Cakrawala x Flora = Sama saja!
Sama-sama bangun siang, sama-sama nggak paham 'rumah-tanggaan', dan sama-sama bikin Papi Alam pusing tujuh keliling delapan tanjakan. Tentunya, bukan cuma Alam Semesta, tetapi Agiludin Jalalain alias kawan sepergaulan Wala juga dilanda virus yang sama.
Virus Wala x Flora.
Gejalanya adalah syok disusul stres, lalu kepala nyut-nyutan, hipertensi, bawaannya pengin log out dari bumi. Kira-kira begitu gambaran Agil yang berbesan dengan manusia sepantar ayahnya, bahkan lebih tua dari ayah, deh, kayaknya. Meski orang tua Agil sudah meninggal semua.
Oh, ya, hari ini Wala mengajak Flora boyong secara resmi ke kediamannya, yakni di kediaman papi dan mami. Alasan mengapa Wala ada di sini, duduk tertekan di sofa ruang tamu rumah Agil. Biasanya nggak gini, lho!
Sumpah.
Wala tertekan banget-nget-nget!
Dari tadi tatapan Agil tertuju padanya, dengan segelimang emosi yang sulit diungkap. Wala, kan, jadi serba salah. Mau nyusul Flora ke kamar buat bantu-bantu packing, tetapi di sini mertua--eh, Agil maksudnya--tampak tidak mengizinkannya beranjak, tetapi nggak bilang apa-apa, cuma memberi tatapan tajam laksana hinaan tetangga.
Oke, Wala berdeham.
"Dimakan, Gil, kuenya." Wala mempersilakan, itu kue merupakan buah tangannya dengan Flora untuk berkunjung ke rumah Agil ini.
Uh ....
"Ogah. Ada peletnya. Pasti selama ini apa-apa yang Flora terima dari lo, itu lo bubuhin jampi-jampi, kan?"
Astagfirullah.
"Kalaupun gue mau main pelet, jampi-jampi, itu bukan Flora kali, Gil, tujuannya. Tau sendirilah, kan, gue gak doyan bocah."
Agil tertawa sinis. "Yang lo sebut gak doyan itu udah paten jadi ... siapa, Wal?"
Yah ....
Ehm.
"Istri." Pelan sekali suara Wala, dia mencicit, lalu usap-usap paha dengan gerak amat kikuk.
Ta, tapi, kan, bukan karena memang dia mengincar Flora, tetapi kebetulan, karena kepepet, dan akhirnya Wala geret Flora ke pelaminan. Ampun, deh, Agil.
Bukan maunya Wala itu menjadikan bocil se-unyu Flora jadi istrinya. Gila saja, ya!
Agil mendengkus.
Yang demikian itu, pas sekali, Adit dan Arief datang setelah sebelumnya Agil hubungi. Menceritakan bahwa hari ini Wala mau berkunjung untuk yang pertama kali sebagai suami sang putri. Catat, Guys! Suami sang putri.
Kepala Agil mau pecah rasanya. Argh!
"Eh, Wal ... gimana? Sukses?"
Itu Arief yang nyeletuk.
"Udah cium tangan papa mertua belum lo, Wal? Cium tangan dulu, dong, yang sopan jadi mantu."
Jiahahaha!
Kira-kira begitu suara tawa jahat dan ucapan jail Adit.
Syaland memang. Wala mendengkus di situ.
"Geblek," tukas Agil.
Adit ber-peace ria.
"Ngomong-ngomong, nggak dikasih jamuan apa gitu, nih? Syakira mana, Gil? Biasanya kalo ada dia, langsung paham kita-kita suguhannya apa." Agak lain memang Arief ini.
"Nggak usah manja. Sejak gue pecat Wala dari persahabatan kita, lo-lo pada udah gak mesti disuguh-suguhin lagi, sana ambil sendiri aja kalo haus. Tau letak dapurnya di mana, kan? Nah, lurus aja."
Selain itu, Syakira sedang membantu Flora berkemas. Jujurly, menatap Wala, kepala Agil nyut-nyutan. Gara-gara pernikahan mereka, sudah beberapa hari ini Agil tutup resto, kesehatannya terganggu, Kawan!
