"Eh, Gil, Gil ... rumah lo lagi sepi, kan?"
Dulu.
Dulu sekali.
Waktu Cakrawala masih jadi pelajar dan menimba ilmu di salah satu kampus ibu kota. Saat itu Arief nyeletuk dan cengengesan, lalu Adit mengeluarkan sekeping kaset DVD yang terbungkus apik dalam wadah.
"Ya, biasa. Ada Syakira sama Flora, tapi mereka bisa diatur, kok," sahut Agil.
"Ah, siap!" Lantas, Arief menatap Wala. "Laptop lo ada, Wal?"
"Ada."
Oke, sip.
"Gas!" Adit memimpin langkah mereka menuju kediaman Agil, Arieflah yang paling semangat mengekor.
Sementara, Agil mengerling. Di mana cuma dia sendiri yang sudah menikah, lalu Adit mengajak nonton film biru, disetujui dengan antusias oleh Arief, lalu Wala ngikut dan memfasilitasi dengan laptop berikut infocus-nya.
Ehm.
"Aman, kan, Gil? Anak lo gak bakal tiba-tiba nyelonong masuk, kan?"
Di kamar tamu. Agil sudah tutup rapat pintunya, juga sudah berpesan kepada Syakira agar tidak membiarkan Flora berkeliaran, termasuk Syakira sendiri yang ketika itu diberitahukan bahwa hari ini Agil dengan kawan-kawan mau nobar film dewasa. Syakira protes pada mulanya, tetapi Agil sukses membuat istrinya mengerti, perihal kawan-kawan Agil yang patut dikasihani sebab cuma bisa nonton film dan itu pun begini. Yang penting nggak gimana-gimana. So, Syakira bilang dia akan mengajak putri mereka main ke rumah tetangga saja selama Agil menemani kawan-kawannya nonton. Nanti bila sudah rampung dan pulang, Syakira meminta Agil menjemputnya walau cuma main di rumah tetangga.
Begitu singkat ceritanya.
Hingga kemudian tontonan tak senonoh itu dimulai, dengan Agil, Arief, Adit, juga Wala duduk manis di lantai. Mereka lesehan di karpet. Ujung-ujungnya nggak pakai infocus, hanya dengan laptop dan DVD yang Adit temukan itu.
"Njir ... lebat," bisik Arief.
Apanya, tu?
Apanya, ni?
Wala cengar-cengir. Matanya fokus pada layar, tengah menampilkan tokoh perempuan dan sedang mandi dengan gaya. Well, ini tontonan dewasa. Diimbau kepada para anak remaja agar tidak mengikuti jejak sesatnya mereka, si empat sekawan.
"Lo waktu bikin Flora, kayak gitu gak, Gil?" tunjuk Wala pada layar yang menampilkan adegan erotis khas tontonan tidak mendidik. Sedang tumpak tindih di sana, dengan suara yang membuat resah para penontonnya.
Agil menyeringai.
"Ajib ...." Adit ikut berkomentar atas tontonan mereka.
"Punya gue lebih gede kayaknya," tutur Wala mengejek tokoh lelaki di film itu. Yang lalu ditampol Arief sambil tertawa.
"Kasian nanti yang jadi bini lo kalo kegedean, Wal," timpal Agil.
"Bukannya bagus, ya? Memuaskan nanti."
Agil sontak terbahak.
"Betewe, sakit gak, sih, Gil?"
"Apanya?" Agil menatap Arief.
"Tuh, kayak gituan." Mengedik layar laptop Wala dengan dagunya.
"Ya, nggaklah. Kita, kan, cowok. Cuma linu aja pas--anjir komuk lo, Wal! Kondisikan."
Wala berdeham. Memang wajahnya bagaimana dan seperti apa?
"Ngomong-ngomong, kiss-nya lebih jago gue daripada pemerannya." Jelas, di laptop itu sedang menunjukkan adegan ciuman dan Wala merasa dirinya lebih unggul.
