"Mana sini lihat bibirnya."
Sepersekian jam berlalu, Flora akhirnya bangun dan mandi, lalu dihampiri om suami.
"Sakit!"
Yang sedang Wala perhatikan luka di bibir itu, di mana tangan Wala memegang wajah Flora agar nggak nengok sana-sini, sementara tatapan Wala fokus di bibir itu. Namun, saat Flora mengaduh dan bilang bahwa itu sakit, mata Wala bertumbuk tatap dengan mata Flora, dalam jarak yang amat dekat. Pun, keduanya duduk di sisi kasur yang sama.
"Nggak parah, kok," gumam Wala.
"Tapi ini sakit, Om."
Refleks, Wala tiup-tiup. Yang demikian itu, Flora terkesiap dan menegang. Om Wala terlalu dekat. Bibirnya ... i-itu ....
Tatapan Wala yang kembali pada luka di bibir Flora pun naik ke matanya, merasa terganggu oleh sorotan mata itu, pun tubuh Flora yang tiba-tiba kaku. Alhasil, Wala mundur teratur dan berdeham. Kok, ya, dia juga jadi kaku, sih?
"Nanti pun sembuh itu," kata Wala.
Flora tak menyahut dan memilih mengulum luka di bibirnya. Agak lebam di situ, mungkin karena benturan dan tergigit oleh gigi sendiri, jadi gini. Well, itu bibir bagian bawah.
"Om minta maaf, deh."
Flora menoleh, manyun. "Maaf doang mah mana kenyang."
Iya, tahu.
"Ayo sarapan, Om yang traktir."
"Emang gitu, kok, harusnya. Dari dulu juga gitu, apalagi sekarang."
Dasar Flora. Wala terkekeh geli mendengarnya. "Oke. Tunggu bentar, ya? Om sikat gigi dulu."
"Ih!" Flora melotot. "Om tiup-tiup bibir aku dan itu belum sikat gigi? Iyuh, jorok banget!"
Membuat Wala terbahak sepanjang langkahnya menuju kamar mandi. "Kan, emang belum mandi juga. Ah, kamu. Lagaknya ngajak kiss, baru segitu udah merasa jorok, gimana kalo cium? Nempel, lho, bibirnya."
Ya, tapi--
Dipangkas oleh suara pintu kamar mandi, tertutup rapat kini. Flora berdecak jengkel. Namun, nggak salah apa yang teman papanya kata. Ciuman, kan, memang nempel bibir dengan bibir. Jadi ... Flora membayangkan.
Gi-gila!
Baru sekarang Flora merasa abcdefghijkl andai nanti dia berciuman dan itu dengan Om Wala, teman papanya. AAA! KEMARIN-KEMARIN FLORA KESAMBET APA? KOK, NGEBET PENGIN DI-KISS?! SAMA OM WALA? IYUW. ASTAGA, FLORA! Sadar, Cantik!
Flora sampai bergidik.
***
"Kenapa lagi sekarang?"
Setelah duduk manis di tempat makan, menunggu pesanan datang, Wala merasa tatapan Flora lain lagi kali ini.
Nah, tuh ... sisi ini yang baru dia tahu dari seorang putri Agil. Random banget. Kadang begitu, kadang begini, seringnya nggak bisa diprediksi.
"Nggak pa-pa."
"Pasti ada apa-apa."
Sorry, ya. Wala itu pakar wanita, istilah 'terserah dan nggak pa-pa'-nya cewek itu Wala paham di luar kepala.
"Beneran nggak pa-pa, Om."
"Seribu persen kenapa-napa. Ayo bilang, kenapa liatin Om kayak tadi?"
Bedanya, ini Flora. Wanita yang agak lain dari kebanyakan wanita. Wala merasa perlu banyak belajar di saat diri di sisi lain sudah merasa pintar.
Flora mengelap sendoknya dengan tisu yang tersedia. Tadi dia pesan bubur, nah sekarang buburnya datang, pun dengan bubur Om Wala.