"Oh, ya. Jadi, lo tinggal di sini, Wal?"
Sama Agil?
Woyajelas ... "Nggak, dong. Tetep di rumah gue."
"Rumah orang tua maksud lo?"
Wala mengangguk menanggapi tanya dari Adit.
"Tenang, Gil. Mami papi gue baik, kok. Lo jangan khawatirin Flora yang serumah sama mertua." Ehm!
Arief merinding disko di sana, pun Adit. Agak gimana-gimana gitu, ya?
Namun, setidaknya Agil sudah jauh lebih anteng, terkontrol, nggak kayak pas hari H pernikahan, dia ngamuk nyaris menghanjar Wala sebab telah berhasil menikahi putri tercinta.
Dengan terpaksa.
Catat itu!
Oh Tuhan ....
Andai umur Wala bukan 36-an, andai bukan kawan sepantar Agil, dan banyak andai-andai lainnya berseliweran. Namun, apalah daya singkong yang sudah dibuat getuk? Apalah daya beras yang sudah jadi bubur? Semua telah terjadi.
"Om Wala, ih, bantuin!"
Nah, tuh.
"Mm ... gue ke sana dulu, ya." Sambil garuk pipi, yang tentunya tidak gatal pasti.
Detik di mana sosok Wala berdiri, menghampiri Flora di ambang pintu kamarnya, dengan mata Adit, Arief, dan Agil mengikuti hingga Wala benar-benar tidak terlihat lagi.
"Wah ... masih gak nyangka, lho, gue." Ini Adit.
"Kebayang ... mereka udah malam pertamaan apa belum, ya? Si Wala bisa sang--njir! Sakit, Gil." Arief mengaduh, malah ditimpuk tutup stoples dia.
Pada dasarnya, Agil masih belum bisa menerima fakta bahwasanya saat ini ... Cakrawala Semesta Raya, sahabat sepersekolahannya dulu, adalah menantunya.
Betul-betul ... dunia makin edun!
***
Di kamar Flora.
"Ini harus banget dibawa, Ra?" Wala tunjuk meja rias itu.
"Iyalah. Aku kepikiran tadi, di kamar Om, kan, nggak ada, daripada check out atau nggak ada sama sekali, kenapa nggak bawa punya aku aja?"
"Tapi ini berat ...."
"Makanya aku minta tolong Om, kan? Emang berat."
Mesti sewa mobil bak, sedang semula Wala rencananya cuma ambil barang Flora serupa pakaian, buku-buku bila perlu, laptop, dan sejenisnya. Nggak sampai ke meja riasnya segala gitu.
"Lagian ini aku dapet saran dari mama. Katanya, bawa ini aja."
Sejenak Wala embuskan napas samar. "Om telepon kurir dulu kalo gitu."
Sip. Flora acungkan jempolnya.
Sekilas Flora melirik jari Om Wala yang mana terdapat cincin melingkar di sana, lalu jari sendiri ... ada juga cincin yang sama. Tahu, nggak, kenapa Flora dengan sukarela menerima ajakan nikah mendadak itu? Sebagai pengantin pengganti pula. Mempertaruhkan segala-gala demi menyelamatkan Om Wala. Ya, itu. Karena dulu ....
Zaman putih abu, seperti yang sudah Flora katakan, dia mau nembak Kak Zaky ketika kakak kelasnya itu sudah Ujian Nasional, tepatnya di malam perpisahan nanti. Flora mau datang, mau ucapkan selamat, memberi kado, tentu berikut ungkapan di hati bahwa dia sudah lama menyukai kakak itu, Siska saksinya.
"Aku nggak sabar banget, Sis. Kak Zaky sukanya apa, ya? Mm ... nanti bantu aku cari hadiahnya, yuk?"
Gitu.
Flora sangat antusias.
"Ciee ... yang tinggal menghitung hari buat nembak crush, ciee."
Siska mencolek-colek pinggang Flora.
Di situ Flora ketawa-ketiwi. "Tapi gak pa-pa, kan, ya, cewek nembak cowok duluan? Abisnya, Kak Zaky deketin aku, tapi kayak nggak berani maju."
