9. Rip Bibir Flora

2338 Words
Waktu malam itu, kejadiannya pintu kamar Wala agak sedikit terbuka, jadi Papi Alam hanya tinggal pegang gagang pintu, terus dorong dan terbuka. Namun, nggak sanggup duluan. Mentang-mentang di lantai dua dihuni hanya oleh Wala, anak-anak Papi Alam yang lain sudah bubar dari kediaman orang tua, punya rumah masing-masing, sisa Wala yang diminta menemani masa tuanya papi dan mami, eh, ritual bikin bayinya sembarangan, nggak ditutup rapat pintunya, nggak dikunci. Jadi, hari-hari esok kepala Papi Alam ini ditempeli benda panas alias salonpas sebab nyut-nyutan. Masih belum menerima kenyataan secara penuh bahwa istri Cakrawala yang 36 tahunan, apa sudah 37, ya? Adalah Flora, murid yang baru saja lulus tahun ini. 18 tahun, kan? Nikah saja masih belum terdaftar di KUA, nunggu satu tahun lagi. Bicara-bicara, Alam membandingkan dengan dirinya dulu yang 38 tahun menikahi Ranasya usia 22 tahun. Jauh memang. Tapi entah kenapa, dia merasa lebih masuk akal ketimbang Wala yang nikah sama anak jebolan SMA tahun ini. Sejarahnya kenapa mereka menikah, Alam tahu, tetapi dia pasrah sekali waktu itu. Dan kini, terhitung satu minggu lebih Flora tinggal di kediaman Semesta, tentunya sebagai istri Wala, perlahan Alam mulai legowo menerima kenyataan yang ada, meski kepalanya sering nyut-nyutan melihat Wala dan Flora. "Jadi, Flora nggak mau kuliah, nih? Bener?" Nah, itu. Sedang bahas itu. Yang mana sudah dibahas antara Flora dan Om Wala kemarin, nanti Flora ceritakan bagaimana isi kisahnya di hari itu. "Iya, Pi ...." "Lho, kenapa, Dek?" Ini Mami Rana, penasaran juga. "Tau, nih. Sayang banget, malah pengin jadi IRT aja. Padahal Wala dukung kalo dia mau kuliah." "Kan, soal itu udah dibahas, Om." Ya ampun, masih saja om panggilannya. Papi Alam kelihatan menghela napas soal itu, sedang Mami Rana melirik suaminya. "Iya, iya. Flora ada rencana lain, Pi, Mi. Dia pengin kursus make up dulu katanya." "Lho, ada kampusnya juga, kan, jurusan make up? Yang suka rias-rias gitu?" kata mami, "kalo gak salah, di Bandung ada, tuh." "Flora maunya yang privat dan lebih intens." "Oh ... ya udah kalo memang itu minatnya." Flora senyum simpul. Tahu, nggak? Sejak dibuat sakit hati sama Kak Zaky dan Siska, Flora jadi balas dendam lewat make up. Dia ingin menjadi lebih cantik dari Siska yang suka pakai make up, dia ingin bisa dandan, dan dia mulai belajar dengan make up yang dibelikan Om Wala. Eh, lama-lama begitu, dia malah jatuh cinta. Merias diri itu seru, meski Flora kelihatan jarang dandan di mata orang-orang, soalnya tiap bersolek sesudahnya akan Flora hapus lagi, yang penting sudah difoto dan dia melihat hasil perkembangan riasannya. Perihal itu baru Wala ketahui akhir-akhir ini. Kalau malam dia suka melihat Flora duduk di meja rias, bersolek, yang membuat Wala bertanya, "Mau ke mana dandan?" Eh, ujung-ujungnya cuma buat selfie, lalu dihapus kembali make up-nya. Wala elus d**a. "Pantes boros, sering make up ternyata ... dan cuma buat foto-foto aja." Yeu! Om Wala nggak paham konsepnya. Di situlah Flora