"Cuma kepikiran satu dari sekian banyak hal aja." Selepas kang buburnya kembali ke dapur. Eh, ke gerobak.
Om Wala tipe orang yang makan bubur tidak diaduk. Nggak sefrekuensi sama Flora yang wajib diaduk agar bumbunya merata. Saat Flora masih ngaduk, Om Wala sudah makan dengan lahap.
"Kasih tau," katanya, "mikirin apa?"
Flora jawab tanpa menatap om-om di depannya. "Calon istri Om, kok, nggak datang waktu itu? Kenapa? Padahal Om ganteng dan kaya raya, kecuali kalo emang mbaknya nggak suka cowok tua, sih." Sambil mengedikkan bahu.
Eh, Om Wala tersedak.
Terus, salah Flora?
Woyajelas bukan, ya! Om Wala sendiri yang ngajak ngobrol saat sedang makan. Meski demikian, Flora langsung ambilkan air mineral kepada gerangan.
"Kamu--"
"Habisin dulu, deh, buburnya. Nanti Om kesedak lagi, aku yang repot ambil air."
W-what?!
Tertanda, istri Cakrawala.
"Betewe, boleh nambah nggak kerupuknya, Om?"
***
Dulu, zaman Flora SMA. Tepatnya setelah hari kenaikan kelas.
"Tim bubur diaduk, yang gak diaduk sana makan di Mars!"
"Flora!" tegur papa.
Flora cengar-cengir.
Hari itu sedang merayakan Flora yang masuk peringkat sepuluh besar. Papa mengajak Flora dan mama buat nyabu di taman kota. Nyarap bubur, istilah lain dari sarapan bubur gitulah, ya. Nah, tapi ... pagi buta kediaman Flora kedatangan tamu, siapa pula kalau bukan Om Wala?
Katanya subuh-subuh sudah tempur sama mami, di situ Flora makin paham bila Om Wala betul-betul anak orang kaya, sebutannya mami, beda sama Flora yang nyebut mama--umum-umum saja. Di mata Flora, sebutan mami itu melegenda khas orang punya. Dan Om Wala selalu datang ke papa Flora buat ngadu nasib.
Oke. Karena adik-adik Flora juga jauh di asrama sana, jadi cuma Flora anak papa yang diajak nyabu, termasuk dialah tokoh utamanya pagi itu, yang lalu kedatangan tokoh figuran. Om Wala diajak jugalah sama papa buat makan bubur bareng, joging dulu ke tamkot.
Nah, saat itu Flora tahu bila Om Wala berbeda. Flora, papa, dan mama buburnya diaduk, Om Wala nggak. Ya sudah, Flora ledek saja, tetapi malah ditegur papa.
"Terus mau sampe kapan lo kabur-kaburan gini, Wal? Apa nggak sebaiknya lo nikah aja?"
Obrolan mereka yang Flora dengar, dia nggak begitu paham, jadi Flora mengabaikan. Sibuk makan.
"Masalahnya, belum ada yang cocok, Gil."
"Lo mau nyari yang kayak gimana lagi, sih? Cewek yang kemarin lo ceritain ke gue, Adit, sama Arief, kurang apa dia?"
"Kurang kemistri. Kayak nggak nyambung gitu."
"Alah, dasar aja lonya males ngimbangin obrolan dia."
Om Wala tampak mengedikkan bahu. Flora sesekali menatap papa dan teman papanya itu.
"Jangan kebanyakan kriteria makanya, lo kebanyakan milih juga, sih. Jadi susah, kan, jodohnya. Padahal sebelumnya lo mau-mau aja sama siapa pun cewek yang datang "
"Nggak ngaruh, ya, itu. Emang dasar jodoh gue masih nyangkut di jodoh orang, kali."
"Asal udah lahir aja, ya, Om," celetuk Flora. Eh, dia ikutan bicara.
Mama menegurnya. Tak baik ikut-ikutan masuk ke pembicaraan orang lain, orang dewasa pula.
