahabatnya bahwa dia bahagia dengan statusnya.
Akan tetapi dalam hatinya dia masih menyimpan sedikit harap untuk bisa bersama pria di hadapannya ini ke pelaminan.
“Jadi lari minggu depan?” tanya Ellea. Sambil memasukkan potongan ayam ke dalam mulutnya.
“Jadi, sudah pesan hotel di Bandung,” jawab Kenzi memandang Ellea dengan pandangan tak terbaca. Ellea hanya mengangguk. Sejak istri Kenzi meninggal, pria itu memang seperti gila lari. Orang bilang lelah berolah raga bisa membuat pikiran lebih tenang, jadi dia melampiaskan kesedihan dan frustasinya dengan lari. Itu yang mungkin di pikiran Ellea.
Setiap bulan Kenzi selalu ikut turnamen lari, dari fun sampai turnamen sungguhan. Entah sudah berapa banyak medali yang dia dapat? Padahal dia bukan atlet, hanya menyalurkan hobinya saja namun dia benar-benar fokus akan hobinya tersebut.
“Anak-anak sudah mulai les privat sebulan lalu,” ujar Ellea membuka percakapan.
“Oh.” Ya hanya kata Oh yang keluar dari mulut Kenzi. Jelas, dia tidak tertarik dengan keluarga Ellea, dia tak pernah sekalipun menanyakan tentang anak-anak Ellea.
Mantan suami Ellea sudah menikah lagi, selang dua tahun setelah perceraian mereka. Ellea tak pernah menyangka bahwa ayah dari anak-anaknya menjalin hubungan dengan wanita lain.
Perceraian mereka memang keinginan Ellea, dia yang sudah tidak kuat berumah tangga dengan pria yang tak peduli padanya, di tambah kehadiran orang ketiga, yaitu ibu mertuanya yang membuatnya sangat sesak. Ikut campur dalam rumah tangganya. Akhirnya setelah sembilan tahun berumah tangga, dia pun mewujudkan perceraian yang selama ini selalu singgah di benaknya.
Ellea berpikir dia tak akan mau menikah lagi, tidak! Pernikahan di benaknya hanya membawa derita. Namun ... semua berbalik saat dia dekat dengan Kenzi. Dia sangat ingin menikah dengannya, meskipun tidak demikian dengan Kenzi. Apakah ini karma baginya? Bukankah dia harusnya mendapat karma baik? Entahlah.
“Enggak habis?” tanya Kenzi. Ellea hanya menggeleng, salah satu kelemahannya, dia susah makan banyak. Memang dia sering mengemil, namun tidak untuk makan dalam porsi besar. Dia tak pernah habis. Dan satu yang selalu dia sukai dari Kenzi.
Pria itu tak segan menghabisi makanannya, meski kenyang. Kenzi tak suka hal mubazir. Dia menukar piring kosongnya dengan piring Ellea. Menghabiskan nasi yang sisa seperempat itu.
Ellea hanya tersenyum, “good,” ucapnya pelan. Kenzi mendengus dan melanjutkan makan. Mereka kemudian berbincang tentang acara lari yang dihadiri Kenzi.
Jika berbincang berdua, Kenzi sangat suka berbicara. Beda dengan chat, dia sangat dingin dan hanya membalas seperlunya saja. Mungkin ponsel bukan prioritasnya? Atau dia memang tidak suka berkirim pesan.
Pembicaraan tentang keluarga, adalah hal yang paling jarang diceritakan Ellea, yang Ellea tahu Kenzi memiliki satu keponakan yang masih kuliah, dan dia yang membiayainya karena keluarga keponakannya juga sulit dalam perekonomiannya. Dia memiliki satu ibu tunggal yang tinggal seorang diri sejak keponakannya kuliah di luar kota.
Setelah makan, mereka pun kembali menuju arah kantor. Seperti biasa Ellea meninggalkan motornya di kantor. Sehingga dia harus jalan memasuki gerbang gedung tempatnya bekerja selama sepuluh tahun belakangan ini.
“Kok tambah gede,” goda Kenzi ketika Ellea memeluknya dari belakang.
“Ish, Mas!” ujar Ellea seraya mendengus. Kenzi hanya tertawa menanggapinya, dia meraih jemari Ellea dan menggenggamnya erat. Sementara tangan kanannya terus memegang gas motor, mengendalikan motor itu. Terkadang saat tikungan, dia melepas pegangan tangan ke jemari Ellea. Ellea sangat menyukai ini. Hal kecil namun membuatnya selalu berdebar.
Percintaan dewasa yang aneh, mungkin jika kebutuhan biologis Kenzi ingin terpenuhi, mereka hanya mengirim chat dewasa dan diakhiri dengan pelepasan sendiri. Tanpa bantuan dari kedua pihak. Hanya itu tidak lebih, mengingat usia Kenzi yang sudah empat puluh tahun, seharusnya memang dia di masa prima di mana kebutuhan biologisnya harus terpenuhi.
Entah mengapa dia pun masih betah melajang? Padahal Ellea tahu ada beberapa gadis yang sempat dekat dengannya selama tiga tahun mereka menjalin hubungan yang mungkin bisa disebut hubungan tanpa status.
Yang percintaannya terkadang on dan off tergantung situasi dan kondisi. Meski telah melanglang buana, tetap saja Kenzi akan kembali mencari Ellea. Namun dia masih memungkiri perasaannya sendiri.
Ellea turun di belakang kantor, ada gang kecil jalan tikus menuju gedung perusahaan setinggi enam belas lantai tersebut.
“Hati-hati,” ujar Ellea seraya mengecup punggung tangan Kenzi.
“Iya kamu juga,” jawab Kenzi, Ellea berjalan memasuki jalan tikus itu hingga Kenzi kemudian melajukan motor menuju arah rumahnya.
Di tengah jalan tikus, dia melihat beberapa rekan kerja satu divisinya, karena di sisi jalan tersebut ada rumah makan sederhana. Ellea ingin memutar namun tidak mungkin, terlalu jauh.
“Dari mana lo?” tanya salah satu teman laki-lakinya.
“Makan!” jawab Ellea judes.
“Eaaa sama cowok ya?” imbuh teman yang lain.
“Mau tau aja, udah ah gue pulang. Bye!” seloroh Ellea tanpa berniat singgah.
“Buru-buru amat, libur juga besok.”
“Males ah bergaul dengan kalian!” ejek Ellea membuat teman-temannya misuh-misuh. Namun mereka tahu Ellea tidak serius akan ucapannya. Ellea kembali berjalan menuju kantor. Melewati gerbang dengan penjagaan petugas keamanan yang memeriksa tasnya dengan metal detector.
Ketika sampai di motornya di ruang parkir, dia hanya menunduk seraya menyalakan starter motor tersebut. Kemudian menarik napas panjang sambil menyalakan musik yang terhubung dengan earphonenya.
Lagu galau mungkin cukup menghiburnya malam ini. Apakah benar dia menyukai rutinitasnya saat ini? atau ... dia harus berbalik arah? Melepaskan Kenzi dan mencari pria lain.
Bukankah dia sudah sering melepaskannya, namun dia yang menariknya kembali!
***