"Iya, dah, iya. Si paling good kisser," sahut Arief.
Mereka lalu tertawa sebab Agil berkata, "Sejago-jagonya lo dalam ciuman, tapi lebih unggul gue yang udah bukti sama lahirnya Flora, kan, Wal?"
Nah, tuh.
"Ya elah, nanti juga gue punya. Cuma belum pas aja timing-nya."
Iya, deh. Mereka pun lanjut nonton dengan jauh lebih fokus sekarang. Kadang cengar-cengir nggak jelas, lalu meledek satu sama lain ketika mendapati raut mupeng di wajah Arief, Adit, ataupun Wala. Hanya Agil yang merasa biasa saja, nggak begitu kentara, justru dia merasa bangga karena sudah pernah coba beberapa adegan di film bersama Syakira. Tentu saja, Agil nggak woro-woro. Habis ini juga dia berencana untuk praktik nyata bersama istrinya, tinggal tunggu tiga kawannya bubar dan Flora tidur lelap.
"Abis dari sini lo pada jangan mampir ke tempat yang nggak-nggak, ya. Langsung mandi air dingin aja," kata Agil.
"Rencananya mau langsung cus ke rumah calon istri, nih, Gil. Boleh gak, ya, nyicil dulu?" Arief cekakak weka-weka.
"Geblek," sahut Wala.
"Eh, hape lo bunyi, tuh, Wal."
Tertera nama kontak mami di layar, Wala raih ponsel yang memang dia letakkan di meja.
"Kecilin, eh, kecilin."
"Ya, sana lo angkat teleponnya di luar. Jangan di sini!" usir Adit.
Wala berdecak, tetapi dia manut dan keluar dari kamar itu semata demi angkat telepon dari maminya. Yang demikian itu, sejarah Wala dalam menonton film dewasa terpangkas cukup sampai di sana, mami meminta jemputannya, selalu lari ke Wala kalau soal antar-jemput, Wala juga sungkan menolak.
"Gue balik, Gais. Laptopnya simpen sini aja, nanti gue ambil. Titip, ya, Gil." Seraya meraih ranselnya, kemudian berlalu setelah mendapatkan acungan jempol dari kawan-kawan.
Ya, gitu.
Wala keluar, di detik mau menaiki motornya, saat itu ada bocil lari-lari menghampiri.
"Om Wala!"
Heboh sekali.
"Om!"
Sosok Flora kecil yang ... kok, sudah sebesar ini, ya? Wala mengerjap-ngerjap, menatap wajah yang dulu dia cium pipi kiri dan kanannya dengan gemas, kini hanya berani Wala pandangi.
"Om, ih!"
Iya, wajah itu.
Sudah sebesar ini.
Membuat Flora terkesiap sesaat, merasakan telapak tangan Om Wala di pipinya. Pagi buta, Om Wala ngigau sepertinya.
Eh, tunggu.
Wala mengernyit. Dia cubit-cubit pipi itu yang membuat sang empu mendesis sakit. Fix! Ini, sih, memang Flora wujud dewasa. Wala yang menyadari itu gegas menarik tangannya, lalu mendudukkan diri, tak lagi rebahan.
"Jam berapa ini?" Sambil menguap ala-ala.
Flora pegang pipi, mencebik sebal. "Liat aja hape sendiri! Janji mau joging menikmati udara segar pegunungan, malah kebo tidurnya. Pake acara cubit-cubit pipi aku lagi. Nyebelin."
Wala tak mengindahkan. Dia meraih ponsel, sedang Flora gegas berdiri, sudah siap dengan jaket yang membungkus piama tidurnya. Flora belum mandi, tetapi sudah sikat gigi dan cuci muka, dia juga wangi, siap buat lari pagi di wilayah vila ini, sebagaimana obrolan yang tidak diceritakan kemarin ... Om Wala ngajak joging, janji pula.
"Oh, jam enam ...."
"Sampe nggak subuhan," tukas Flora.
"Kamu udah emang?"