Namun, Om Wala tampak biasa saja, malah menyahut dengan, "Lahir, sih, udah. Tapi kayaknya masih sekolah, Ra."
Eiy!
"Aamiin. Ini aku aminin, lho. Aku mampus-mampusin, ah, nanti kalo iya ternyata jodoh Om masih sekolah."
Dulu.
"Hush!"
Flora ditegur mama lagi, papa pun menegur Om Wala. Ya, begitulah dulu.
"Jangan banyak-banyak sambalnya, Ra," tegur mama part sekian.
Ketahuan, deh, kalau Flora diam-diam menargetkan sambal sementara papa sibuk ngobrol. Eh, lupa. Ada mata mama.
"Biar aja, Sya. Keracunan sambal, mampus entar," celetuk Om Wala.
"Biar ndasmu! Anak gue ini," balas papa.
Karenanya, Flora melet-melet. Dibela papa, dong, dia.
"Flora! Yang sopan, ah."
Nah, ditegur mama. Terus begitu. Flora langsung mingkem, juluran lidahnya henti cukup sampai di sana, sedang Om Wala malah gantian meledeknya. Ditendangnya kaki Flora dari kolong meja, pelan. Ya, Flora tendang balik, keras.
"Aw!" Suara Om Wala. "Anak lo, Gil."
Tulang kering Wala tepat diserang. Sakit, cui!
"Lonya juga, sih, Wal."
"Udah, udah. Itu bubur cepet habisin," tukas Syakira.
Yang malah saling lempar kerupuk setelahnya. Ampun, deh! Saat bersama Flora, Wala auto seumuran tingkahnya.
"Astagfirullah. Wala, Flora, bisa diem, nggak?"
Kan, kan ... rusuh, sih.
Wala geleng-geleng kepala saat mengingatnya. Ya, masa itu. Dulu sama sekali nggak kepikiran bahwa Floralah yang akan dia nikahi. Sosok yang ada di depannya kini, Wala pandangi. Betul-betul Panorama Flora Pandora anaknya Agil. Kadang Wala masih nggak nyangka ... kenyataan yang sulit dipercaya. Namun, itu semua, kan, terjadi karena Wala sendiri. Yang kini sedang Wala tatap cincin di jari manis Flora, sama seperti cincinnya.
"Om inget, gak?"
Tiba-tiba.
"Apa?" Sambil menghabiskan air mineral dalam gelas.
"Waktu itu Om tanpa tau malu ngintil sarapan bubur di acara aku, papa, sama mama."
Yeu!
Wala mencibir mendengarnya.
"Kalo diinget-inget lagi lucu banget, nggak, sih? Ternyata Om selama itu dulu kena omel orang tua disuruh cepet nikah, eh, taunya jodoh Om masih sekolah. Ya, pantes nggak nikah-nikah." Flora terkikik, tetapi kecut kemudian. "Aku batal ngemampusin, deh." Nikahnya sama Flora, sih. Padahal maksud dulu mengaminkan, tuh, bukan gini konsepnya, lho! Ini di luar prediksi BMKG, sungguh!
"Tunggu." Om Wala bilang, "Yakin, kamu jodoh Om?"
Eh?
"Lho ... iya." Kening Flora mengernyit. "Kan, kita udah nikah."
Gimana, sih!
Namun, Om Wala malah tertawa. Yang katanya, "Bisa aja cerai, kan, Ra?"
***
"Gil, tenang, Gil."
"Duduk dulu, Gil. Itu kasian Syakira pusing liat lo mondar-mandir."
Duh, iya ....
"Wala nggak bakal buntingin Flora kalo lo nggak ngizinin, kok. Yakin gue, sih."
"Iya, Gil. Mereka gak bisa dihubungi bukan karena kesiangan akibat hal yang lo khawatirkan, deh, pasti. Udah, lo duduk, terus minum dulu."
Agil sangat khawatir, asal you know!
Adit sama Arief sampai dihubungi Syakira agar membantunya menenangkan Agil. Agak sulit kalau kumat. Ehm!