Siska senyum. "Gak pa-pa, kok. Kan, udah zaman emansipasi wanita."
Kayak gitu.
Hingga tiba saat malam perpisahan yang mana pesta itu diadakan oleh pihak sekolah, di sebuah kafe yang di-booking, siapa pun boleh datang untuk mengucapkan selamat dan memberi hadiah atau buket bunga, termasuk Flora selaku adik kelas mereka.
Ah, malam itu dia diantar Om Wala, soalnya Siska nggak bisa berangkat bersama.
Sewaktu Flora keluar dari kamar--saat itu--Om Wala sudah duduk manis di sofa ruang tamu bersama papa Flora, ngobrol santai. Ya, Flora diizinkan pergi malam itu ke sana karena dengan iming-iming dijagain sama Om Wala. Untung Om Wala baik, jadi mau saat Flora mohon-mohon minta diantar.
Lalu papa malah bilang, "Ditungguin Floranya, Wal."
"Elah ... dia anak lo, napa gue yang ribet, ya?"
Mereka tertawa.
"Ya, suruh siapa lo mau dimintai anterin dia? Harusnya bilang aja sibuk biar Flora nggak usah berangkat sekalian."
Salah Wala juga yang oke-oke saja, fix.
Dan ketika tak sengaja melirik, melihat Flora ... malam itu, Wala suit-suit.
"Cakep bener ponakan, Om. Nah, gini, dong. Dandan! Biar kayak cewek."
"Anak gue dari bayi juga cantik, ya, tolong." Agil yang menyahut. "Tapi itu bajunya seksi amat, Flo. Ganti!"
Habis senyum-senyum karena dapat pujian, Flora manyun. "Style-nya gini, Pa."
"Coba pakai baju yang kayak mama, Flo."
"Ish, Papa. Flora, kan, nggak satu style sama mama yang hijaber."
Dasar.
"Yuk, Om!"
"Oh, yuk." Wala berdiri, sejenak menatap Agil saat itu. "Lo tenang aja, ini masih batas wajar, kok, nggak seseksi itu. Toh, ada gue yang jagain."
Betul, tu, betul!
Flora pun melenggang, memeluk paper bag isi kado untuk Kak Zaky, senyumnya tak bisa pergi saat kepala sibuk membayangkan sosok itu, lalu jantung berdebar kencang karena malam inilah dia akan beraksi.
Apa pun jawabannya nanti, Flora terima. Yang penting unek-unek di hati dia keluarkan malam ini, perihal cinta monyet yang lama telah bersarang untuk gerangan.
"Hari ini Om bawa mobil?"
"Demi kamu ini."
"Om terbaik!" Sambil memberikan dua jempol.
Wala geleng-geleng kepala, tertawa. Ya, dia mau mengantarkan Flora saat itu karena bertepatan di rumah habis adu mulut sama Bintang, terus Wala yang kena damprat papi, kesallah dia, ditambah mami malah nyuruh cepet-cepet cari istri, biar di rumah pun nggak di-bully.
Mending kabur dan nongkorngin anak sobat, ya, kan? Itu lebih baik dan mulia.
Nah, sip. Nyampe, deh. Flora turun, Om Wala juga.
"Om tunggu di seberang situ, ya? Di rumah makan itu."
"Oke. Makasih, Om."
Sebagaimana mestinya, Om Wala cuma antar dan menunggui Flora, tetapi tidak sampai ikut dalam acara.
Bismillah. Flora deg-degan banget. Dia masuki area kafe itu, sudah lumayan ramai ternyata, dan Flora clingak-clinguk mencari keberadaan Siska. Meski nggak berangkat bareng, tetapi janjinya langsung ketemuan saja di sini.
Di tempat ini.
Detik di mana Flora menemukannya, lengkap dengan Kak Zaky di sana, yang mulanya samar hingga Flora jelas-jelas mendengar ....
"Aku sukanya sama kamu, Sis. Kamu pikir selama ini aku deketin Flora? Nggak. Kebetulan aja dia ngintilin kamu terus."