ceritakan minat dia, alih-alih kuliah seperti yang pernah dibahas sebelumnya. Ya, demikian kisahnya saat itu. Hingga tiba di esok hari dan esoknya lagi, Flora duduk manis di mobil Om Wala. Menikmati masa-masa sebelum nanti sibuk kursus, Om Wala juga sibuk kerja, meski tampaknya, sih, pengangguran sejahtera, sekarang mereka mau healing dulu. Eh, salah. Refreshing maksudnya. Atas usul Mami Rana agar Flora diajak main jauh sama Om Wala. Yang tadinya Om Wala ngajak pergi lihat kembaran di Ragunan, untung Mami Rana menyela, merasakan udara segar dan sejuk khas pegunungan saja katanya, cari vila di daerah situ, lalu setujulah Om Wala, Flora senang sekali. Dia, sih, yang penting main. "Masih jauh, Om?" "Masih. Tidur aja kalo bosen." Meski sudah dinyalakan musik dan ternyata lagu-lagu selera Om Wala jadul banget, jomplang sama Flora yang seleranya kekinian. Ya, ya, ya ... maklum, Om Wala, kan, kelahiran zaman dulu. Beda generasi sama Flora. "Oh, iya, Om ...." Wala menoleh, sekilas saja sambil terus menyetir. Ngajakin Flora main gini berasa momong bocah, serius! Ada camilan di pangkuan Flora yang sengaja Wala persiapkan sebelum berangkat, alih-alih tidur Flora memilih makan camilan. "Soal cium ...." Flora melirik Om Wala yang ternyata juga meliriknya. Cuma lirik. Ehm! "Om melukai harga diri aku, lho!" Eh? Nyaris saja Wala ngerem mendadak. Yang kalau boleh dia jujur, agaknya Wala tidak menyangka sisi lain dari putri Agil ini. Kok, ya, berani bahas cium? Apa Flora lupa dia sedang bahas itu kepada siapa? Teman papanya, lho, ini. Cakrawala. Bestie Agiludin sejak zaman SMA. Bikin Wala geleng-geleng kepala saja. "Simpan aja ciumannya buat suami kamu nanti." Hah? Flora mendelik kali ini. Sadar apa yang diucapkan, Wala koreksi. "Maksud Om, kamu fokus belajar make up dulu aja. Nanti setelah punya WO sendiri sesuai cita-cita yang kamu ceritakan waktu itu, dan sampai saat itu tiba ... kalau kita masih berjodoh, ya, nanti Om cium." Agak ketar-ketir dia menjelaskan. Barangkali salah ngomong, terus nanti Flora lapor sama Agil. Kan, ngeri! "Lagian emangnya kamu nggak keberatan first kiss-nya ilang sama om-om?" Alhamdulillah, sih, Om Wala mengakui dirinya itu om-om. Tapi, bukan itu poinnya, Pemirsa! Isi soal suami, istri, dan harga diri! Juga soal Flora yang penasaran; gimana, sih, rasanya berciuman? Bahkan pernah Flora mendengar cerita kawan sekolahnya yang merasa bangga karena sudah cium-ciuman, seakan itu sebuah perbuatan yang prestasional. "Om nggak masuk akal, deh, jawabannya. Korelasinya Om nolak ajakan kiss dari aku sama alasan-alasan Om nolak itu, apa, ya? Gak nyambung, sumpah." Wala terdiam. Apa iya, ya, nggak nyambung? Membuat Flora kesal berdecak. "Bilang aja gak tertarik." Oke, fix. Wala diam sepanjang jalan menuju lokasi tujuan, sedang Flora sibuk mengunyah sambil berpikir. Apakah pernikahan ini akan berakhir? Kapan? Flora kira meski judulnya nikah mendadak oleh sebab kepepet, yang namanya nikah, ya, sekali seumur hidup. Toh, Flora nggak keberatan, kok, usianya habis dengan menjalani peran sebagai