"Nomor Flora nggak aktif dari semalem. Wala malah nggak angkat telepon gue. Masalahnya mereka lagi di puncak, dingin, berduaan, terus--"
"Stop!" Ini Saykira. "Mama juga belum berharap Flora hamil, tapi bukannya ini terlalu berlebihan, ya, Pa?"
Ya, dan di lain tempat ....
"Nggak diangkat, Pi." Rana geleng-geleng kepala menatap suami.
Yup, Papi Alam mendengkus di situ sepagi ini. Mendadak ingin tahu kabar Flora. Percayalah, semalaman dia kepikiran. Ah, nggak. Lebih tepatnya, sejak hari pernikahan Wala, Alam mulai diganggu pikiran yang tidak-tidak.
"Coba telepon Flora."
"Udah, nomornya nggak aktif."
Makin kepikiran.
Jangan-jangan .... Oh, tidak! Flora yang malang. Alam Semesta di sini mencemaskan sebab dia paham bagaimana nafsu dari seluruh keturunannya, nggak jauh beda, dan Alam khawatir Wala membuat Flora tersiksa. Apalagi di luaran sana nggak ada yang ganggu, kenapa pula dia mengizinkan usul Ranasya? Di rumah ini saja Wala sangat berani berbuat, apalagi di alam liar sana? Bisa-bisa Flora--
"Sakit!"
"Aw ...."
"Flora!"
Ya, Flora.
Di vila dataran tinggi, sehabis sarapan bubur, lalu Flora ngeluyur ke kamar, dan barulah di situ saat Om Wala juga masuk kamar, Flora layangkan bertubi-tubi pukulannya.
Biar tahu rasa!
"Om ada niat bikin aku jadi janda, huh?!"
Flora tidak terima. Dia menolong lelaki itu, masa dia sendiri yang berakhir rugi banyak? Nggak bisa. Dia mau menikah sama Om Wala dan bertahan memang bukan karena cinta, tetapi nggak mau juga kalau dibuat jadi janda. Baginya, kalau sudah basah nyelup di kolam yang Om Wala buat, ya, basah saja semua, sampai akhir. Toh, jadi istri Om Wala menyenangkan, apa-apa tinggal minta, Flora juga nggak perlu ribet urusan hati.
So, rasakan itu!
Enak saja bilang cerai. Minimal sejahterakan Flora dulu!
Iya, nggak?
"Akh!"
Eh?
Flora memekik.
Pada akhirnya, justru dia yang diperangkap.
Tunggu!
Kok, gini, sih?
Wala cekal dua lengan Flora hingga menjadi satu dan dia buat lengan itu ada di belakang tubuh Flora, sedang Floranya jatuh terjerembap di kasur, tengkurap, dengan kepala menoleh kiri-kanan tanpa bisa berbuat apa-apa selain itu sebab Wala kunci pergerakannya.
Memang enak, hm?
"Kamu pikir lagi nyerang siapa, Ra?"
Cakrawala.
Flora lupa, ya?
Dia laki-laki, dia 36 tahun, dan dia punya tubuh yang jauh lebih besar dibanding Flora, plus dengan kekuatannya. Jadi ....
"Om Wala!"
Iya, teriak terus.
Nggak ada yang nolongin, tuh. Wala menyeringai. Menunjukkan dengan siapa Flora berhadapan.
"Berat! Tangan aku juga sakit! Ish, engap!"
Plis, Flora didudukin.
Wala malah makin menanamkan bobot tubuhnya di atas b****g Flora.
Sial.
"Om!" Sambil goyang-goyangkan kaki hingga sebisa-bisa menyentuh punggung Om Wala di sana, memukul dengan kaki, tetapi malah capek sendiri.
"Ayo nangis!" ledek Wala.
Flora gemas ingin menatap wajah menyebalkan laki-laki itu, lalu dia cakar, terus--
"Fuckk!"
Yup, Flora naik-turunkan pantatnya sekuat yang dia bisa, terus begitu.
Eh, Om Wala langsung pergi habis berkata kasar.
Duh, ya ampun.