Selangkah maju, pijakan Flora terasa berat detik itu.
"Tapi Flora suka sama Kakak."
"Kamu juga, kan? Sis, bahkan kamu yang intens chatingan sama aku, bikin aku berani sampe di titik ini ...."
"Kak--"
"Ayo kita pacaran."
"Flora--"
"Nggak usah pikirin dia. Diam-diam juga kita sering berangkat dan pulang bareng, kan? Aku tau, kamu juga suka sama aku, tapi gara-gara Flora ... hubungan kita terhambat. Aku nggak mau kalo cuma jadi TTM, Sis. Ayo kita resmikan, jadilah pacar aku. Hm?"
"Malam ini Flora mau nembak Kakak." Siska menunduk, lalu bilang, "Dan aku mau jadi pacar Kakak, tapi nanti tolong terima dulu Flora, ya? Jadian sehari aja sama dia ... dia sesuka itu sama Kak Zaky, kasihan, senggaknya dia--"
Terhenti.
Wajar bila saat itu Flora nangis, kan? Air matanya jatuh tiba-tiba, dengan paper bag isi hadiah untuk Zaky--pilihan Siska, katanya Kak Zaky suka ini--dia pegang erat-erat. Namun, tak lama, air mata itu Flora pupus, dia tahan, detik di mana salah satu dari mereka melihat kehadirannya.
"Flo!"
Siska.
Sedang Zaky berbalik.
Ah, ya ... ketahuan.
Gegas Flora ambil langkah seribu untuk meninggalkan tempat itu, dengan Siska yang hendak mengejar, tetapi ditahan Zaky.
Sisi lain, Flora melangkah cepat, tak peduli teman-teman menatap penuh tanya padanya. Raut Flora pasti tak bersahabat. Tujuannya satu saat itu, pergi saja dulu.
Entah ke mana kaki membawanya, Flora bahkan tidak ingat bila ada Om Wala yang menunggunya, tetapi saat Flora sudah cukup jauh itu, tiba-tiba suara klakson mobil menyentaknya.
"Main kabur aja, masuk!"
Flora geming.
Untung Wala melihat anak gadis Agil itu saat mata tak sengaja memantau kondisi jalan, duduk di dekat jendela rumah makan, eh, ada sosok perawakan Flora dengan baju sama berjalan kesetanan di trotoar sana. Lantas saja dia menyusul, tetapi ditinggal parkir malah makin jauh.
Namun, akhirnya ketemu. Sekarang Wala turun dulu dari mobil itu, memutarinya, menghampiri Flora di sana, yang malah diam saja.
"Lho ... apaan, nih?" Diraihnya dagu Flora dengan jari telunjuk, dia naikkan dagu itu, demi melihat wajah Flora secara utuh.
Eh, eh ... nangis.
"Buset. Jangan kenceng-kenceng nangisnya, Ra!" Sampai Wala bekap mulut Flora, khawatir orang-orang melintas melihat situasi ini, nanti dikira Wala penjahat, sedang Flora korbannya.
Cepat-cepat Wala giring Flora biar masuk mobil, nangis di dalam sana, dengan Wala yang kembali ke sisi kemudi.
Sejurus kemudian, Wala angsurkan tisu. "Lap juga itu mata kamu. Riasannya merek apa, sih, kok, nggak waterproof?"
Flora sesenggukan.
Wala mulai lajukan mobilnya perlahan. Sesekali melirik Flora. Malam itu. Melihat ada paper bag di pangkuan anak gadis Agil. Otak Wala menyimpulkan apa hal yang dia lihat sekarang, pasti gara-gara ....
"Cowok banyak, bukan dia aja."
Flora menoleh.
"Tapi gak masalah juga nangis, nangis aja."
"Om kayak yang ngerti aja!" sewotnya.
Memang ngerti, kok. Wala terkekeh. Flora buang ingus secara menjijikkan tanpa jaim, padahal ada cowok sebadai Cakrawala di sisinya.
"Iyuh. Jangan dibuang di mobil Om tisunya!"
"Bodo amat! Yang bersihin juga pasti bukan Om."