"Ya, udahlah. Aku, kan, bangunnya subuh."
Wala pun berdiri, sebelum itu dia meregangkan tubuh dulu. "Ya udah, tunggu. Om siap-siap dulu."
Tak lupa, dia juga subuhan dulu meski terlambat, tetapi jangan sampai tidak sama sekali. Ya, itu Wala. Dia nggak kayak Bang Guntur yang ketika mendengar azan langsung salat. Well, Guntur itu abangnya Wala yang nomor dua. Anak kedua Papi Alam dengan istri di sebelum nikah dengan Mami Rana.
Flora menunggu di luar kamarnya, dia menghirup udara segar lebih dulu. Nggak salah Flora pakai jaket, dinginnya terasa sekali seolah mau tembus ke tulang.
"Yuk."
Entah berapa lama menanti, akhirnya Om Wala keluar juga. Selesai dengan t***k-bengeknya di dalam.
"Om mandi?"
"Kayak yang udah mandi, ya?"
"Itu rambutnya basah."
Wala pegang-pegang rambut. "Sengaja dibasahin, tapi belum mandi, kok. Syukur kalau keliatannya udah, biar pas ketemu cewek cakep nggak malu."
Yeu, dasar!
"Genit," cibir Flora.
Om Wala cuma tertawa. Lantas, mereka pun meninggalkan wilayah kamar menuju lokasi yang biasa orang-orang joging.
"Om semalem mimpi apa?" tanya Flora ketika lari-lari kecil diimbangi langkah Om Wala di sisinya.
Wala menoleh. "Kenapa emang?"
"Kayak nggak tenang gitu tidurnya. Mimpi buruk, ya?" Dilihatnya, Om Wala cengengesan. "Atau ...." Flora ngerti, kok. "Hayo ... mimpiin siapa?"
Om Wala malah mempercepat larinya, gegas Flora kejar. Namun, Om Wala tambah cepat. Kok, ngeselin? Ini joging apa balap sprint?
Ya, itulah pagi di hari kedua bulan madunya Cakrawala dengan Panorama Flora Pandora. Keduanya ngos-ngosan, berkeringat, hanya tidak nikmat saja.
***
"Cie ... lagi kepoin mantan."
Flora terkesiap, lalu mendongak saat Om Wala ada di belakangnya dengan membawa dua gelas teh hangat yang lalu diletakkan di meja kantin. Yap, mereka mampir buat sarapan.
Wala pun duduk tepat di depan Flora yang sudah meletakkan ponselnya di meja, berterima kasih sudah diambilkan air minumnya.
"Bukan mantan, kali. Jadian aja nggak, mantan dari Hongkong!" gerutunya.
Wala tersenyum meledek. "Ya, terus ngapain scroll media sosial dia?"
"Kepo."
Betul apa yang Om Wala kata. Flora legut teh hangatnya.
"Mereka langgeng ternyata." Setelah membuat hati Flora patah dan hancur asmara cinta pertamanya. Ck, ck, menyebalkan. Flora manyun dan Wala tertawa.
"Nanti pas kita resepsi, kamu undang aja mereka."
Eh, Flora makin manyun. "Gak, ah."
Wala mulai menyendok sarapannya. "Kenapa? Ide bagus, lho, ini. Tunjukin kalo kamu jauh di depan mereka."
"Itu kalo nikahnya bukan sama om-om."
Aih ....
Wala nyaris tersedak.
Gitu, ya?
"Biar om-om gini, yang kayak Om itu limited edition, lho, Ra."
"Udah, ah, jangan bahas mereka." Flora bad mood.
Wala senggol-senggol kakinya di kolong meja.
"Apa?" Sambil menyendok suapan nasi kesekian, Flora lihat Om Wala senyum-senyum sejenis ledekan.
"Duh, duh ... ABG lagi galau."
Kan, meledek itu!
Flora cibir saja. Yang mana setelahnya, mereka makan dalam diam, fokus sampai akhirnya Wala selesai melahap habis hidangan di piring, juga meneguk tanpa sisa air teh hangatnya. Sementara Flora, masih sibuk mengunyah.