Begitu saja Flora berkeringat. Gila, sih. Om Wala betulan berat. Syukurlah, kini Flora terduduk, sudah terlepas, dan Om Wala sudah menjauh, tetapi masih dengan menatap tajam Flora di sini.
Apa lo liat-liat?
Kira-kira begitu suara mata Flora kalau bisa bicara. Dia pun menatap balik Om Wala yang berdiri di sana.
Fix, adu tatapan.
Siapa yang kuat nggak ngedip, dia yang menang.
Ya Tuhan ....
Wala bisa gila.
Eh, apa memang sudah?
ARGH!
Sekali lagi Wala tanya, INI PERNIKAHAN MACAM APA, MISKAH?!
***
Malamnya, sunyi sepi. Kayaknya gara-gara siang tadi berantem dan sorenya memutuskan keliling vila, terus momong Flora yang ingin diajak jalan-jalan di sekitar sana. Ya, sudah akur kembali.
Sekarang Wala rebah di kasur A, sebut saja begitu, dan Flora di kasur B. Pisah ranjang, ya, mereka. Namun, dalam satu ruang yang sama, dan sama-sama menatap lurus ke arah plafon kamar itu.
Flora nyeletuk, "Aku mimpi Om."
Membuat Wala menoleh.
"Mimpi apa?"
"Ya, mimpiin Om Wala."
Oh, oke.
Dua-duanya menoleh, saling bertatap muka sekarang, dengan posisi tubuh tetap telentang, tetapi kepala menyamping.
"Gimana mimpinya? Kapan?" tanya Wala, iseng saja menimpali obrolan yang Flora ciptakan.
Sebenarnya, mereka tadi rencana mau tidur. Eh, tetapi nggak ngantuk-ngantuk. Buktinya mata malah memandang plafon, terbuka lebar dan nggak ada sayu-sayunya.
"Mm ... mimpinya aneh banget. Waktu di mobil." Flora alih menatap plafon lagi, tanpa sempat melihat raut Wala. Di situ Flora mengernyit. "Mau denger, gak?"
"Ya, sok aja kalo mau cerita," katanya.
Flora menoleh lagi. Gantian Om Wala yang kembali menatap plafon sekarang. Saat itulah Flora ubah posisi tidur jadi menyamping.
"Tapi malu."
Wajar kalau Wala langsung menatap Flora. Bertatapanlah jadinya. Eh, Flora nyengir.
"Mimpinya agak tabu."
Ada jantung yang berdetak kencang, hanya pemiliknya dan Tuhan yang tahu itu jantung siapa.
"Ya udah kalo nggak cerita juga gak pa-pa." Wala mulai pejamkan mata.
Bibir Flora mengerucut di sana. "Ya, Omnya mau denger, nggak?" Malah kesal dia.
"Iya, sok, gimana?"
Dan, ya ... Wala kembali terjaga, dengan tubuh yang 100 persen menghadap Flora, sama-sama rebah menyamping.
Baru mau cerita, pipi Flora panas duluan, pun rasanya menggelikan, seperti ada bulu halus yang menggelitik, soalnya mimpi waktu itu benar-benar ... ya, gitu, deh. Dia baru berani notice sekarang.
"Tapi Om jangan judge aku gimana-gimana, ya. Ini murni mimpi aja, kok. Aku pun nggak lagi mikirin Om, cuma mungkin karena aku lagi sama Om, jadi mimpiin Om Wala."
"Iya."
Tampak datar raut itu.
Fine, Flora menghela napas dulu sebelum kemudian mengalirlah cerita itu bahwa ....
"Om Wala kiss aku." Flora meringis. "Ya, aku emang waktu itu kepengin, sih, ciuman. Soalnya emang penasaran banget. Tapi masa gara-gara itu, sih? Dan yang ciumnya Om pula, padahal di mimpi. Secara logika, bisa dong tokohnya bukan Om. Siapa kek gitu yang cium aku, toh cuma mimpi, aku ikhlas misal Iqbal Ramadan yang cium." Sejenak, Flora haha-hehe.