istri Om Wala, yang penting uangnya ngalir, ganteng pula, urusan cinta mah nggak ada penting-pentingnya bagi Flora yang sudah merasa sakitnya dari sebuah rasa cinta. Huh. Makan, tuh, cinta! Nyatanya Flora mencintai seseorang, tetapi dia tidak bahagia. Patah hati justru iya. Sebal, deh, kalau diingat-ingat. Flora kremes-kremes saja bungkus ciki di tangannya. Kak Zaky sialan! Flora masih dendam. *** Dibilang nggak tertarik, Flora ini cantik. Dikata bahwa Flora itu cantik, tetapi dia masih cilik. Namun, meski cilik, Flora itu istri dan sudah Wala hak milik. Coba saja perhatikan sekarang, waktu di mana telah Wala hentikan mobilnya, telah tiba di parkiran vila kawasan pegunungan, sepi sangat, dan Flora terlelap sejak beberapa jam lalu di perjalanan. Saat itu Wala fokuskan pandangannya kepada wajah Flora mumpung orangnya lagi tidur. Wala tatap lamat-lamat. Rambutnya, kening, turun ke alis, ada pula bulu mata yang membuat Wala singgah sejenak di sana, lalu lanjut menelusuri hidung, tampak cantik dengan bibir yang membuat sebagian teks ini menghilang. "Udah nyampe, ya, Om?" Di jok kemudi, Wala menoleh. "Iya. Kamu kebo banget tidurnya. Pegel Om nungguin." Lho, lho? "Pinter banget ditungguin, bukannya dibangunin," gerutu Flora, lalu menguap. Tercenung sesaat, diliriknya lagi sosok Om Wala yang kini mulai beranjak. "Ayo turun! Apa mau nginap di mobil?" Ya elah, sensi amat ini om-om satu! Harusnya Flora yang sensi perkara ajakan kiss-nya malah ditolak, terus tadi Om Wala pakai acara ngeles segala lagi, nggak nyambung pula. Untung Om Wala, cowok yang segala kelakuannya nggak akan Flora ambil hati. Anggap canda saja. "Betewe, bantuin napa! Jalannya nanjak ini, berat aku narik-narik kopernya." Laki minus akhlak memang. Tidak berperi kesuamian. Masa membiarkan Flora narik-narik koper, sih? Di jalan menanjak dan berkelok ini? Sebalnya, Om Wala malah tertawa. "Salah sendiri bawa koper. Udah dibilang, kan, bawa ransel aja? Segala pake koper." "Eh, itu isinya baju-baju Om juga, lho!" Wala mencibir, telah dia ambil alih koper tersebut, lalu bilang, "Jangan jauh-jauh, sini! Nanti ilang, Om yang kena omel." Makin manyun Flora dibuatnya. Kayaknya dari kemarin dan kemarinnya lagi Om Wala ngeselin, ya? Atau cuma perasaan Flora saja? "Lho, kasurnya dua?" Iya, tibalah di kamar mereka yang Wala check in-kan tadi. "Kenapa?" Wala meledek. "Mau banget, ya, seranjang sama Om?" Dih, gila! Nggak, ya. "Kalo mau seranjang juga ayo, tapi tolong iler kamu dikondisikan, ya? Pengalaman tidur bareng kamu, baju Om bau iler. Pas bangun, eh, kepala kamu nemplok di tempat iler." Ewh. "Aku nggak ngiler, ya! Sembarangan." Wala tak mengindahkan. Dia meletakkan koper di sudut kamar itu, kemudian beranjak melihat pintu lain yang dipastikan adalah jalan menuju kamar mandi. Flora pun mengekor. "Ih, kamar mandinya, kok, gini?" Menatap Om Wala. "Gimana ceritanya konsep kamar mandi outdoor gini?" Alias tanpa atap, dindingnya kayu dan tinggi mengelilingi kamar mandi itu. Namun, tetap saja outdoor, kan? Flora ngeri. "Gimana kalo ada yang