Tak lama, Flora bilang, "Om pernah pacaran, kan?"
"Sering." Wala menjawab ekspres.
Lalu tatapan mereka bersua. "Pernah patah hati?"
"Nggak, dong. Hati mereka yang Om patah-patahin."
"Cowok jahat dasar."
Wala terbahak dengan semaksimal mungkin dia tahan ledakan suaranya. Sial, Flora lucu banget.
"Serius nanya!" kata Flora.
"Ya, Om juga serius jawab."
"Masa nggak pernah patah hati?"
"Ya udah, iya, pernah. Kenapa emang?"
"Gak jadi, Om gak asyik."
Ya ampun, Cil, Cil. Wala geleng-geleng kepala. Flora tengah meneguk teh hangatnya sampai tandas.
"Kamu kalo lagi kangen sama dia, ngeselinnya ke Om, ya, Ra?"
What?!
"Kangen? Mana ada. Cuma lagi memantau aja, yang udah bikin hati aku sakit, karmanya udah nyampe apa belum."
Om Wala manggut-manggut. "Tapi, Ra ... daripada sibuk memantau karma buat mereka, saran Om, sih, mending kamu sibuk sama kebahagiaan diri kamu sendiri."
Flora terdiam. Om Wala pun memaparkan materi percintaan versinya langsung kepada Flora, tanpa harus melalui kamera dan di-upload ke Youtube dulu.
Well, tempat makan itu sepi. Jelas karena sarapannya Wala dan Flora kesiangan, jadi cuma ada segelintir orang di situ, dengan posisi meja yang Wala pilih agak jauh dari yang lain. Makin enak buat ngobrol-ngobrol intens begini.
"Paham?"
Eh ... memangnya tadi Om Wala bilang apa?
***
Namanya Cakrawala, Flora tahu itu teman papa yang paling tampan dibanding Om Arief atau Adit. Papa Flora juga nggak seganteng itu. Ini Flora yang masih kecil saja sudah mengerti mana yang tampan dan bukan, dan Om Wala betul-betul sangat tampan. 99 dari 100 kalau soal tampang, di mata Flora.
Makin tumbuh meremaja, Flora makin suka sama garis wajah teman papa yang itu. Belum lagi tubuh om itu yang proporsional, tinggi, gagah, dan ... pokoknya Tuhan seperti sedang mood ketika menciptakan Om Wala. Namun, tak lantas membuat Flora jatuh cinta.
Masuk jenjang SMA, Flora melihat kakak kelasnya bernama Zaky, itu cowok paling top di matanya, nggak setampan Om Wala, tetapi sukses membuat jantung Flora jedak-jeduk saat melihatnya.
Ah ... cinta, ya, namanya?
Namun, menyebalkan. Cinta Flora bertepuk sebelah tangan, parahnya Kak Zaky justru naksir sobat duduk Flora di kelas, yakni Siska. Perasaan mereka pun saling berbalas. Yang bikin sakit hati, sepanjang dia suka sama Kak Zaky itu ternyata dirinya bodoh sekali, mereka tahu dan main di belakangnya.
Karena itu, Flora jadi punya kisah dengan kawan papa yang saat itu ada ketika hatinya terluka.
Cakrawala.
"Nggak mau tau, bedak aku ganti!"
Yang sedang tertawa sambil mencoret wajah Flora dengan bedak taburnya sebab kalah dalam permainan. Siangnya, mereka menghabiskan hari dengan adu kebolehan game online. Duduk bersandar di kepala ranjang dengan posisi bersisian. Wala sebelah kiri dan Flora kanan.
"Iya. Lagian salah sendiri ngajakin main game pake segala hukum-hukuman bagi yang kalah ... senjatanya cuma ada bedak tabur, Om mana punya yang kayak begini."
"Tapi janji diganti, ya? Beliin yang baru."