Iya, sih ....
Wala lirik Flora lagi, terlebih ini lampu merah, dia bisa sampai menatap penuh wajah Flora.
"Make up-nya ancur, tuh."
Flora manyun. Matanya sembap, tetapi sudah henti tangisnya.
Malam itu.
"Bersihin dulu wajah kamu."
Flora melongo. "Di hotel?"
Saat mobil dihentikan dan tepat di parkiran bangunan mewah seragam apa yang Flora sebutkan. Hotel.
"Iya, ayo. Apa maunya di masjid aja, tempat wudu?"
Ah, nggak.
Hotel saja.
Akhirnya, Flora ngintilin Om Wala, dengan sesekali menatap sekitar, yang lalu merasa ditatap gimana gitu, ya, sama resepsionis sewaktu Om Wala check in dan Flora bilang, "Kita nginap di sini, Om?"
"Ngaco." Di dalam lift. "Cuma numpang bersihin wajah kamu aja itu, sama numpang duduk sampe kira-kira dua jam ke depan, sekitaran acara kamu itu rampung, baru kita pulang."
Wah ....
"Cepet sana bersihin!"
Flora mencebik.
"Bisa bluberan gitu maskaranya, heran."
"Beliin, dong! Yang anti air mata."
"Gampang," sahut Om Wala.
Iya, tahu. Teman papa Flora yang ini memang banyak duit!
"Lha ... malah nangis lagi?"
Iya, Flora teringat kejadian tadi. Hatinya sakit sekali. Yang mana detik itu, Om Wala bilang, "Apa pun masalah yang bikin kamu kayak gini, itu adalah skenario terbaik dari Tuhan."
"Sekalipun kejadiannya, perasaan aku ditolak tanpa sempat diungkap?"
"Oh ... tenang, pasti Tuhan kasih gantinya. Bisa jadi di depan sana ada cowok yang nungguin kamu, cuma belum Tuhan izinkan bersatu, dan karenanya Tuhan bikin skenario kayak gitu, biar kamu nggak di-keep sama siapa-siapa dulu. Soalnya kamu punya dia."
"Om bilang gitu cuma buat nyenengin aku aja, kan?"
"Ampun, deh. Ra .. Ra. Sekarang gini, kamu fokus aja dulu sama sekolah, mana tau abis itu nikah."
"Ish!" Dipukulnya d**a Om Wala. Menyebalkan. "Omongan Om tua banget, ah. Ini masalah ABG, tau!"
Tapi ... Wala nggak salah, kan?
Yang dia acak-acak rambut Flora sambil tertawa, seiring air mata Flora yang berhenti, lalu ikut tertawa juga.
"Mana sini tadi katanya mau beliin aku make up!"
Oh, iya.
Pakai ponsel Wala buat belanja online. Ini bukan yang pertama. Wala juga tak keberatan, dia serahkan ponsel itu.
"Tapi biasa, ya, Ra, jangan buka menu lain selain toko online aja."
"Iyaaa!"
Duduk manislah Flora di sofa kamar hotel itu. Detik di mana dia asal nyeletuk, "Makasih, ya, Om. Next time kalo Om butuh bantuan aku, bilang aja, aku pasti bantu."
Yang mana saat itu, Wala ejek dengan senyumnya. Dulu. Saat Flora masih putih abu.
Jadi, sekarang paham, kan, kenapa Flora mau jadi pengantinnya om itu?
"Apa kamu liat-liat?"
Di masa sekarang, Om Wala nyeletuk, Flora terkesiap. Rupanya sejak tadi dia menatap gerangan sambil melamun.
"Oh, gak boleh? Aku pikir sah-sah aja kalo liat-liatin suami."
Tjieee ... suami ga tu?
Ehm!
"Astaga. Om merinding dengernya, Ra."
"Lebay, ah. Dasar om-om." Flora pun berlalu, tetapi detik itu Om Wala mencegatnya, dengan mengapit leher Flora, sontak saja dia teriak, "Ah, Om!"
Tolong jangan ditanya bagaimana ekspresi Adit, Arief, dan Agil di ruang tamu itu.