ngintip pas aku lagi mandi? Ih!" Dia memeluk diri, bergidik. "Kayak ada yang mau ngintipin kamu mandi aja, sih, Ra. Lagian dindingnya tinggi itu." Sambil Wala tutup lagi pintu kamar mandinya. Memang betul vila ini didesain dengan kayu, nuansa pencinta alam, tetapi kasurnya tetap busa, kok. "Om. Nggak ada vila lain, ya?" Flora keberatan. "Serius, lho, aku. Masa gitu kamar mandinya?" "Nggak akan ada yang ngintip, Ra. Kamu juga tadi liat sendiri, kan, vilanya sepi?" Nah, itu. "Kalo aku yang malah nggak sengaja ngintip Mbak Kun-Kun ayunan di pohon, gimana? Takut banget itu kalo kebelet pipis malem-malem." Wala memilih merebahkan tubuhnya, capek habis nyetir perjalanan jauh. Istirahat dulu bentar. Namun, Flora malah berisik. Sumpah, ya. Wala sumpal mulut Flora pakai--hilang lagi sebagian teksnya. Wala menatap Flora. "Om!" Masih merengek orangnya. Nggak jadi Wala sumpal mulut itu. Dia malah terngiang-ngiang kejadian di mobil yang mungkin sampai kapan pun tidak akan Wala ceritakan. Oh .... Cil, Cil. Wala pejamkan saja matanya. Kali ini capek dengan kenyataan bahwa dia sudah menikah dan itu sama bocah. Tapi Wala mesti berterima kasih banyak sama Flora. "Om Wala!" Astagaaa ..... Membuat Flora tersentak, tidak siap dengan tarikan tangan Wala yang kini jadinya Flora rebah di dalam kungkungan lengan lelaki 36 tahunan itu. Oh, apa udah 37, ya? Flora ciut seketika, tubuhnya dikekepin. Kebayang? Sedang mata Om Wala rapat terpejam. Meski demikian, seakan sengaja direngkuh supaya Flora diam, tangan itu sulit sekali Flora singkirkan. *** "Kata papi lo, lo lagi bulan maduin anak gue?" Heh! Gegas Wala kecilkan volumenya. Iya, Agil nelepon. Kayak yang takut banget Floranya diapa-apain sama Wala, tengah malam gini ponsel Wala dibombardir notifikasi dari sosoknya. Sementara itu, yang lelah merengek, habis mandi sore tadi yang mana mandinya sambil ngobrol sama Wala--mesti banget begitu, Wala jadi duduk dekat pintu kamar mandi gara-gara bocah satu itu. Ampun, Kawan! Walanya manut saja pula--kini Flora terlelap damai. Nyenyak. Makan malam pun habis banyak. Tuh, lihat di ranjang sebelah Wala. Tidur Flora guling kiri dan kanan, makan tempat. Salah satu alasan Wala pesan twin bed. Bukannya apa-apa, ya. Tapi saat ini Wala ingin tidur dengan tenang. Tanpa tiba-tiba ada yang nemplok di dadanya, lengan, hingga betis dan paha. "Bukan bulan madu juga, sih, Gil. Tapi emang lagi di vila aja. Kenapa? Lo mau nyusul? Gue share alamatnya." Wala memilih beranjak, khawatir Flora terbangun. Di seberang sana, Agil berdecak. "Masih gue pantau lo, ya, Wal." "Nggih, Papa Mertua." "Bangs--" "Pa!" Suara Syakira. "Udah, tutup teleponnya, Wal!" Agak teriak gitu biar Wala mendengar. "Siap, Mamer." "Anj--" Langsung Wala matikan sebelum Agil ngereog. Buset, dah. Ketika Wala berbalik hendak masuk kamar, eh, ada wanita bergaun putih dan rambut tergerai, untung wajahnya Wala kenal, itu jelas Flora bersama daster tidurnya, bikin jantung Wala yang sudah tidak muda ini terkejut-kejut saja. "Kalo jalan yang ada suaranya, kek, Ra!" Flora mencibir. "Keasyikan