"Tapi di mimpi, Om yang kiss aku, dan bukan aku yang mulai, juga bukan karena aku yang minta. Tahu-tahu Om ada di depan muka aku aja, dengan bibir kita yang ... Om paham, kan?" lanjut Flora.
"Nggak."
Ish, masa?!
Flora memicing.
"Terus?" tanya Om Wala. Rautnya sangat serius.
Flora jadi malu. Dia berdeham dulu. "Ya ... nggak ada terus, sih. Pokoknya kita ciuman, tapi aku nggak bisa, jadi di mimpi aku diem aja. Om doang yang gerak-gerak."
Gitu, ya?
"Terus?"
"Udah. Malah terus-terus," cibir Flora.
Om Wala tanya, "Om cium kamunya gimana? Kok, bisa sampe berasa nyata?"
Nah, itu.
Flora ingat-ingat lagi.
"Di mobil ...."
Saat itu dalam mimpi pun Flora sedang terlelap di mobil, jadi terasa real sekali, dan tidurnya terganggu karena ada sesuatu yang benar-benar mengganggu. Kening Flora mengernyit, lalu matanya perlahan terbuka, sayu, Flora mengerjap menatap apa hal di depan wajahnya itu. Bukan cuma di depan wajah, tetapi juga menempel dengan salah satu material di muka.
Oh, bibir namanya.
Ada yang sedang bergerak-gerak di sana. Flora melihat seraut wajah Om Wala yang begitu dekat, pun kemudian tatapannya terkunci dengan tatapan Flora saat itu. Namun, Flora diam saja, Om Wala juga diam, dan hanya sepersekian detik keterdiaman itu berlangsung. Detik selanjutnya Flora kembali merasakan pergerakan di bibir, lalu melihat mata Om Wala menutup, dengan gerak bibir yang laun-laun jadi terasa menuntut. Flora mengernyit lagi.
Entah karena apa Flora nggak paham, dia jadi ikutan memejam, melenguh tanpa sadar, sedang mulutnya mulai terbuka sebab ada bagian dari Om Wala yang membuatnya demikian, hingga Flora merasa ada yang bermain-main di dalam sana, bukan cuma di bibir, paham?
Flora nggak.
Karena itu dia nggak mau bangun dari mimpi, sedang seru-serunya.
Lama sekali.
Itu berdasarkan perhitungan waktu Flora, dia merasa ciuman dalam mimpi berlangsung sangat panjang, sampai-sampai Flora kewalahan. Namun, tidak membuat Flora yakin bahwa itu sungguh kenyataan. Soalnya mustahil juga, kan? Dan di mimpi itu ... laun-laun melambat, bibir Flora kayak dikulum-kulum gitu, seperti dia saat mengulum permen batangan. Ya, gitu. Terus sesudahnya ... sudah. Flora merem sampai akhirnya dia buka mata, lalu tercenung dan melirik Om Wala yang tampak kesal di tempatnya.
Fix, mimpi.
Yang Flora ceritakan kini.
"Ya, tapi aku bersyukur banget sama mimpi itu."
"Kenapa?"
Om Wala masih datar saja. Namun, tetap menanggapi ucapan Flora.
"Karena saat Om nggak mau kiss aku di kenyataan, rasa keponya aku udah terobati dari mimpi. Dan saat aku sadar kalo emang nggak banget misal kita ciuman, secara Om ini temennya papa aku, di situ aku makin bersyukur. Oh, ya, Om nggak usah khawatir, sekarang aku udah sadar dan ngerti, kok, kenapa Om nolak cium aku."
Om Wala menyeringai.
Flora balas dengan seringai. "Tapi itu cuma soal kiss, ya. Nggak tahu nanti aku bakal penasaran sama apa lagi ...."
Serius, Flora cuma iseng kali ini. Dia pun pejamkan matanya. Alhamdulillah, kantuk datang.
Lantas, apa kabar raut Wala sekarang? Yang menatap Flora di seberang kasur sana.