Sip. Wala sudah membuat garis panjang di wajah Flora dari pipi kiri ke kanannya dengan bedak itu, melintasi hidung, dan itu sebab Flora kalah. Namun, nggak cuma Flora yang cemong, kok. Wajah Wala juga sama, hanya saja tidak sebanyak Flora.
Waktu Flora menang, dia girang sekali sebab bisa melukis wajah Wala dengan sadis. Membuat Naruto versi asli. Sayang, Flora nggak bisa bikin lambang konoha di kening Om Wala, jadi cuma kumis-kumisnya saja di pipi.
"Yeay, aku menang!"
Nah, kayak sekarang. Kalau menang, dia nggak peduli bedaknya habis. Nggak ngomel seperti saat Wala yang menang dan mencoret wajah Flora, minta ganti rugi bedak yang dipergunakan.
"Sini, sini, wajahnya ngadep sini!" Flora colek bedak taburnya dengan dua jari, lalu meraih belakang kepala Om Wala sambil dia melukis bulat-bulat melingkari mata cowok itu. Kebayang? Flora cekakak weka-weka.
"Kamu curang! Coret-coretnya sekali aja."
Malah dua mata Wala yang Flora lukis, dan putri Agil itu terbahak. Tentu, Wala nggak terima. Dia colek bedaknya, lalu mengincar Flora yang paham akan diberi balasan, gegas dia menghindar. Namun, ....
"Akh--Om!" Flora mencekal lengan Om Wala, sedang dia sudah dibuat rebah di ranjangnya. Tubuh Wala tepat di atas Flora. "Ayo main lagi--Om!"
Tak akan Wala biarkan anak gadis Agil ini lolos. Dia menahan Flora dan mengincar wajah itu, sedang Flora geleng kanan-kiri, berusaha menghindar sebisa-bisa. Yang mana detik itu ponsel Flora berdering, memang baru dia aktifkan siang ini setelah diisi daya full.
"Hape aku bunyi ... udah! Om ... ah, udah!"
Fine.
Wala menjauh, tetapi belum puas sebab belum sepenuhnya dia balaskan dendam dari coret-coret wajah itu.
Namun, Flora abaikan dulu. Itu ponsel bunyi sebab ada telepon masuk dari papanya.
"Halo, Pa."
Dan karenanya, merasa Flora lengah, Wala sibuk membuat rencana jail di kepala hingga detik selanjutnya ....
"Om Wala nggak--hmph!"
Ponsel Flora sampai tergeletak di sisi tubuh yang Wala serang lagi, Flora auto telentang, colekan bedak Wala tadi mengenai bibir Flora. Sebetulnya niat Wala mau colek dagu, tetapi Flora menghindar refleks, eh, malah kena bibir.
"Ah ... Om!"
Yang mana di seberang telepon sana, Agil sampai berdiri.
"Halo, Ra?"
"Berat!"
"Flora?" Mata Agil melebar. Berat katanya ....
Berat = ?
Itu isi otak Agil ketika mendengar suara Flora yang kini ...
"Ah ... ah ... udah!"
Intonasi apa pun bila itu huruf A dan H disatukan seketika jadi lain maknanya dalam otak Agil.
"Flora?!"
Disertai suara grasak-grusuk yang meresahkan. Jantung Agil berdebar kencang.
Fuckkk!
"MENYINGKIR DARI ANAK GUE, SIALAN ... WALA!"
Adit dan Arief sampai pegang d**a. Buset, buset.
Syakira duduk tertekan.
Paham, kan?
Hari kedua dan Agil masih sama, mencemaskan ke-ting-ting-an putrinya yang terancam punah, membuat Syakira lagi-lagi meminta Adit dan Arief bertandang.
"CAKRAWALA BANGS--!"
... at.
Teleponnya dimatikan dari arah seberang.
Fix.
Agil naik pitam.
"Dit, Rief, anterin gue ke sana sekarang!"
A-apa harus begitu?
Syakira rasa ... ini berlebihan.