teleponan, sih. Udah, ah. Aku pengin pipis, anter!" Fix, agak lain bininya Wala. "Om!" Antar katanya. Saat di mana Wala sudah di dalam kamar mandi itu bersama Flora, berdua, lalu bertatapan, Flora malah bilang, "Om m***m!" Kan, kan .... Baru juga bertatapan. "Om tunggu di depan pintu aja, deh. Jangan tidur dulu, tunggu aku selesai, dan--" "Iya, sana pipis dengan tenang!" Jari telunjuk Wala nemplok di bibir Flora, menekannya, refleks biar Flora mingkem. Tapi yang ada malah jari Wala digigit, dengan tiba-tiba Flora memiringkan kepala, lalu menggigit telunjuknya. Semprul dasar! Wala dorong saja pucuk hidung Flora dengan tangan satunya sampai menjauh dan lalu dia melenggang dari sana, meninggalkan Flora yang kemudian pintu kamar mandinya ditutup, dikunci, di luar Wala bilang, "Bekas gigit kamu bau, Flora!" Yey, memangnya Flora peduli? *** Paginya .... Iseng. "Om serius nggak mau kiss sama aku?" Pelan sekali. Di depan wajah Wala. Dia baru buka mata, belum terkumpul semua nyawanya, masih di ambang kesadaran, ini nyata atau bunga tidur belaka. Ada seraut wajah putri Agil yang tampak-- "Akh!" Wala benturkan keningnya pada kepala di atasnya itu. Gi-gila .... KDRT! Flora pegang bibirnya. Fix, jontor, sih, ini! Membuat Wala melotot saat itu juga. Lho?! "Ra?" Ya ampun. Nangis. "Flora ... maaf, maaf. Ra ...." Gegas Flora beranjak dari kasur itu, menepis segala juluran tangan Om Wala. Sakit banget ini! Flora sampai nangis. Tadi bibirnya kegigit gara-gara benturan yang dibuat Om Wala. "Ra, maaf ... lagian kamu ngapain--" "Awas, ah!" pangkas Flora, dia menolak disentuh, ditenangkan, juga dilihat lukanya. Marah. Padahal kalau diulas kembali, salah sendiri iseng di saat orang baru buka mata. Namun, pikir Flora nggak akan sampai kayak gitu responsnya. Apa Om Wala nggak lihat yang di depan wajahnya itu wajah cantik bin unyu-unyu Panorama Flora Pandora? Minimal nggak harus sampai disundullah. Tahu diri saja kalau Flora ini cewek. Masa disundul?! "Maaf, Ra. Om kira cuma mimpi." Oh, jadi meski dalam mimpi pun, Om Wala tega nyundul Flora? Menganiaya? Segitu nggak maunya dicium sama Flora, padahal Flora juga nggak mau, tuh, kalau bukan karena penasaran dan Om Wala adalah jalan satu-satunya. Setelah sekian lama ingin tahu, akhirnya bisa praktik, tetapi malah kayak gini. Sudahlah ini. Dipastikan besok-besok Flora kapok ngajak kisseu, entah serius atau iseng kayak tadi. Lakinya nggak bisa diajak kerja sama, sungguh menyebalkan sekali. Flora pikir dia dan Om Wala ini sefrekuensi, tetapi ternyata nggak, ya? "Ra--" "Ngerti bahasa manusia, gak? Awas! Kalo gak tau awas, ya, minggir! Ck. Jangan pegang-pegang!" Ngamok, Bu Haji. Pakai o biar kekinian. Ehm. Wala gegas beringsut. "Maaf, lho, ya ... beneran nggak tau--" "Awas!" Iya, iya. Ini Wala awas. Flora pun masuk lagi ke selimut, memunggungi. Kesal, sih, yang pasti. Sakit terutama. Bibirnya bakal seriawan ini, sih. So, dipastikan ... seharian itu Flora nggak mood. Coba sini jujur sama Wala, yang salah siapa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD